Share

Istri Ke-4 Tuan Tanah
Istri Ke-4 Tuan Tanah
Penulis: Jenang gula

Awal Pertemuan

“Bodoh! Istri tiga, cantik semua, berpendidikan, tak ada satu pun yang bisa memberiku seorang anak. Bodoh kalian!” bentaknya tak peduli dengan isak tangis atas kehilangan. Prapto juga tak tahu ini kematian yang ke berapa. Dia malas dan lelah. Kalau dipikir, sudah lebih dari lima belas kali, dan tak ada satu pun yang selamat dari maut.

Rumah besar berisi semua hal yang terbilang mahal ini terasa percuma. Hanya dipenuhi dengan suara tangis karena orang berkabung. Mereka telah kehilangan pewaris untuk yang kesekian kalinya. Hanya ada satu orang yang tak menitikkan air mata sedikit pun, yaitu Prapto. Dia terus saja mengoceh.

Sumi, istri tertua pun mendekati sang kepala keluarga. “Kakang, semua hal yang kita inginkan itu harus atas restu Sang Gusti, kita tidak bisa membeli atau bahkan memaksa, hanya bisa menunggu dikasihani lalu diberi.”

“Itu hanya pikiranmu saja yang bodoh!” bentak Prapto lagi, “Kalau kalian pintar, memang sekolah tinggi dengan benar, sangat mudah seorang anak itu, tapi kenyataannya apa?” Prapto menggeleng, “Rugi aku memberi kalian perhiasan, makanan sehat, bahkan tanah untuk orang tua kalian, rugi!”

Baru saja Sumi akan membuka mulut kembali, Prapto segera bediri dari kursi yang sedari tadi dia duduki, ke luar, mengajak kusir mencari udara segar ke warung kopi di tengah desa. Hanya di tempat ini Prapto bisa bernapas lega. Selain semua blantik sapi dan kerbau berkumpul di sini, semua perempuan melayaninya penuh senyum, semarah apa Prapto hatinya bisa melunak juga.

“Jamu, Mas?”

Prapto menoleh, “Aku tidak pernah melihatmu. Baru?” tanyanya ke penjual jamu dengan kebaya merah jambu, masih muda, entah Prapto yang sok tua atau memang merasa penjual jamu itu seperti putrinya andai Sumi memberinya keturunan sejak dulu.

“Iya, Mas. Jamu?” Tak lelah menawarkan dagangannya.

Prapto terkekeh, “Jamu biar bisa punya anak, ada?”

“Ada to, Mas kurang perkasa? Eh!” Segera menutup mulut, baru menyadari akan kesalahannya.

Prapto tak tersinggung, dia malah tertawa ringan, “Istriku tidak bisa memberiku anak, semua prematur dan lahir mati. Aku mau anak, kamu bisa memberiku jamu sepeti itu?”

“Oooo ...” Prapto mengangguk paham, “bisa. Tapi, minumnya harus tiga hari sekali, kalau mau setiap pagi, tapi harganya mahal.”

“Yakin? Kalau anakku tidak lahir juga?” Prapto tersenyum ingin tahu jawaban perempuan di hadapannya.

“Biar aku yang buatkan anak, Mas,” ucap perempuan itu sambil Menuang jamu, memberikannya ke tuan yang baru saja dikenal ini.

Prapto tertawa lagi, “Siapa namamu, Nduk?” Prapto menerima jamu itu sambil meminumnya, rasa kunyit dan asam, sangat menyegarkan.

“Ratih, kalau Mas?” menerima gelas yang dikembalikan setelah jamu yang dituangnya tadi pindah ke perut.

“Prapto,” jawabnya yang merasa gadis bernama Ratih ini sangat sopan meski biasanya penjual jamu akan centil dan manja ke padanya. “Kalau dilihat umurmu masih muda? Iya?”

“Masih 23 tahun, ibuku juga jualan jamu, Mas. Bapak sakit, jadi aku ikut jualan jamu, Mas Prapto tenang saja, jamu ibuku sangat manjur.”

Ratih segera membungkuskan jamu dua buah, menyerahkannya ke Prapto, “Ini bukan jamunya, Mas. Hanya untuk pemanasan saja, nanti sore istri Mas Prapto akan haid, untuk membersihkan rahim dulu. Besok, aku jualan ke desa sebelah, baru lusa ke sini lagi, jamu yang Mas Prapto pesan akan kubawakan.”

Prapto terkekeh, merasa aneh dan konyol. Banyak dukun, tabib, bahkan dokter dari kota yang mencoba memberinya keturunan, masak iya dengan Ratih semudah ini? Antara percaya dan tidak, nyatanya Prapto hanya bisa menertawakan dirinya sendiri.

“Berapa?” tanyanya sambil mengeluarkan dompet dari balik celana bagian dalam.

“Untuk perkenalan, 150 ribu. Kalau lusa, satu paket 100 ribu. Karena jamunya 2, jadi 200 ribu.”

“Buatkan saja besok, aku akan mencarimu ke desa seberang, tapi kalau jamu itu tidak manjur, kutagih janjimu, Ratih.”

Prapto mengeluarkan uang dua lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke Ratih.

“Beres. Kalau manjur, beri saja aku hadiah.” Ratih tertawa ringan, menerima uang itu, dan mengembalikannya lima puluh ribu ke Prapto.

“Ambil saja, untuk mengikatmu agar jamumu benar-benar manjur, tak main-main denganku.”

Ratih pun tersenyum, memasukkan selembar lima puluh ribu itu ke dompetnya lagi, “Pasti, Mas Prapto. Terima kasih, saya keliling dulu.”

Ratih menggendong kembali rinjing jamunya, berjalan keliling kampung untuk menjajakan dagangannya lagi.

“Jamu-jamu, jamu, Mas?” tawarnya ke semua pria yang sedang membeli kopi dan gorengan di warung yang terbilang ramai ini.

Tak buang waktu, Prapto segera mengajak kusir pulang. Sesampainya di rumah yang masih ramai dengan pelayat dari berbagai penjuru yang menaruh hormat pada dirinya sebagai blantik terkaya di kampung ini, Prapto berjalan melewati mereka semua. Dia mengabaikan semua pelayat itu dan segera menarik tangan Sumi masuk ke kamar.

“Minum ini, Sumi.” perintahnya tanpa ingin ditolak.

“Apa ini, Kang?” Sumi heran karena tidak biasa Prapto menyuruhnya melakukan hal yang sangat aneh.

“Ini jamu. Minum saja, kamu mau punya anak, kan?”

“Sejak kapan Kang Prapto percaya dengan jamu seperti ini? Aku enggak mau.”

Prapto yang tersinggung, menekan lengan Sumi hingga tubuh itu menubruk dinding dan meringis kesakitan. “Kamu minum sendiri atau aku yang menuangkannya ke mulutmu?” 

Sumi yang ketakutan, segera mengocok jamu itu, meminumnya, dan membiarkan pahit yang bercampur dengan aroma rempah kuat meluncur untuk melewati tenggorokannya. Semua itu membuatnya ingin muntah. Namun, Sumi menahan dengan sekuat tenaga, tak ingin melihat Prapto semakin marah jika sampai dirinya muntah nanti.

Prapto tersenyum. Pria itu mengambil minuman di nakas dan menyerahkannya ke Sumi.

“Minum!”

Setelah itu baru dirinya sendiri yang meminum jamu jatahnya, lebih pahit dari kunyit asam tadi. Prapto segera membersihkan mulutnya dengan air putih, dan meringis ke Sumi.

“Ambilkan aku makan, aku mau istirahat setelah ini, kamu juga istirahat.” Prapto duduk di ranjang setelah menyalakan kipas angin.

”Oiya!” serunya sebelum Sumi menghilang ditelan pintu, “kalau ada yang mencariku katakan aku tidak di rumah, aku malas menemui siapa pun yang ke sini melayat. Anggap saja, tidak ada apa pun yang terjadi hari ini, ngerti?” ucapnya setelah Sumi menoleh setelah dipanggil.

“Iya, Kang. Aku ambilkan makan dulu.” Sumi segera menutup pintu kamar, ke dapur untuk mengambilkan makan untuk Prapto dan mengantarkannya. Sumi menemani Prapto yang makan dengan lahap.

Wajah itu seolah sedang bersenang hati, meski begitu Sumi juga tidak berani bertanya, hanya menerka semua kemungkinan di dalam kepalanya sendiri. Bahkan, setelah Prapto selesai, Sumi juga ke luar, membiarkan suaminya itu beristirahat. Istri pertama Prapto itu lebih memilih kembali ke ruang tamu untuk menemui pelayat yang terus berdatangan sedari tadi.

Malam sudah tiba, Prapto bangun tepat setelah tahlil di rumahnya selesai. Oleh sebab itu, dia ke luar. Tak lama, istrinya yang ke-3 mendekat dengan membawakan makanan untuknya.

“Ke mana Sumi?” tanya Prapto sambil mengambil sendok, mengisi perutnya kembali.

“Mengawasi orang di dapur. Tadi, ada yang membawa piring lalu pecah.” 

“Panggil dia. Aku mau bicara sama Sumi.”

Prapto tidak menyangka kalau Sumi datang sendiri. Istrinya yang pertama itu sudah duduk di depannya. Prapto yang masih makan, tak sungkan bertanya meski akan terdengar aneh bagi Sumi.

“Kamu haid? Aku mau tidur denganmu malam ini.”

Sumi tersenyum, ternyata jamu yang tadi adalah untuk kebaikannya juga.

“Tidak, Kakang. Aku akan menyiapkan diriku dulu.” Sumi berdiri dan segera ke kamar. Dia sangat bersenang hati saat Prapto mengajaknya bermanja.

Berbeda dengan Prapto, dia malah kagetnya luar biasa,

“Kurang ajar! Kamu berani bermain denganku ternyata, Ratih!” lirihnya yang seketika kehilangan nafsu makan karena jamu yang diminumnya tak seperti apa yang Ratih ceritakan tadi siang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nurafifah Herdien
Bagus si cerita nya ini
goodnovel comment avatar
Ar_key
wwwkkk emosional
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status