Share

Apa yang salah?

Mendengar jawaban para adik madu, Sumi pun mengangguk. Kemudian, dia pergi dari ruang keluarga itu dan menuju  ke kamarnya dan  beristirahat. Dia yakin nanti malam akan banyak kejadian yang membuatnya lelah.

Sementara itu, Prapto menggeliat. Lampu di kamarnya gelap, jendela juga belum ditutup. Meski begitu, tak banyak nyamuk karena tanaman serai ditanam mengelilingi rumah besarnya.

Prapto segera ke luar dengan membawa handuknya. Di luar, masih ada tahlil karena belum tujuh hari kematian anaknya, dan Prapto tetap tidak peduli.

Setelah mandi, dia kembali lagi ke kamar--mencari pakaian terbaik untuk dikenakan. Saat dia berdiri di depan cermin rias, mbok Jum kembali masuk, tapi kali ini hanya membawa cangkir saja. Prapto yang masih menyisir rambutnya yang agak panjang, segera meletakkan sisir kecil itu ke tempatnya kembali.

“Aku belum membangunkanmu, acara tahlil sebentar lagi akan selesai, kamu mau makan sekarang?” tanya mbok Jum.

Prapto menggeleng sambil menyeruput teh yang dibawa Mbok Jum. “Banyak pesanan sapi, aku besok harus mengantar ke kota.”

Dia kemudian berdiri untuk membuka laci dan mengambil buku kerjanya. Lalu berpesan pada Mbok Jum, “Mungkin, aku pulang malam, kalau ada yang mencariku, tanya saja siapa namanya dan keperluannya apa, aku akan segera mencarinya besok lusa setelah aku pulang.” 

“Belum empat puluh hari, tidak pantas sudah kembali ke pasar, apa kata orang nanti, Aden Prapto?”

Prapto terkekeh, “Itu kan bagimu, kalau bagiku tidak, aku saja tidak mengenalnya, anggap saja yang mati orang lain.”

“Meskipun—“ Mbok Jum segera menutup mulutnya saat Prapto menatapnya tajam, “ baik. aku akan memanggilmu setelah semua acara selesai.”

Mbok Jum segera keluar dari kamar yang berhawa panas itu.

Prapto memeriksa pekerjaannya. Semua catatan tak ada yang salah. Jendela yang tetap tidak ditutup oleh Prapto menampilkan beberapa orang yang pulang dan bergerombol, sehingga Prapto pun menutup buku catatan kerja dan menyimpannya di laci lagi. Dia segera ke luar. Ini adalah saat yang sudah dia tunggu sejak tadi. Tak dia duga, istrinya sudah duduk di kursi yang tadi.

Prapto tersenyum tipis, duduk dan menatap satu persatu ke enam istrinya, “Di antara kalian, siapa yang malam ini haid?”

Sumi, sebagai istri pertama, ditatap lebih dulu. Namun, istrinya itu segera menggeleng karena dia memang tak merasakan apa pun sejak kemarin dia minum jamu itu juga, tetap tidak haid. Ikut menoleh ke istri-istri yang lain, mereka juga menggeleng seperti apa yang dia lakukan tadi.

“Kamu?” tanya Prapto ke istrinya yang baru saja kehilangan anak.

“Aku memang masih nifas, tapi malah berhenti setelah minum jamu yang tadi. Ada apa memangnya dengan jamu itu, Kakang?”

Prapto hanya mengepalkan tangan, tak ingin menjawab apa pun pertanyaan yang terlontar, bahkan saat dia berdiri, “Tidurlah, aku akan ke kota besok, jangan ada yang berani menggangguku.” 

Prapto berpikir, apa ada yang salah dengan semua ini?

***

Fajar belum muncul, tapi Prapto sudah ada di mobil bak-nya. Dia ke kota untuk mengantar pesanan sapi, memang itu adalah pekerjaannya. Kusir yang mengantarnya kemarin juga ikut dengannya, meski sopir mobil bak ini orang lain.

“Menurutmu apa yang salah?” tanya Prapto.

“Saya tidak yakin, kita tunggu saja sampai malam ini, kalau tetap, hm ... maaf, istri Tuan Prapto tidak ada yang haid, kita cari Ratih lagi, saya tahu di mana rumahnya.”

Prapto mengangguk, usulan itu cukup baik baginya. Hari pun dilalui dengan cepat. Dia mengantar sapi dan membeli anak sapi lagi, lalu pulang. Di rumah juga sudah sepi. Meski lumayan larut, Prapto kembali mengumpulkan ke tiga istrinya, menanyakan hal yang sama, dan tetap mendapatkan jawaban yang sama juga.

Ada apa ini sebenarnya? Dia tak habis pikir, bahkan tubuh lelahnya tetap tak mau diajak tidur. Prapto ke teras samping. Dia duduk di sana dengan ditemani kopi serta ketela goreng, memikirkan ada apa dengan rumah tangganya.

Sumi hanya menatap suaminya dari kejauhan, tak berani bertanya, apa lagi mendekat. Hingga waktu yang lama, Sumi kembali ke kamarnya sendiri, semoga besok suaminya lebih santai, baru Sumi akan merayu lagi.

***

Prapto kini sarapan. Tiga istrinya diam, sehingga hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang meramaikan ruang makan ini. Setelah menghabiskan sarapannya, Prapto segera berdiri.

“Ayo!” ajaknya sambil menoleh ke kusir.

Si kusir pun melahap suapan terakhir. Pria itu segera berlari ke luar menyusul Prapto.

“Ke rumah Ratih, Tuan Prapto?” tanyanya setelah naik ke dokar.

Prapto menganguk. “Ke mana lagi? Aku mau tanya apa yang salah! Kamu dengar sendiri, kan? Tiga istriku tidak ada yang haid! Yang nifas saja, malah mampet. Apa yang salah kalau sudah begini? Mau sampai kapan aku menunggu anak itu datang? Tuhan saja tidak mau memberi setelah lebih dari 20 tahun aku menikah. Berapa anakku yang mati? Kapan lagi kalau tidak sekarang juga mencari Ratih? Dia harus mempertanggungjawabkan semua jamu-jamu yang diberi padaku. Kalau tetap berkelit, dia yang harus membayar hutangnya karena sudah menjanjikan seorang anak padaku,” jawab Prapto panjang lebar.

Kusir pun hanya diam, tak berani bertanya apa pun lagi, hanya memecut kuda agar melaju lebih cepat lagi. Semakin cepat dia sampai di rumah Ratih, maka akan semakin aman juga nyawanya dan juga keluarganya, sangat tahu seperti apa kemarahan Prapto jika apa yang diinginkan terlalu lama diulur.

Dokar sampai di rumah sederhana yang pintunya terbuka. Prapto segera turun, berjalan dengan percaya diri, mengetuk pintu dari kayu yang terpasang secara kupu tarung.

“Tu—Tuan Prapto?!” pekik ibu Ratih saat rumahnya didatangi oleh sosok kaya dari desa seberang, seolah guntur ikut mengantar, menandakan badai akan datang dan menyapu rumahnya sebentar lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status