Share

Mengambil Hati Rena

Setelah berbincang sejenak dengan sopir taksi, Barra mengeluarkan dompet dari sakunya. Ternyata dia membayar ongkos taksi yang di pesan Rena tanpa harus Rena naik taksi dan pulang menggunakan kendaraan itu.

Rena terpana melihat apa yang dilakukan Barra itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Barra melakukan hal itu, agar Rena bisa pulang naik motor dengannya.

"Bukankah kata Alvin kita harus bekerja sama? Dimulai hari ini, aku akan mengantar dan menjemputmu pergi dan pulang kerja," kata Barra diiringi senyuman yang jarang diberikan untuk orang lain.

"Kenapa harus begitu?" Protes Rena.

"Karena kita harus bisa beradaptasi dengan baik. Jadi didalam pekerjaan nanti, sudah tidak ada rasa canggung lagi," kata Barra sembari menyerahkan sebuah helm yang sudah dipersiapkan untuk Rena.

Rena meraihnya. Dia pikir helm yang diberikan Barra untuk dipakainya itu, juga dipakai oleh orang lain. Tentu pacar Barra yang selama ini memakainya.

Rena sempat mencium dalam helm itu, tapi kelihatannya helm ini masih baru. Tidak ada wangi yang tertinggal di sana. Apa Barra sengaja membeli helm ini untuk di pakai Rena?

Entah kenapa, kali ini Rena menurut pada Barra dan segera naik ke boncengan. Padahal tadi dia sempat menolaknya. Karena tidak mungkin bagi Rena, menolaknya lagi. Pasti dia akan membutuhkan waktu yang lama lagi untuk menunggu pesanan taksi yang lain. Dan Rena mau membuang waktu lagi. Maka itu, mau tidak mau, dia menurui kemauan Barra, dan naik ke boncengan motor lelaki tampan itu.

Suasana kaku pun tercipta. Rena enggan berpegangan dengan Barra. Dia masih jaga gengsi juga. Apalagi ini pertama kalinya Rena di bonceng oleh lelaki itu. Akhirnya mereka seperti ojek online yang sedang membawa penumpangnya.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam tidak saling bertukar cerita. Rena dengan pikirannya sendiri, sedangkan Barra masih sibuk memikirkan bagaimana cara memulai obrolan dengan wanita yang sekarang duduk di belakangnya ini. Kesan pertama ini harus mulai menarik hati Rena. Karena salah langkah sedikit saja, Rena pasti akan susah untuk didekati lagi.

"Tau tidak, Ren. Kalau kita seperti ini, aku seperti ojek online saja." ucap Barra sambil tetap mengendarai motor.

"Memangnya kenapa?" Rena tidak begitu nyambung dengan ucapan Barra.

"Karena kamu duduknya terlalu jauh di belakang. Sama ketika kamu naik abang-abang ojol itu," gurau Barra sambil tertawa lepas.

Rena juga tersenyum mendengar jawaban Barra itu. Dia juga mengakui dirinya begitu kaku berada di belakang cowok bertubuh atletis. Tanpa disuruh dua kali, Rena segera memajukan sedikit badannya hingga menyentuh ke tubuh Barra. Tak ayal hal ini menimbulkan getaran-getaran halus di hati Barra.

Sudah lama Barra tidak lagi merasakan seorang wanita duduk di belakang boncengan sepeda motornya. Hampir 2 tahun lamanya, Barra hanya sendiri saja mengendarai motor kesayangannya itu. Jadi sekarang dengan adanya Rena di belakangnya, merupakan hal baru lagi baginya.

Sedangkan Rena, juga merasakan hal yang sama. Selain tukang ojek online yang biasa dia tumpangi, Rena tidak pernah dibonceng oleh lelaki lain, selain Bram. Itupun dulu sebelum Bram dibelikan mobil oleh Rena.

Tak ayal mengalami kecanggungan yang luar biasa hebatnya. Hingga akhirnya mereka pun terdiam kembali setelah tadinya mulai bercanda.

Rena yang duduk sudah semakin dekat dan hampir menempel dengan Barra, membuat lelaki itu, jadi sedikit bergetar. Tanpa sadar Barra menarik gas lumayan kuat, dan hal itu membuat Rena yang tadinya enggan berpegangan, tiba-tiba langsung memeluk erat pinggang Barra.

Tentu saja Rena masih sayang dengan nyawanya dan tidak mau mati konyol karena jatuh dari boncengan motor milik Barra. Sempat terlintas di pikirannya kalau Barra hanya modus saja, mengencangkan laju kendaraan, agar Rena memeluk pinggang lelaki ini. Dan nyatanya memang Barra sudah berhasil membuat Rena terus memeluk pinggang Barra.

Sepintas lalu, Rena mulai menikmati dekat dengan lelaki ini. Wangi parfum yang dipakain, terasa sampai ke hidung Rena. Dan Rena sangat menyukai wangi tersebut. Dalam hati Rena memuji kepintaran Barra dalam hal memilih wewangian untuk tubuhnya.

"Kita mampir dulu, sebentar ya?"

Suara Barra membuyarkan lamunan Rena.

"Mau kemana?"

"Nongkrong sebentar aja, di cafe sekitar sini. Sambil ngopi. Lagipula hari kan masih sore, jadi pasti kamu belum di cari sama orang tuamu, kan?" Barra mencoba bergurau kembali.

" Enak saja. Kamu pikir aku cewek rumahan. Yang telat satu jam saja, langsung di telepon dan di suruh pulang? Boleh deh, lagian aku memang sedikit lapar." Rena menyambut ajakan Barra.

"Aku tahu, cafe bagus di sini. Tapi kalau kamu juga punya tempat yang recommended, boleh juga," tutur Barra.

"Terserah kamu, dimana aja jadi. Sekalian coba tempat baru." Rena tidak menolak usulan Barra.

Sampailah mereka di sebuah cafe yang tempatnya lumayan estetik. Dipenuhi kursi kayu, dan ada juga yang konsepnya outdoor. Tentu saja hal itu menambah kesan sore yang tenang buat mereka berdua, yang baru hari ini menghabiskan waktu bersama.

"Selamat datang, Mas Barra dan Mbak cantik. Wah, sepertinya ini pertama kalinya Mas Barra membawa pasangan, sejak jadi pelanggan kami selama 2 tahun ini?" sambut seorang pelayan yang menyambut kami di depan pintu.

"Bisa saja kamu, Roy. Jangan buka kartu dong. Aku malu nih, selama ini datang sebagai jomblo sejati." Barra seketika tertawa mendengar omongan pelayan itu.

Sementara Rena, hanya tersenyum mendengarnya. Antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin cowok seperti Barra, yang banyak diidolakan para gadis ini sudah menyandang predikat jomblo selama dua tahun ini. Kasihan sekali dia. Pikir Rena.

Mereka pun memilih tempat di outdoor, sambil menikmati semilir angin sore ini.

"Mau pesan apa Mbak dan Masnya?" Seorang pelayan lagi datang dan akan mencatat pesanan mereka.

"Coffe latte ..." Secara bersamaan mereka mengucapkan pesanannya. Lalu keduanya saling pandang dan tertawa.

"Wah, kok bisa sama begini ya? Biasanya sih kalau seleranya sama dan mengucapkannya juga bersamaan, akan berjodoh, loh?" pelayan tadi malah meramal tentang jodoh.

Tentu saja Rena dan Barra tambah tergelak.

"Aamiin. Semoga ya, Mas. Soalnya saya memang lagi mencari jodoh," ucap Barra.

Rena tersipu malu dan menundukkan kepalanya. Dua tidak berani menatap mata Barra yang menatap teduh kepadanya.

"Pastilah saya doakan. Orang baik pasti dapatnya wanita baik juga. Gak akan nyesel deh, Mbak. Soalnya saya tahu betul siapa Mas Barra ini. Orangnya tidak neko-neko, dan beliau ini tidak pernah sama sekali bawa cewek. Kalau datang ke sini, tahan sampai berjam-jam. Cuma main hp doang." pelayan tersebut malah promosi tentang Barra pada Rena.

"Mas, dibayar berapa sama Mas Barra untuk mempromosikan seperti itu?" tanya Rena sambil kembali tertawa.

"Gak ada, Mbak. Biasa jasa gratis saja," lanjutnya lagi.

"Ternyata kamu terkenal di sini ya, Mas. Dari ujung sana, sampai ujung sini kenal semua sama kamu," kata Rena sepeninggal pelayan tadi.

"Namanya juga jomblo. Hal apa yang paling menggembirakan kalau tidak main hp dengan wifi gratis." Mereka pun tertawa-tawa.

Bagi Rena ini hari pertamanya bisa tertawa lepas lagi setelah semua masalah yang di laluinya.

"Gimana, kamu gak kapok kan jalan sore ini denganku?" tanya Barra setelah sampai di rumah Rena.

"Ya gak lah. Malah cukup terhibur. Makasih ya, sudah mau mengantarkan aku pulang," kata Rena menyunggingkan senyum manisnya.

"Sampaikan salam buat Ibumu ya? Bilang kalau anak gadisnya sudah ku pulangkan dalam keadaan utuh." Barra kembali membuat Rena tergelak.

"Tidak masuk dulu, dan menyampaikan langsung pada Ibu?" tanya Rena.

"Kapan-kapan saja, deh. Hari ini aku harus membayar hutang waktuku yang sudah terbuang bersamamu. Biasanya itu jadwalku main game. Karena tadi aku sudah bersamamu, jadi sekarang aku harus pulang dan membayar hutang waktuku tadi." Barra memang pintar mengambil hati Rena. Buktinya sekarang dia sudah bisa membuat wanita itu tertawa terpingkal-pingkal.

"Oke deh. Maaf kalau tadi sudah menyita banyak waktumu."

"Tak apa. Buat gadis secantik kamu, seumur hidup pun aku rela menghabiskan waktu bersamamu."

Wajah Rena bersemu merah mendengar ucapan Barra.

Sampai di dalam rumah pun sepeninggal Barra, Rena masih senyum-senyum sendiri. Dia merasa tersanjung sebagai wanita karena sudah diperlakukan sedemikian rupa oleh Barra.

Sepertinya lelaki itu sudah bisa mencuri hati Rena. Apalagi malam ini Rena tidur sambil bermimpi hal indah dan itu dengan Barra.

"Ah, itu kan cuma mimpi. Mana mungkin Barra mau denganku? Kedekatan kami sekarang kan hanya masalah pekerjaan saja. Paling setelah semua selesai dan Alvin sudah kembali dari liburannya, semua akan kembali seperti biasa lagi." Ujar Rena dalam hatinya.

Rena memang tidak terlalu menaruh harapan pada kedekatannya sekarang dengan Barra. Karena dia tidak ingin kecewa nantinya.

Pagi ini Rena bangun tidur. Dia membuka jendela yang menghadap langsung ke luar pagar rumahnya.

Maksud hati ingin menghirup udara segar. Tapi pemandangan pagi ini sungguh membuat hatinya berdegup kencang.

Bagaimana tidak, ternyata sudah ada Barra yang duduk rapi di atas motor dan juga menghadap langsung ke jendela kamar Rena.

Apa yang di lakukan lelaki itu pagi buta begini di luar pagar rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status