Setelah berbincang sejenak dengan sopir taksi, Barra mengeluarkan dompet dari sakunya. Ternyata dia membayar ongkos taksi yang di pesan Rena tanpa harus Rena naik taksi dan pulang menggunakan kendaraan itu.
Rena terpana melihat apa yang dilakukan Barra itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Barra melakukan hal itu, agar Rena bisa pulang naik motor dengannya."Bukankah kata Alvin kita harus bekerja sama? Dimulai hari ini, aku akan mengantar dan menjemputmu pergi dan pulang kerja," kata Barra diiringi senyuman yang jarang diberikan untuk orang lain."Kenapa harus begitu?" Protes Rena."Karena kita harus bisa beradaptasi dengan baik. Jadi didalam pekerjaan nanti, sudah tidak ada rasa canggung lagi," kata Barra sembari menyerahkan sebuah helm yang sudah dipersiapkan untuk Rena.Rena meraihnya. Dia pikir helm yang diberikan Barra untuk dipakainya itu, juga dipakai oleh orang lain. Tentu pacar Barra yang selama ini memakainya.Rena sempat mencium dalam helm itu, tapi kelihatannya helm ini masih baru. Tidak ada wangi yang tertinggal di sana. Apa Barra sengaja membeli helm ini untuk di pakai Rena?Entah kenapa, kali ini Rena menurut pada Barra dan segera naik ke boncengan. Padahal tadi dia sempat menolaknya. Karena tidak mungkin bagi Rena, menolaknya lagi. Pasti dia akan membutuhkan waktu yang lama lagi untuk menunggu pesanan taksi yang lain. Dan Rena mau membuang waktu lagi. Maka itu, mau tidak mau, dia menurui kemauan Barra, dan naik ke boncengan motor lelaki tampan itu.Suasana kaku pun tercipta. Rena enggan berpegangan dengan Barra. Dia masih jaga gengsi juga. Apalagi ini pertama kalinya Rena di bonceng oleh lelaki itu. Akhirnya mereka seperti ojek online yang sedang membawa penumpangnya.Sepanjang perjalanan mereka hanya diam tidak saling bertukar cerita. Rena dengan pikirannya sendiri, sedangkan Barra masih sibuk memikirkan bagaimana cara memulai obrolan dengan wanita yang sekarang duduk di belakangnya ini. Kesan pertama ini harus mulai menarik hati Rena. Karena salah langkah sedikit saja, Rena pasti akan susah untuk didekati lagi."Tau tidak, Ren. Kalau kita seperti ini, aku seperti ojek online saja." ucap Barra sambil tetap mengendarai motor."Memangnya kenapa?" Rena tidak begitu nyambung dengan ucapan Barra."Karena kamu duduknya terlalu jauh di belakang. Sama ketika kamu naik abang-abang ojol itu," gurau Barra sambil tertawa lepas.Rena juga tersenyum mendengar jawaban Barra itu. Dia juga mengakui dirinya begitu kaku berada di belakang cowok bertubuh atletis. Tanpa disuruh dua kali, Rena segera memajukan sedikit badannya hingga menyentuh ke tubuh Barra. Tak ayal hal ini menimbulkan getaran-getaran halus di hati Barra.Sudah lama Barra tidak lagi merasakan seorang wanita duduk di belakang boncengan sepeda motornya. Hampir 2 tahun lamanya, Barra hanya sendiri saja mengendarai motor kesayangannya itu. Jadi sekarang dengan adanya Rena di belakangnya, merupakan hal baru lagi baginya.Sedangkan Rena, juga merasakan hal yang sama. Selain tukang ojek online yang biasa dia tumpangi, Rena tidak pernah dibonceng oleh lelaki lain, selain Bram. Itupun dulu sebelum Bram dibelikan mobil oleh Rena.Tak ayal mengalami kecanggungan yang luar biasa hebatnya. Hingga akhirnya mereka pun terdiam kembali setelah tadinya mulai bercanda.Rena yang duduk sudah semakin dekat dan hampir menempel dengan Barra, membuat lelaki itu, jadi sedikit bergetar. Tanpa sadar Barra menarik gas lumayan kuat, dan hal itu membuat Rena yang tadinya enggan berpegangan, tiba-tiba langsung memeluk erat pinggang Barra.Tentu saja Rena masih sayang dengan nyawanya dan tidak mau mati konyol karena jatuh dari boncengan motor milik Barra. Sempat terlintas di pikirannya kalau Barra hanya modus saja, mengencangkan laju kendaraan, agar Rena memeluk pinggang lelaki ini. Dan nyatanya memang Barra sudah berhasil membuat Rena terus memeluk pinggang Barra.Sepintas lalu, Rena mulai menikmati dekat dengan lelaki ini. Wangi parfum yang dipakain, terasa sampai ke hidung Rena. Dan Rena sangat menyukai wangi tersebut. Dalam hati Rena memuji kepintaran Barra dalam hal memilih wewangian untuk tubuhnya."Kita mampir dulu, sebentar ya?"Suara Barra membuyarkan lamunan Rena."Mau kemana?""Nongkrong sebentar aja, di cafe sekitar sini. Sambil ngopi. Lagipula hari kan masih sore, jadi pasti kamu belum di cari sama orang tuamu, kan?" Barra mencoba bergurau kembali." Enak saja. Kamu pikir aku cewek rumahan. Yang telat satu jam saja, langsung di telepon dan di suruh pulang? Boleh deh, lagian aku memang sedikit lapar." Rena menyambut ajakan Barra."Aku tahu, cafe bagus di sini. Tapi kalau kamu juga punya tempat yang recommended, boleh juga," tutur Barra."Terserah kamu, dimana aja jadi. Sekalian coba tempat baru." Rena tidak menolak usulan Barra.Sampailah mereka di sebuah cafe yang tempatnya lumayan estetik. Dipenuhi kursi kayu, dan ada juga yang konsepnya outdoor. Tentu saja hal itu menambah kesan sore yang tenang buat mereka berdua, yang baru hari ini menghabiskan waktu bersama."Selamat datang, Mas Barra dan Mbak cantik. Wah, sepertinya ini pertama kalinya Mas Barra membawa pasangan, sejak jadi pelanggan kami selama 2 tahun ini?" sambut seorang pelayan yang menyambut kami di depan pintu."Bisa saja kamu, Roy. Jangan buka kartu dong. Aku malu nih, selama ini datang sebagai jomblo sejati." Barra seketika tertawa mendengar omongan pelayan itu.Sementara Rena, hanya tersenyum mendengarnya. Antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin cowok seperti Barra, yang banyak diidolakan para gadis ini sudah menyandang predikat jomblo selama dua tahun ini. Kasihan sekali dia. Pikir Rena.Mereka pun memilih tempat di outdoor, sambil menikmati semilir angin sore ini."Mau pesan apa Mbak dan Masnya?" Seorang pelayan lagi datang dan akan mencatat pesanan mereka."Coffe latte ..." Secara bersamaan mereka mengucapkan pesanannya. Lalu keduanya saling pandang dan tertawa."Wah, kok bisa sama begini ya? Biasanya sih kalau seleranya sama dan mengucapkannya juga bersamaan, akan berjodoh, loh?" pelayan tadi malah meramal tentang jodoh.Tentu saja Rena dan Barra tambah tergelak."Aamiin. Semoga ya, Mas. Soalnya saya memang lagi mencari jodoh," ucap Barra.Rena tersipu malu dan menundukkan kepalanya. Dua tidak berani menatap mata Barra yang menatap teduh kepadanya."Pastilah saya doakan. Orang baik pasti dapatnya wanita baik juga. Gak akan nyesel deh, Mbak. Soalnya saya tahu betul siapa Mas Barra ini. Orangnya tidak neko-neko, dan beliau ini tidak pernah sama sekali bawa cewek. Kalau datang ke sini, tahan sampai berjam-jam. Cuma main hp doang." pelayan tersebut malah promosi tentang Barra pada Rena."Mas, dibayar berapa sama Mas Barra untuk mempromosikan seperti itu?" tanya Rena sambil kembali tertawa."Gak ada, Mbak. Biasa jasa gratis saja," lanjutnya lagi."Ternyata kamu terkenal di sini ya, Mas. Dari ujung sana, sampai ujung sini kenal semua sama kamu," kata Rena sepeninggal pelayan tadi."Namanya juga jomblo. Hal apa yang paling menggembirakan kalau tidak main hp dengan wifi gratis." Mereka pun tertawa-tawa.Bagi Rena ini hari pertamanya bisa tertawa lepas lagi setelah semua masalah yang di laluinya."Gimana, kamu gak kapok kan jalan sore ini denganku?" tanya Barra setelah sampai di rumah Rena."Ya gak lah. Malah cukup terhibur. Makasih ya, sudah mau mengantarkan aku pulang," kata Rena menyunggingkan senyum manisnya."Sampaikan salam buat Ibumu ya? Bilang kalau anak gadisnya sudah ku pulangkan dalam keadaan utuh." Barra kembali membuat Rena tergelak."Tidak masuk dulu, dan menyampaikan langsung pada Ibu?" tanya Rena."Kapan-kapan saja, deh. Hari ini aku harus membayar hutang waktuku yang sudah terbuang bersamamu. Biasanya itu jadwalku main game. Karena tadi aku sudah bersamamu, jadi sekarang aku harus pulang dan membayar hutang waktuku tadi." Barra memang pintar mengambil hati Rena. Buktinya sekarang dia sudah bisa membuat wanita itu tertawa terpingkal-pingkal."Oke deh. Maaf kalau tadi sudah menyita banyak waktumu.""Tak apa. Buat gadis secantik kamu, seumur hidup pun aku rela menghabiskan waktu bersamamu."Wajah Rena bersemu merah mendengar ucapan Barra.Sampai di dalam rumah pun sepeninggal Barra, Rena masih senyum-senyum sendiri. Dia merasa tersanjung sebagai wanita karena sudah diperlakukan sedemikian rupa oleh Barra.Sepertinya lelaki itu sudah bisa mencuri hati Rena. Apalagi malam ini Rena tidur sambil bermimpi hal indah dan itu dengan Barra."Ah, itu kan cuma mimpi. Mana mungkin Barra mau denganku? Kedekatan kami sekarang kan hanya masalah pekerjaan saja. Paling setelah semua selesai dan Alvin sudah kembali dari liburannya, semua akan kembali seperti biasa lagi." Ujar Rena dalam hatinya.Rena memang tidak terlalu menaruh harapan pada kedekatannya sekarang dengan Barra. Karena dia tidak ingin kecewa nantinya.Pagi ini Rena bangun tidur. Dia membuka jendela yang menghadap langsung ke luar pagar rumahnya.Maksud hati ingin menghirup udara segar. Tapi pemandangan pagi ini sungguh membuat hatinya berdegup kencang.Bagaimana tidak, ternyata sudah ada Barra yang duduk rapi di atas motor dan juga menghadap langsung ke jendela kamar Rena.Apa yang di lakukan lelaki itu pagi buta begini di luar pagar rumahnya.Lelaki yang duduk manis diatas motor itu melambaikan tangan kepada Rena. Rena yang masih belum sadar seratus persen itu, mengucek mata untuk melihat dengan jelas siapa orang yang melambaikan tangan kepadanya.Setelah dilihat dengan seksama, Rena pun mengenalinya. Dia adalah Barra rekan kerjanya, yang kemarin sore sudah membuat harinya terasa hangat dan bahagia, serta sejenak Rena bisa melupakan masa lalunya itu.Tapi mau apa Barra sepagi ini sudah datang ke sini?Rena pun langsung menyambar jaket dari belakang pintu. Karena dia hanya menggunakan celana tidur panjang dan baju tangan lengan. Tidak mungkin dia menemui Barra dalam keadaan seperti itu. Rena bergegas menemui Barra di luar. Dan menanyakan maksud tujuan Barra datang ke rumahnya, tanpa memberi kabar terlebih dahulu."Selamat pagi ..." sapa Barra.Rena hanya tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang tertata rapi dan berwarna putih bersih itu."Kenapa pagi-pagi sudah ada di sini? kenapa tidak menghubungiku dulu sih?"
"Rena ... Ren ..." Lelaki itu memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Meski langkahnya di halangi oleh satpam perusahaan."Lepaskan aku! Aku hanya ingin bertemu dengan Rena sebentar." dia terus memberontak dan ingin lepas dari cengkraman dua orang satpam yang memegang kedua tangannya.Rena ketakutan, dan kembali masuk ke dalam lobby kantor. Barra yang sudah kembali dengan motornya melihat dari jauh tingkah Rena yang lari terbirit-birit, seperti melihat hantu saja.-Kenapa dia?-Pikir Barra.Lelaki itu malah memberhentikan motornya tepat di depan pintu masuk lobby perusahaan.Barra menunggu Rena keluar lagi. Mungkin ada yang tertinggal di dalam sana, Barra masih berpikir positif.Sampai akhirnya dia melihat ke arah pos satpam, ada dan yang sedang terjadi di sana. Barra memicingkan matanya, lalu berjalan perlahan mendekat tempat dimana Bram sedang memberontak.Dia merasa saat ini bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di perusahaan ini. Sebab seminggu ini Alvin sudah menyerahkan tangg
"Kenapa mobilnya kamu serahkan pada Rena? Bukankah itu mobilmu, Mas?" Lila, istri Bram bertanya pada suaminya."Mas, kenapa kamu diam saja tidak menjawab pertanyaanku? Lalu sekarang kamu menatap kepergian mantan kekasihmu itu dengan pandangan seperti itu. Apa kamu cemburu melihatnya pergi dengan lelaki tampan itu?" Lila terus mendesak Bram untuk menjawab pertanyaannya."Diam lah Lila! Kamu tidak paham apa yang aku rasakan saat ini?" Bram marah karena Lila terus mendesaknya."Loh ... Kamu kok jadi marah sama aku, Mas? Pasti benar dugaanku kan, kalau kamu cemburu melihat mantanmu itu dibonceng oleh lelaki lain. Dasar munafik. Kamu sudah menikah denganku, tapi hatimu tetap pada Rena. Kalau tahu begini, aku menyesal mau jadi istrimu." Lila marah karena Bram terus memandang kepergian Rena."Aku tidak memaksamu untuk menikah denganku. Apa kamu lupa kalau kamu yang sudah menjebakku agar mau menikahimu? Coba kalau kamu tidak datang sebagai perusak hubungan kami, mungkin saat ini aku masih baha
"Jadi bagaimana, Ren. Apa kamu mau menerimaku?" tanya Barra. Rena terkejut mendengar pernyataan lelaki yang mulai memikat hatinya itu. Rena pikir Barra ini tipe orang yang suka tembak langsung. Tentu saja hal ini membuat Rena menjawab dengan terbata-bata."M-maksudnya apa ini?" Wajah Rena merah padam karena tersipu malu. Dia tidak menyangka kalau Barra terlalu nekat. "Jadi pendampingmu? Kamu mau kan?" Barra bersemangat mengucapkannya dan sangat menunggu jawaban Rena.Wanita mana yang hatinya tidak meleleh melihat perlakuan Barra saat ini. "Jangan bercanda, dong. Aku tau kamu coba menghiburku," kata Rena. Karena dia masih ragu dengan ucapan Barra. Rena menunduk tidak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapannya."Kok bercanda, sih? Aku serius dengan ucapanku ini. Aku ingin menggantikan posisi lelaki brengsek itu di hatimu." Barra dengan mantap meyakinkan Rena yang sedang galau."Apa tidak terlalu cepat? Kamu belum memahami aku luar dalam. Aku takut nanti kamu menyesal di kemudi
"Ren ... Tunggu aku ....." Barra mengejar Rena yang sudah berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Padahal sebenarnya Barra belum selesai memberi pelajaran pada Bram. Dia ingin membuat Bram meminta ampun karena sudah membuat Rena malu. Tapi saat ini Barra lebih memperdulikan hati Rena. Karena dia takut dampak terpukulnya wanita itu dengan ucapan mantan kekasihnya yang sudah membuka semua aib mereka di masa lalu."Pergilah kejar wanita munafik itu. Tidak salah kalau aku mencampakkannya. Karena ternyata dia lebih liar dari dugaanku. Karena sanggup membagi tubuh dan cintanya untuk orang lain." Bram ternyata masih belum puas untuk mempermalukan Rena lebih dalam lagi.Bram pikir ketika dia berbicara seperti itu Barra tidak akan peduli. Ternyata dia salah, lelaki bertubuh tegap itu berbalik arah dan kembali kepadanya dengan wajah yang terlihat sangat marah.Tanpa aba-aba Barra kembali melayangkan tinjunya berkali-kali ke wajah Bram. Dan laki-laki yang bertubuh kecil daripada Barra ini am
"Bu, izinkan aku bertemu dengan Rena.""Buat apalagi? Apa hanya untuk menyakiti hatinya saja, Bram?""Tidak, Bu. aku menyesal sudah menyakiti hati Rena. Semua memang salahku dan aku ingin kembali pada Rena." Bram memohon pada Bu Diana, ibunya Rena.Rupanya laki-laki itu nekat mendatangi rumah Rena dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumah kostnya ke rumah Rena berjarak lumayan jauh. Tapi karena saat ini Bram tidak mempunyai kendaraan dan uang di dompetnya maka dia harus berjalan kaki sampai ke sana."Maaf, Nak. Andaikan pun Rena mau kembali kepadamu, Ibu lah orang yang pertama akan menentangnya. Karena Ibu yang tahu bagaimana hancurnya hati anak perempuanku yang begitu kami sayangi." Bu Diana bergetar menahan amarah yang bergejolak di dada."Aku minta maaf, Bu. Sekarang aku sangat menyesal, dan sangat ingin kembali pada Rena. Aku berjanji karena akan membahagiakan Rena dan akan menebus semua kesalahanku padanya."Bram masih terus memohon dan merayu Bu Diana untuk mempertemukannya
"Apa maksud omongan kalian, Ren?" Bu Diana sebenarnya senang mendengarnya. Karena sebentar lagi harapannya terwujud. Anak semata wayangnya segera mengakhiri masa lajangnya. Tapi dia belum begitu yakin dan jelas sebelum mendengar langsung dari Rena dan laki-laki yang baru satu kali dikenalkan kepadanya. "Iya, Bu. Aku dan Barra memutuskan minggu depan akan menikah." Rena dengan tegas menjawab pertanyaan ibunya."Kenapa bisa secepat itu? Apa tidak sebaiknya kalian saling mengenal dan saling memahami satu sama lain dulu?" tanya Bu Diana masih belum percaya apa yang didengarnya ini."Tidak perlu terlalu lama untuk mengenal jiwa kami masing-masing. Karena yang lama belum tentu bisa memahami dengan baik pribadi dan sifat kita.""Bukankah Ibu sudah pernah melihat contohnya? Aku sudah menjalani hubungan 7 tahun dengan orang yang salah. Kurang apa aku selama itu memahami dirinya? Kalau ternyata akhirnya aku yang dicampakkan setelah semua pengorbananku untuknya," kata Rena.Tapi matanya tida
"Saya terima nikah dan kawinnya Rena Puspitasari binti Satria Nugroho, dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai." "Sah ...." ucap para saksi yang berada di ruangan itu ketika Barra selesai mengucapkan ijab kabul. Dengan tegas dan tanpa hambatan Barra telah selesai menjadikan Rena istrinya sahnya.Sementara Bram yang memang penasaran dengan ucapan mereka kemarin, datang dan hanya melihat dari jauh saja. Dia tidak berani mendekat ke sana hanya mengamati dari sudut jalan. Dan benar adanya kalau di rumah milik keluarga Rena sedang diadakan sebuah hajatan. Apalagi ketika berang mencoba bertanya pada tetangga Rena yang kebetulan lewat di depannya, apa yang terjadi di rumah Rena tersebut. Tetangga Rena mengatakan kalau ada majlis pernikahan di sana. Dan yang menikah adalah anak dari sang empunya rumah.Itu sudah cukup membuktikan kalau Rena memang benar adanya menikah dengan Barra. Kali ini Bram tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mencegah pernikahan itu terjadi pun dia tidak b