“Jamu, Mas?” Ratih menawarkan jamunya. Dia memakai kebaya hijau saat ini, sangat pantas menempel dengan kulitnya yang kuning langsat.
“Itu dia, cepat!” bentak Prapto ke kusirnya. Sebelum dokar yang dia naiki berhenti sempurna, Prapto telahmelompat lebih dulu, hingga mengagetkan Ratih yang berjalan menyusuri kampung.
“Astaga, Mas Prapto!” Ratih hanya mengelus dada, segera menurunkan rinjing yang dibawanya. Perempuan itu mencari jamu yang sudah dibuatkan oleh ibunya, tidak menyangka kalau blantik kaya yang satu ini orangnya tidak sabaran.
Prapto menarik bahu Ratih, meremas lengan kecil itu dengan kuat. Dia tak peduli dengan Ratih yang meringis kesakitan.
“Katamu, istriku akan haid sore kemarin. Tapi, apa yang terjadi? Dia tidak mengeluh apa pun, kamu berani membohongiku? Kamu belum tahu siapa aku ini, huh?!”
“Ma—Mas Prapto, ak—aku bisa menjelaskannya.” Ratih ketakutan melihat amarah itu, “Ti—tidak semua wanita subur. Jamu itu akan manjur jika yang meminumnya wanita yang subur, Mas Prapto.”
Ratih mengangguk, meyakinkan kalau dia berkata jujur, tak berniat menipu siapa pun, apa lagi Prapto.
“Siapa wanita yang subur itu?” tanya Prapto tanpa mengendurkan remasan di lengan Ratih.
Ratih yang bercerita ke ibunya, tahu kalau pria di depannya ini adalah blantik dan tuan tanah terkaya dengan tiga istri. Dia pun memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ada di kepalanya saat ini, “Ak—aku bisa membuatkan tiga jamu untuk semua istrimu, Mas Prapto. Siapa yang haid, dia yang subur dan aku akan membuatkan ramuan sepasang untukmu dan istrimu yang terpilih itu.”
Barulah Prapto melepas langan itu, menunjuk rinjing jamu Ratih dengan dagunya. Pria itu dapat melihat seperti apa gemetarnya tangan Ratih meracikkan jamu untuknya. Prapto ikut menghitung jumlah jamu itu. Saat jamu yang terakhir, Prapto segera mengeluarkan kantong uang miliknya untuk membayar jamu Ratih.
“Ini tiga, Mas Prapto. Apa Mas juga mau dibuatkan jamu seperti yang kemarin? Untuk stamina?”
Melihat Prapto yang mengangguk, Ratih pun dengan cekatan meracik jamunya. Dia menyerahkannya ke Prapto, membiarkan pria itu melemparkan uang ke rinjingnya.
Setelah Prapto pergi dengan dokarnya, barulah Ratih terduduk di tanah sambil memunguti beberapa lembar yang tak tahu berapa jumlahnya itu. Ratih segera memasukkannya ke kantong uang miliknya dan pulang. Sesampainya di rumah, perempuan itu menyambar kendi di meja tamu dan mengguyur tenggorokannya.
“Kenapa cepat sekali pulang, Ratih? Jamumu masih banyak, kan?” tanya ibu Ratih yang terkejut melihat putrinya yang tidak seperti biasanya itu.
Setelah puas, Ratih mengambil kantong uangnya. Dia mengeluarkan semua isinya di depan ibunya.
“Mas Prapto mendatangiku, Ibu. Dia ngamuk! Katanya, istrinya tidak haid. Jadi, aku membuatkan lagi jamu seperti yang kemarin untuk ke tiga istrinya, dan dia melemparku dengan uang ini. Aku takut, Ibu.”
Ibu Ratih mengusap rambut putrinya. “Jangan kawatir. Setelah nanti sore, ada salah satu istrinya yang haid. Jadi, Prapto itu tidak akan marah-marah lagi denganmu. Kamu mandi dulu, lalu makan. Biar Ibu yang membawa jamu-jamu ini ke kandang. Biasanya, di sana banyak orang sibuk, pasti mereka mau beli.”
Dengan cepat, Ibu Ratih menggendong rinjing putrinya. Jamunya ini semua dibuat secara tradisional. Dia tidak bisa diminum esok hari, akan basi. Karena itu, ibu Ratih menjualnya hari ini juga. Semua yang sudah dibuat harus menjadi uang untuk menyambung hidupnya dan mengobati suaminya.
“Sumi!” Prapto baru saja masuk rumahnya yang besar, tetapi dia sudah berteriak dengan membawa kantong berisi jamu di tangannya.
“Ada apa, Kakang?” tanya Sumi. Dia mendekat dengan setengah berlari tadi.
“Panggil semua adikmu, sekarang!”
Prapto berdiri, enggan untuk duduk. Setelah tiga istrinya duduk sejajar di depannya bersama dengan para pelayan pribadi mereka, Prapto mengeluarkan tiga jamu yang dibawanya.
“Pastikan kalian meminumnya. Kalau ada yang berani memuntahkannya, maka dia harus ke luar dari rumah ini.” Keinginannya memiliki anak sangat membumbung tinggi, Prapto tak peduli lagi dengan perasaan orang lain, baginya hanya dirinya saja yang benar.
Tiga istri Prapto itu pun meminum jamu yang dibawa oleh sang suami. Tak ada yang berani menunggu terlalu lama atau bahkan muntah. Mereka segera meneguknya dengan cepat, dan tak berani pergi sebelum diizinkan. Begitu juga dengan Sumi, rasa jamu yang sama dengan jamu yang diminumnya kemarin, malah membuatnya kebingungan. Apa kiranya yang direncanakan suaminya saat ini?
Hampir satu jam ruang keluarga ini senyap. Hanya ada suara napas yang bergantian dengan detik jam. Barulah Prapto berdiri menuju kamarnya untuk beristirahat karena kepalanya sangat pusing sekali.
Namun, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hanya ada seorang saja yang berani datang ke kamar pribadinya! Prapto pun menoleh.
“Ada apa, Mbok Jum?” tanyanya ke bibi yang bertanggung jawab dengan semua pekerjaan di rumah besarnya. Mbok Jum adalah orang kepercayaan dari zaman orang tuanya masih hidup dulu. Prapto sudah menganggap mbok Jum seperti ibu kandungnya sendiri setelah semua ibu dan bapaknya meninggalkannya sendiri di dunia ini.
“Apa yang kamu bawa tadi? Jamu?” tanya mbok Jum. Dia membawa nampan berisi makanan dan kopi untuk Prapto.
Prapto menarik nampan itu mendekat. Setelah minum kopi yang masih panas, kepalanya mulai sedikit ringan sekarang. “Iya, Mbok Jum. Doakan anakmu ini segera punya keturunan, umurku tidak muda lagi. Kapan aku memiliki semangat dengan dorongan anak kecil yang bermain di pangkuanku? Kapan? Sudah terlalu lama aku menunggu, dan dia tetap tidak datang juga.”
Prapto menghela napas panjang.
Mbok Jum mendekat, tersenyum ke Prapto. “Makanlah dulu, istirahat, aku akan memastikan semuanya lancar. Tak ada yang akan berani membohongimu,” ucapnya yang saat ini berdiri di belakang Prapto, memijiti pundak pria yang sudah dianggap seperti putranya sendiri.
“Aku enggak lapar, Mbok Jum,” tolak Prapto. Dia hampir berdiri. Lebih baik, dia tidur dari pada mengisi perutnya.
Mbok Jum terkekeh. “Jangan seperti itu! Semua orang harus sehat jika menginginkan sesuatu. Kita bekerja keras, dan apa yang kita idamkan akan dikirim oleh Tuhan, percayalah.”
Prapto menahan kekesalannya. Dia pun menuruti keinginan itu, makan apa yang dibawakan oleh mbok Jum, menghabiskan kopi itu juga, dan barulah dia naik ke ranjangnya.
“Bangunkan aku nanti setelah semua orang itu pulang, Mbok Jum. Aku malas bertemu dengan orang-orang yang ke sini hanya untuk menerima makanan dan sembako gratis,” pinta Prapto sebelum mbok Jum hilang ditelan pintu kamarnya.
Prapto memang tidak mau menganggap apa pun yang kiranya tidak membuatnya untung, seperti kematian janin dari istri ke tiganya kemarin.
“Sesuai permintaanmu.”
Mbok Jum menutup pintu itu, semua hanya agar Prapto lebih nyaman saat beristirahat.
****
“Ada apa ini, Mbak Sumi? Kita baru saja diberi minuman apa?” tanya istri ke dua.
Sumi hanya menggeleng. “Aku kemarin juga minum ini dan semalam kita melewati malam dengan luar biasa. Mungkin, kakang Prapto ingin bermain bersama kita.”
“Lalu bagaimana denganku yang masih kotor? Aku baru saja kehilangan anakku. Apa kakang Prapto menginginkanku juga? Meski dulu kakang Prapto sangat menyayangiku, nyatanya dia tidak lagi mau menoleh ke arahku semenjak anakku mati.”
Sumi membuang napas kasar. “Kamu tidak usah manja! Kita di sini semua keluarga! Dengan siapa kakang Prapto saat malam hari, yang penting tidak ada kekurangan sedikit pun untuk memenuhi kebutuhan kita. Apa kamu lupa kalau bapakmu baru saja minta sapi tiga bulan lalu, huh?! Lupa?!” bentak Sumi yang hanya dijawab embusan napas kasar saja.
Setelah tidak ada yang bertanya lagi, Sumi pun mengelilingkan kepala, “Kita istirahat, nanti malam, siapa pun yang diajak kakang Prapto, jangan ada yang bertengkar di antara kita, ngerti?!”
“Ngerti, Mbak Sumi,” jawab keduanya serempak.
Mendengar jawaban para adik madu, Sumi pun mengangguk. Kemudian, dia pergi dari ruang keluarga itu dan menuju ke kamarnya dan beristirahat. Dia yakin nanti malam akan banyak kejadian yang membuatnya lelah.Sementara itu, Prapto menggeliat. Lampu di kamarnya gelap, jendela juga belum ditutup. Meski begitu, tak banyak nyamuk karena tanaman serai ditanam mengelilingi rumah besarnya.Prapto segera ke luar dengan membawa handuknya. Di luar, masih ada tahlil karena belum tujuh hari kematian anaknya, dan Prapto tetap tidak peduli.Setelah mandi, dia kembali lagi ke kamar--mencari pakaian terbaik untuk dikenakan. Saat dia berdiri di depan cermin rias, mbok Jum kembali masuk, tapi kali ini hanya membawa cangkir saja. Prapto yang masih menyisir rambutnya yang agak panjang, segera meletakkan sisir kecil itu ke tempatnya kembali.“Aku belum membangunkanmu, acara tahlil sebentar lagi akan selesai, kamu mau makan sekarang?” tanya mbok Jum.Prapto menggeleng sambil menyeruput teh yang dibawa Mbok
Ratih baru sampai di rumah, jamu yang dijual juga sudah habis. Dia sengaja lewat pintu samping karena tahu ada tamu yang bertandang ke rumahnya.Setelah meletakkan rinjing dan mencuci kaki serta tangan, barulah Ratih ke kamar, inginnya, tapi karena letak kamar yang memungkinkan bisa melihat siapa tamunya, Ratih pun ikut bergabung di ruang tamu.“Mas Prapto,” sapanya sambil ikut duduk di sebelah ibunya.Ibu Ratih menelan ludah. “Kamu sudah pulang? Kapan?” Itu adalah pertanyaan konyol, tapi ibunya Ratih tetap menanyakan ke putrinya.“Barusan, Bu. Mas Prapto, kenapa ke sini?” Ditolehnya Prapto, “Kemarin kan belum memesan jamu, Ibu pasti belum membuatkannya, iya kan, Bu?” Ratih tersenyum sambil menoleh ke ibunya lagi, ternyata jamu ibunya kemarin menyelamatkan hidupnya.Ibu Ratih pun tersenyum masam, menarik tangan putrinya agar tak berkata sembarangan, “Nduk, Tuan Prapto—““Aku ke sini untuk menikahimu.” Prapto memotong ucapan ibunya Ratih, terlalu lama jika membiarkan perempuan tua itu
Sumi... Di sisi lain, istri pertama Prapto sangat kawatir karena suaminya tidak pulang sejak pergi tadi pagi. Dia hanya bisa duduk dengan cemas di teras. Dua adik madu Prapto dari tadi juga bertanya tentang suasa hatinya, tetatpi tak terlalu digubris juga oleh Sumi.Mbok Jum datang dengan membawakan teh serta ketela bakar, menyajikannya untuk Sumi. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya sambil duduk di sisi Sumi.“Kakang Prapto ... beberapa hari ini dia sangat aneh, aku rasa ada yang kakang Prapto sembunyikan,” jawab Sumi yang tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.Mbok Jum tersenyum. “Kamu ini istri tertua, apa yang membuatmu takut? Bahkan, nasib semua istri Prapto juga sama denganmu. Malang sekali memang putraku yang satu itu.” Mbok Jum pun juga bersedih hati.“Tapi karena kemarahan Prapto kemarin,” Mbok Jum mengingatkan Sumi tentang bayi yang baru saja mati beberapa hari yang lalu, “apa yang akan kamu lakukan jika dia pulang dengan membawa seorang istri? Hahahaha.”Mbok Jum tertawa
Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.“Ibu,” panggilnya.Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto
Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi. “Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya. “Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih. “O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya. “Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya. Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu. Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir. “Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari per
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin