Siti tersenyum, naik tubuh Prapto dengan percaya diri sambil bersiap memasukkan milik Prapto ke miliknya, meski ini adalah yang pertama Siti tak gentar sedikit pun. “Akh!” Dengan cepat Prapto membalik keadaan, Siti di bawah Prapto dengan leher tercekik saat ini.Prapto menyeringai, “Apa menurutmu akan semudah itu, hm?! Katakan, apa yang kamu tahu tentang keadaan anakku?”Siti terkekeh, meski sangat sulit bernapas, dia tetap tak ketakutan, “Ada orang yang tak mau Ratih melahirkan anak untukmu. Selain Ratih keturunan dari keluarga miskin, semua kehidupan harusnya diatur oleh orang yang sama selama ini.”Prapto semakin mengeratkan cekikannya, “Siapa?”“Ak-aku akan mem-beri tahu-mu setelah aku me-rasakan mi-milikmu dulu.” Ucap Siti dengan terbata. Dia masih ingin hidup setelah semua kejadian ini selesai.Prapto melepas cekikannya, membiarkan Siti mengambil napas dan mengusap lehernya sendiri. “Banyak pilihan di dunia ini, Siti. Kau lebih suka yang mudah atau yang curam untuk kau lalui. Sa
Prapto berdiri di jlambrahan, dia tak sabar untuk segera bertemu dengan mbok Jum.Sumi segera mendekati Prapto, “Ada apa, Kakang?” wajah penuh amarah itu akan dia tenangkan. Meski tak tahu apa penyebab Prapto pulang dengan keadaan seperti ini, Sumi yakin kalau akan ada yang meledak sebentar lagi.Ratih yang melihat kedekatan antara Prapto dan Sumi memang terjalin lebih mesra, seolah membuktikan waktu tak akan pernah berdusta, hanya diam dan mengambil jarak. Dia mulai menyadarkan dirinya sendiri akan posisi yang sebenarnya agar tak bermimpi terlali tinggi.“Mbok Jum?!” seolah tak ingin dengar apa pun ucapan Sumi, dia hanya ingin bertemu dengan mbok Jum saja.“Ada apa, Aden?” mbok Jum yang baru saja ke luar, segera mendekati Prapto.Wajah polos itu sangat sulit dipercaya, tapi Prapto tak ingin lagi dibohongi, “Aku hanya memberimu waktu semalam, Mbok Jum. Besok pagi, jangan sampai aku melihatmu ada di sini lagi.” Desisnya yang membuat siapa saja pendengar, bergidik ngeri.“Semalam? Di si
Siti baru saja sampai kamarnya, dia pikir akan beristirahat dan baru menemui Ratih nanti setelah lelah dan sakit ditubuhnya hilang, tapi mbok Jum malah menyambutnya di kamar. “Apa yang Mbok Jum lakukan di sini?” tanya Siti sambil terus berjalan mendekati ranjang.“Menunggumu, apa lagi? Kenapa jalanmu begitu?” tanya mbok Jum.“Tidak apa-apa. Kenapa Mbok Jum menungguku?” Siti malah balik bertanya.“Prapto pulang dari pasar, dia menyuruhku pergi dari rumah ini, dan dia juga mengatakan kalau kau sudah membuka semua rahasia padanya.” Mbok Jum mendekati Siti, “Kau pamit pergi untuk menceritakan semua hal yang kita simpan bersama ke Prapto? Kau lupa siapa aku? Aku ini ibumu sendiri?!” bentak mbok Jum. Dia yakin tak akan ada yang mendengar bentakannya meski cukup keras untuk Siti.Siti terkekeh, “Dulu kau memang ibuku, tapi setelah aku datang ke rumah ini, aku cukup tahu hubungan di antara kita, Mbok Jum. Aku hanya pelayan rendahan dan kau kepala pelayan, lalu ...untuk apa aku tetap membiarka
Ratih sedang malas ke luar, dia tetap di kamar dan duduk menghadap ke jendela. Langkah kaki datang, dia pun menoleh sejenak, tersenyum saat menemukan Sumi di sana. “Mbak, jangan menyibukkan dirimu sendiri.” Ucapnya sambil memberi tempat untuk istri tertua Prapto itu.Sumi ikut tersenyum, “Ada apa? Kulihat kamu murung dari tadi, dan mata itu, aku yakin itu bukan kelelahan, tapi kamu begadang. Saat aku ke ruang makan, aku berpapasan dengan kakang Prapto, dan itu artinya semalam dia tidak tidur denganmu, kan? Ceritakan, mungkin aku bisa membantumu.”Ratih menggeleng, “Rasanya tidak mungkin, Mbak. Semua terlalu kacau.”“Apa maksudmu, Ratih? Kau sedang hamil besar, jangan terlalu banyak pikiran.” Sumi yang tadinya ingin menyulam, kini malah kawatir dengan keadaan dan ucapan Ratih barusan.Ratih menghela napas, dia tak mungkin menahan beban ini sendiri, “Semalam mas Prapto memang tidur denganku,”Mendengar itu, Sumi marah, dia cemburu, tapi semua dia tahan demi anak yang dikandung Ratih. Ba
“Minumlah.” Pria itu memberi Siti kelapa muda yang baru saja dipetik kemarin, itu adalah milik Ratih yang mewajibkan harus ada kelapa muda di kandang untuk diminum setiap hari.Siti segera mengambilnya lalu meminumnya.“Kamu sakit? Apa aden Prapto menyakitimu?” dia kawatir karena Siti berjalan teramat pelan sejak ke luar dari warung goyang.Siti menggeleng, “Kami hanya membicarakan beberapa hal penting di sana, lagi pula mana mungkin aden Prapto menyakitiku? Aku akan pelayan pribadi ndoro Ratih.”“Kalau memang begitu, izin saja barang sehari, tidak biasa kamu muntah, kan? Aku kawatir.” kata pria itu.Siti terkekeh, “Jangan kawatirkan aku, aku ini bukan anak kecil.”“Kalau kamu bukan anak kecil, kamu tidak akan pernah bermimpi bisa bersanding dengan aden Prapto.”Siti merasa kelapa muda di tangannya jadi hambar, “Kenapa kau mengatakan itu?! Apa kau punya urusan dengan semua mimpi-mimpiku, huh?!”Pria itu tersenyum, “Kenapa kamu tersinggung? Kalau dipikir, di sini kamu yang jahat, banya
“Kenapa? Tidak biasa kamu datang ke kamarku?” tanya Prapto. Baru saja selesai menyisir rambutnya, menyemprotkan parfum, dan kini duduk di kursi panjang yang sudah ada Sumi di sana.“Katakan, Kakang. Apa yang membuatmu mau bermain gila dengan Siti?” todong Sumi.Prapto mengerutkan kening sangat dalam, tidak mengira kalau Sumi sudah mengetahui tentang semua ini. “Aku tidak pernah main gila dengannya.” sanggah Prapto. Dia tak akan pernah mengakui hubungan itu karena memang tak ada apa pun antara dirinya dan Siti.“Kalau memang begitu, kenapa Ratih mendengar hal lainnya?”Prapto lebih kaget lagi, apa kiranya Siti yang menyebarkan semua aib ini?“Aku tidak sudi Kakang menikah dengan Siti, mau jadi apa keluarga ini, Kakang? Dia pelayan dari kelas rendahan, jangan membuat Kakang malu sendiri nanti. Meski aku tidak bisa memberimu seorang anak, setidaknya Ratih sudah melahirkan anak untukmu, kan? Anak yang nantinya kurawat dengan ke dua tanganku, dengan penuh kasih sayang, setidaknya Ratih ada
Prapto terkekeh, “Kau memang tidak tahu malu. Aku menarikmu ke sini bukan karena ingin meminta jatah darimu, tapi aku minta tanggung jawabmu, ke mana kau dari tadi hingga tak melihat majikanmu hampir melahirkan, huh?!” andai Siti lelaki, mungkin lebih baik dipukul saja agar memahami akan pekerjaannya.Siti malah tertawa, dia melepas tangan Prapto yang menaut lengannya, dan menyeringai, “Buat apa? Bahkan sebentar lagi aku juga akan menjadi istrimu, seorang anak akan lahir dari rahimku, kenapa aku harus bekerja?”Tidak salah, memang wanita di depannya ini bukan wanita biasa, Prapto sudah menduganya sejak lama, “Hanya sehari dan kau bilang kau mengandung anakku? Kenapa secepat itu? Kau pikir aku bodoh, huh?!”“Lambat laun anak itu akan hadir, aku sudah menyiapkan semuanya, rahimku sangat sehat dan kau mengeluarkannya di dalam, apa lagi yang harus diragukan?” Siti tak menyangka kalau Prapto cukup kuat.“Aku yakin—““Aden Prapto, ndoro Ratih sudah melahirkan, anak Njenengan seorang putra.”
Lek Tejo mengeluarkan kantong uang, diletakkan di meja bersamaan dengan buku catatan, “Sisa seekor.”Prapto menyerahkan putranya ke pelayan, “Bawa masuk, mungkin ngantuk, biar Sumi yang mengurusnya.”“Inggih, Aden Prapto.” jawab pelayan itu lalu pergi.Prapto membuka kantong uang, menghitung dan membaca buku catatan, “Aku sangat rindu dengan pasar, seperti apa suasa di sana?” terkekeh. Hasil dari menjual sapai tak pernah mengecewakan.“Lancar, ramai seperti biasanya. Njenengan dapat salam dari aden Bima.” ucap lek Tejo.“Bima? Lapaknya cukup jauh, dia yang datang atau Lek Tejo bertemu di warung?” Prapto menyimpan kembali semua uang yang hitungannya benar dan sesuai dengan catatan.“Aden Bima yang datang. Dia ...” lek Tejo gamang, apakah dia harus menceritakan semuanya? “Ndoro Ratih sudah mau ke luar dari rumah.” Imbuhnya dan segera menunduk.Prapto berhenti, beberapa uang belum masuk kantong, dan kini tangannya menjadi lemas kembali. Sudah lama dia menghindari pembicaraan ini, tapi le