"Amanda nggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa!" Pekikan menggema di seluruh sudut-sudut ruangan, gadis itu tidak terima atas keputusan sepihak yang diambil oleh keluarganya dan keluarga Hartanto tanpa meminta pertimbangannya terlebih dahulu.
Keluarga Hartanto sudah meninggalkan kediaman keluarga Hermawan beberapa menit yang lalu, menyisakan anggota pemilik rumah yang kini tengah duduk di ruang keluarga. Semula tampak tenang dengan putri sulung mereka yang ikut bergabung sebelum akhirnya suara putri bungsu mereka memecah ketenangan ini.
Amanda sudah tidak tahan lagi, ingin memprotes atas hasil pembicaraan beberapa menit yang lalu bersama keluarga Hartanto. Banyak hal yang sudah disepakati, tetapi tidak ada satu pun kesepakatan yang dirinya setujui. Mereka mengambil kesepakatan tanpa meminta persetujuannya, bahkan ayahnya memaksa ia untuk tidak berbicara.
Ia jadi mempertanyakan tujuan dirinya diwajibkan hadir di acara makan malam malam ini kalau dirinya dibungkam seperti tadi. Ayahnya tidak segan-segan memotong semua kalimat yang akan dirinya utarakan bahkan yang lebih parah ayahnya itu mencubit lengannya tanpa sepengetahuan orang-orang yang ada di meja makan supaya tidak mengeluarkan suara. Sangat tidak adil.
"Walau kamu berbicara hingga berbusa-busa, kesepakatan yang sudah diambil tidak bisa diubah kembali," ucap Hermawan membalas pekikan putri bungsunya itu. "Kamu tetap akan menikah dengan Rendra satu bulan lagi!"
Kalimat terakhir yang ayahnya ucapkan yang membuatnya begitu kesal, ia kesal karena mereka mengambil keputusan untuk dirinya menikah dengan pria itu dalam waktu dekat. Bayangkan, satu bulan lagi dirinya akan menikah! Keputusan sepihak mereka benar-benar membuat Amanda merasa sangat frustasi. Rasanya ia ingin menangis, meraung saja, tetapi sayang air mata tak kunjung menetes.
"Nggak bisa seperti itu dong Pa, lagi pula yang sepakat Papa sama keluarga dia, bukan Amanda!" Gadis itu menatap ayahnya dengan ekspresi kesal yang tidak bisa ditutupi. "Amanda belum siap menikah, apalagi sama orang yang nggak dikenal kayak gini, Amanda masih ingin melanjutkan kuliah!"
"Kamu baru ketemu sama Rendra bahkan nggak lebih dari sehari," sahut Marissa mendahului suaminya, takut suaminya meledak dan justru memancing pertengkaran ayah dan anak itu karena keduanya sama-sama keras kepala. "Wajar kalau kamu nggak kenal, kan bisa kenalan dulu sebelum nikah, masih ada waktu satu bulan, dan untuk kuliah, kamu masih bisa kuliah walau sudah menikah."
Amanda mengembuskan napas kuat-kuat mendengar jawaban ibunya, kemudian menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Dirinya benar-benar lemas, merasa percuma mengutarakan isi hati karena mereka tidak akan pernah mengerti dan tidak akan pernah mencoba memahami perasaannya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, gadis itu mengubah posisinya, bangkit dari benda yang diduduki kemudian melangkah dengan kaki yang menghentak-hentak kasar. Kalau mereka tidak memahami perasaannya, setidaknya mereka tahu bahwa kini dirinya sedang kesal.
Amanda menutup pintu kamarnya sekuat tenaga hingga bunyi debam bahkan terdengar sampai ke lantai bawah, kemudian mendorong meja belajarnya menghalangi pintu supaya siapa pun tidak berani masuk. Ia melucuti semua pakaian, setelah itu pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya, dirinya ingin berendam dengan air dingin supaya kadar rasa kesalnya sedikit menurun.
Di sisi lain, suara berdebam dari benda yang Amanda banting membuat penghuni di lantai bawah meringis ngeri, membayangkan bagaimana nasib benda itu sekarang.
Marissa berdeham menatap suaminya. "Jadi kapan Pak Hartanto bakal bantu kita?"
"Setelah Amanda dan Rendra menikah."
"Berarti masih agak lama lagi?"
"Satu bulan itu sebentar, tapi kalau ditunggu sudah pasti lama."
***
"Kamu kenapa sayang, kok mukanya lesu begitu?" Pertanyaan itu terlontar begitu Amanda duduk di sebelah Alex, pacarnya.
Pacarnya ... alasan mengapa Amanda menolak menjadi tumbal keluarganya untuk dinikahkan dengan pria asing adalah karena ia sudah memiliki pacar, yaitu teman kampusnya sendiri. Ia sudah berpacaran dengan Alex sejak masih menjadi mahasiswa baru.
Amanda memang tidak pernah memberitahukan ayah, ibu, serta kakaknya kalau sudah memiliki pacar karena pasti mereka tidak akan mengizinkan. Apalagi jika memberitahukannya akhir-akhir ini, pasti mereka langsung menyuruhnya untuk putus. Alex tidak bisa dijadikan sebagai alasan supaya dirinya tidak dinikahkan.
Keduanya kini tengah berada di kantin kampus. Amanda menyandarkan kepala di bahu Alex yang segera laki-laki itu usap lembut. Masalah hidupnya yang berat akhir-akhir ini membuat Amanda tidak bersemangat, apalagi di kelas yang terakhir dimasuki dirinya bertemu dengan dosen yang sedikit menyebalkan, suasana hatinya menjadi tambah hancur.
Amanda belum menceritakan masalahnya kepada Alex, belum memberitahukan kepada laki-laki itu bahwa sebulan lagi dirinya akan menikah dengan pria pilihan keluarganya. Walau atas dasar keterpaksaan, tetapi dirinya penasaran mengenai bagaimana reaksi laki-laki itu jika mengetahui dirinya akan menikah. Apakah laki-laki yang sangat dicintainya itu akan marah dan langsung memutusannya begitu saja?
Hanya membayangkannya saja sudah membuat Amanda menjadi murung. Apa tidak usah diberitahu saja?
Tidak, Alex harus tahu kalau dirinya akan menikah. Namun di sisi lain, ia takut kalau Alex tahu, Alex akan memutuskannya. Amanda tidak mau berpisah dengan orang yang dicintainya ini, salah satu orang yang memahami perasaannya lebih dari keluarganya sendiri. Amanda bahkan lebih terbuka kepada Alex.
Selaput bening tiba-tiba saja menyelimuti indra penglihatan Amanda, sebelum akhirnya selaput itu pecah membentuk anak sungai di kedua pipinya. Tubuh gadis itu bergetar, dan Alex langsung peka bahwa pacarnya itu tidak sedang baik-baik saja.
Laki-laki itu mendorong tubuh Amanda, kemudian menggenggam kedua bahunya untuk kemudian digoyangkan saat pacarnya terus saja menunduk. "Kamu kenapa?" tanya Alex lembut seraya menatap wajah Amanda yang terhalang rambut.
Alex langsung menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah cantik pacarnya dengan menyelipkan rambut kecoklatan gadis itu di kedua telinganya. Barulah Alex melihat wajah Amanda yang memerah dengan air mata yang membasahi wajahnya.
"Kenapa, hmm?"
Sudah satu minggu berlalu sejak pembicaraan antara Rendra dan Alina di ruang kerja pria itu, ia masih belum memberitahukan perihal rencana bulan madu kepada Amanda karena masih sibuk mengerjakan pekerjaannya yang sangat banyak akibat di kantornya terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan.Namun walau begitu, Rendra masih menyempatkan diri untuk mengantar anak-anak ke sekolah dan mengantar Amanda ke kampus. Seperti biasa, dirinya terlebih dahulu mengantar Dean dan Mikayla, kemudian mengantar Amanda.Kini mobil yang dikendarai Rendra berhenti di tempat parkir universitas tempat sang istri menimba ilmu. Ia masih belum membuka kunci benda tersebut sehingga Amanda masih bertahan, padahal biasaanya Amanda akan langsung pergi begitu saja.Amanda kembali menyentuh handle pintu, mendorongnya tetapi masih belum mau terbuka. Gadis itu berdecak di dalam hati.“Saya bisa telat!” ujarnya tegas, tetapi Rendra tidak menghiraukan sama sekali. Dirinya tahu pasti pukul berapa sang istri memulai kegiatan
Amanda tersenyum canggung mendapati telapak tangan Alina bertengger di puncuk kepalanya, mengelusnya lembut seraya kedua sudut bibirnya tidak berhenti mengungkap betapa betapa bersyukurnya ia karena Amanda sudah kembali setelah lima hari meninggalkan rumah.“Nggak ada kamu di sini suasana jadi hampa,” ungkap Alina. Lagi-lagi Amanda hanya tersenyum dan mengudarakan tawa kecil, tidak tahu harus menanggapi ucapan wanita itu bagaimana.Di dalam hati Amanda mengejek, tidak percaya akan ucapan mertuanya karena selama ini keberadaannya di sini hanya sekadarnya saja, ia lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah, tentu kehadirannya tidak berpengaruh sama sekali.Ibu mertuanya itu pasti hanya ingin membesarkan hatinya saja.“Masa sih Ma?” Akhirnya Amanda membuka suara, tidak enak juga jika terus menanggapi setiap ucapan wanita itu dengan senyum atau tawa.Alina tertawa ringan menanggapi ucapan menantunya, ia mengangguk samar.“Iya,” jawabnya. “Kalau Rendra bikin kamu marah ata
Rendra tersenyum begitu indra penglihatannya menangkap bahwa Amanda sedang memainkan ponsel yang tempo hari dirinya berikan.Ternyata walau gadis itu berkata tidak mau, tetapi tetap benda tersebut diterima juga. Rendra senang, berarti untuk masalah ponsel ini sudah selesai. Entah apa yang sedang Amanda lakukan dengan ponsel barunya, gadis itu terlihat sangat fokus sampai kehadirannya saja tidak dihiraukan.Rendra menghampiri Amanda yang tengah duduk berselonjor kaki di ranjang, kemudian duduk di sisi kosongnya. Amanda langsung mengalihkan perhatiannya begitu merasakan tempat yang tengah didudukinya bergerak. Tatapan keduanya saling bertubrukan, Amanda langsung menurunkan ponselnya.“Kenapa?” tanya Amanda heran karena suaminya tersebut tiba-tiba saja duduk di sebelahnya.“Kamu sudah putus dengan pacarmu itu?” Amanda tersenyum lebar mendengar pertanyaan tak terduga yang dilontarkan oleh suaminya.Amanda tentu sangat senang ditanya seperti itu, itu artinya dirinya tidak perlu repot-repo
Rendra membuka pintu mobilnya begitu berhenti di depan sebuah gerbang rumah, indra penglihatannya tertuju pada seseorang yang tengah berjongkok seraya menelangkupkan kepala di hadapan kendaraannya. Ia mengenal betul orang tersebut, tetapi pertanyaannya adalah apa yang sedang orang ini lalukan?Pria tersebut berjalan menghampiri, kemudian berhenti dan berdiri menjulang benar-benar di hadapannya.“Apa yang sedang kamu lalukan?” Rendra mengutarakan pertanyaan yang ada di dalam benaknya.Namun Amanda tidak kunjung mengangkat kepala dan menjawab pertanyaannya, gadis itu masih setia menelangkupkan kepalanya. Hal itu membuat Rendra menghela napas panjang.“Ayo pulang,” ucapnya sekali lagi.Ia ke sini memang untuk menjemput Amanda, ia pikir akan sulit mengajak istrinya ini pulang, tetapi ternyata Amanda suadah ada di luar rumah sedang melakukan hal aneh pula. Kenapa gadis itu tidak masuk ke rumah?Apakah gadis itu diusir oleh keluarganya sebab terlalu lama menginap dan tidak mau pulang ke rum
“Kapan kamu akan pulang?” tanya Marissa seraya merapikan kembali meja makan yang berantakan selepas dipakai.Sudah lima hari sejak kedatangan Amanda ke rumah untuk pertama kalinya lagi dan Amanda masih belum kembali pulang ke rumah keluarga suaminya walau suaminya sering kali menjemput. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya itu, ia sudah capek menasihati Amanda supaya cepat pulang, dirinya sudah merasa tidak enak kepada keluarga besannya kalau Amanda tidak kunjung kembali.Detik itu juga, Amanda menatap wanita yang melahirkannya dengan tatapan sedikit sinis, sedikit tidak terima mendengar nada pengusiran darinya. “Nggak seneng ya aku tinggal di sini?”“Bukan begitu!” balas Marissa langsung seraya mendelik, kekeras kepalaan putrinya tersebut sungguh sangat memancing emosinya. “Kamu kan sudah menikah, nggak sepatutnya kamu tinggal di sini terus, kasihan suami kamu!”“Biarin aja, dia udah besar, nggak akan nangis walau aku tinggalin lima tahun!”“Ya memang tidak akan menangis, tap
Rendra mengemudikan kendaraannya menuju kediaman Amanda demi menuruti perintah ibunya yang meminta ia untuk membujuk istrinya itu. Dalam hati ia merutuki mengapa Amanda pulang ke rumah orang tuanya tanpa izin.Dirinya mengerti bahwa ponsel gadis itu sudah hancur, tetapi paling tidak gadis itu pulang terlebih dahulu dan meminta izin secara langsung bahwa dirinya ingin menginap di rumah orang tuanya. Bukan justru pergi tanpa izin dan membuat semua orang khawatir terutama mamanya.Tadi dirinya juga sempat khawatir sekaligus bingung bagaimana cara menemukan gadis itu sementara tidak ada ponsel yang bisa dihubungi. Ia tidak berpikir kalau ternyata istrinya tersebut pulang ke rumah orang tuanya, ia justru berpikir bahwa Amanda pergi bersama kekasihnya.Syukur kini semua sudah tahu di mana keberadaan Amanda.Gadis itu yang membuat kesalahan, ia juga yang harus membujuk dan meminta maaf kepadanya. Sungguh sangat menyebalkan, tetapi mau bagaimana lagi, sepertinya
Amanda memunguti puing-puing ponselnya yang hancur.Sedari awal, dirinya yang berniat membuat pria itu marah, tetapi justru saat ini dirinyalah yang dibuat marah oleh pria itu. Amanda marah hinga rasanya ingin mengamuk.Tidak terbayang sebelumnya bahwa pria itu akan semarah ini. Dalam pikirannya saat ia memberitahukan kepada pria itu bahwa dirinya memiliki kekasih yang dicintai, setidaknya ia mendapat satu tamparan atau mahakarya memar seperti tempo hari, tetapi ternyata dirinya salah, pria itu justru membuat ponselnya yang berharga menjadi seenggok sampah yang tidak bermanfaat sama sekali.Amanda siap jika pria itu ingin menyakiti fisiknya, tetapi untuk ponselnya ia sangat tidak terima karena ponsel itu benar-benar berharga untuknya. Segala sesuatu yang sangat penting tersimpan rapi di sana, tetapi sekarang benda itu sudah tidak ada.Setelah kalimat terakhirnya, pria itu entah pergi ke mana meninggalkan dirinya sendiri di kamar. Amanda tidak peduli, ia j
Amanda menutup mulut dengan salah satu tangan kala kantuk tiba-tiba saja menyerang. Ia tengah mendengarkan ibu mertua yang tengah bercerita bersama dengan ayah mertua seraya memperhatikan cucu-cucu mereka yang tengah mengerjakan tugas sekolah prakarya.Waktu memang sudah menunjukan jam beristirahat, bahkan mereka sudah duduk di ruangan dengan sofa yang berbentuk huruf L tersebut sekitar dua jam setelah makan malam. Itu semua karena Dean dan Mikayla yang meminta ditemani, mau tak mau Amanda juga ikut menemani di ruang keluarga sebab tadi ibu mertua terus saja mengajaknya berbicara.Sekilas Alina melihat Amanda yang sedang membuka mulut dengan mata yang telah sayu, wanita itu berpikir bahwa menantunya telah benar-benar mengantuk.“Pergi saja ke kamar kalau sudah mengantuk, tidak perlu menunggu suamimu pulang.”Amanda menoleh kepada ibu mertuanya kemudian menggeleng samar seraya tersenyum. “Aku belum ngantuk kok, barusan hanya menguap saja.
Karena selepas makan siang Alex harus kembali ke kampus untuk masuk ke kelas berikutnya, ia mengantar Amanda pulang. Amanda sejujurnya tidak rela karena kebersamaannya hari ini dengan Alex hanya sekejap saja, tetapi mau bagaimana lagi, kuliah jauh lebih penting daripada menemaninya seharian.Mobil yang ditumpangi keduanya berhenti di depan sebuah benteng kokoh terbuat dari besi-besi yang disusun berderet berwarna putih. Amanda tidak langsung beranjak, melainkan menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dengan kepala yang menoleh ke arah kekasihnya.“Rasanya menyeramkan harus masuk ke rumah itu,” ucap Amanda diikuti dengan bibir yang mengerucut lucu.Melihat eskpresi dan mendengar kalimat yang Amanda ucapkan, Alex terkekeh ringan, salah satu tangan yang bertengger di stir terangkat kemudian mendarat di kepala Amanda, mengelus surai hitam nan lembut milik kekasihnya itu dengan penuh kasih sayang.“Semangat, nggak akan lama lagi kamu past