Alicia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar dan duduk di tepian tempat tidur. Tangannya mencengkeram erat ujung sprei lalu mengembuskan napasnya dengan panjang.
“Sepertinya aku tidak bisa bertahan lagi. Pria itu sangat dingin dan arogan. Tidak merasa bersalah sedikit pun dan sepertinya niatnya memang sudah bulat. Tidak akan pernah mau menyentuhku.”
Alicia jadi bingung setengah mati. Sampai kapan dia harus bertahan di dalam pernikahan yang tidak akan bisa membuatnya bahagia ini?
Tak lama kemudian, dering ponselnya berbunyi. Alicia langsung menoleh ke arah ponselnya, hatinya langsung mencelos begitu melihat nama kontak yang ada di layar ponselnya itu—Monica, nenek River.
Wanita paling berkuasa dalam keluarga Louis, sekaligus satu-satunya alasan pernikahan ini bisa terjadi. Alicia tahu, kalau ia ingin River bereaksi, maka memanggil badai adalah langkah terbaik.
“Selamat sore, Nenek,” sapanya dengan lembut.
Monica langsung bicara tanpa basa-basi. “Alicia Sayang, bagaimana keadaan kalian? Apakah cucuku itu sudah mulai menyentuhmu? Sudah ada kabar baik, hm?” tanyanya dengan penuh harap.
Alicia diam sejenak lalu menatap langit-langit kamar yang tampak indah dan elegan itu. Napasnya ditahan lalu dilepas perlahan.
“Itu hal yang sangat sulit untuk aku, Nenek. Bahkan setelah satu minggu kami menikah, River belum pernah menyentuhku sama sekali,” keluh Alicia berharap Monica memaklumi.
“Apa?!” Respon tak terduga yang membuat Alicia tersentak mendengar teriakan nenek suaminya itu.
“Jadi, selama satu minggu ini kau hanya menjadi pajangan di rumah itu, Alicia?” ucap Monica dengan suara yang menggelegar.
Alicia menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab pertanyaan wanita berusia tujuh puluh tahun itu. “Nenek. Dia sangat menjaga jarak. Jujur saja, kami tidak pernah tidur dalam satu kamar. Aku mencoba dekat, tapi ... rasanya seperti aku tidak dianggap sebagai istri.”
Seketika suasana menjadi sunyi. Namun, tak lama kemudian terdengar suara kursi digeser dengan cepat, suara sepatu beradu dengan lantai kayu.
“Terima kasih, Sayang. Aku akan urus anak beku itu. Kau tenang saja.” Monica berucap dengan nada sengit.
Klik. Telepon ditutup. Alicia hanya menghela napasnya dan menaruh ponselnya di atas nakas. Dia memilih untuk istirahat daripada harus memikirkan sikap River yang tidak akan pernah dia sentuh itu.
**
Dua jam kemudian
River menghentikan mobil sport hitamnya di depan rumah mewah bergaya kolonial milik neneknya. Ia bahkan belum sempat membuka pintu saat Monica sudah berdiri di ambang dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya penuh dengan amarah.
Masih mengenakan setelan kerja, River menunduk sedikit. “Nenek.”
“Masuk,” jawab Monica dengan nada tajam.
Begitu mereka duduk di ruang tamu, Monica langsung menembakkan pelurunya. “Sudah seminggu kau menikah dan belum juga menyentuh istrimu?! Apa yang ada di kepalamu, River?!”
River menghela napas berat mendengarnya. Dia tidak terkejut atau apa pun itu karena sudah tahu, istri kecilnya itu pasti mengadu pada neneknya. “Nenek, ini bukan hal yang bisa dipaksakan. Aku belum—”
“Simpan alasanmu!” potong Monica cepat. “Kau seorang pria, pewaris utama Louis Group! Dan kau bahkan tidak bisa memberi cucu?! Jangan bilang kalau sebenarnya kau impoten, River!”
“NEK!”
“Apa?! Harus kubilang apa lagi? Kau mau aku berpura-pura buta, huh? Alicia sudah cukup bersabar selama ini. Kau kira dia boneka hias?! Kau sudah menikahinya, River! Kalian sudah resmi menjadi pasangan suami-istri.”
River berdiri dari duduknya kemudian menghela napas berat. “Aku hanya belum siap, Nek!”
“Kenapa?! Karena wanita itu?! Wanita yang pergi tanpa menoleh?! Kau masih menggenggam lukamu seperti pusaka, huh?” teriak Monica lagi.
Monica ikut beranjak dari duduknya dan mata tuanya menatap River dengan tatapan datarnya. “Dengar, River. Aku tahu kau terluka. Tapi dunia tidak akan menunggumu sembuh! Kalau kau terus begini, satu-satunya yang kau sia-siakan adalah wanita yang masih bertahan di sampingmu!”
River memejamkan matanya mendengar ucapan neneknya itu. “Kau pun tahu aku memiliki trauma yang belum sembuh. Bagaimana jika nanti dia juga pergi meninggalkanku? Apa Nenek akan bertanggungjawab pada nasib hidupku?”
Monica tampak melunak mendengar keluhan cucunya itu. Ia lalu mendekat dan meletakkan tangan keriputnya di lengan cucunya.
“Alicia bukan dia, Nak. Dia bahkan melindungimu dariku tadi pagi. Tapi kebenaran harus kuketahui sendiri. Jangan ulangi kesalahan dengan menghukum semua orang hanya karena satu wanita yang telah meninggalkanmu.”
River hanya menunduk. Hening mengisi ruangan untuk beberapa menit.
“Dia tidak akan meninggalkanmu seperti kekasih gilamu itu,” bisik Monica pelan. “Tapi kalau kau terus mendorong dia terus menjauh… cepat atau lambat dia akan lelah.”
River menelan salivanya dengan pelan menatap sang nenek yang masih menatapnya.
“Aku akan usahakan,” ucapnya dengan pelan.
Monica tersenyum lembut melihat cucunya yang mulai melunak dan mau menuruti permintaannya itu.
“Jangan takut untuk jatuh cinta lagi, River. Kau berhak mendapatkan cinta tulus, dan itu ada pada istri kecilmu itu.”
“Jadi itu maksud kedatanganmu ke sini?” suara Steven bergetar tapi sarat akan amarah.“Hanya untuk membelaku—atau lebih tepatnya membela River seperti biasanya? Tidak heran! Dari dulu, apa pun yang terjadi, kau selalu di pihaknya. Tidak pernah sekalipun di pihakku!”Monica menatapnya tajam, tidak tergoyahkan sedikit pun oleh ledakan emosinya.“Dan bagaimana aku bisa berpihak padamu, Steven, kalau semua yang kau lakukan hanya membuat River murka? Kau tidak pernah berhenti menusuknya dari belakang, memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntunganmu sendiri.”Steven menghempaskan gelas ke meja. Cairan merah berceceran di atas kayu, tapi dia tidak peduli.“Aku juga cucumu, Monica! Cucu! Bukan hanya River seorang! Apa kau pikir dunia ini hanya berputar di sekitar dia? Kau selalu menyanjungnya, mengangkatnya sebagai pewaris segalanya, seolah aku ini sampah yang tidak layak dihitung!”Nada suaranya meninggi, matanya merah penuh dendam.Monica berdiri perlahan, tubuh tuanya memancarkan wibaw
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menembus tirai ruang tamu rumah River, tapi suasana di dalam rumah sama sekali tidak mencerminkan ketenangan.Alicia duduk di sofa, kedua tangannya menutupi wajah yang masih sembab. Malam tadi masih berputar di kepalanya—ucapan Steven, tatapan kecewa River, dan keputusannya yang menyesal.Pintu pagar depan berbunyi. Tak lama, ketukan terdengar di pintu utama.Alicia buru-buru bangkit dan mengusap sisa air matanya lalu membuka pintu.Sosok Monica berdiri di sana dengan penampilan rapi seperti biasa, tas tangan di lengan kirinya.“Alicia,” sapa Monica dengan senyum tipis, meski matanya langsung menyapu ruangan tengah mencari seseorang. “River ada?”Alicia tercekat lalu menundukkan wajahnya. “Nenek … River … dia tidak ada di rumah.”Monica mengernyit. “Tidak ada? Pagi-pagi begini ke mana dia?” tanyanya kemudian.Pertanyaan itu menusuk hati Alicia. Sejenak ia ragu, tetapi rasa bersalah menekannya. Wajahnya memucat dan bibirnya bergetar.“Kami … berteng
“Kalau aku terus di sini,” gumamnya dalam hati, “…aku takut aku akan mengucapkan hal-hal yang tak seharusnya.”Dengan langkah pelan namun mantap, River memutar tubuhnya menuju pintu.Alicia memperhatikannya dari tepi tempat tidur. Wajahnya tetap kaku, seolah tak ingin menunjukkan sedikit pun kelembutan.Ia tidak bertanya mau ke mana, tidak memanggil, tidak mencoba menghentikan.Tangan River menyentuh kenop pintu. Untuk sesaat, dia hampir membalikkan badan, hampir berkata sesuatu untuk terakhir kali.Tapi kemudian dia menelan semua kata itu, menggantinya dengan diam yang terasa berat.Klik.Pintu kamar terbuka, dan River melangkah keluar.Langkahnya bergema di lorong rumah yang sepi. Tak ada suara yang mengikutinya, tak ada panggilan dari Alicia. Hanya desahan napasnya sendiri yang terdengar.Begitu ia membuka pintu depan, udara malam yang dingin menyapu wajahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba membiarkan rasa sesak di dadanya terurai.Namun rasa itu justru makin menekan, seperti aw
Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras saat River masuk dengan langkah besar, napasnya masih tersengal karena terburu-buru.Jas yang tadi rapi kini tergantung di lengannya. Matanya langsung menyapu ruang tamu tengah mencari sosok istrinya.Alicia sedang berdiri di dekat jendela sedang menatap keluar seolah tidak peduli siapa yang masuk.Tapi tubuhnya tegang. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan sesuatu yang jelas-jelas membara di dadanya.“Alicia?” River menghampiri istrinya dengan langkah hati-hati.“Di mana kau tadi?” tanya Alicia dengan suara datarnya.River menaikan alisnya kemudian menjawab, “Di kantor. Kau tahu itu—”“Aku tanya,” potong Alicia dan menoleh perlahan ke arah River.Tatapannya tajam, matanya memerah, entah karena marah atau menahan air mata.“Apa kau masih berhubungan dengan Elena? Atau mungkin lebih dari sekadar rekan kerja? Jawab aku dengan jujur kalau kau memang mencintaiku.”River menghela napas berat kemuidan mendekat. “Alicia, dengarkan aku. Elen
“Aku tidak peduli dengan semua yang kau katakan padaku, Steven.” Alicia kemudian meninggalkan pria itu dan berjalan dengan cepat ke dalam rumahnya.Alicia membuka pintu rumah dengan lemas. Bahkan langkah kakinya terasa berat, seolah seluruh tenaga terkuras hanya untuk sampai di sini.Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, dunia seakan menjadi hening.Ia meletakkan tas di atas meja kecil di dekat pintu lalu berjalan tanpa arah menuju sofa.Begitu duduk, tubuhnya langsung terasa lunglai. Tangannya menutupi wajah, dan air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung.Isak kecil lolos dari bibirnya. “Aku … harus percaya siapa?” gumamnya dengan suara parau.Kata-kata Steven kembali bergema di kepalanya, jelas, menusuk, dan memecah keyakinannya."River tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Kau hanya akan jadi tameng dan fantasi seksnya."Alicia menggeleng kuat, mencoba menepis suara itu. Namun semakin dia mencoba, semakin nyata rasa ragu yang menyusup. Semua y
Alicia baru saja menutup pintu mobilnya ketika suara langkah seseorang terdengar mendekat.Ia mendongak dan mendapati Steven berdiri hanya beberapa meter darinya. Tatapan pria itu penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—entah ejekan, atau sekadar kepuasan aneh melihatnya.“Untuk apa kau datang kemari?” tanya Alicia datar dengan kedua tangannya menahan tali tas yang tergantung di bahunya.Steven tersenyum miring, seperti orang yang baru saja menemukan celah untuk menusuk lawan.“Aku cuma ingin bicara. Dan … aku tahu sesuatu,” ujarnya santai tapi nadanya mengandung racun.Alis Alicia sedikit berkerut. “Sesuatu?” ulangnya kemudian. “Apa yang kau tahu, Steven?”Steven mengangguk dan melangkah beberapa langkah ke arah Alicia.“Aku tahu kau melihatnya,” lanjut Steven kemudian memperlihatkan foto saat Alicia melihat River tengah menggendong Elena menuju klinik.