"Jika saya boleh tanya, ke—kemana Ibu kalian?"
Dengan hati-hati, Amala menanyakan hal sensitif itu kepada Reza. Pasalnya, Amala benar-benar penasaran. Reza seolah sudah sangat ahli dalam mengurus anak kecil, bahkan, mengalahkan Amala yang notabenenya seorang Perempuan.
"Ibu kami sudah meninggal ketika melahirkan Habil," tukas Reza cepat sukses membuat Amala terkejut.
"Jadi ...."
"Iya. Selama ini Ayah emang enggak mau menikah lagi. Namun, Ayah mendadak cerita kalau Ayah mendapat amanah yang begitu besar. Ayah diberi amanah untuk menjaga seorang perempuan dengan cara menikahi perempuan itu. Saya awalnya memang kaget dan enggak bisa terima hal itu, tapi saya tahu kalau Ibu Amala ini orang baik," ujar Reza menjelaskan tanpa diminta oleh Amala sendiri.
Amala kehilangan hal apa yang ingin dia ceritakan. Namun menatap dua mata Reza yang berbicara begitu tulus itu sudah membuatnya yakin jika anak-anak Pak Rido begitu baik dan mau menerima kedatangan dirinya dalam hidup mereka.
"Lalu, bagaimana dengan usia saya yang seumuran dengan kamu, Reza. Apakah kamu tidak merasa aneh?" Amala mencoba menguatkan diri untuk tidak menumpahkan air matanya itu.
"Saya hanya bisa menerima segala hal yang menjadi takdir. Namun saya hanya berharap jika Ibu Amala bisa menerima kami terutama Ayah dengan baik dalam kehidupan Ibu Amala mulai saat ini hingga selamanya."
Amala bergeming. Air matanya itu pun sukses jatuh. Dia kemudian segera menghapusnya cepat. Haruskah dia mengatakan jika beruntung menemukan orang-orang baik? Keluarga Pak Rido benar-benar orang baik yang datang dalam hidupnya.
"Dulu, Ayah juga pernah bilang kalau Ayah enggak mau menikah lagi. Ayah trauma dengan kepergian Ibu saat melahirkan Habil tapi sekarang Ayah mencoba untuk melindungi Ibu Amala."
"Tapi, saya ini bahkan enggak bisa apapun. Saya hanya perempuan manja yang ditinggalkan oleh ...."
"Inilah yang dinamakan takdir." Reza kembali menukas cepat.
"Takdir bagi pikiran Ibu Amala sendiri karena menikah dengan seorang lelaki yang sudah menikah dan bahkan memiliki anak seperti Ayah. Saya juga awalnya enggak percaya akan punya Ibu sambung yang bahkan usianya lebih muda dari saya sendiri, tapi ternyata itulah yang dinamakan dengan takdir. Bukankah kita manusia hanya perlu menunaikan saja?"
Amala kembali bergeming.
Takdir. Amala terus memikirkan ucapan Reza sebelumnya.
Ada beberapa takdir yang memang tidak bisa dirumuskan dan dijawab dengan begitu cepat. Ada satu hal lain pula yang memberikan gambaran bahwa kenyataan hidup itu tidak selamanya berjalan sesuai dengan keinginan.
Amala segera mematikan ponselnya setelah membaca beberapa quotes tentang kehidupan dalam hidup. Ada banyak orang yang sudah menjalani masalah dalam hidupnya dan dia masih tidak apa-apa hingga saat ini. Namun haruskah dia juga mengatakan jika kini dia sedang meluapkan takdir dan masalah dalam hidupnya sekarang?
Reza. Anak Pak Rido itu terlihat begitu dewasa dari umurnya. Dia memiliki pikiran yang begitu membuat Amala tenang dan menerima kenyataan apapun dalam hidup mereka itu. Amala tahu jika ada banyak hal yang sedang terangkai dalam benak Reza. Telah lama kehilangan seorang ibu dia pasti begitu merasakan sakit.
Habil sendiri bahkan tidak pernah merasakan bagaimana memiiki seorang ibu dalam hidupnya itu menjadikan Habil seolah tidak tahu dengan apa arti dari memiliki sosok ibu seutuhnya. Ada ribuan hal yang kini berlari dalam benak Amala dengan begitu banyak.
"Assalamualaikum."
Amala tersentak dan sukses segera bangun dari baringannya ketika pintu kamar terbuka. Dia melihat Pak Rido yang telah pulang dari mengajar.
"Wa-waalaikum salam." Amala menjawab dengan perlahan. Dia melihat raut wajah Pak Rido yang begitu lelah. Beliau meletakkan tasnya di atas nakas dan perlahan melucuti satu persatu kancing baju dinasnya itu. Saat itu pula Amala segera menoleh ke arah lain.
Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Amala seolah sedang mencoba untuk tidak tenang. Haruskah dia keluar dari kamar setiap Pak Rido masuk dan berganti baju?
"Ada apa Dik Amala?" tanya Pak Rido yang ternyata sudah selesai mengganti bajunya dengan baju rumah. Amala menggeleng pelan seraya menggenggam ponselnya erat.
Pak Rido kemudian melempar senyum.
"Belum makan siang, kan? Ayo. Kita makan bareng," ujar beliau dengan begitu lembut. Amala segera menggeleng.
Amala terdiam sejenak, ada hal yang sebenarnya bermain dalam benaknya itu. Pak Rido memang begitu baik terhadap dirinya dan papanya dulu. Akankah Amala mencoba untuk menerima takdir yang sudah digariskan untuknya kini?
"Amala, kenapa malah melamun?"
Amala segera menggeleng pelan.
"Kapan saya bisa pulang, Pak?"
Pak Rido sejenak terkejut mendapati pertanyaan itu dari Amala. Namun beliau mencoba untuk tetap tenang.
"Kenapa, Dik? Apa yang membuatmu tidak nyaman berada di rumah ini?"
"Saya mau pulang, Pak. Tolong jangan tanyakan alasan apapun pada saya."
"Baik. Saya tidak akan melarang Dik Amala pulang asalkan dengan satu syarat," ucap Pak Rido seraya duduk di sisi kasur. Amala takut jika diberi syarat seperti itu namun dia juga tidak punya pilihan lain.
"Apa syaratnya?"
"Saya akan mengizinkan Dik Amala pulang dan tidur di rumah Tante Dik Amala, asalkan Dik Amala menerima saya sebagai suami Dik Amala dan tidak menuduh saya yang tidak-tidak. Dik Amala juga berhenti untuk terus memikirkan semua hal yang buruk terhadap pernikahan ini. Apa Dik Amala menerimanya?"
Amala bergeming. Itu tetap saja mengharuskan dia untuk menerima pernikahan ini. Amala sudah tidak punya pilihan lain. Dia akan menuruti saja apa yang diminta oleh lelaki yang telah menjadi suaminya ini.
"Baik. Saya akan coba melakukan itu. Namun Bapak harus janji untuk tidak melarang saya pulang."
"Tentu. Dik Amala juga tidak boleh melarang saya untuk ikut pulang bersama Dik Amala. Bagaimana pun, saya ini adalah seorang suami. Saya tidak akan membiarkan Dik Amala seorang diri di luar sana."
"Ikut saya?"
"Kenapa? Dik Amala keberatan? Kalau begitu, saya tidak akan mengizinkan Dik Amala pulang ke ...."
"O-oke, oke! Saya setuju!" Amala spontan menukas cepat. Pak Rido tersenyum mendengar perkataannya itu.
Amala benar-benar tidak punya pilihan lain. Dia lebih baik pulang ke rumahnya dibandingkan tinggal di rumah Pak Rido bersama anak-anaknya itu. Amala benar-benar tidak bisa melakukan apapun dengan leluasa.
"Ayo temani saya makan." Pak Rido bangkit berdiri.
"Tidak, Pak. Saya ...."
"Bukannya tadi baru saja membuat janji?"
Amala melenguh. Dia akhirnya menurut mengikuti langkah Pak Rido yang kini tersenyum senang. Dia akan mencoba meluluhkan Amala dengan segala cara.
***
"Dik Amala, boleh minta tolong?"
Amala menoleh melihat ke arah pintu di mana Pak Rido berdiri di sana. Ada hal yang seolah sedang berusaha Pak Rido harap dari istrinya itu.
Amala yang sedang sibuk berbaring di kasur hanya melihat saja dengan heran. Apa yang diminta Pak Rido malam-malam seperti ini?
"Tolong bantu Kanaya kerjakan pr-nya, ya." Pak Rido berkata kemudian.
"Tapi, Pak?"
"Dik, kamu sudah bilang setuju bukan?"
Amala hanya bisa menggerutu dalam hati. Dia akhirnya menyerah dan segera keluar dari kamar. Pak Rido mengatakan jika Kanaya berada di kamarnya sekarang sehingga Amala segera berlalu ke sana.
Anak itu ternyata memang sedang menunggu Amala datang. Dia terlihat begitu senang melihat Amala masuk ke kamarnya itu. Ditariknya tangan Amala dan membawanya ke meja belajar. Amala berharap dia akan nyaman demi pulang ke rumahnya besok.
"Setiap malam, Abang yang bantu Kanaya kerjakan pr, tapi sekarang sudah ada Ibu. Kanaya senang sekali!" sorak Kanaya.
Amala hanya memberikan senyum hangatnya itu. Dia pun dengan baik dan lembut mencoba mengajarkan Kanaya setiap kali gadis itu kesulitan mengerjakan soal matematikanya itu. Amala terlalu fokus akhirnya hingga dia tidak menyadari jika diam-diam Pak Rido melihatnya dari muka pintu. Ada harap yang muncul yaitu Kanaya yang perlahan menerima pernikahan ini seutuhnya.
"Baik. Saya akan menerima syarat itu." Perkataan Amala tersebut masih menari dalam benak beliau. Lagi-lagi Pak Rido tersenyum lembut.
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
"Masih untung saya menerima kamu di sekolah ini! Kamu masih banyak tanya, hah! Kalau kamu saya tolak, nilai segini saja kamu tidak akan punya! Anak kemarin sore so-soan mau mengajari saya! Tidak tahu malu!"Amala bergeming. Dia tidak sadar kini, mengepal kedua tangannya dengan kuat. Gemetar."Keluar!"Amala tidak bisa lagi mempermalukan dirinya. Dia segera keluar. Ada isak tangis yang akan pecah namun sebisa mungkin berusaha menahan diri.Dia tidak lekas menemui Pak Rido suaminya itu selain kini segera ke toilet. Duduk di sana mencoba melepaskan semua hal yang membuatnya terpikat.Amala terkadang kian heran, apa yang sebenarnya Rahmi itu inginkan padanya. Bukankah seharusnya masalah pribadi tidak dikaitkan dengan hal yang ingin dia capai sekarang? Bagaimana bisa dia menjelaskan pada dosennya terkait nilai yang begitu buruk diberikan oleh pihak sekolah.Amala hanya takut, jika orang kampus juga akan mengira dia melakukan suatu hal yang jahat di sekolah ini, meskipun kenyataan Amala sam
"Pepes ikannya enak lho, Bu. Ayah emang pintar masak, hehe!" Dia terkekeh lucu di sana yang semakin membuat Amala merasa trenyuh, sedih dan kasian karena Kanaya harus ikut dalam masalah ini.*Amala memandang lekat anak-anak dengan tatapan yang sedih. Hari ini, dia tidak bisa percaya adalah hari terakhir bertemu dan mengajar anak-anak di kelas lima itu.Ada hal puas yang hinggap dalam hatinya. Dia puas dan senang karena bisa mengajar walaupun hanya sebentar. Dia juga merasa puas karena berhasil menjadi seorang pendidik yang mereka inginkan. Meskipun kini amala akan merasa sedih karena harus meninggalkan mereka karena telah selesai masa penelitiannya itu.Dia hanya melepas anak-anak dengan berpelukan hangat. Amala bahkan sengaja tidak mengatakan apapun pada mereka terkait dirinya yang tidak akan pernah masuk lagi ke kelas lima itu, namun begitu kelas telah usai, seperti biasa hanya Andi yang tertinggal, Amala pun berniat untuk mengatakan padanya saja."Andi harus menjadi anak yang puny
"Mas, ada apa?""Mas hanya ingin memeluk istrinya Mas sekarang. Apa boleh?""Kenapa mendadak seperti ini, Mas? Apa ada yang Mas pikirkan?" Amala sebenarnya sudah tahu apa yang membuat suaminya itu terlihat berbeda kini. Namun dia tidak lekas mengatakannya dengan segera.Pak Rido menyudadi dekapannya kemudian menatap Amala cukup lama. Lama sekali, hingga Amala merasa malu sendiri."Ada apa, Mas?""Dik Amala sudah menerima saya, kan?""Tentu. Kenapa Mas masih bertanya?""Bolehkah jika saya meminta Dik Amala untuk mencintai sepenuh hati Dik Amala? Apakah ada seseorang yang lain dalam hati Dik Amala sekarang?"Amala tidak berkata kini. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh suaminya sekarang? Haruskah dia mengatakan jika itu adalah suatu hal yang sebenarnya besar.Amala tahu, jika sekarang Pak Rido sedang cemburu pada Adlan."Kenapa Mas enggak beritahu saya kalau sudah pernah bertemu dengan Adlan?" Amala mengalihkan pembicaraan kini."Kenapa Dik Amala harus bertanya hal itu?""Mas cemburu pa
"Amal, kamu kenapa mendadak takut begini?" Adlan menukas cepat. Amala terhenyak. Diam seketika.*Mobil kini bergerak perlahan. Masih tidak ada kata yang keluar dari bibir Amala semenjak pergi. Pak Rido sendiri sejenak menoleh dan melihat dengan harap-harap cemas. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknya itu namun tidak segera ingin mengungkapkan cepat.Pak Rido tahu jika kini ada hal yang tidak beres sedang dipikirkan oleh istrinya itu.Amala tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada."Dik, kamu kenapa diam saja?""Enggak, Mas. Cuma memikirkan masalah Kanaya saja.""Tidak apa. Kanaya sudah membaik, kok. Dik Amala tidak perlu terlalu cemas, ya."Amala mengangguk tersenyum. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain kembali diam. Dia hanya berharap suaminya itu tidak terlalu menggubris apa yang sudah Adlan katakan sejak tadi.*"Ibu Amala!" Kanaya, gadis kecil itu kini berlabuh dalam dekapan Kanaya. Tidak ada kata yang keluar darinya setel
"Amala, kamu tahu kapan waktunya."Rahmi, berujar tajam dan menatap dengan tatapan penuh kebencian.*Makanan cukup menggugah selera, belum lagi dengan rasa lapar yang sudah menghadang, Amala, dan suaminya Pak Rido kini menikmati hidangan makan siang mereka dengan nyaman.Amala tahu, sedari tadi menikmati makanannya itu dia terus merasa jika Pak Rido terus menatap dengan hikmat. Tidak ada yang keluar namun Amala hanya terkekeh sejenak."Apa yang Mas lihat?" Dia bertanya kemudian."Tidak. Hanya ingin memastikan Dik Amala menikmati makan siang ini. Enak, kan?""Iya. Kenapa Mas enggak pernah mengajak saya ke sini, ya?""Hehe. Maaf ya, Dik. Mas tidak bisa pulang dengan begitu cepat.""Haha, kenapa Mas menanggapi serius? Saya hanya bercanda. Saya tahu kok, Mas pasti sangat sibuk sekali, kan?""Tidak. Mas tahu kok Dik Amala juga sekalian curhat."Amala kini tertawa kemudian.Keduanya terus larut dalam pembicaraan mengenai mengajar Amala, hingga kemudian penuturan mereka sejenak terputus ket
"Ada satu orang lagi yang harus saya temui, Dik."Amala menoleh cepat. "Siapa, Mas?""Dik Amala tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Besok, Dik Amala akan kembali ke sekolah, kan? Lebih baik pikirkan hal apa yang Dik Amala perlukan untuk besok mengajar. Oke?" Pak Rido berkata seraya membelai lembut wajah istrinya itu.Amala bahkan baru teringat jika besok dia sudah harus masuk sekolah kembali. Dia memiliki kesempatan dua Minggu lagi untuk selesai penelitian Hinga harus kembali ke kampus.Ada beberapa hal yang membuatnya berpikir bahwa dia memang tidak pernah mengira akan secepat itu selesai."Dik Amala pasti sudah merindukan anak-anak, kan?""Iya. Aku sangat rindu mereka Mas. Besok, walaupun kaki saya masih belum sempurna sembuh saya akan tetap datang. Saya ingin segera menyelesaikan kuliah ini.""Bagus. Lalu, Dik Amala tidak perlu memikirkan hal yang sama sekali tidak penting itu. Oke?"Amala mengangguk pasti. Siapapun orang yang berpikir buruk terhadapnya itu dia akan berharap j
"Saya Rido, suami Amala. Bisa kita bicara sebentar?" Adlan bergeming."Bicara apa? Saya sedang begitu sibuk karena kebetulan hari ini saya yang bertugas untuk berdiri di kasir, jadi ....""Nak. Hanya bicara sebentar saja." Pak Rido menukas cepat. Adlan sukses menegang mendengarkan panggilan nak yang keluar dari mulut suami Amala itu.Adlan kemudian tersenyum ketus. Merasa cukup rendah di hadapan lelaki yang sudah lama ingin dilihat olehnya."Bisa bicarakan di sini saja, Pak Rido?" Adlan bertanya dengan nada menyindir kini."Baiklah." Pak Rido membuang napas gusar. "Apa yang sudah kamu katakan pada Amala kemarin?"Adlan terkejut. "Apa maksud, Pak Rido?""Nak, tolong jangan bertele-tele. Kamu tahu, kamu sudah menganggu kenyamanan rumah tangga saya dengan istri saya."Adlan mendadak tertawa kini. "Pak Rido menyalahkan saya dengan masalah keluarga Bapak sendiri? Seharusnya Bapak yang instrospeksi diri untuk melihat sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kenapa datang kemari dan menyalahkan