"Ada yang ingin Papa bicarakan kepada kalian," ucap Hermawan seraya menaruh alat makan yang digenggamnya. Ia menatap anak-anak serta istrinya yang detik itu juga menghentikan aktivitas mereka. Istrinya, Marisa, menyentuh lengan pria tersebut, memberi kode agar sang suami tidak mengatakan apa yang ingin disampaikan detik ini juga.
Marisa sudah mengetahui apa yang akan suaminya bicarakan, setidaknya selesaikan terlebih dahulu makan malam mereka baru berbicara. Marisa takut pembicaraan suaminya justru akan mempengaruhi suasana hati kedua putrinya sehingga tidak menyelesaikan kebutuhan mereka.
Hermawan tidak menghiraukan peringatan sang istri, ia justru memberi kode kepada istrinya bahwa ia tidak akan menghentikan apa yang akan ia lakukan. Ia menatap putri sulungnya yang bernama Clarissa, juga putri bungsunya Amanda. Kedua perempuan itu juga sedari tadi memusatkan perhatian kepada ayah mereka.
Terutama Amanda, ia merasa sangat penasaran dengan apa yang akan ayahnya bicarakan karena mata pria itu selalu tertuju kepadanya bahkan sebelum makan malam ini dimulai. Perasaannya menyatakan bahwa akan ada sesuatu yang buruk yang akan menimpanya.
Pria berusia pertengahan kepala lima itu berdeham. "Kalian pasti tahu kan kalau keluarga kita itu sedang mengalami kesulitan ekonomi, perusahaan keluarga kita hampir bangkrut, keluarga kita juga terlilit banyak utang."
Amanda sangat mengetahui hal itu. Perusahaan retail milik keluarganya memang tengah mengalami kendala, hampir bangkrut di tengah persaingan ketat perusahaan-perusahaan serupa. perusahaan ini diturunkan oleh kakeknya kepada sang ayah, ketidak pandaian ayahnya dalam mengurus perusahaan menjadikan perusahaan sulit berkembang hingga menjadikannya seperti ini. Satu tahun terakhir ayahnya meminjam uang kepada rekan bisnisnya untuk mengembalikan keadaan, tetapi ternyata gagal. Banyak cabang-cabang toko yang terpaksa ditutup, juga mengurangi karyawan secara besar-besaran, tetap perusahaan mereka tidak berkembang seperti semula.
Amanda mengangguk saja mendengar kalimat yang diucapkan ayahnya. Ia menatap pria tua itu, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya. Lagi-lagi, pria itu kembali kedapatan tengah menatapnya. Gadis itu mengalihkan tatapan kepada ibunya, beliau juga melakukan hal yang sama kepadanya. Perasaannya benar-benar tidak enak. Melalui ekor matanya, ia melihat ke samping kepada kakaknya. Perempuan itu tampak santai, berbeda jauh dengan dirinya yang mulai menegang, bahkan kini ia menegakkan tubuhnya. Memang, ia memiliki perasaan yang lebih sensitif dan biasanya, firasatnya selalu benar.
"Pak Hartanto menawarkan kepada Papa untuk melunasi utang secara percuma, beliau juga menawarkan akan memberikan sokongan dana untuk perusahaan kita dan membantu perusahaan kita agar maju kembali," jelas pria itu. Namun Amanda tidak menemukan inti dari kalimat yang ayahnya itu katakan.
Tidak bisa dimungkiri Amanda senang mendengar penuturan sang ayah, tetapi rasanya seperti ada yang mengganjal. Di era modern seperti ini sangat tidak masuk akal mendengar kata 'percuma', pasti ada sesuatu dibaliknya, apalagi ini menyangkut dengan uang yang banyak. Tidak ada yang gratis di dunia, kalau pun ada, pasti harus ada timbal baliknya.
"Tetapi Pak Hartanto meminta sebuah syarat jika Papa ingin menerima bantuannya."
Sudah Amanda duga. Gadis itu menautkan kedua alis menatap ayahnya, ia merasa bingung saja mengapa ayahnya masih mengatakan bahwa Pak Hartanto itu membatunya secara percuma padahal harus ada syarat yang harus dipenuhi.
"Itu namanya bukan menawarkan secara percuma, tapi memang beliau ingin Papa melakukan apa yang dimaunya saja," sahut gadis itu, mengeluarkan isi hati dan pemikirannya mengenai apa yang ayahnya katakan.
Hermawan menatap putri bungsunya, kemudian menghela napas cukup panjang. "Apa pun itu, Papa benar-benar membutuhkan bantuan Pak Hartanto."
"Memang Pak Hartanto itu kasih syarat apa?" Amanda kembali bersuara, sampai dirinya heran sendiri mengapa kakak dan ibunya tidak penasaran dengan syarat yang diajukan oleh Pak Hartanto kepada ayahnya.
"Pak Hartanto meminta Papa untuk menikahkan salah satu putri Papa dengan anaknya," jawab Hermawan berhasil membuat Amanda menutup mulut saking terkejutnya, ia menatap papanya itu tidak percaya.
"Dan Papa akan melakukan hal itu?"
"Papa sangat terpaksa."
Tiga kata yang diucapkan ayahnya menjelaskan sekali bahwa ayahnya itu akan menuruti keinginan Pak Hartanto, yaitu menikahkan salah satu putrinya dengan anak Pak Hartanto.
Bukankah itu tidak terlalu kejam. Mengapa ibu dan kakaknya tidak memprotes sama sekali?
Amanda menggeserkan duduknya menghadap sang kakak, menatap kakak perempuannya itu tak percaya. "Kakak setuju menikah dengan anak Pak Hartanto?" tanyanya.
"Tentu saja nggak!" jawab perempuan yang usianya enam tahun di atas sang adik.
"Lantas kenapa Kakak nggak protes?"
"Karena Papa sudah memutuskan, kalau kamulah yang akan Papa nikahkan dengan anak Pak Hartanto," sahut Hermawan menjawab pertanyaan yang dilontarkan anak bungsunya kepada anak sulungnya.
Amanda langsung melebarkan kedua mata mendengar jawaban yang dilontarkan Hermawan, detik berikutnya suara pekikan menggema di ruangan khusus untuk makan tersebut.
"Amanda nggak mau!" Gadis itu langsung bangkit dari duduknya secara serentak, membuat kursi yang didudukinya bergeser dan menimbulkan suara decitan. "Kok jadi Amanda, sih, Pa. Papa bilang pengumuman ini untuk kita semua, nyatanya yang gak tahu apa-apa di meja makan ini cuma Amanda kan?"
"Amanda nggak mau dijadiin alat pembayar utang!" protes gadis itu bertubi-tubi. "Kenapa harus Amanda, kenapa nggak Kak Clarisa aja. Kak Clarisa itu lebih cukup umur daripada Amanda!"
Hermawan dan Marissa secara kompak menyentuh pelipis, merasa kepala mereka akan meledak detik itu juga mendengar protes yang dilayangkan anak bungsu mereka, mereka sudah menduga akan terjadi seperti ini. Sementara Clarisa yang namanya disinggung oleh sang adik, bergeming di tempatnya, ia memang sudah mengetahu hal ini bahkan jauh sebelum hari ini. Ibunya yang memberitahu lebih dahulu, dan ia sangat bersyukur karena bisa lebih dahulu menolak. Kedua orang tuanya mengabulkan, ia tak peduli bahwa nanti akan didahului menikah oleh adiknya, yang terpenting adalah ia tidak menikah dengan orang yang tidak dirinya cintai.
"Ya karena Kakak juga nggak mau!" balas perempuan yang sedari tadi berdiam diri itu.
"Kakak egois!"
"Kamu yang egois!" Adik dan kakak tersebut memang tidak pernah akur, mereka saling membenci satu sama lain sebagai saudara. Mereka akan bertengkar jika disatukan dalam satu ruangan, apalagi dalam situasi yang sangat sulit seperti ini. "Selama ini Kakak selalu membantu keluarga ini, bahkan kuliah kamu aja Kakak yang biayain selama keluarga kita lagi krisis kayak gini!"
"Kakak tanya, selama ini kamu udah ngelakuin apa aja untuk keluarga kita?"
"Apa sih kak?!" sentak Amanda. Ia sungguh tidak menyukai kalimat yang kakaknya lontarkan, seperti tengah merendahkan dirinya saja. Memang selama ini kakaknya itu membantu keluarga yang sedang krisis ekonomi, kakaknya membantu bekerja di perusahaan, selain itu ia juga adalah seorang model, namanya sudah malang melintang, wajahnya banyak terpampang di berbagai majalah, pendapatannya sebagai model juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Namun kakaknya itu tidak seharusnya merendahkannya seperti ini. Lagi pula bukan keinginannya untuk tidak membantu keluarga, justru ayah dan ibunya yang menyuruh untuk fokus pada kuliahnya saja. Kemudian kakaknya sendiri pun menyuruhnya demikian, apakah ia lupa atau memang sengaja menyanjungnya selama ini untuk kemudian dijadikan tumbal pada situasi seperti saat ini?Kalau benar demikian, berarti kakaknya sangat licik."Benar kan apa yang Kakak omongin, kamu itu cuma bisanya foya-foya aja, ngerepotin keluarga!"Amanda me
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan berharap perasaannya jauh lebih tenang. Sudah ada keluarga calon besannya di bawah, akan menjadi tidak enak kalau mereka mendengar pertengkaran keluarganya.Marissa melembutkan tatapan saat menatap Amanda yang masih bergelut di atas kasur dengan pakaian yang sama seperti yang terakhir dirinya lihat saat membawakan pakaian serta alat-alat make up untuk anak gadisnya itu kenakan pada acara makan malam bersama keluarga Hartanto.Amanda belum bersiap sama sekali, Marissa sangsi bahwa anaknya itu bahkan sudah membersihkan diri atau belum."Kenapa kamu belum pakai pakaian yang Mama kasih?" tanyanya seraya menatap Amanda bergantian pada gaun putih yang terletak di meja rias, posisi gaun itu masih sama seperti saat pertama ia meletakkannya. Amanda belum menyentuh gaun itu sama sekali."Males!" jawab gadis itu sinis, lagi-lagi Marissa menarik napas panjang, kali ini supaya emosinya tida
Gadis itu menghela napas pasrah, kemudian mencoba kembali melangkah mengikuti pijakan ibunya. Amanda menyemangati diri sendiri, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa dirinya harus hadir ke acara ini agar cepat berakhir, Amanda meyakinkan diri bahwa jika dirinya terus mengulur waktu, maka pertemuan ini tidak akan pernah selesai.Amanda berjalan seraya menunduk, hingga tanpa sadar bahwa kini ada empat pasang mata yang tengah menatapnya. Merasa diperhatikan, Amanda mengangkat secara perlahan pandangannya hingga indra penglihatannya itu menatap sang ayah yang menatapnya tajam, pria itu pasti marah karena dirinya sangat lama. Amanda dibuat tersentak oleh tatapan ayahnya itu, kemudian tatapannya tanpa sengaja menatap wanita itu yang tengah tersenyum ramah juga pria tua di sebelahnya, kemudian di pria di sebelahnya lagi yang tanpa terlihat lebih muda.
"Amanda nggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa!" Pekikan menggema di seluruh sudut-sudut ruangan, gadis itu tidak terima atas keputusan sepihak yang diambil oleh keluarganya dan keluarga Hartanto tanpa meminta pertimbangannya terlebih dahulu.Keluarga Hartanto sudah meninggalkan kediaman keluarga Hermawan beberapa menit yang lalu, menyisakan anggota pemilik rumah yang kini tengah duduk di ruang keluarga. Semula tampak tenang dengan putri sulung mereka yang ikut bergabung sebelum akhirnya suara putri bungsu mereka memecah ketenangan ini.Amanda sudah tidak tahan lagi, ingin memprotes atas hasil pembicaraan beberapa menit yang lalu bersama keluarga Hartanto. Banyak hal yang sudah disepakati, tetapi tidak ada satu pun kesepakatan yang dirinya setujui. Mereka mengambil kesepakatan tanpa meminta persetujuannya, bahkan ayahnya memaksa ia untuk tidak berbicara.
"Kenapa. Hmm?" Amanda tidak kunjung menjawab membuat Alex kembali membuka suara.Walau sebentar, tetapi Amanda cukup puas karena sudah bisa sedikit menumpahkan kesedihan dan rasa sesak di dadanya dengan menangis. Gadis itu mengelap air matanya sendiri kemudian menatap Alex dengan kedua sudut bibir yang tersungging tipis. Perasaannya kini sudah jauh lebih membaik.Amanda sudah memikirkan ini semalaman, ia harus memberitahukan Alex tentang permasalahanya, bagaimanapun nanti tanggapan laki-laki itu walau dirinya yakin sudah pasti Alex akan mengakhiri hubungan mereka. Namun itu hal yang baik bukan, Alex berhak bahagia bersama wanita yang lebih baik darinya."Bisa kita bicara di tempat yang agak sepi?"Alex menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian kembali
Amanda menatap tidak suka pada orang-orang yang berjaga di depan rumahnya, orang-orang bertubuh besar dengan pakaian serba hitam serta wajahnya yang bagi Amanda sangat menyeramkan. Orang-orang tersebut adalah orang suruhan keluarga Hartanto untuk menjaga rumahnya, lebih tepatnya adalah orang suruhan nyonya Alina, jumlahnya kalau Amanda hitung ada dua puluh orang. Mereka tersebar ke seluruh penjuru rumahnya, mulai dari halaman depan hingga halaman belakang, kemudian sisi kanan dan sisi kiri, serta setiap lekuk bentuk rumahnya.Amanda heran mengapa kedua orang tua serta kakaknya tidak merasa risi akan keberadaan orang-orang tersebut, berbanding terbalik dengan dirinya yang benar-benar tidak nyaman juga ketakutan. Mengapa orang tuanya mau-mau saja dikirimi penjaga oleh Nyonya Alina, dan untuk apa pula Nyonya Alina mengirim penjaga sebanyak itu ke rumahnya.Kalau Nyonya Alina tahu, tidak ada satu pun harta benda berharga yang tersisa di rumahn
Pria pemilik nama panjang Narendra Hartanto tersebut tersentak mendengar suara pintu mobil yang ditutup secara kasar, pelaku tentu adalah gadis yang beberapa hari lagi akan resmi menjadi istrinya. Seperti itu perlakuan Amanda kepadanya setiap mereka bertemu, seperti tidak ada hal baik yang dimiliki gadis itu dalam dirinya. Kalau bukan atas permintaan ibunya yang katanya ia jarang sekali mengantar dan menjemput Amanda, ia juga sangat tidak bersedia melakukan apa yang sudah dilakukannya ini. Beberapa saat lalu, Amanda bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun, kata pamit atau bahkan ucapan terima kasih karena sudah mengantar selamat sampai tujuan.Namun bukan itu yang Rendra inginkan, ia bukan pria gila hormat yang akan mengamuk bila ada seseorang yang berperilaku sedikit kurang ajar kepadanya, tetapi hanya merasa heran mengapa ibunya justru menyukai gadis yang kurang memiliki sikap sopan santun sepert
"Kita makanan dulu yuk, aku lapar belum makan apa pun dari pagi," ucap gadis manis yang mencepol rambutnya tersebut diangguki gadis yang rambutnya terurai indah berwarna marun di bagian bawahnya."Ayo Man," ucap gadis rambut marun–Divya seraya meraih tangan Amanda yang terkulai lemah di kedua sisi tubuhnya, Divya mengernyitkan kening melihat Amanda yang lesu tidak bersemangat itu.Francie yang menyadari kebingungan Divya sedikit menyikut bahunya. "Sudah dari tadi seperti itu, kita makan di apartemen kamu aja, drive thru.""Baiklah," ucap Divya dan kini bersama Francie menyeret lengan kiri dan kanan Amanda yang sepertinya tidak akan bergerak sedikit pun jika tidak dengan cara seperti itu. Seraya berjalan dengan menyeret Amanda supaya berjalan agak cepat, keduanya terus bertanya apa yang telah terjadi dengan. Na