Share

Mencoba Memahami

Dalam kondisi lelah baru pulang dari Semarang, Axzel langsung pergi ke panti asuhan.

Seorang pria yang sedang menggendong gadis kecil mendatanginya. 

"Suatu kehormatan gubuk kami yang sederhana ini mendapat kunjungan dari Tuan Axzel Candra Mahardika," ucapnya sambil menurunkan gadis kecil yang terkekeh lucu.

“Pergi, main dengan teman-temanmu,” usir pria itu kepada anak-anak yang mengikutinya.

Pria itu mendekati Axzel yang melangkah menuju teras. Axzel langsung mengeluarkan rokok dan mulai menyulutnya. Hanya tempat ini yang tiba-tiba teringat saat dirinya bingung menghadapi Qeera. 

Pria itu ikut mengambil rokok dan mengamati Axzel yang menghisap rokoknya kuat-kuat sebelum mengembuskannya dengan sama kerasnya untuk menghilangkan kemarahannya.

"Ada angin apa sehingga seorang Axzel tiba-tiba mampir ke gubuk jelek ini?"

Axzel tak menggubris ucapan lelaki itu, dia hanya terus mengembuskan asap rokok. Matanya melihat beberapa anak panti yang mengintipnya dari balik pintu dan jendela. Ia melihat anak-anak kecil berlarian sambil berteriak bising. 

“Kamu betah tinggal di tempat ini?” tanya Axzel.

“Tempat ini kami sebut rumah,” balas Sinan mengamati panti asuhan ini. 

Jika anak kecil berlarian, maka para anak yang cukup besar membantu pekerjaan panti seperti menyapu, mencuci pakaian, atau bahkan mengepel. Yang cukup dewasa lagi  membantu membuat karya untuk di jual menambah pemasukan panti.

"Kalau kamu ke sini hanya untuk melamun, maaf Ax, aku masih ada banyak pekerjaan." Sinan bangun melangkah meninggalkan Axzel.

"Istriku hamil."

Sinan menoleh terkejut, lalu mengangguk. "Bagus kalau begitu, selamat menjadi calon ayah." Sinan kembali duduk mengambil rokok yang Axzel sodorkan. Dia melihat kegundahan temannya, mungkin Axzel butuh teman bercerita seperti biasanya saat bermasalah.

"Qeera semakin cemburu sama Bella, aku lelah menjelaskan kalau aku hanya menganggap Bella saudara. Dia layaknya adikku sendiri, tidak lebih."

Sinan ikut menghela napas mendengarkan gerutuan temannya itu. Sejak dulu, Sinan layaknya tempat sampah bagi Axzel jika tengah ada masalah. Seperti saat ini, temannya kembali mencurahkan perasaannya kepadanya. Entah kenapa, Sinan terima saja tidak pernah menolak.

"Kenapa wanita itu tak bisa percaya denganku? Jika aku memang menyimpan rasa kepada Bella, sejak dulu aku akan menikahinya. Kenyataannya tidak kan?" tanya Axzel meminta pendapat temannya. 

Sinan menepuk bahu temannya. Sejak mengenal Axzel saat SMP sampai sekarang, temannya tak pernah menjalin kasih yang sebenarnya dengan lawan jenis. Begitu mengenal wanita hanya lah sebagai pelampiasan nafsunya saja. 

Memang banyak orang akan menyangka kalau Axzel dan Bella menjalin kasih melihat kedekatan mereka. Wajar menurut Sinan jika istri Axzel berpikiran sama, mengingat bagaimana perlakuan Bella kepada Axzel bukan layaknya saudara, tetapi lebih mirip pasangan.

Semua keperluan Bella, Axzel penuhi, dan sebaliknya. Bahkan saat bersama Sinan dan yang lain, Bella akan menempel pada Axzel. Pantas saja jika istri Axzel akan cemburu dengan Bella.

"Makanya pahami wanita, jangan hanya ditiduri saja."

Axzel mendengus sambil melempar rokok yang tinggal setengah. Niatnya meminta pendapat, dia hanya mendapat singgungan. Meski pernah menikmati para wanita yang menjajakan dirinya, tetapi begitu menikah Axzel tak lagi main-main dengan wanita lain. 

Baginya, menikah sekali seumur hidup dan kesetiaan adalah nomor satu. Hidup dengan orang tua yang selalu berganti-ganti pasangan membuat Axzel tak ingin mengikuti jejak kedua orang tuanya.

“Sialan kamu, Nan!” makinya menendang temannya yang langsung menghindar.

"Wajar istrimu cemburu pada Bella, istrimu itu wanita. Wanita mana yang rela jika suaminya sangat dekat dengan wanita lain?" Axzel akan protes, tetapi Sinan mengangkat tangan. "Banyak lho, kasus di mana seorang lelaki menikah dengan sepupunya. Bisa jadi, itu yang menjadi alasan istrimu cemburu. Apalagi kalian sepupu jauh, kemungkinan menikah sangat tinggi."

"Aku tak mungkin menikahinya, aku hanya menganggapnya adik dan iba kepadanya karena tak memiliki orang tua. Sama sepertiku."

Sinan mengangguk, mungkin benar Axzel menganggap Bella tak lebih dari sepupu, tetapi Bella menurut Sinan menganggap Axzel lebih dari beberapa kali dia melihat kebersamaan mereka.

"Kamu memiliki keluarga, Ax, kenapa kamu melupakan orang tuamu?" tanya Sinan heran.

"Orang tua? Cih, mereka saja tak pernah mengingatku," sahutnya acuh.

Jika orang tua Bella meninggal sejak dia kecil, lain dengan Axzel yang ditinggalkan orang tuanya karena dianggap sebagai sebuah kesalahan. Ibu dan ayahnya belum siap memiliki anak, tetapi hubungan mereka menghasilkan anak.

Begitu Axzel lahir, kedua orang tuanya berpisah dan meninggalkan Axzel dalam pengasuhan kakek nenek dari ibunya. Dan sampai sekarang Axzel tak pernah mau tahu tentang mereka. Karena terakhir mencari tahu Axzel hanya mendapat kekecewaan.

Mengharapkan mereka peduli padanya juga sebuah kesia-siaan saja, yang ada Axzel akan terluka sendiri.

“Karena kamu menghalangiku mengejar impianku!” maki Ibunya kala Axzel memohonnya untuk tinggal.

Jika ayahnya, Axzel hampir tak pernah bertemu pria itu. Untuk meredam kekecewaannya, Axzel sering menganggap tak memiliki orang tua.

"Jadi bagaimana caranya membuat istriku mengerti jika aku peduli padanya. Hubungan kami semakin jauh, apalagi sejak Qeera mengandung dan menuduhku selingkuh dengan Bella." Axzel mematikan rokok pada asbak. "Aku pikir tiga hari ditinggal ke luar kota dia akan berubah dengan sendirinya. Namun, saat aku pulang langsung mendapat sindiran tajam darinya."

Kening Sinan mengerut bingung. Axzel dari luar kota, baru pulang langsung kabur menemuinya yang jarak tempatnya dengan rumah temannya mencapai dua jam. Itu pun jika tidak macet.

"Kamu dari luar kota?" tanyanya. Axzel mengangguk dam kembali menyalakan rokok yang baru. "Bersama Bella?"

"Iya, lah, dia kan sekretaris dan juga asistenku. Dia yang mengetahui seluruh urusan dengan proyek baru."

Sinan berdecak. Pantas istri Axzel cemburu. Bukannya membawa istrinya, apalagi hanya berdua dengan Bella. Pikiran wanita jika sendirian, apalagi tanpa bisa menghubungi sang suami dan sebaliknya pasti akan memikirkan yang terburuk dari pasangannya. Axzel sengaja tak menghubunginya, keduanya sama-sama salah menurut Sinan.

"Saranku, Ax, ganti sekretarismu dengan yang lain. Lebih baik yang pria sekalian. Bella bisa kamu berikan pekerjaan lain, jika memang niatmu membantu dia saja."

"Kamu sama saja dengan Qeera!" seru Axzel kesal

"Beda, aku tak cemburu dan tak ada kaitannya denganmu. Mikir dong! Sekarang, kalau Qeera pergi keluar kota bersama denganku, perasaanmu bagaimana?” Axzel diam sesaat, rahangnya mengetat mendengar pembelaan Sinan akan sikap Qeera. “Pahami kondisinya yang tengah mengandung, Ax."

Axzel semakin kesal langsung bangun. Niat ke sini minta solusi, bukan malah mendukung prasangka buruk seperti Qeera. Menyesal Axzel terpaksa menempuh perjalanan yang lama jika seperti ini.

"Ax, pikirkan perkataanku sebelum kamu menyesal nantinya!" teriak Sinan dari tempatnya.

"Kamu sama gilanya dengan istriku, Nan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status