Share

Istri Gendut: Kesempatan Kedua Dengan CEO Lumpuh
Istri Gendut: Kesempatan Kedua Dengan CEO Lumpuh
Author: Disi77

1. Menantu Gendut

“Ternyata ada gunanya juga Mas Ryan piara babon di rumah ini.”

Langkah Yuna terhenti ketika mendengar celetuk sang adik ipar. Wanita yang berubah jadi gendut usai menikah itu begitu kaget mendengar julukan yang disematkan padanya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, sang ibu mertua justru tidak memarahi anaknya yang telah menghina Yuna–menantu satu-satunya.

“Hust! Jangan kenceng-kenceng! Nanti kakak iparmu denger!”

“Babon itu sudah pergi, Ma.” Lagi, suara iparnya itu begitu santai terdengar menyebutnya babon–hewan primata yang bertubuh gemuk.  “Untung aja masakannya enak dan dia anak orang kaya, jika nggak mana sudi aku bersikap baik padanya.”

 

“Sudah nikmati aja makanan ini dan jangan usik wanita bodoh itu!”

Selama ini, di hadapan Yuna … mertua dan adik iparnya begitu baik. Mereka selalu mau berbagi makanan, tidak pelit seperti cerita-cerita rumah tangga dalam novel. Namun saat ini, ia bak disadarkan realita … kalau hidupnya memang benar-benar seperti dalam novel. Disayang untuk perihal uang, dan dihina berkat penampilan fisiknya.

Yuna tak pernah protes pada sang suami–Ryan perihal keluarganya yang ikut tinggal di rumah ini, rumah atas namanya. Tadi pagi bahkan, Ia baru saja memberikan uang sebesar lima juta untuk mertuanya dengan dalih biaya arisan, juga belanja bulanan. Lantas, beginikah balasan mereka pada kebaikannya?

Tak tahan terus bersembunyi, Yuna pun akhirnya keluar dan menghampiri ipar juga mertuanya. Mereka yang sedang memakan dengan lahap itu pun terkesiap.

“Y-yuna? K-kamu belum berangkat, Nak?” ujar mertuanya gagap.

Sementara iparnya, tetap memasang wajah tenang meski telah ketahuan bermuka dua. “Apa ada yang ketinggalan, Kak?"

“Aku lupa bawa contoh vitamin yang ingin kubeli.” Wanita itu beralasan, kemudian melangkah dengan segera menuju kamarnya.

Di sana, Yuna menangis sembari menatap cermin. Ia melihat perubahan wujudnya dengan saksama.

Memang, sekarang ia begitu berbeda dengan dirinya yang masih gadis. Tubuhnya dulu begitu ideal,  cenderung berisi di tempat-tempat yang seharusnya. Wajahnya, dulu cantik dan tanpa noda.

Sekarang … semua itu berganti. Tubuhnya penuh gelambir lemak. Wajahnya tampak lebih kusam, meski tanpa jerawat. Bahkan, di beberapa lipatan tubuh … kulitnya tampak lebih menghitam.

“Mereka benar, aku seperti babon,” katanya dengan sedih.

Bobotnya memang terus merangkak usai menikah. Ia pernah berujar ingin diet, tetapi Ryan terus melarang dengan dalih tidak ingin dirinya tersiksa.

Tiap kali ia mengeluh tentang dirinya yang terus bertambah berat, suaminya langsung memeluk dan berujar, “Itu artinya kamu bahagia nikah sama aku. Buktinya kamu makin subur.” Sebuah kecupan tak ketinggalan mendarat di pipi, membuat Yuna semakin terlena dengan kegemukannya.

Namun, ada hal yang ia luput. Usai bobotnya terus bertambah, suaminya jarang sekali menyentuhnya. Hanya sentuhan-sentuhan ringan seperti pelukan kala tidur, atau kecupan ketika berangkat dan pulang kerja.

Tidak ada lagi pandangan bergairah, apalagi lenguhan-lenguhan panjang di malam-malam tertentu seperti saat mereka pengantin baru. Gairah sang suami seolah sirna, bersama dengan sirnanya tubuh Yuna yang ideal.

“Apa ini yang membuat Mas Ryan tidak lagi menyentuhku?”

Namun, semua masih hanya berdasarkan asumsinya. Dari semua hal, yang baru terbukti adalah mertua dan adik iparnya yang bermuka dua. Tidak adil rasanya jika Yuna melabeli sang suami pun turut mengkhianatinya tanpa bukti.

Yuna menghapus air matanya, lalu duduk di depan meja rias. Ia membuka peralatan make up yang sudah lama tak ia sentuh. Perlahan, ia hias wajahnya tipis-tipis. Bukan untuk terlihat menor, tetapi agar cukup terlihat segar.

“Aku akan membuat kejutan untuk Mas Ryan.”

Dengan senyum yang sudah terpatri di wajah cantik nan gembilnya, Yuna perlahan menemukan lagi rasa percaya dirinya yang sempat hilang. Tak apa jika mertua dan iparnya menganggapnya buruk, tapi yang terpenting adalah penilaian sang suami padanya.

Usai siap, Yuna pun meraih botol vitamin yang memang sudah kosong–yang tadi ia sebut sebagai alasan di depan mertua juga iparnya. Saat kembali melewati ruang makan, suasana yang sebelumnya ramai kini sunyi. Hanya ada suara denting sendok-garpu beradu dengan piring.

Tatapan terkejut terlihat dari kedua wanita sedarah itu kala melihat Yuna yang nampak agak berbeda.

“Kamu bukannya mau ke apotek, Yun?”

Yuna menghentikan langkahnya, lalu tersenyum menatap sang mertua yang bertanya. “Iya, Ma. Sekalian mau mampir antar bekal Ke Mas Ryan. Kenapa?” tanyanya.

Mertuanya menggeleng. “Nggak apa-apa. Tumben aja lihat kamu dandan. Ya sudah, hati-hati di jalan,” ujar mertuanya, sementara iparnya tak acuh dan sibuk menikmati makanan.

Tiba-tiba, sebuah ide terbesit dalam pikiran Yuna. Ia pun melirik sang adik ipar dan berujar sarkas, “Pelan-pelan makannyal. Aku tau masakanku enak. Tapi, kalau kamu makan begitu, kamu jadi seperti babon yang rakus.”

Kemudian, adik iparnya terbatuk mendengar sindirannya. Sementara, Yuna melenggang riang, sedikit puas sebab telah membalas mulut nyinyir mereka.

***

Sesampainya di apotek, Yuna memberikan botol vitamin yang biasa dikonsumsinya. Apoteker tersebut terlihat membolak-balik botol itu dengan raut wajah kebingungan.

“Maaf, Bu. Kayaknya ini bukan vitamin, deh.”

Kening Yuna spontan mengerut dalam mendengar penuturan seorang apoteker di hadapannya. “Maksudnya, Mbak??”

Tiba-tiba apoteker itu melepas stiker bertuliskan vitamin kesehatan yang menempel pada botol tersebut. Kemudian berjalan ke arah lemari kaca sebelah kanannya dan mengeluarkan satu botol yang serupa.

 

“Coba lihat dua botol kemasan ini, Bu!”

 

Tentu saja Yuna langsung menurutinya dan meneliti lebih jelas. Bentuk dan desainnya sama. Kemudian ia meneliti lagi merk dan fungsi botol dari si apoteker.

 

“Untuk menambah berat badan?” Yuna membacanya sedikit lantang, lalu langsung menatap apoteker itu bingung.

 

Apoteker itu mengangguk. “Jika, Ibu ragu. Bisa buka isinya dan bandingkan pil di dalamnya. Tapi, mohon maaf harus dibayar dulu, karena kemasannya masih segel,” jelasnya lagi.

 

Rasa penasaran Yuna meninggi. Ia yakin apoteker itu keliru. Bukankah bentuk botol obat itu banyak yang sama bentuknya?

 

Bukan itu saja, mana mungkin suaminya berani menipunya. Untuk apa Ryan memberikannya obat penggemuk badan? Berbagai praduga muncul dalam benaknya, hingga ia memutuskan membuka segel obat tersebut demi mengobati rasa penasarannya.

 

Kedua bola mata Yuna langsung membulat sempurna. Bentuk pil sama dan tak ada bedanya. Pikirannya terasa bercabang.

 

“J-jadi, aku mengonsumsi pil penambah berat badan selama lima tahun?” Nada suara Yuna bergetar. Ia tak habis berpikir kalau sang suami tega membohonginya selama ini. Kalau dihitung, kenaikan berat badannya secara drastis memang dimulai ketika ia menikah dengan Ryan.

Nafsu makannya kemudian semakin membuncah usai meminum vitamin abal-abal dari suaminya. Bodohnya, ia yang sebenarnya dokter itu tak mengecek kembali keaslian juga kandungan obat tersebut.

Seluruh ilmu kehati-hatiannya, juga kemampuannya menganalisa ketika menjadi dokter seketika hilang, hanya dengan satu alasan … Ryan. Cintanya pada pria itu telah membutakan mata Yuna dari hal apa pun. Kepala Yuna mendadak berdenyut hebat. Tubuhnya hampir tumbang.

“Ibu baik-baik saja?” Apoteker itu langsung keluar dari rak kaca yang membatasi mereka. Ia menghampiri Yuna yang masih memegangi kepalanya.

“Aku tidak apa-apa, Mbak. Hanya terlalu kaget,” sahutnya mengatur deru napas.

Apoteker itu mengangguk. Kendati begitu, ia tak langsung meninggalkan Yuna. “Sebaiknya Ibu ke rumah sakit dan memeriksakan kesehatan. Saya khawatir, obat tersebut menimbulkan efek samping karena telah digunakan jangka panjang.”

Deg! Yuna kembali terkejut. Lagi-lagi, pikirannya yang lamban itu tidak berpikir panjang. Apa yang dikatakan apoteker itu mungkin saja benar, sebab beberapa bulan ini ia memang lebih mudah merasa lelah. Kulitnya sering kali gatal, dan kepalanya pun jadi sering sakit tanpa sebab.

Yuna mengukir senyum pada sang apoteker dan lekas membayar obat yang ia buka tadi sebelum akhirnya meninggalkan apotek.

Dalam mobilnya yang telah meninggalkan pelataran apotek menuju kantor sang suami, pikiran Yuna terus dibayang-bayangi pertanyaan.

“Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Mas? Apa tujuanmu?”

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Disi77
makasih, kak ...
goodnovel comment avatar
anna dharta
Keren kak, Aku mampir ya
goodnovel comment avatar
Disi77
Terima kasih, Kak ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status