"Jangan berjalan sambil melamun!"
Suara bariton itu memecah keheningan jalanan yang sepi. Aruna tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh, mendapati Raynar berdiri di sampingnya, tatapannya tajam namun penuh misteri. 'Kenapa Pak Raynar bisa ada di sini?' batin Aruna, matanya menelisik sekeliling, mencari jawaban yang tak terlihat.
"Astaga?!" serunya, terkejut dengan kehadiran Raynar yang tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Raynar, melihat kebingungan di wajah Aruna.
"Ti-tidak," jawab Aruna gugup. "Emmm, bagaimana Anda bisa sampai di sini, Pak?" tanyanya hati-hati, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Daerah ini dekat dengan rumah keluarganya, sementara kediaman Raynar berada di kawasan elit yang jauh dari sini.
Raynar memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, tatapannya dingin namun penuh pesona. "Tentu saja, saya datang untuk menagih janji Anda," jawabnya datar, suaranya mengalun seperti beludru.
DEG.
Jantung Aruna berdebar semakin kencang. Ia ingat perjanjian itu, tawaran yang menggoda namun penuh risiko. Pikirannya kosong, kata-kata yang sudah ia susun rapih menghilang begitu saja.
"Bagaimana? Apa Anda sudah memikirkan tawaran saya?" tanya Raynar, berdiri tepat di depannya, tatapannya mengunci mata Aruna.
'Pliss, Aruna, jangan biarkan ketampanannya mengalihkan perhatianmu!' batin Aruna, berusaha keras untuk tetap fokus. Ia memejamkan mata sejenak, mencari kekuatan untuk menjawab. "P-Pak Raynar, sebelum saya menerima tawaran ini, apa saya boleh mengajukan beberapa syarat?"
"Syarat?" tanya Raynar, alisnya terangkat.
'Ya Tuhan, kenapa aku mengucapkan itu?' batin Aruna menyesal. Ia merasa bodoh, berani-beraninya mengajukan syarat kepada atasannya.
Raynar terdiam sejenak, tatapannya menyelidik. Aruna merasa seperti sedang diinterogasi, setiap gerak-geriknya diamati dengan seksama.
"Syarat apa?" tanya Raynar akhirnya, suaranya dingin namun penuh minat.
Aruna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, ini adalah kesempatan langka, namun ia juga sadar, ia harus melindungi dirinya sendiri.
Pertama," ucap Aruna, suaranya bergetar namun tegas, "hubungan ini hanya sebatas kerja sama. Tidak ada perasaan pribadi yang terlibat."
Raynar tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya yang sedingin es. "Tentu saja," jawabnya, suaranya datar, memecah keheningan malam yang sunyi. "Itu sudah jelas dari awal."
Aruna mengangguk, merasa lega di tengah dinginnya malam. "Kedua," lanjutnya, "saya ingin ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan profesional. Saya ingin hubungan ini nanti tetap dirahasiakan dari orang kantor."
"Itu juga masuk akal," kata Raynar, mengangguk setuju, "Saya tidak ingin kehidupan pribadi kita mengganggu pekerjaan."
"Ketiga," ucap Aruna, suaranya semakin mantap, memecah keheningan malam yang dingin, "saya harap, anda bersedia untuk menyembunyikan identitas asli anda nanti, ketika bertemu dengan keluarga saya!"
Raynar terdiam sejenak, tatapannya berubah menjadi serius. "Kenapa?" Singkatnya penasaran, suaranya memecah kesunyian malam.
"Saya tidak ingin anda terlibat terlalu dalam dengan keluarga saya!" Sahut Aruna beralasan. Andai mereka tau siapa Raynar sebenarnya, Aruna takut Raynar akan di manfaatkan oleh mereka. 'Sepertinya ... Memang ini adalah jalan terbaik!' batinnya.
Raynar mengerutkan keningnya, melihat dari ekspresi Aruna, Raynar merasa ada yang gadis itu sembunyikan. Tapi tidak mungkin juga ia bertanya lebih lanjut, takut membuat Aruna tidak nyaman. "Baiklah," akhirnya ia mengangguk, setuju dengan semua syarat yang di ajukan oleh Aruna, "besok saya akan mengirimkan kontrak kerja sama ini!"
Aruna mengangguk, ia akhirnya merasa lega. "Baiklah," ucap Aruna, menarik napas dalam-dalam. "Saya menerima tawaran Anda."
Raynar tersenyum tipis, senyum yang penuh kemenangan di bawah cahaya bulan yang pucat. "Bagus," katanya, suaranya mengalun seperti musik, memecah kesunyian malam. "Kita akan mulai besok."
Setelah mengatakan kalimat itu, Raynar mulai melangkah membuat Aruna bingung dan terdiam di tempatnya seraya menatap punggung Raynar yang telah berdiri beberapa meter darinya di bawah cahaya lampu jalan yang remang-remang, 'Pak Raynar kenapa malah jalan ke sana?' batinnya.
"Kenapa kamu berdiri di sana? Tidak ingin pulang?" Tanya Raynar menyadari Aruna masih berada di tempatnya.
"Bukan begitu, Pak," sahut Aruna, seraya melambaikan tangan di depan dadanya tanda jika dirinya tidak berniat untuk kembali ke kantor malam-malam begini.
Raynar berdiri menatap Aruna dengan sebelah alis yang terangkat, seolah bertanya kenapa Aruna tidak kunjung beranjak?
"Anu, itu ... Apa anda tidak pulang, Pak?" Tanya Aruna terbata, tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Pulang," singkat Raynar, suara beratnya menambah dingin suasana di malam itu. "Tapi, saya akan mengantar mu pulang terlebih dahulu!"
"Hah?!" Aruna terkejut mendengar jawaban dari Raynar. Demi apa? Pak Raynar akan mengantarku pulang? Batinnya tidak percaya. Matanya melebar dan bibir yang sedikit terbuka, menambah kesan menggemaskan di wajah Aruna yang terlihat awet muda di usianya yang menginjak 30 tahun.
"Ehemmm," deham Raynar, mengalihkan pandangan dari wajah Aruna yang terlihat berbeda di malam ini. "Mau pulang, atau kembali ke kantor? Ada banyak kerjaan saya yang-" ucap Raynar, memecah lamunan Aruna. Ia tidak tenang jika harus membiarkan Aruna pulang sendiri, mengingat hari sudah semakin larut.
"Pulang, Pak!" Sahut Aruna, buru-buru ia memotong kalimat Raynar, sebelum pria itu memberinya pekerjaan lagi. Bisa gawat kalau atasannya ini tiba-tiba menyuruhnya untuk kembali ke kantor dan lembur mendadak. Mengingat bagaimana sikap Raynar yang biasanya sering menyuruhnya lembur saat pria itu memiliki pekerjaan yang belum selesai di kantor.
Aruna segera melangkahkan kakinya dengan cepat, melewati Raynar yang masih saja menatapnya dengan tatapan dingin. Tanpa Aruna sadari, Raynar tersenyum kecil ketika melihat dirinya yang terburu-buru melewatinya, seperti seekor ayam yang takut di mangsa oleh buaya.
***
"Huftttt," desis Aruna, lega. Setibanya di area lobi hotel yang mewah dan ramai, ia segera melarikan diri dari Raynar dengan alasan klise yang terdengar masuk akal: kamar mandi. Itu adalah satu-satunya tempat yang terlintas di benaknya untuk menenangkan diri dan memproses apa yang baru saja terjadi.Di dalam kamar mandi, ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak memerah. "Sadar, Aruna," gumamnya lirih, mencaci dirinya sendiri. "Ini hanya sebatas hubungan kerja sama." Kata-kata itu ia ucapkan berulang kali, berharap bisa menenangkan debaran jantungnya yang masih belum normal. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap rona di wajahnya segera mereda. Kecupan yang tak disengaja itu terasa seperti jejak panas yang tak bisa dihapus, membuatnya merasa malu dan canggung.Setelah yakin penampilannya telah kembali seperti biasa dan debaran jantungnya normal, Aruna memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Sudah cukup lama ia bersembunyi. Ia berharap Raynar sudah terlebih d
Cekrikkkk.Suara jepretan kamera, diikuti kilatan cahaya flash, memecah keheningan kantor catatan sipil. Aruna tersentak, jantungnya berdegup kencang. Di tangannya, tergenggam buku nikah berwarna merah, simbol pernikahan kontraknya dengan Raynar, sang atasan. Semua ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata, terlalu cepat, mengubah hidupnya dalam sekejap.Aruna dan Raynar berjalan berdampingan keluar dari gedung, buku nikah itu menjadi saksi bisu perubahan status mereka. Raynar tersenyum tipis, matanya melirik sekilas foto mereka di dalam buku itu. 'Ahhh... sepertinya aku sudah gila,' batinnya, suara hatinya berbisik di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri.Berbeda dengan Raynar yang tampak tenang, Aruna dilanda badai emosi. Ia mencubit lengannya sendiri, berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan ilusi. "Shhhh," desisnya lirih, rasa sakit di lengannya membuktikan bahwa ini nyata."Ada apa denganmu?" tanya Raynar, suaranya memecah lamunan Aruna.Aruna menoleh, matanya menatap Rayn
Keesokan harinya, Aruna tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya. Ada tumpukan pekerjaan yang menanti, tapi pikirannya melayang pada satu hal: pertemuan dengan Raynar. 'Bagaimana cara menyampaikan permintaan ini nanti?' batinnya bergejolak, keraguan dan kecemasan menari-nari di benaknya.Saat jam kantor dimulai, Aruna sudah tenggelam dalam pekerjaannya, jemarinya lincah menari di atas keyboard laptop. Tak lama kemudian, Raynar muncul, diiringi asistennya, disambut sapaan serentak dari seluruh karyawan divisi."Pagi, Pak!" suara mereka menggema di ruangan luas itu.Raynar hanya mengangguk singkat, tatapannya dingin dan acuh tak acuh. Pemandangan ini sudah menjadi rutinitas, menyaksikan ketampanan dan aura dominan Raynar. Namun, di balik kekaguman itu, terselip rasa takut. Mereka tahu, kemarahan Raynar bisa meledak kapan saja, menghancurkan ketenangan yang rapuh."Aruna, ikut ke ruangan saya!" perintah Raynar, suaranya sedingin es, tanpa menghentikan langkahnya yang mantap.DEG.Jan
"Siapa yang kau anggap pria liar, hmm?!" Mata elang Raynar menyipit, menatap Meida dengan tatapan tajam yang menusuk. Rahangnya mengeras, otot-ototnya menegang, menahan amarah yang bergejolak di dalam dirinya. Hinaan Meida terhadap Aruna, wanita yang kini berdiri di sampingnya, membuatnya murka.Aruna, yang merasakan aura kemarahan Raynar, mencengkeram lengan pria itu dengan cemas. Ia takut, sangat takut, jika amarah Raynar akan meledak, menghancurkan ketenangan malam itu.Meida, seolah tak gentar sedikit pun, menatap Raynar dengan tatapan tak kalah tajam. Ada campuran antara intimidasi dan penghinaan di matanya, merendahkan Raynar yang dianggapnya sebagai pria rendahan yang memelihara Aruna. 'Memang tampan,' batin Meida, matanya menelisik Raynar dari ujung kepala hingga ujung kaki, 'tapi sayang, hanya pria liar.'"Kenapa melihatku seperti itu?" ketus Meida, suaranya sinis, memecah keheningan malam. "Memang pasangan yang serasi, sama-sama rendahan," gumamnya, bibirnya melengkung sinis
Aruna yang lelah setelah seharian bekerja, sesampainya di rumah ia sudah di sambut dengan makian oleh Meida, nenek tirinya."Lihat, sudah jam berapa ini?!" Teriak Meida melihat Aruna baru saja masuk membuka pintu, bahkan gadis itu belum sempat melangkahkan kaki dan masih berdiri di ambang pintu, "Perusahaan mana yang mempekerjakan karyawannya hingga hampir tengah malam seperti ini? Atau jangan-jangan ... Selama ini uang yang kmu berikan kepada kami berasal dari pekerjaan yang tidak benar?!" Ucap Meida memojokkan Aruna."IBU?!" Dengan suara yang sedikit meninggi, Dario berusaha untuk menghentikan kalimat Meida yang pedas."Kamu berani membentak ibu demi membela anak ini?" Tanya Meida kesal."Dia juga anak ku, bu!" Sahut Dario, ia menatap sekilas ke arah Aruna. Melihat perlakuan Meida terhadap Aruna, ia merasa sangat bersalah. Merasa tidak bisa melindungi putri dan juga istrinya, karena istrinya juga pasti sakit hati mendengar bagaimana ibunya mencaci Aruna."Anak? Anak dari mana? Dia t
"Jangan berjalan sambil melamun!"Suara bariton itu memecah keheningan jalanan yang sepi. Aruna tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh, mendapati Raynar berdiri di sampingnya, tatapannya tajam namun penuh misteri. 'Kenapa Pak Raynar bisa ada di sini?' batin Aruna, matanya menelisik sekeliling, mencari jawaban yang tak terlihat."Astaga?!" serunya, terkejut dengan kehadiran Raynar yang tiba-tiba."Ada apa?" tanya Raynar, melihat kebingungan di wajah Aruna."Ti-tidak," jawab Aruna gugup. "Emmm, bagaimana Anda bisa sampai di sini, Pak?" tanyanya hati-hati, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Daerah ini dekat dengan rumah keluarganya, sementara kediaman Raynar berada di kawasan elit yang jauh dari sini.Raynar memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, tatapannya dingin namun penuh pesona. "Tentu saja, saya datang untuk menagih janji Anda," jawabnya datar, suaranya mengalun seperti beludru.DEG.Jantung Aruna berdebar semakin kencang. Ia ingat perjanjian itu, tawaran