Adrian nampak menghubungi Aruna sepanjang perjalanan. Namun, berakhir dengan mengerutkan dahi. Karena Aruna tak kunjung mengangkat telepon.
Adrian menarik napas. "Sebenarnya sedang apa kamu Aruna? Dua hari ini tidak ada kabar darimu."Pria itu memilih menepi di sudut jalan dengan raut bingung. Tidak tahu alamat rumah Aruna sama sekali, selama berpacaran karena terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa menanyakan."Atau dia ada di asrama ya?"Adrian memutuskan untuk menemui Aruna di kampus. Namun, ragu karena di sana banyak sekali orang yang kemungkinan akan menimbulkan gosip. Adrian pada akhirnya memilih pulang dan menunggu kabar dari Aruna.Sementara Aruna sendiri sedang sibuk mencoba gaun pengantin di balik gorden. Bibir Yuksel menyeringai, setelah mengambil ponsel milik Aruna di atas meja."Adrian ini artis yang itu kan?" tanya Yuksel dengan mata melirik sekretaris."Benar sekali Pak."Yuksel kembali menyeringai. "Bukankah dia keponakanku? Golongan kerabat dari generasi kedua."Kepala sang sekretaris mengangguk. Yuksel merasa Aruna benar-benar menarik. Membuang keponakan malah dapat pamannya."Rahasiakan rupa Aruna dari keluarga dan media, aku ingin memberi anak ingusan itu kejutan.""Baik Pak."Gorden yang terbuka, membuat pandangan Yuksel teralihkan. Mata membingkai sosok Aruna yang dibalut gaun pernikahan berwarna putih, rupanya warna kulit tak begitu kalah dengan gaunnya.Yuksel tersenyum, melihat betapa cantik dan seksi penampilan sang calon istri. Namun, Aruna mengerutkan dahi karena menemukan ponselnya berada di tangan Yuksel."Kenapa Anda memegang benda yang bukan milik sendiri?" tegur Aruna dengan tangan menunjuk.Yuksel meletakkan ponsel Aruna kembali di atas meja. "Benda murahan ini, begitu berharga ya? Atau sesuatu di dalamnya yang dinilai berharga."Aruna diam, menyaksikan Yuksel menyindirnya. Mata hanya membingkai sosok pria ini bangkit dari duduk dan berjalan mendekat. Semua kepala memilih berpaling, ketika Yuksel meraih pinggang Aruna."Kamu--"Lagi, Aruna membisu. Ketika pria ini mendaratkan kecupan di lehernya. Namun, tangan Aruna segera mendorong tubuh Yuksel yang tiba-tiba terasa berat dan tak mudah dikendalikan."Ingat, yang kamu nikahi siapa. Juga yang meninggalkan kamu siapa, jangan jadi kacang lupa kulitnya," bisik Yuksel amat pelan.Tatapan Yuksel kembali menatap leher Aruna yang terlihat, bahkan belahan dada juga turut hampir terekspos. Rasa tergoda jelas ada dalam diri Yuksel, selayaknya seorang pria. Namun, perlahan Yuksel melepaskan Aruna dan mulai menjauh."Apa kalian berniat memperlihatkan tubuh pengantin, pada khalayak umum dan mendahului suaminya?" tegur Yuksel."Ganti yang lebih tertutup," lanjut Yuksel.Kaki langsung berjalan menjauh dengan tangan melonggarkan dasi. Dia bukan lagi seorang remaja yang pubertas, serta penasaran dengan rasa bercinta. Tapi, dia tergoda oleh tubuh Aruna yang masih terbungkus kain itu.***Aruna menatap lama, ponsel baru yang Yuksel belikan. Tidak ada kontak Adrian sama sekali, hanya ada beberapa teman yang dipilihkan oleh Yuksel langsung."Aneh, dia yang menyuruhku segera membereskan hubungan kami. Tapi, melarangku menghubunginya," gumam Aruna."Isi otak pria itu sebenarnya apa sih? Apa serumit isi buah kedondong."Helaan napas Aruna meresap ke udara, bercampur dengan suasana malam yang hening. Namun, telinga Aruna mendengar sebuah langkah kaki di sekitar kamarnya. Serta ketukan lembut di permukaan jendela, membuat Aruna segera bangkit dari ranjang."Nona, tuan ingin bertemu di tempat biasa."Suara yang selalu Aruna dengar, serta tempat yang kerap dihinggapi ketika malam hari. Sepertinya Aruna tak bisa lagi melakukannya."Suruh ayah pulang, Yuksel terus mengawasi aku. Jangan sampai ayah tertangkap olehnya," sahutnya pelan."Meski begitu, tuan tetap ingin bertemu. Ada hal yang ingin tuan sampaikan."Aruna kembali menarik napas. Kali ini rasa bimbang yang menyelimuti. Aruna berjalan pelan meninggalkan kamar dan membuka pintu rumah, membuat pria berpakaian serba hitam itu langsung mempersilakan Aruna memasuki mobil.Seperti biasa. Perjalanan sekitar 10 menit dari rumah. Aruna diturunkan di sebuah taman kota yang sepi."Ayah," panggil Aruna.Sosok yang berdiri dengan memakai stelan jas itu, perlahan mendekat dengan menunjukkan senyuman. Namun, ketika tangan itu terbentang meminta dipeluk. Tak Aruna lakukan.Hingga ayahnya tersenyum. "Kamu masih belum terbiasa dengan wajah ini ya?"Aruna menatap ayahnya lekat. "Ayah, aku akan menikah dengan anak lelaki itu. Tidak aman jika terus bertemu."Ayah Aruna langsung menghela napas. "Sebenarnya siapa lelaki sialan itu? Sampai kamu harus menikah dengan Yuksel gara-gara anak di kandunganmu?"Mulut Aruna diam. Ia telah menyadari satu hal, setelah tiga tahun lalu ayahnya kembali dengan menunjukkan segala kemewahan. Aruna kerap mendengar hilangnya orang yang menyakiti dirinya, tepatnya setelah Aruna bercerita pada ayahnya.Dan, Aruna tidak ingin kehilangan Adrian. Sekalipun pria itu tak bertanggung jawab, namun nyawa bukanlah sebuah solusi dari segala permasalahan."Aku tidak ingin mengatakannya, Ayah tahu itu," ujar Aruna membuat sang ayah kembali menghela napas."Baiklah. Jadi, apa Yuksel memperlakukan kamu dengan baik?" Jemari ayahnya mengusap wajah Aruna."Entahlah Yah. Aku tidak bisa membaca pikiran serta tindakannya.""Dia orang yang licik. Kamu harus berhati-hati, dia memiliki senjata yang bisa digunakan kapan pun."Aruna justru menatap lekat anak buah yang tersebar di sekitar taman. Mereka berdiri dengan wajah waspada dan tangan menggenggam senjata.Ayahnya tersenyum dan mengusap kepala Aruna. "Ayah tidak mungkin menyakiti kamu, kamu tahu soal itu kan.""Iya Yah.""Ibumu marah? Mendengar kamu hamil?"Aruna mengangguk. Lantas bercerita kalau ibunya sampai memaki Yuksel dan berjanji tidak akan datang ke pernikahannya."Pernikahan yang diadakan sangat mewah itu, sepertinya Ayah tidak bisa datang kan?" tebak Aruna.Ayahnya diam sebentar, kemudian hanya tersenyum. Tak memberi Aruna jawaban satu pun. Namun, Aruna tahu jelas. Jika sampai ayahnya muncul, kemungkinan akan menjadi orang paling mencurigakan. Sekali pun wajah telah berubah."Ikutlah dengan sekretaris ayah, dia akan mengantarmu kembali pulang."Sesuai perkataan. Aruna kembali di antarkan pulang, namun dari kejauhan terlihat sebuah mobil hitam terparkir di kegelapan malam.Dia adalah Yuksel yang menatap tajam ke arah sosok pria dikenal, membantu Aruna turun dari mobil. Bahkan sempat berbincang dengan Aruna."Kenapa pria itu kenal dengan calon istri Anda, Pak?"Yuksel menoleh, mata menatap sekilas pada sang sekretaris. Lantas, bibir menyeringai."Sepertinya anak berbuat kesalahan, seorang ayah yang menyelesaikan masalah."Ya, pria yang mengantar Aruna adalah sekretaris dari ayah Adrian. Artis yang menjadi kekasih Aruna dan keponakan dari Yuksel sendiri."Apakah hal itu akan berpengaruh pada hari pernikahan?"Yuksel diam sejenak. Pernikahan antara dia dengan Aruna tidak boleh digagalkan oleh siapa pun."Ayo kembali."Sekretaris Yuksel nampak kaget. "Bukannya Anda ke sini karena mencemaskan calon istri?"Yuksel menyeringai. "Mengintai juga harus ada etikanya, jangan mencirikan secara terang-terangan."Yuksel menatap Aruna yang memasuki rumah dengan serius. Ponsel yang diberikan telah ditanam pelacak, begitu tahu Aruna pergi dari rumah saat tengah malam. Dia terburu mengemudi dan memastikan keberadaan Aruna. Lucu sekali, sampai Yuksel menyeringai dengan rasa cemas ini.Beberapa minggu telah berlalu. Terlihat Yuksel di ruang kerja sibuk mendengarkan percakapan yang direkam secara diam-diam. Yuksel berusaha mengenali suara-suara yang bicara. Mereka membicarakan masalah penjualan organ dan penculikan. Namun, Yuksel tidak berhasil mengenali suara mereka. Yuksel menarik napas. "Kenapa tidak ada bukti rekaman video?" Tangan Yuksel melepaskan earphone dan berhenti mendengarkan rekaman suara. Pintu ruang kerja diketuk sebentar dan terlihat Aruna memasuki ruangan dengan secangkir teh di tangan. Bibir Yuksel langsung mengulas senyum dan menutup laptop. "Kemarilah, Aruna!" pinta Yuksel dengan tangan menepuk pangkuan sendiri. "Aku datang hanya untuk memberikan teh saja, Mas." Mata Yuksel menatap lekat secangkir teh yang sudah diletakkan oleh Aruna. Namun, melihat istri yang berdiam diri di depan meja kerja membuat Yuksel tersenyum. Lantas, dia berdiri dari duduk dan menghampiri Aruna yang menyerahkan permen jahe. "Makanlah ini Mas, supaya t
Yuksel tatap mata Aruna dengan serius. Kuliah sang istri tetap saja tidak bisa dilanjutkan, sekali pun jabatan dia tinggi dan namanya mempengaruhi keseimbangan ekonomi di kota ini. Jika Yuksel biarkan Aruna tetap kuliah. Bukan hanya cemoohan orang yang akan istri dengarkan, tapi protes serta demo kemungkinan akan dilakukan. Demi mengeluarkan Aruna dari kampus."Jadi, aku tidak bisa kembali kuliah, ya?" Aruna langsung berkesimpulan, karena melihat suami yang hanya diam saja.Tiba-tiba saja Yuksel mendekat dan menaiki brankar ranjang. Bahkan sudah merebahkan diri di sisinya. Aruna masih menunjukkan ekspresi kaget."Mas, apa yang sedang kamu lakukan?"Yuksel bahkan menarik Aruna dengan pelan untuk berada di dekapan suami. Yuksel langsung memejamkan mata, tentunya Aruna bisa melihatnya."Dari pada memikirkan hal yang memusingkan. Lebih baik kita tidur.""Tapi ini masih siang," ocehnya."Biarkan aku tidur, aku sudah terjaga lama selama menjagamu."Aruna masih melirik suaminya. "Jadi, apa
Aruna langsung menatap suaminya kaget. "Kenapa aku harus menyukai kamu, Mas?""Ya, karena aku suka sama kamu.""Itu sangat tidak masuk akal!" serunya.Yuksel menyilangkan tangan di dada. Dia tatap istri yang nampak tidak senang. Padahal cinta dari dia sangatlah berharga. "Masuk akal, karena aku suami kamu. Memangnya ada yang kamu sukai selain suami?"Aruna menatap suaminya dengan tidak percaya. Sebenarnya dari mana sifat kepedean dari suaminya ini.Pandangan Yuksel melirik pada bibirnya. "Aku ingin cium kamu."Begitu mendengar ucapan dari Yuksel. Aruna langsung berbalik dan memunggungi suami. Yuksel sampai menyeringai karena diabaikan oleh istri.Yuksel ingin kembali menggoda istri, dia bangun dari duduk dan ingin mendekati ranjang. "Mba Tuti bagaimana keadaannya?"Namun, begitu mendengar pertanyaan dari Aruna. Niat Yuksel untuk menggoda pun langsung terhenti. Bahkan, dia memutuskan untuk kembali menghuni kursi dan duduk di sana."Tuti? Dia baik."Aruna menatap jendela dengan sediki
Mendengar ucapan dari Yuksel. Pandangan Aruna pun mulai terangkat. Benar, kenapa tidak terbesit secuil pun dalam pikirannya mengenai itu."Kamu selalu cemas ayahmu aku sakiti. Sekarang aku tahu siapa dan keberadaannya. Nampaknya kamu tidak cemas sama sekali," sindir Yuksel.Aruna tersenyum sinis. Matanya memandang langit-langit kamar. Perutnya saat ini semakin rata saja, karena telah kehilangan isinya."Aku tidak ingin memikirkan apa pun hari ini," ujarnya dengan mata mulai terpejam.Yuksel diam cukup lama. Memandang ke arah jendela yang sedang memunculkan adegan hujan. Kilatan petir samar terdengar, namun cahayanya membelah langit."Adrian sudah tahu."Mata Aruna kembali terbuka saat mendengar ucapan dari Yuksel. Bahkan kepalanya menoleh dengan cepat."Mas bercanda, kan?"Yuksel menatapnya lama. "Menurutmu, aku sedang bercanda begitu?"Mata saling bertatapan dengan suami. Tidak ada kebohongan sama sekali di pandangan suaminya. Aruna tak sanggup lagi menatap, ia turunkan pandangan.Ar
Ayah Aruna nampak mengemudi dengan ugal-ugalan. Tidak peduli diklakson banyak pengendara. Ayah Aruna memaksakan diri mendatangi rumah sakit tempat Aruna dirawat.Pria tersebut, tidak peduli jika bertemu Yuksel dengan identitas yang telah terbongkar. Fokus pria tersebut hanyalah pada Aruna. "Yuksel!"Yuksel yang semula menundukkan wajah dengan posisi duduk pada kursi tunggu. Perlahan, Yuksel mengangkat kepala. Mata menatap sosok ayah tiri Adrian yang nampak kehabisan napas."Bagaimana keadaan Aruna?"Bibir Yuksel menyeringai. Mangsa justru masuk ke kandang predator dengan kaki sendiri."Jangan diam saja! Bagaimana keadaan Aruna?"Pria ini nampak tidak sabar sama sekali. Yuksel melirik ke arah pintu kamar rawat Aruna yang ditutup rapat. "Kita bicara di tempat lain."Yuksel sudah berdiri dari duduk. Dia tidak ingin mengganggu Aruna yang tidur terbangun, kemudian dalam kondisi yang lemah malah memilih mengejar sang ayah.Mata Yuksel melirik ayah Aruna yang menurut mengikuti. Tanpa peras
Daris mengerjapkan mata. "Tunggu sebentar."Mata Daris menatap Yuksel serius. "Jadi, kalian berdua melakukannya karena ingin dan tidak terpaksa."Kepala Yuksel mengangguk. Daris mulai bertepuk tangan. "Wah! Sepertinya kalian berdua sudah di tahap saling nyaman, kemudian akan--"Yuksel melempar berkas acak ke arah Daris. "Bereskan berkasnya!""Loh, bukannya Tuan yang mengacaknya sendiri?"Mata Yuksel menatap tajam, membuat Daris menarik napas. Bukan Yuksel namanya jika tidak menyiksa orang.Daris membereskan tumpukan berkas yang jadi berserakan. Tatapan Yuksel tertuju pada sekretaris cukup serius."Aku tidak menaruh rasa pada Aruna. Aku hanya merasa kasihan saja padanya," ujar Yuksel memberi tahu.Namun, Daris diam-diam melirik. Padahal pria tersebut tidak menyinggung perihal perasaan Yuksel sama sekali. Hanya soal mereka yang mulai nyaman.Ekspresi Yuksel mulai terlihat serius kembali. Dia telah mengetahui keberadaan ayah Aruna. Hanya perlu memikirkan cara yang sempurna untuk menangk