Axel menatap Maxime dengan tatapan datar. Setelah itu, dia tersenyum miring. "Apa kamu menyukai dia?"
Mendengar pertanyaan dari Axel, membuat Maxime terkejut. Dia langsung mengangkat wajahnya dan menatap tuan mudanya itu. "Saya tidak mungkin menyukai Nona Muda, Tuan Muda. Saya melakukan itu karena Nona Muda memang pantas mendapatkannya. Bagaimanapun juga, Nona Muda adalah istri Anda. Jadi, sudah sepantasnya saya melayani istri Anda itu."Axel menatap Maxime dengan seksama, melihat apa asistennya itu mengatakan hal sebenarnya atau sedang berbohong. Namun, setelah dilihat-lihat sepertinya Maxime mengatakan hal sejujurnya."Jadi ... apa para klien dari Singapura sudah datang?" tanya Axel tidak mau membahas hal yang menurut dia tidak penting."Belum, Tuan Muda. Tapi, tadi mereka memberi kabar jika saat ini mereka sedang dalam perjalanan kemari."Axel mengangguk. "Kalau begitu kamu boleh kembali ke ruanganmu."Maxime hanya diam. "Apa kamu tidak mendengarku, Maxime?" tanya Axel dengan suara tegas."Sa-saya mendengar, Tuan Muda."Axel menatap asistennya itu dengan tajam. "Lalu kenapa kamu masih di sini?"Maxime menelan salivanya dengan susah. "Ada yang ingin saya sampaikan, Tuan Muda," ucap Maxime ragu-ragu."Apa?" tanya Axel dingin."Ini tentang Tuan Muda Alfa, Tuan Muda," jawab Maxime."Jangan bertele-tele kalau bicara. Cepat katakan apa yang mau kamu bicarakan. Jika tidak, cepat pergi dari ruanganku!""Tuan Muda Alfa tadi pagi mengganggu istri Anda, Tuan Muda. Dan dia juga telah terbukti mengkorupsi uang perusahaan selama satu tahun ini."Axel hanya tersenyum miring menanggapi kalimat Maxime. Dia terlihat tidak merasa terganggu atau terbebani dengan laporan yang dilaporkan oleh asistennya itu. "Aku sudah tahu tentang Alfa yang menggunakan uang perusahaan karena itu aku tidak rela jika bisnis keluarga jatuh ke tangan dia.""Lalu apa yang akan Anda lakukan sekarang?" tanya Maxime."Untuk saat ini, biarkan saja dia. Kita pantau saja dia dan Tante Vera. Kita lihat sejauh apa, Alfa dan Tante Vera bertindak semaunya. Jika sudah waktunya, kita beri pelajaran ke mereka."Maxime menatap Axel dengan tatapan penuh arti. Setelah itu, Maxime menghela napas pelan. Dia memang paling paham dengan sifat tuan mudanya itu, tetapi dia juga terkadang bingung apa yang tuan mudanya mau."Baik, Tuan Muda. Kalau begitu saya pamit ke ruangan saya." Maxime berbalik hendak keluar dari ruangan Axel. Namun, langkahnya terhenti ketika Axel mengatakan sesuatu yang membuat dia tersenyum penuh arti.Maxime berbalik menatap Axel. "Apa tadi Anda mengatakan sesuatu, Tuan Muda?" tanya Maxime pura-pura tidak mendengar kalimat tuan mudanya.Axel mendengkus. "Kirimkan biodata Emily."Maxime menatap Axel sambil tersenyum. "Baik, Tuan Muda. Akan segera saya kirim," jawab Maxime sambil menundukkan kepalanya."Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Maxime."Tidak ada," jawab Axel, "kamu boleh pergi."Maxime mengangguk, dia membungkukkan tubuhnya sedikit. Setelah itu, dia berbalik dan pergi dari ruangan Axel.***Emily berjalan di koridor kampus bersama Chrisa. Sebenarnya Emily sudah melarang Chrisa untuk tidak mengikuti dirinya ketika di dalam kampus. Namun, Chrisa dengan tegas menolak perintah dari Emily. Dia berkata jika itu adalah tugas dari Tuan Del Piero langsung, jadi dia tidak boleh menolaknya.Emily mengembuskan napasnya panjang. "Ada apa, Nona Muda?" tanya Chrisa"Tidak ada, Kak," jawab Emily sambil menggelengkan kepalanya."Nona mau pesan apa? Biar saya pesankan," tanya Chrisa ketika mereka baru masuk ke kantin kampus.Emily menoleh ke arah Chrisa. "Terserah Kakak mau pesan apa. Samakan saja dengan milik Kakak.""Baik, Nona," jawab Chrisa sambil berlalu meninggalkan Emily yang sudah duduk di salah satu kursi kantin.Emily mengangguk. Setelah itu, Emily membuka buku kuliahnya dan mulai membacanya. Namun, ketika Emily sedang fokus membaca, tidak lama datang dua orang perempuan yang langsung duduk di depan Emily sambil menatap Emily dengan tatapan tidak suka.Emily yang merasa sedang diperhatikan mendongakkan wajahnya dan menatap kedua perempuan di hadapannya. "Ada yang bisa aku bantu?" tanya Emily."Kamu ini sebenarnya siapa sih?" tanya salah satu perempuan yang duduk di depan Emily, "kenapa, kamu selama satu bulan ini kita perhatikan selalu dikawal oleh pengawal Keluarga Del Piero.""Saya ....""Jangan bilang kalau kamu anggota keluarga dari keluarga Del Piero?" tebak perempuan yang satunya lagi memotong kalimat Emily."Kamu jangan bercanda, Sherly. Tidak mungkin bukan perempuan seperti dia adalah anggota Keluarga Del Piero. Kalau dia anggota Keluarga Del Piero, penampilan dia tidak akan seperti ini," ucap perempuan yang pertama kali berbicara. Dia menatap Emily dengan tatapan jijik."Kalau dia bukan anggota Keluarga Del Piero, kenapa dia selalu dikawal, Angel?" tanya perempuan yang dipanggil Sherly."Yah, apalagi kalau bukan teman ranjang Tuan Muda Alfa, ha ha ha!" jawab perempuan yang bernama Angel.Emily tidak memperdulikan dua perempuan di depannya, dia malah melanjutkan membaca bukunya membuat perempuan bernama Angel kesal dan menggebrak meja.Brak!"Heh! Kamu dengar nggak!" bentak Angel.Emily menghena napas pelan. Dia menatap Angel dengan tatapan yang sulit diartikan. "Jika aku anggota Keluarga Del Piero apa urusannya dengan kalian semua?"Angel mengepalkan tangannya. Ingin rasanya dia menjambak Emily."Kalian ini sedang apa, hah?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah meja di mana Emily duduk."Jangan bilang kalian gangguin mahasiswa lain lagi!"Angel dan Sherly langsung berdiri dari tempatnya. "Siapa juga yang gangguin dia, aku sama Sherly cuma tanya-tanya aja kok. Iya 'kan, Sher?" ucap Angel cepat.Sherly mengangguk. "I-iya kok.""Ya udah yuk Sher, kita balik ke kelas lagi." Angel menarik tangan Sherly dan meninggalkan Emily dengan pria yang menegur mereka.Pria itu menatap Angel dan Sherly yang berjalan menjauh. "Dasar pembuat onar." Setelah itu, laki-laki itu beralih menatap Emily."Kamu nggak apa-apa?"Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel