"Ren, tolong ke ruanganku sebentar. Bawakan berkas untuk ditandatangani," kata Alvin pada sekretarisnya itu.
"Sekalian, berkas untuk seminggu kedepannya," lanjut Alvin lagi.Pintu terbuka, wangi parfum yang sangat dikenal Alvin, lebih dulu sampai di indera penciumannya. Itu tanda yang datang adalah sang sekretaris.Sudah seminggu sejak kematian ayahnya, dan Rena baru masuk kembali setelah mengambil cuti. Alvin sudah sangat merindukannya, hingga mengambil kesempatan untuk segera bertemu dengan wanita yang sebenarnya masih mempunyai tempat dihatinya itu.Tapi Rena sudah berubah penampilannya. Tidak ada lagi Rena dengan blazer dan rok pendeknya, rambut yang sering berganti model. Kadang lurus, kadang bergelombang itu, sekarang diikat rapi.Alvin takjub melihatnya, Rena sangat cantik sekali dengan balutan baju dan celana panjang yang menutup tubuhnya.-Ah, Rena. Andai saja dulu kamu tidak menolakku, mungkin saat ini, aku adalah laki-laki paling beruntung di dunia ini.- Batin Alvin.Lelaki ini hanya diam sambil terus memandang ke arah Rena."Ini berkas yang harus ditandatangani. Tapi kenapa yang untuk seminggu ke depan juga harus dibawa sekarang?" tanya Rena pada bosnya ini.Alvin tidak juga menjawab pertanyaan Rena. Dia masih dengan pandangan tak percaya melihat Rena yang sekarang."Mas ... Hallo ..." Rena melambaikan tangannya dihadapan Alvin.Alvin tersadarkan oleh gerakan tangan Rena itu. Dia pura-pura sibuk memeriksa berkas yang diberikan oleh Rena."Kenapa? Aku jelek seperti ini?" Rena bertanya pada atasannya itu.Mereka memang sangat dekat bahkan sering bercanda. Tidak ada batasan antara atasan dan sekretaris. Hal itu yang membuat Rena betah bekerja di perusahaan milik keluarga Alvin.Alvin emang terkenal dekat dengan bawahannya, tidak hanya dengan Rena, tapi kepada semua para karyawan yang ada di kantornya."Cantik ... Cantik banget." Tanpa bisa berbohong Alvin mengungkapkan isi hatinya."Gombal. Bilang aja jelek. Lantas kenapa tadi melihat aku seperti itu? Pasti karena Mas pikir aku tidak pantas seperti ini yah?" Tanya Rena, sambil sedikit ngambek."Serius ... Cantik banget. Sampai pangling aku melihatmu seperti itu." Alvin memberikan jawaban yang paling jujur pada sang sekretaris.Rena tersenyum manis sekali. Membuat Alvin tambah gemas, dan serasa ingin mencubit pipinya. Dalam hati Alvin bersyukur, Rena sudah bisa move on dari masalah yang dihadapinya.Tapi sebetulnya tidak ada yang tahu bagaimana isi hati Rena yang sebenarnya. Dia saat ini terlihat tegar, namun di dalam hatinya hancur dan juga rapuh. Dia bisa terlihat tegar hanya karena kewajiban yang harus dijalaninya. Apalagi setelah dia mencoba untuk mengambil hikmah atas apa yang dialaminya, hal itu semakin membuatnya mampu dan juga kuat."Mana berkas untuk seminggu ke depan. Soalnya aku mau cuti dulu. Bawa keluarga liburan. Penat rasanya harus bekerja terus-menerus. Kamu sih enak sudah libur, sekarang gantian aku yang libur." Kata Alvin sambil membubuhkan tandatangan di berkas yang diberikan Rena."Memangnya mau mendapatkan libur tapi keadaannya seperti aku?" Rena sewot mendengar omongan Alvin barusan."Hehehe ... Bercanda doang loh. Gitu saja marah." Kata Alvin sambil tertawa."Habisnya jadi orang tukang iri banget. Mau ambil libur tapi tidak memikirkan banyak proyek yang akan diselesaikan. Aku sendiri mana bisa?" ujar Rena manja."Jangan khawatir, aku sudah siapkan pengganti sementara." Kata Alvin pelan."Siapa?" Kata Rena penasaran."Sebentar lagi kamu pasti tahu," jawab Alvin santai.Bersamaan pintu diketuk dari luar.Tenyata yang masuk kedalam ruangan ini adalah Barra. Teman dekat Alvin, yang juga supervisor pemasaran di perusahaan ini."Dia, si jutek ini?" gumam Rena, sambil membesarkan matanya kearah Alvin.Alvin hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.Alvin tahu Rena tidak begitu suka dengan Barra, karena lelaki itu memang agak pendiam. Jadi kesannya seperti sombong. Sebetulnya dia sangat baik. Hanya saja tipe lelaki yang serius, susah diajak bercanda. Beberapa kali Rena mencoba mencairkan hatinya dengan mengajak mengobrol, tapi selalu dijawab seadanya saja. Jadi sepertinya komunikasi Rena dengan Barra tidak pernah menyambung sama sekali.Hal ini membuat Rena kesal. Bagaimana dia bisa bekerjasama dengan orang seperti itu. Pasti itu akan menambah pekerjaannya lagi."Apa tidak ada yang lain selain manusia ini?" gerutu Rena.Alvin tidak menanggapinya lagi, karena Barra sudah dekat dan menarik kursi di samping Rena.Dia duduk di samping Rena tanpa menyapanya lebih dahulu. "Rena, Barra yang akan menggantikan aku selama seminggu ini. Dia sedang menjalani proses untuk naik pangkat menjadi manajer pemasaran. Jadi untuk saat ini tolong dampingi dia untuk segala urusan yang bersangkut paut dengan jabatannya kelak." Kata Alvin terdengar berwibawa.Barra tahu, saat ini sudah dimulai tahap untuk melakukan perjanjian mereka. Jadi dia harus bisa segera mengambil hati Rena. Barra tidak mau kehilangan kesempatan bagus ini."Kenapa aku yang mendampinginya, kan ada Pak Barton manager pemasaran itu."Rena protes atas perintah Alvin."Barton sudah aku pindahkan ke kantor cabang. Dia naik pangkat disana. Jadi kamu yang paling tahu tentang apa yang harus dikerjakan seorang manajer pemasaran di perusahaan ini.""Mohon bantuannya, agar saya bisa mengerjakan tugas dengan segera." Kata Barra sambil tersenyum.Tentu Rena kaget dengan tingkah Barra kali ini. Orang yang biasanya tidak banyak omong hanya bicara seperlunya saja, tiba-tiba bercanda di hadapannya.Rena pun hanya membalas dengan senyum tipis saja."Ingat ya Ren, keberhasilan Barra menjadi manager pemasaran ini tergantung padamu. Jadi kalian harus bekerjasama. Kalau kamu gagal membuat Barra paham cara kerjanya, berarti dia gagal naik pangkat." Kata Alvin."Hadeh ... Dia yang naik pangkat aku yang repot." Kata Rena sambil berdiri meninggalkan dua lelaki itu.Bara yang sebetulnya masih terpana melihat penampilan Rena sekarang, menjadi lebih optimis dia akan bisa memenangkan hati gadis itu sebelum jatah waktu yang ditentukan.Alvin melihat Barra yang sedang tersenyum sendiri."Bagaimana? Apa kamu siap? Sekarang sudah dimulai waktunya. Kamu harus bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Tapi ingat, ini bukan hanya untuk sementara waktu. Aku minta kamu bisa membuat Rena menjadi wanita yang beruntung mendapatkanmu," kata Alvin pada sahabatnya itu."Aku tahu. Dan akan selalu ingat kata-katamu," timpal Barra."Satu lagi, ini bukan taruhan, tapi jalan menuju kesuksesanmu baik di karir dan juga percintaan. Percayalah padaku, Rena adalah orang yang tepat untukmu." Alvin kembali menegaskan pada Barra tentang masalah perjanjian mereka itu.Barra menganggukkan kepalanya, tanda sudah mantap atas semua yang telah menjadi kesepakatan bersama.Sebenarnya Barra sudah tahu apa yang menjadi isi hati Alvin. Karena mereka sudah bersama sejak lama. Saat ini diinginkan Alvin hanyalah membahagiakan Rena, melalui dirinya. Semoga saja Barra bisa mewujudkan impian Alvin itu.⭐⭐⭐Seharian dikantor, tibalah waktunya pulang.Dulu Rena, sering pulang dijemput oleh pacarnya Bram. Karena kendaraan sekarang yang dimilikinya itu diberikan pada Bram. Sampai sekarang setelah dia mengkhianati Rena pun, mobil itu tak kembali kepadanya. Rena enggan memintanya kembali. Sudah mengikhlaskan semua yang terjadi. Dan berencana akan membeli kembali kendaraan untuknya sendiri.Ketika sedang menunggu taksi yang dipesan, Rena duduk di depan kantornya.Alvin yang juga akan pulang, sengaja berhenti didepannya, dia membuka kaca mobil."Ayo kuantar pulang,"ajak Alvin. Karena dia tahu Rena tidak lagi dijemput oleh pacarnya yang berkhianat itu."Tidak usah. Nanti merepotkan saja, kita kan tidak searah," tolak Rena Halus."Lagi pula sebentar lagi juga sudah datang kok,"kata Rena lagi.Rupanya Barra juga sampai didekat mereka.Menggunakan motor besar, dia mengajak Rena pulang bersamanya.Alvin terpaksa pamit lebih dulu. Agar mereka mempunyai waktu berdua. Walau di hatinya ada sedikit rasa cemburu yang menghantui, tapi dia harus ikhlas demi Rena."Ayo bareng aku saja," Barra berkata manis sekali."Tapi aku sudah pesan taksi. Nah itu datang taksinya." Rena menunjuk sebuah mobil taksi berwarna biru."Kamu tunggu di sini dulu sebentar." Barra turun dari motor, dan mendekat ke arah taksi yang berhenti untuk menjemput Rena.Rena mau saja menuruti kata-kata Barra itu sambil memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu dari jauh.Apa yang akan dilakukannya yah.. Mungkin ini salah satu trik untuk lelaki tampan itu menarik hati Rena.Setelah berbincang sejenak dengan sopir taksi, Barra mengeluarkan dompet dari sakunya. Ternyata dia membayar ongkos taksi yang di pesan Rena tanpa harus Rena naik taksi dan pulang menggunakan kendaraan itu.Rena terpana melihat apa yang dilakukan Barra itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Barra melakukan hal itu, agar Rena bisa pulang naik motor dengannya."Bukankah kata Alvin kita harus bekerja sama? Dimulai hari ini, aku akan mengantar dan menjemputmu pergi dan pulang kerja," kata Barra diiringi senyuman yang jarang diberikan untuk orang lain."Kenapa harus begitu?" Protes Rena."Karena kita harus bisa beradaptasi dengan baik. Jadi didalam pekerjaan nanti, sudah tidak ada rasa canggung lagi," kata Barra sembari menyerahkan sebuah helm yang sudah dipersiapkan untuk Rena.Rena meraihnya. Dia pikir helm yang diberikan Barra untuk dipakainya itu, juga dipakai oleh orang lain. Tentu pacar Barra yang selama ini memakainya.Rena sempat mencium dalam helm itu, tapi kelihatannya helm ini
Lelaki yang duduk manis diatas motor itu melambaikan tangan kepada Rena. Rena yang masih belum sadar seratus persen itu, mengucek mata untuk melihat dengan jelas siapa orang yang melambaikan tangan kepadanya.Setelah dilihat dengan seksama, Rena pun mengenalinya. Dia adalah Barra rekan kerjanya, yang kemarin sore sudah membuat harinya terasa hangat dan bahagia, serta sejenak Rena bisa melupakan masa lalunya itu.Tapi mau apa Barra sepagi ini sudah datang ke sini?Rena pun langsung menyambar jaket dari belakang pintu. Karena dia hanya menggunakan celana tidur panjang dan baju tangan lengan. Tidak mungkin dia menemui Barra dalam keadaan seperti itu. Rena bergegas menemui Barra di luar. Dan menanyakan maksud tujuan Barra datang ke rumahnya, tanpa memberi kabar terlebih dahulu."Selamat pagi ..." sapa Barra.Rena hanya tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang tertata rapi dan berwarna putih bersih itu."Kenapa pagi-pagi sudah ada di sini? kenapa tidak menghubungiku dulu sih?"
"Rena ... Ren ..." Lelaki itu memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Meski langkahnya di halangi oleh satpam perusahaan."Lepaskan aku! Aku hanya ingin bertemu dengan Rena sebentar." dia terus memberontak dan ingin lepas dari cengkraman dua orang satpam yang memegang kedua tangannya.Rena ketakutan, dan kembali masuk ke dalam lobby kantor. Barra yang sudah kembali dengan motornya melihat dari jauh tingkah Rena yang lari terbirit-birit, seperti melihat hantu saja.-Kenapa dia?-Pikir Barra.Lelaki itu malah memberhentikan motornya tepat di depan pintu masuk lobby perusahaan.Barra menunggu Rena keluar lagi. Mungkin ada yang tertinggal di dalam sana, Barra masih berpikir positif.Sampai akhirnya dia melihat ke arah pos satpam, ada dan yang sedang terjadi di sana. Barra memicingkan matanya, lalu berjalan perlahan mendekat tempat dimana Bram sedang memberontak.Dia merasa saat ini bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di perusahaan ini. Sebab seminggu ini Alvin sudah menyerahkan tangg
"Kenapa mobilnya kamu serahkan pada Rena? Bukankah itu mobilmu, Mas?" Lila, istri Bram bertanya pada suaminya."Mas, kenapa kamu diam saja tidak menjawab pertanyaanku? Lalu sekarang kamu menatap kepergian mantan kekasihmu itu dengan pandangan seperti itu. Apa kamu cemburu melihatnya pergi dengan lelaki tampan itu?" Lila terus mendesak Bram untuk menjawab pertanyaannya."Diam lah Lila! Kamu tidak paham apa yang aku rasakan saat ini?" Bram marah karena Lila terus mendesaknya."Loh ... Kamu kok jadi marah sama aku, Mas? Pasti benar dugaanku kan, kalau kamu cemburu melihat mantanmu itu dibonceng oleh lelaki lain. Dasar munafik. Kamu sudah menikah denganku, tapi hatimu tetap pada Rena. Kalau tahu begini, aku menyesal mau jadi istrimu." Lila marah karena Bram terus memandang kepergian Rena."Aku tidak memaksamu untuk menikah denganku. Apa kamu lupa kalau kamu yang sudah menjebakku agar mau menikahimu? Coba kalau kamu tidak datang sebagai perusak hubungan kami, mungkin saat ini aku masih baha
"Jadi bagaimana, Ren. Apa kamu mau menerimaku?" tanya Barra. Rena terkejut mendengar pernyataan lelaki yang mulai memikat hatinya itu. Rena pikir Barra ini tipe orang yang suka tembak langsung. Tentu saja hal ini membuat Rena menjawab dengan terbata-bata."M-maksudnya apa ini?" Wajah Rena merah padam karena tersipu malu. Dia tidak menyangka kalau Barra terlalu nekat. "Jadi pendampingmu? Kamu mau kan?" Barra bersemangat mengucapkannya dan sangat menunggu jawaban Rena.Wanita mana yang hatinya tidak meleleh melihat perlakuan Barra saat ini. "Jangan bercanda, dong. Aku tau kamu coba menghiburku," kata Rena. Karena dia masih ragu dengan ucapan Barra. Rena menunduk tidak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapannya."Kok bercanda, sih? Aku serius dengan ucapanku ini. Aku ingin menggantikan posisi lelaki brengsek itu di hatimu." Barra dengan mantap meyakinkan Rena yang sedang galau."Apa tidak terlalu cepat? Kamu belum memahami aku luar dalam. Aku takut nanti kamu menyesal di kemudi
"Ren ... Tunggu aku ....." Barra mengejar Rena yang sudah berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Padahal sebenarnya Barra belum selesai memberi pelajaran pada Bram. Dia ingin membuat Bram meminta ampun karena sudah membuat Rena malu. Tapi saat ini Barra lebih memperdulikan hati Rena. Karena dia takut dampak terpukulnya wanita itu dengan ucapan mantan kekasihnya yang sudah membuka semua aib mereka di masa lalu."Pergilah kejar wanita munafik itu. Tidak salah kalau aku mencampakkannya. Karena ternyata dia lebih liar dari dugaanku. Karena sanggup membagi tubuh dan cintanya untuk orang lain." Bram ternyata masih belum puas untuk mempermalukan Rena lebih dalam lagi.Bram pikir ketika dia berbicara seperti itu Barra tidak akan peduli. Ternyata dia salah, lelaki bertubuh tegap itu berbalik arah dan kembali kepadanya dengan wajah yang terlihat sangat marah.Tanpa aba-aba Barra kembali melayangkan tinjunya berkali-kali ke wajah Bram. Dan laki-laki yang bertubuh kecil daripada Barra ini am
"Bu, izinkan aku bertemu dengan Rena.""Buat apalagi? Apa hanya untuk menyakiti hatinya saja, Bram?""Tidak, Bu. aku menyesal sudah menyakiti hati Rena. Semua memang salahku dan aku ingin kembali pada Rena." Bram memohon pada Bu Diana, ibunya Rena.Rupanya laki-laki itu nekat mendatangi rumah Rena dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumah kostnya ke rumah Rena berjarak lumayan jauh. Tapi karena saat ini Bram tidak mempunyai kendaraan dan uang di dompetnya maka dia harus berjalan kaki sampai ke sana."Maaf, Nak. Andaikan pun Rena mau kembali kepadamu, Ibu lah orang yang pertama akan menentangnya. Karena Ibu yang tahu bagaimana hancurnya hati anak perempuanku yang begitu kami sayangi." Bu Diana bergetar menahan amarah yang bergejolak di dada."Aku minta maaf, Bu. Sekarang aku sangat menyesal, dan sangat ingin kembali pada Rena. Aku berjanji karena akan membahagiakan Rena dan akan menebus semua kesalahanku padanya."Bram masih terus memohon dan merayu Bu Diana untuk mempertemukannya
"Apa maksud omongan kalian, Ren?" Bu Diana sebenarnya senang mendengarnya. Karena sebentar lagi harapannya terwujud. Anak semata wayangnya segera mengakhiri masa lajangnya. Tapi dia belum begitu yakin dan jelas sebelum mendengar langsung dari Rena dan laki-laki yang baru satu kali dikenalkan kepadanya. "Iya, Bu. Aku dan Barra memutuskan minggu depan akan menikah." Rena dengan tegas menjawab pertanyaan ibunya."Kenapa bisa secepat itu? Apa tidak sebaiknya kalian saling mengenal dan saling memahami satu sama lain dulu?" tanya Bu Diana masih belum percaya apa yang didengarnya ini."Tidak perlu terlalu lama untuk mengenal jiwa kami masing-masing. Karena yang lama belum tentu bisa memahami dengan baik pribadi dan sifat kita.""Bukankah Ibu sudah pernah melihat contohnya? Aku sudah menjalani hubungan 7 tahun dengan orang yang salah. Kurang apa aku selama itu memahami dirinya? Kalau ternyata akhirnya aku yang dicampakkan setelah semua pengorbananku untuknya," kata Rena.Tapi matanya tida