"Selamat datang, Tuan Suami," sambut Bee berdiri dengan senyuman dan siap menyambut suaminya yang baru datang itu.
Bastian turun dari mobil, sejenak dia melihat istrinya lalu melangkah masuk."Eh Tuan, tunggu," panggil Bee setengah mengejar lelaki itu.Langkah Bastian terhenti. Pria itu menghela nafas panjang lalu menoleh kearah istri kecilnya."Ada apa?" tanyanya ketus."Suami pulang itu tangannya harus di cium." Bee mengambil punggung tangan Bastian dan mengecupnya.Seketika Bastian terdiam membeku ketika benda kenyal dan lembut itu menempel di punggung tangannya. Sentuhan singkat tersebut berhasil membuat tubuhnya panas dingin."Ck, jangan pegang-pegang," ketus lelaki itu menarik tangannya."Cih, dasar pelit," cibir Bee.Bastian menatap istri kecilnya dengan tatapan membunuh. Tetapi yang di tatap malah santai tanpa dosa. Sementara para pelayan sudah ketar-ketir termasuk Julio. Bee sangat berani pada suaminya, dia belum tahu saja seperti apa lelaki itu jika mengamuk.Bastian menarik pinggang Bee hingga gadis itu menempel di dada bidangnya. Namun, Bee sama sekali tidak takut, dia malah tersenyum menggoda pada lelaki tersebut. Tidak ada salahnya jika suami memeluk istrinya seperti yang di lakukan Bastian sekarang."Wah, Tuan kenapa jantungmu berdebar-debar?" Bee menempelkan telinganya kearah dada Bastian.Sontak Bastian mendorong tubuh istrinya. Dia salah tingkah sendiri karena godaan wanita itu."Aw, kasar," rintih Bee manja padahal tidak apa-apa.Bastian tak peduli dia malah berjalan masuk ke dalam kamarnya. Bee mengikuti lelaki itu, sebagai istri yang baik dia harus memastikan jika suaminya baik-baik saja.Bastian sontak berbalik hingga sang istri menabrak dada bidangnya."Aw, ampun deh. Ini dada apa batu sih? Keras sekali," gerutu Bee sambil mengelus dahinya."Apa yang kau lakukan?" tanya Bastian tajam."Memangnya salah kalau seorang istri ikut suaminya ke kamar?" sanggah Bee santai. Gadis ini sama sekali tidak takut dengan tatapan suaminya.Bastian menarik tangan gadis itu masuk ke dalam kamar mereka. Mungkin Bee berpikir dia tidak akan bisa melakukan apa-apa pada gadis ini.Pria itu melempar istrinya ke atas ranjang. Lalu dia naik dan menidih tubuh gadis kecil tersebut."Kau pikir, aku tidak bisa melakukan hal yang tidak-tidak padamu?" tanya Bastian dengan senyuman liciknya.Bukannya takut gadis itu malah menguap beberapa kali. Dia sama sekali tidak takut dengan ancaman suaminya."Hem, memangnya kau ingin melakukan apa?" tanya Bee tersenyum menggoda."Aku akan_"Pruftttttttt"Astaga."Sontak Bastian turun dari ranjang sambil mengibaskan tangannya. Wajah lelaki itu merah menahan amarah."Kau benar-benar keterlaluan," hardiknya."Tuan, kentut di depan pasangan itu membuat hubungan langgeng," celetuk Bee sambil menutup mulutnya. Dia saja rasanya mau muntah mencium bau kentutnya sendiri.Sementara Bee tertawa sampai terpingkal-pingkal seraya guling-guling di atas ranjang, dia merasa berhasil mengerjai laki-laki kejam tersebut."Kau, keluar!" bentak Bastian.Tawa Bee terhenti dia jadi kikuk melihat tatapan marah suaminya. Lalu gadis itu turun dari ranjang."Permisi, Tuan Suami. Maafkan aku, aku sengaja." Dia menangkup kedua tangannya di dada sambil membungkuk hormat."Keluar!" usir Bastian dengan tangan memerah dan rahang yang mengeras.Bee secepat kilat keluar dari kamar sebelum suaminya itu benar-benar mengamuk. Gadis tersebut kembali tertawa sampai sakit perut. Dia membayangkan wajah kesal suaminya."Makanya siapa suruh bermain-main dengan, Bee," ujar Bee menghentikan tawanya."Setidaknya ini bisa jadi hiburan untukku." Gadis itu geleng-geleng kepala.Sebenarnya Bee takut pada Bastian apalagi jika lelaki itu mengancamnya. Tetapi dia tidak mau Bastian semakin menindasnya jika dia terlihat takut. Dia bukan gadis lemah, dia harus buktikan pada lelaki itu bahwa Bastian telah salah menjadikan dia sebagai alat balas dendam.Bee berjalan menuju dapur menyiapkan makan malam untuk suaminya. Bagaimanapun dia tidak melupakan tugasnya sebagai seorang istri."Selamat malam, Nona," sapa Julio."Malam, Kak. Ada apa?" tanya Bee sambil memotong sayuran. Beberapa pelayan sudah melarangnya agar tidak masak tetapi wanita itu tidak mendengar sama sekali."Ini, Nona." Julio memberikan sebuah amplop berwarna coklat."Apa ini, Kak?" tanya Bee heran."Buka saja, Nona!" sahut Julio tersimpul.Bee mengangguk lalu membuka amplop tersebut. Pikirannya sudah menerawang dan berkelana kemana-mana, jangan-jangan itu surat cerai dari suaminya. Siapa tahu lelaki itu sudah bosan lalu menceraikannya walau usia pernikahan mereka baru beberapa hari saja.Pupil mata Bee membulat sempurna saat membaca isi dari amplop tersebut."Kak, ini...." Bee menutup mulutnya tak percaya."Iya, Nona. Anda di terima di Universitas Negeri Indonesia," sahut Julio.Bee seperti kehilangan kesadaran, dia bahkan tidak mengikuti tes apapun tetapi di nyatakan lolos sebagai calon mahasiswa dari universitas favorit di Ibukota."Kak, siapa yang mendaftarkan aku?" tanya Bee yang masih tak percaya."Tuan Muda, Nona," jawab Julio.Bee lagi-lagi tak menyangka jika Bastian melakukan ini semua demi dia. Ada apa dengan suaminya itu? Kenapa jadi baik? Atau ini trik sang suami untuk membalaskan dendamnya? Tetapi apapun rencana suaminya dia tak peduli. Bee hanya ingin kuliah seperti teman-temannya."Terima kasih, Kak," sahut Bee berkaca-kaca.Julio mengangguk dan tersenyum, sesederhana itu membuat Bee bahagia. Padahal Bastian bisa memberikan apa saja yang jauh lebih berharga dari ini."Baiklah, karena hari ini suamiku sedang baik hati. Aku akan memasak spesial untuknya." Bee meletakan amplop itu di atas meja.Gadis itu kembali berkutat dengan peralatan dapur dengan wajah senyum dan sumringah. Dia akan memasak seenak mungkin sebagai ucapan terima kasihnya pada sang suami.Setelah cukup lama berkutat dengan peralatan dapur, gadis itu menata makanan di atas meja dan dibantu oleh beberapa pelayan.Tampak Bastian berjalan menuju meja makan. Lelaki itu masih marah tetapi karena perutnya lapar, dia terpaksa harus bertemu dengan gadis menyebalkan tersebut."Silakan duduk, Tuan Suami." Bee menarik kursi agar lelaki itu duduk.Bastian tak merespon, dia duduk saja tanpa peduli dengan ucapan istri kecilnya itu."Anda ingin makan apa, Tuan?" tanya Bee ramah."Duduklah!" suruh Bastian."Duduk?" ulang Bee dengan kening mengerut.Bastian melemparkan tatapan tajamnya saat gadis itu tak kunjung duduk. Bee langsung kikuk dan duduk di kursi samping Bastian."Suapi aku!" perintahnya."Hah?" Bee terkejut dengan permintaan suaminya."Aku tidak suka mengulang perintah. Cepat suapi aku!" suruhnya lagi."Hem, baik, Tuan."Bee mengambilkan makanan untuk suaminya. Aneh sekali lelaki ini? Kenapa minta di suapi segala."Kau yakin ingin aku suapi, Tuan?" tanya Bee memastikan.Lelaki itu diam saja dan enggan menjawab pertanyaan istrinya."Kalau diam berarti iya," ucap Bee cenggesan.Bastian melipat kedua tangannya di dada. Sebenarnya dia masih kesal pada istrinya. Gadis itu benar-benar tidak sopan."Buka mulutmu, Tuan Suami!"Bersambung....Bee menatap dengan senyum amplop yang diberikan Julio tadi. Rasanya seperti bermimpi jika sang suami memberinya kesempatan untuk melanjutkan kuliah. "Tuan Suami, terima kasih." Tubuh Bastian seketika menegang ketika wanita itu memeluk dirinya. Jujur saja dia terkejut dan seperti kehilangan kesadaran. "Ck, jangan peluk-peluk." Bastian mendorong kening gadis itu menjauh. Bulan karena dia jijik tetapi tidak baik untuk kesehatan jantungnya. "Cih, dasar pelit," cibir Bee kesal. Lalu gadis itu senyam-senyum tdiak jelas saat mengingat ternyata suaminya baik juga. Walau dingin dan kejam tetapi sesungguhnya lelaki ini tak sejahat yang dia pikirkan. "Tuan Suami, sekali lagi terima kasih, ya. Kau sudah mengizinkan aku kuliah. Aku berjanji akan menjadi mahasiswa terbaik dan mendapatkan nilai tertinggi untuk menyenangkan hatimu," ucap Bee dengan senyuman sumringah dan bahagianya. Bastian tak merespon dia masih menyibukkan dirinya dengan berkas di atas mejanya. Tanpa Bes sadari lelaki yang be
"Apa kau akan terus berdiam di situ?" sindir Bastian melirik istrinya yang masih bingung. "Eh iya, Tuan." Bee mengekor Bastian. Gadis itu berjalan dengan mulut komat-kamit seperti dukun baca mantra atau lebih tepatnya merapalkan doa. Perjalanan dari vila menuju kota cukup jauh artinya selama itu juga dia akan duduk di samping suaminya. "Hem, bagaimana kalau dia tiba-tiba dia mengamuk? Lalu menerkamku." Gadis itu bergidik ngeri. Pikirannya sudah berkelana kemana-mana membayangkan sang suami yang kemasukan lalu menerkam dirinya. Keasyikan melamun hingga Bee tak sadar jika suaminya berhenti dan alhasil gadis itu menabrak dada bidang suaminya. "Aduh, ampun deh." Bee mengusap keningnya. "Itu dada apa batu sih, Tuan? Keras sekali." Dia menekan-nekan dada Bastian yang terasa keras. "Ck, jangan pegang-pegang," ketus Bastian menyingkirkan tangan istrinya. "Hehe, maaf, Tuan Suami. Sengaja." Dia cenggesan sambil mengerjabkan matanya berkali-kali. "Berjalan sejajar denganku!" perintah Bas
Bee berjalan masuk ke dalam gerbang kampus. Gadis itu celingak-celinguk mencari wajah-wajah di antara ratusan mahasiswa baru tersebut. Siapa tahu ada yang dia kenal atau teman SMA-nya yang juga berkuliah di kampus yang sama. "Bee." Gadis itu menoleh ketika ada yang memanggil namanya. "Aaaaa, Tata, Chaca." Bee berhambur kearah dua gadis yang juga berjalan menghampirinya. "Bee, astaga. Ini benar-benar dirimu? Kami mencarimu kemana-mana?" ujar salah satunya sambil memeluk Bee dengan erat. "Ck, kau ingin membunuhku?" protes Bee melepaskan pelukan kedua sahabatnya. "Malah ingin melemparmu ke laut," sahut Tata ketus. Bee terkekeh. Dia merindukan kedua sahabatnya tersebut. Memang tidak ada yang tahu tentang pernikahannya. Setelah menerima amplop kelulusan dirinya hilang bak di telan bumi. Baru menampilkan wujudnya sekarang. "Bagaimana ceritanya kalian bisa ada di sini?" tanya Bee menatap kedua sahabatnya. "Ceritanya ya kita kuliah di sini," jawab Chaca memutar bola matanya malas me
"Alena," gumam Bastian menghembuskan nafasnya kasar. "Iya, Tuan. Selama ini Nona Alena ternyata sudah kembali ke Indonesia," jelas Julio di bangku belakang kemudi. "Apa dia tahu jika adiknya bersamaku?" tanya Bastian dengan tangan yang mengepal erat. "Tidak, Tuan. Keluarga Nona Muda tidak ada yang tahu jika Nona bersama Anda," sahut Julio. Bastian tak menanggapi lagi. Lelaki itu kembali pada lamunannya. Semua rekaman ingatan di masa lalu seperti membawanya berkelana menjelajahi masa lalu. Rasa sakit, kecewa dan patah hati telah merubah dirinya menjadi pria dingin seratus delapan puluh derajat. "Apa Anda ingin bertemu dengan dia, Tuan?" tanya Julio melirik tuan-nya tersebut. Bastian memejamkan matanya. Tangan yang mengepal kuat pertanda bahwa dia sedang menahan emosi dan amarah. "Apa dia bisa di temui?" "Saya akan atur waktu, Tuan," jawab Julio. "Tetapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum pertunangan Anda dengan Nona Alena," sambung Julio. "Sesuatu?" ulang Bastian. "M
"Hufh, aku pulang pakai apa ya? Kenapa Tuan Suami tidak jemput aku?" Bee menghela nafas panjang. Gadis itu duduk di halte dekat kampus sambil menunggu suaminya. Dia bingung harus pulang pakai apa, sedangkan jarak vila dan kota cukup jauh. Bahkan dia tidak memiliki uang sepersen pun. Selama menikah dia tidak meminta uang pada suami kayaknya tersebut. "Apa Tuan Suami tidak akan menjemputku?" Matanya berkaca-kaca. Air mata meleleh di pipinya. Dia seka air mata bercampur cairan asin tersebut.Lama gadis itu duduk seperti orang bodoh di halte bis sambil menunggu kedatangan suaminya. Dia bingung kenapa suaminya belum datang dan menjemputnya.Dari arah pintu gerbang Galang keluar dengan wajah datar dan dingin. Ketika dia hendak masuk ke dalam mobil tak sengaja dia melihat gadis yang tidak lain adalah seniornya tersebut, tampak duduk dengan wajah bingungnya di halte seorang diri. Sementara Bee masih menangis segugukan seperti anak kecil. Cara dia menyeka air matanya juga seperti anak bel
"Tuan." Bee melirik suaminya. Namun, Bastian tak menanggapi sama sekali. Pria tampan kesayangan sejuta umat tersebut masih diam tanpa ekspresi. Dia seperti patung hidup yang tak bisa bergerak sama sekali. Wajah tenang seperti menandakan bahwa hatinya telah mati dari semua rasa yang ada di dalam dadanya. "Tuan, kau kenapa? Kenapa diam saja? Harusnya aku yang marah, kenapa kau terlambat menjemputku? Kau tahu aku sangat takut tadi," ungkap Bee. Julio yang duduk di bangku belakang, melirik sekilas pasangan yang tengah bertengkar tersebut. "Diam, aku sedang tidak ingin bicara denganmu!" decak Bastian menatap gadis itu tajam. Bee memalingkan wajahnya ke arah jendela. Apa suaminya ini tahu betapa dia takut tadi? Apa suaminya ini mengerti, dia trauma karena pernah mengalami kejadian yang menakutkan di masa kecilnya? Namun, kalaupun lelaki itu tahu hal tersebut tidak akan mengubah apa-apa. Bastian akan tetap menganggap dirinya sebagai alat penebus hutang saja. Air mata bergulir dari kerl
Bee menatap lelaki yang terlelap di sampingnya. Tangan lelaki itu melingkar di perutnya. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Bee, sehingga deru nafas pria itu terdengar jelas dari telinga Bee. Air mata luruh membasahi pipi gadis yang baru saja sah menjadi wanita tersebut. Dia masih ingat pergulatannya tadi malam, ketika lelaki itu meminta paksa mahkota yang dia jaga dengan susah payah. Tidak ada yang salah, lelaki ini memang suaminya. Tetapi pernikahan mereka hanya di atas kertas dan setelah surat perjanjian itu sudah habis masa berlakunya. Maka mereka akan berpisah. "Kau jahat, Tuan," lirih gadis itu menangis dalam diam. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan sang suami tetapi tidak mampu menyingkirkan tangan lelaki yang ada di perutnya tersebut. "Bagaimana kalau aku hamil? Siapa yang akan bertanggungjawab?" Dia mengigit bibir bawahnya menahan tangis supaya tak terdengar dari telinga suaminya. Bee sejenak terdiam. Dia meringgis kesakitan ketika merasakan perih di bagian area se
"Galang, bagaimana kuliahmu?" tanya seorang pria paruh baya. "Baik," jawab lelaki itu tanpa peduli dengan pertanyaan sang ayah. Lelaki paruh baya yang tengah sarapan bersama putra tunggalnya tersebut menghela nafas panjang. Hubungan mereka memang tak baik-baik saja sejak keretakan rumahtangganya bersama sang istri. "Maafkan Daddy, Son," ucapnya penuh dengan perasaan bersalah. Galang langsung terdiam. Bolehkah dia iri pada orang di luar sana yang memiliki orang tua lengkap dan hidup bahagia. Walau hidup pas-pasan tetapi mereka saling melengkapi satu sama lain. "Maafkan Daddy yang belum bisa menjadi ayah yang baik untukmu," ucap sang ayah lagi. Galang tak menggubris sama sekali. Dia malah kembali menyantap makanan di dalam piringnya. Bosan, mendengar kata maaf dari sang ayah yang tak pernah mau berubah. Ayah dan ibunya sama saja, tidak mau berubah dan malah terus berulah. Galang meletakkan sendoknya. Lalu menunggak air putih dari dalam gelas hingga tandas. "Aku berangkat." "Ga_