Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam. Alicia berdiri di depan cermin besar di sudut kamarnya, menatap refleksi dirinya dalam lingerie berwarna burgundy yang nyaris tembus pandang.
Kain tipis itu melingkupi tubuhnya seperti kabut lembut, menggantung hanya dengan dua tali tipis di bahu dan satu di punggung.
“Kau harus berani, Alicia. Ini hanya tubuh. Dan dia pria, bukan dewa petir.” Alicia memberikan semangat pada dirinya sendiri untuk bersiap menggoda suaminya lagi.
Ia kemudian mengoleskan lipstik merah darah ke bibirnya, lalu mengambil jubah satin dan memakainya sekilas—meski tahu, jubah itu tak akan menyembunyikan apa pun.
Sudah seminggu lebih mereka menikah, dan belum sekali pun River memeluknya, apalagi menyentuh. Bahkan mencium pipinya pun tidak. Dan malam ini, Alicia memutuskan akan menyerang kembali.
Persetan dengan rasa malu atau titel murahan yang sudah melekat dalam dirinya. Malam ini, dia harus bisa menaklukan River demi masa depannya yang membutuhkan banyak kebutuhan dan juga kenyamanan.
River baru saja selesai mandi ketika pintu kamar dibuka pelan. Ia masih bertelanjang dada, hanya mengenakan celana tidur panjang. Rambutnya basah dan acak-acakan, wajahnya dingin seperti biasa. Tapi napasnya tertahan sesaat saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
Alicia.
Dengan jubah satin terbuka, memperlihatkan lingerie yang nyaris tak menyembunyikan apa pun. Punggungnya terbuka. Kakinya jenjang dan kulitnya bercahaya. Tatapannya tajam. Menggoda.
“Apa yang kau lakukan?” tanya River dengan nada berat dan tajam. Seperti biasa, River masih bersikap seolah tidak tergoda sedikit pun pada lekuk tubuh indah sang istri.
Alicia melangkah masuk dengan pelan dan percaya diri. “Menagih hakku sebagai istri.”
River menoleh ke arah meja kemudian meneguk air mineral yang tersisa di botolnya. Tapi tangannya sedikit gemetar serta napasnya mulai berat. “Jangan main-main, Alicia.”
“Siapa yang main-main?” Ia melangkah lebih dekat lagi. “Kau pikir hanya kau yang bisa membuat aturan? Aku lelah ditolak. Lelah dianggap tak pantas disentuh. Jadi malam ini aku akan membuatmu berhenti melihatku seperti anak kecil.”
Dalam satu gerakan cepat, Alicia melepaskan jubah satinnya dan membiarkannya jatuh ke lantai.
River membalikkan tubuhnya dengan cepat, memunggungi Alicia yang membuat napasnya tercekat. Tangannya mengepal di sisi tubuh, mencoba menahan reaksi yang sedang dia alami saat ini—terangsang. “Brengsek,” umpatnya kemudian.
Alicia tersenyum kecil. “Takut tergoda? Atau sudah tergoda, hm?” goda Alicia kemudan.
River kemudian menoleh dengan pelan dan kali ini tatapan matanya berbeda.
Mata cokelat gelap itu berubah. Tak lagi beku. Tapi membara. Penuh bara yang tertahan, seperti gunung api yang mencoba tenang di balik lapisan salju. Tatapannya melumat dari atas ke bawah, membuat Alicia mendadak kehilangan kendali atas degup jantungnya.
Langkah River berat saat ia mendekat. Sekali. Dua kali. Sampai tubuh mereka hanya dipisahkan jarak napas. “Sudah cukup, Alicia,” gumam River. “Kau menang malam ini.”
Dan sebelum Alicia bisa menanggapi, bibir pria itu melumat bibirnya dengan kasar.
Alicia terpaku.
Ini ciuman pertamanya dari River.
Dan pria itu mencium dengan tekanan kuat. Tak ada kelembutan. Hanya kemarahan yang berubah menjadi hasrat—panas dan menuntut. Lidahnya menjelajahi, menarik, mengikat lidah Alicia dalam permainan yang membuat lututnya nyaris lemas.
Tangan River naik ke punggungnya, menyentuh tali lingerie tipis yang hanya menjadi satu-satunya penghalang—
Dan saat jari River mulai menarik simpul tali itu...
“Jangan!” Alicia mendorongnya dengan tiba-tiba.
River menatapnya dengan wajah terkejut. “Kenapa? Bukankah kau sendiri yang ingin kusentuh malam ini, Alicia? Menjajakan tubuhmu padaku agar aku menyentuhmu.”
Alicia memeluk tubuhnya dengan erat seraya menatap wajah River yang sangat tajam itu.
“Kau … tidak akan menyentuhku dengan lembut. Ciumanmu saja sangat kasar. Bagaimana dengan yang selanjutnya?” ucap Alicia dengan nada paniknya.
“Jadi sekarang kau takut?” desisnya kemudian. “Setelah memakai pakaian seperti itu, datang ke kamarku, berdiri seperti godaan neraka ... lalu kau mundur begitu saja, huh?”
Alicia menggigit bibirnya kemudian menghela napas dengan panjang. “Aku hanya … terkejut. Tatapanmu seperti ... seperti binatang yang kelaparan. Bukan seorang suami yang menginginkan istrinya.”
River mendekat sekali lagi, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Alicia. “Kau pikir hanya kau yang bisa bermain-main dengan hasrat?” bisiknya dingin. “Kau pikir aku patung batu? Hah?! Kau menggodaku, lalu takut sendiri?”
Alicia mundur setengah langkah. Tapi River menahan lengannya, dan dengan suara berat, penuh penghinaan, ia mendesis, “Kalau kau pikir aku yang lemah karena belum menyentuhmu … lihat cermin sekarang.”
Ia mendekat ke telinganya. “Sebenarnya, Alicia … kaulah yang lemah.”
“Jadi itu maksud kedatanganmu ke sini?” suara Steven bergetar tapi sarat akan amarah.“Hanya untuk membelaku—atau lebih tepatnya membela River seperti biasanya? Tidak heran! Dari dulu, apa pun yang terjadi, kau selalu di pihaknya. Tidak pernah sekalipun di pihakku!”Monica menatapnya tajam, tidak tergoyahkan sedikit pun oleh ledakan emosinya.“Dan bagaimana aku bisa berpihak padamu, Steven, kalau semua yang kau lakukan hanya membuat River murka? Kau tidak pernah berhenti menusuknya dari belakang, memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntunganmu sendiri.”Steven menghempaskan gelas ke meja. Cairan merah berceceran di atas kayu, tapi dia tidak peduli.“Aku juga cucumu, Monica! Cucu! Bukan hanya River seorang! Apa kau pikir dunia ini hanya berputar di sekitar dia? Kau selalu menyanjungnya, mengangkatnya sebagai pewaris segalanya, seolah aku ini sampah yang tidak layak dihitung!”Nada suaranya meninggi, matanya merah penuh dendam.Monica berdiri perlahan, tubuh tuanya memancarkan wibaw
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menembus tirai ruang tamu rumah River, tapi suasana di dalam rumah sama sekali tidak mencerminkan ketenangan.Alicia duduk di sofa, kedua tangannya menutupi wajah yang masih sembab. Malam tadi masih berputar di kepalanya—ucapan Steven, tatapan kecewa River, dan keputusannya yang menyesal.Pintu pagar depan berbunyi. Tak lama, ketukan terdengar di pintu utama.Alicia buru-buru bangkit dan mengusap sisa air matanya lalu membuka pintu.Sosok Monica berdiri di sana dengan penampilan rapi seperti biasa, tas tangan di lengan kirinya.“Alicia,” sapa Monica dengan senyum tipis, meski matanya langsung menyapu ruangan tengah mencari seseorang. “River ada?”Alicia tercekat lalu menundukkan wajahnya. “Nenek … River … dia tidak ada di rumah.”Monica mengernyit. “Tidak ada? Pagi-pagi begini ke mana dia?” tanyanya kemudian.Pertanyaan itu menusuk hati Alicia. Sejenak ia ragu, tetapi rasa bersalah menekannya. Wajahnya memucat dan bibirnya bergetar.“Kami … berteng
“Kalau aku terus di sini,” gumamnya dalam hati, “…aku takut aku akan mengucapkan hal-hal yang tak seharusnya.”Dengan langkah pelan namun mantap, River memutar tubuhnya menuju pintu.Alicia memperhatikannya dari tepi tempat tidur. Wajahnya tetap kaku, seolah tak ingin menunjukkan sedikit pun kelembutan.Ia tidak bertanya mau ke mana, tidak memanggil, tidak mencoba menghentikan.Tangan River menyentuh kenop pintu. Untuk sesaat, dia hampir membalikkan badan, hampir berkata sesuatu untuk terakhir kali.Tapi kemudian dia menelan semua kata itu, menggantinya dengan diam yang terasa berat.Klik.Pintu kamar terbuka, dan River melangkah keluar.Langkahnya bergema di lorong rumah yang sepi. Tak ada suara yang mengikutinya, tak ada panggilan dari Alicia. Hanya desahan napasnya sendiri yang terdengar.Begitu ia membuka pintu depan, udara malam yang dingin menyapu wajahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba membiarkan rasa sesak di dadanya terurai.Namun rasa itu justru makin menekan, seperti aw
Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras saat River masuk dengan langkah besar, napasnya masih tersengal karena terburu-buru.Jas yang tadi rapi kini tergantung di lengannya. Matanya langsung menyapu ruang tamu tengah mencari sosok istrinya.Alicia sedang berdiri di dekat jendela sedang menatap keluar seolah tidak peduli siapa yang masuk.Tapi tubuhnya tegang. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan sesuatu yang jelas-jelas membara di dadanya.“Alicia?” River menghampiri istrinya dengan langkah hati-hati.“Di mana kau tadi?” tanya Alicia dengan suara datarnya.River menaikan alisnya kemudian menjawab, “Di kantor. Kau tahu itu—”“Aku tanya,” potong Alicia dan menoleh perlahan ke arah River.Tatapannya tajam, matanya memerah, entah karena marah atau menahan air mata.“Apa kau masih berhubungan dengan Elena? Atau mungkin lebih dari sekadar rekan kerja? Jawab aku dengan jujur kalau kau memang mencintaiku.”River menghela napas berat kemuidan mendekat. “Alicia, dengarkan aku. Elen
“Aku tidak peduli dengan semua yang kau katakan padaku, Steven.” Alicia kemudian meninggalkan pria itu dan berjalan dengan cepat ke dalam rumahnya.Alicia membuka pintu rumah dengan lemas. Bahkan langkah kakinya terasa berat, seolah seluruh tenaga terkuras hanya untuk sampai di sini.Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, dunia seakan menjadi hening.Ia meletakkan tas di atas meja kecil di dekat pintu lalu berjalan tanpa arah menuju sofa.Begitu duduk, tubuhnya langsung terasa lunglai. Tangannya menutupi wajah, dan air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung.Isak kecil lolos dari bibirnya. “Aku … harus percaya siapa?” gumamnya dengan suara parau.Kata-kata Steven kembali bergema di kepalanya, jelas, menusuk, dan memecah keyakinannya."River tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Kau hanya akan jadi tameng dan fantasi seksnya."Alicia menggeleng kuat, mencoba menepis suara itu. Namun semakin dia mencoba, semakin nyata rasa ragu yang menyusup. Semua y
Alicia baru saja menutup pintu mobilnya ketika suara langkah seseorang terdengar mendekat.Ia mendongak dan mendapati Steven berdiri hanya beberapa meter darinya. Tatapan pria itu penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—entah ejekan, atau sekadar kepuasan aneh melihatnya.“Untuk apa kau datang kemari?” tanya Alicia datar dengan kedua tangannya menahan tali tas yang tergantung di bahunya.Steven tersenyum miring, seperti orang yang baru saja menemukan celah untuk menusuk lawan.“Aku cuma ingin bicara. Dan … aku tahu sesuatu,” ujarnya santai tapi nadanya mengandung racun.Alis Alicia sedikit berkerut. “Sesuatu?” ulangnya kemudian. “Apa yang kau tahu, Steven?”Steven mengangguk dan melangkah beberapa langkah ke arah Alicia.“Aku tahu kau melihatnya,” lanjut Steven kemudian memperlihatkan foto saat Alicia melihat River tengah menggendong Elena menuju klinik.