Malam Pertama
*** Suara ponsel Andika berdering. Andika mohon pamit kepada Reina untuk mengangkat ponselnya. “Re! Mas keluar sebentar.” Reina mengengguk dengan tersenyum kecil. “Baru malam pertama menikah saja sudah mau sembunyi-sembunyi mengangkat teleponnya,” batin Reina.. Lagi-lagi ada rasa curiga di hati Reina melihat tingkah orang yang baru tadi sore menghalalkannya itu. Dengan sengaja dia mengikuti Andika secara diam-diam. Andika meletakkan ponselnya di telinga sambil bergegas berjalan ke luar. Setelah sampai di luar, dia kembali mematikan ponselnya. Terlihat Andika menemui seorang lelaki berpakaian seragam warna hitam. Orang itu menyerahkan beberapa bungkusan kepada Andika. Lalu dua orang yang memakai pakaian batik yang tadi mengatur kerumunan di acaranya juga ada di sana. Reina mengernyitkan dahinya heran. “Kenapa orang organizer masih ada di sini? Ini kan sudah malam,” batin Reina. Mereka terlihat menunduk memberi hormat sebelum meninggalkan Andika. Reina merasa Andika tidak mengetahui kalau dia mengikutinya. Padahal, Andika mengetahui bahwa Reina dari tadi mengikutinya. Tapi dia pura-pura tidak melihat. Setelah mobil orang yang menyerahkan bingkisan itu berlalu, Andika berbalik untuk kembali ke dalam. Tapi Reina terlambat untuk lebih dulu ke dalam. Akhirnya dia berusaha menyembunyikan tubuhnya dengan cara merunduk di bawah meja. Andika tersenyum sambil berjalan. Setelah agak dekat dengan meja tempat Reina bersembunyi, Andika berhenti. Reina panik. Dia menundukkan kepalanya lebih rendah lagi. “Jangan bersembunyi, istriku. Aku sudah melihatmu. Ayo ke sini,” ucapnya, membuat jantung Reina berdegup kencang karena terkejut dan malu. Terpaksa Reina keluar dari persembunyiannya, karena percuma masih bersembunyi lagi. Toh Andika sudah melihatnya. Dia keluar secara perlahan dari persembunyian. Sungguh malu sekali rasanya yang ia tanggung. Berat kaki ia langkahkan karena rasa malu itu. Malu karena sudah mengikuti Andika secara diam-diam. Dengan kepala tertunduk ia memberikan alasan. “Tadi saya hanya penasaran saja. Maaf,” ucapnya terbata. Andika mendekat dan meletakkan telunjuk tangan kanannya di bibir Reina, tepat saat Reina mengutarakan kata maaf. “Lembut sekali telunjuknya. Aku merasa bergetar.” Lagi-lagi dia memuji dalam hati. Seolah belum menemukan celah untuk melihat kekurangannya. “Tidak perlu minta maaf, istriku. Kamu boleh mengikutiku kemanapun aku pergi. Karena mulai sekarang, kamu sudah menjadi pasangan hidupku. Kamu adalah partner hidupku.” “Tadi itu mang Didi. Sopir kita. Aku menyuruhnya mengambil beberapa potong pakaian untuk baju gantiku,” terang Andika sambil mengangkat tentengan yang ada di tangan kirinya. “Lalu, dua orang organizer tadi?” “Mereka Diki dan Doni. Mereka ajudanku.” “Apa?” “Ajudanku! Aku sengaja menyuruh mereka pulang, agar tidak mengganggu malam pertama kita,” bisik Andika di telinga Reina dengan lembut. Reina menunduk dengan muka yang merah merona. Melihat itu, Andika tersenyum. “Reina … ajak suamimu masuk. Sudah malam,” seru Sita yang tiba-tiba sudah ada di pintu depan rumahnya. “Kenapa semua orang menyebutnya suamiku? Aku merasa risih mendengarnya,” batin Reina. Reina tidak menjawab. Dia membiarkan ibunya kembali ke dalam setelah menyuruhnya mengajak Andika masuk. “Kamu tidak mengajakku, istriku?” “Percaya diri sekali lelaki ini memanggilku istri. Tapi dia tampan sekali. Membuatku meleleh, “batin Reina. Reina mengisyaratkan dengan tangan, karena dia merasa berat untuk mengajak dengan kata-kata. Andika memegang pergelangan tangan Reina yang hendak berjalan lebih dulu. “Kamu ajak aku dengan lembut, maka aku akan masuk. Jika tidak, itu artinya kamu tidak ikhlas mengajakku masuk. Maka aku akan menelpon mang Didi untuk menjemputku kembali.” Andika memperhatikan wajah Reina yang tegang dengan senyum dikulum. Dia masih menunggu kalimat ajakan dari bibir seksi istrinya dengan sabar. Reina semakin kaku dan tegang karena tatapan Andika tidak lepas darinya menunggu ajakan dari mulutnya. Akhirnya setelah beberapa saat, dia mengalah. “A_ayo masuk …” Andika mengernyitkan dahi dan mendekatkan telinganya sehingga hampir tidak ada jarak diantara mereka. “A_ayo masuk …” Reina mengulang kalimatnya lagi. Andika semakin mendekatkan wajahnya. “Panggil aku dengan sebutan yang khusus. Ini bukan menyuruh. Ini hanya permintaanku saja. Jika kamu tidak keberatan,” ucapnya sambil merapatkan tubuhnya. Reina ingin mundur. Tapi Andika merangkul pinggang kecilnya. “Ayo masuk, Mas.” Reina berucap dengan lirih. Reina melepaskan diri dari Andika dan berjalan lebih dulu dengan kepala menunduk menahan malu. Sedangkan Andika menatap punggungnya yang berlalu dengan senyum manisnya. “Ajak suamimu ke kamarmu, Re. Mungkin dia mau berganti pakaian,” suruh Sita sambil menyerahkan satu stel baju ganti yang sengaja dibelinya tadi siang. “Mas Andika sudah ada baju ganti, Bu.” “Benar itu, Nak?” tanya Sita kepada Andika. Dia masih belum bisa percaya dengan Reina, karena dia sangat tahu sekali bagaimana Reina menolak pernikahannya dengan Andika. “Sebenarnya sudah ada, Bu. Tapi aku ingin memakai baju yang Ibu belikan,” jawabnya dengan tersenyum ramah. Sita pun tersenyum dan menyerahkan baju itu. “Mohon maaf, Nak Andika. Ibu hanya bisa membelikan baju yang murah.” “Buatku, pemberian Ibu ini tidak ternilai harganya dengan uang, Bu,” ucap Andika seraya menerima baju dari mertuanya. Lagi-lagi hati Reina meleleh mendengar kata-kata Andika. “Kami tidur di mana, Bu?” tanya Tasya. “Kalian tidur di kamar sebelah. Ibu sudah memindahkan semua barang-barang kalian ke sana. Sekarang kamar yang biasa kalian tempati, milik kakak kalian dan mas kalian. Mengerti?” “Iya. Mengerti, Bu. Kami mau tidur dulu. Sudah ngantuk.” Tasya pun berlalu ke kamar baru mereka yang sebelumnya hanya digunakan untuk menyimpan barang-barang yang sudah tidak digunakan lagi. Dia juga mengajak adik-adiknya untuk tidur. “Aku juga sudah ngantuk.” Reina pergi ke kamarnya tanpa mengajak Andika. “Hei! Suamimu diajak Re!” Sita mengingatkan. “Pergilah, Nak. Sekarang kamar itu juga kamarmu. Mungkin Reina masih malu,” ucap Mahmud setengah berbisik yang dibalas anggukan kecil oleh Andika. Saat Andika sampai di kamar itu, dia mengunci pintu. Dia melihat Reina sedang berganti baju. Reina terkejut dan hampir berteriak. Tapi Andika segera membelakanginya. “Jangan berbalik,” titah Reina segera memasang kembali resleting bajunya. “Bisa tolong anterin saya ke kamar mandi? Saya mau berwudhu. Saya belum shalat isya. Kamu mungkin juga belum shalat isya kan? Kita shalat berjamaah dulu, yuk?” ajak Andika sambil masih membelakanginya. “I_iya!” Reina pun menunjukkan kamar mandinya. Setelah Andika berwudhu, dia pun berwudhu. Lalu mereka melaksanakan shalat berjamaah di kamarnya dengan Andika sebagai imamnya.Reina segera melepas rengkuhan tangan Andika dan menyambar handuk yang ada di gantungan kain lalu bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Saat melewati dapur, ternyata Sita sedang di dapur. Pada hari -hari sebelumnya, Sita memang selalu bangun sepagi itu, untuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak dan suaminya. Tidak hanya itu, dia selalu memanaskan air untuk mandi suaminya. Karena suaminya tidak kuat mandi dengan air dingin. “Reina! Ibu sudah panaskan air untuk mandi suamimu. Apa suamimu sudah bangun?” Andika yang tiba-tiba datang dari belakang Reina menyahuti, “Tidak usah repot-repot, Bu. Aku mandi pakai air dingin saja.” Reina terkejut saat Andika menyahuti kata-kata ibunya. Dia tidak tahu kalau Andika mengekor dari belakang. Dia merasa malu berdekatan dengannya di depan ibu dan ayahnya. Apalagi saat mengingat kejadian barusan, dia benar-benar merasa malu terhadap Andika. Dia pergi ke kamar mandi tanpa berkata apapun. “Gak repot kok nak Andika. Sekalian tad
Setelah shalat isya berjamaah, Reina mencium punggung tangan Andika. Andika memanjatkan do'a yang di Aamiinkan oleh Reina. Sita dan Mahmud tersenyum bahagia melihat mereka melaksanakan shalat wajib berjamaah. Sita merapatkan pintu kamar mereka yang masih terbuka separuh, lalu mengajak suaminya untuk kembali ke kamar mereka yang ada di sebelah kamar Reina. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar yang letaknya bersebelahan. Kamar yang pertama dihuni oleh Reina dan Andika. Kamar kedua dihuni oleh Mahmud dan Sita, kamar ke tiga dihuni oleh ketiga adik Reina. Sedangkan kamar mandinya hanya ada satu. Mereka menggunakannya secara bergantian. Setelah sampai di kamar mereka, Mahmud duduk di tempat tidurnya dengan tersenyum bahagia. Tetapi di sela senyumnya, ada bulir bening yang menetes dari bola matanya. “Kenapa Mas menitikkan air mata?” tanya Sita heran setengah berbisik, karena takut akan didengar oleh Reina dan menantunya. “Ini air mata bahagia, Bu. Mas bersyukur, akhirnya anak kita b
Malam Pertama *** Suara ponsel Andika berdering. Andika mohon pamit kepada Reina untuk mengangkat ponselnya. “Re! Mas keluar sebentar.” Reina mengengguk dengan tersenyum kecil. “Baru malam pertama menikah saja sudah mau sembunyi-sembunyi mengangkat teleponnya,” batin Reina.. Lagi-lagi ada rasa curiga di hati Reina melihat tingkah orang yang baru tadi sore menghalalkannya itu. Dengan sengaja dia mengikuti Andika secara diam-diam. Andika meletakkan ponselnya di telinga sambil bergegas berjalan ke luar. Setelah sampai di luar, dia kembali mematikan ponselnya. Terlihat Andika menemui seorang lelaki berpakaian seragam warna hitam. Orang itu menyerahkan beberapa bungkusan kepada Andika. Lalu dua orang yang memakai pakaian batik yang tadi mengatur kerumunan di acaranya juga ada di sana. Reina mengernyitkan dahinya heran. “Kenapa orang organizer masih ada di sini? Ini kan sudah malam,” batin Reina. Mereka terlihat menunduk memberi hormat sebelum meninggalkan Andika. Reina m
mencari kekurangannya *** Reina merasa pernikahan paksaan itu berujung dengan hatinya yang menghangat. Sekilas dia melihat wajah suaminya. Ternyata benar bisik-bisik tetangganya, bahwa pengantinnya tampan sekali. Belum pernah dia melihat lelaki setampan orang yang sudah menghalalkannya itu. Tanpa ia sadari, senyum bahagia tersungging di bibirnya. Tapi ada tanda tanya dalam hatinya yang belum terjawab. “Kenapa pria seganteng ini mau dijodohkan denganku? Tadinya aku pikir yang akan menikah denganku seorang kakek-kakek atau seorang yang cacat. Apa dia punya kekurangan yang belum aku lihat?” Acara ijab Qabul telah selesai. Namun ada rasa curiga yang masih tersimpan dalam benak Reina. “Apa kekurangan orang ini sehingga dia mau melunaskan hutang ayahku yang sebanyak itu hanya dengan menikahiku.” hatinya terus bertanya. Sekarang saatnya dia bersalaman dan berkenalan dengan keluarga dari orang yang baru menghalalkannya. Saat bersalaman dengan kedua orang tua si suami, Reina d
2 Ijab Qabul dadakan *** Dari jauh sudah tampak tenda pelaminan dan hiasan bunga-bunga terpajang dan bergantungan di depan rumah Reina. Dada Reina berdebar kencang. Ternyata kata-kata ayahnya bukan sebuah lelucon seperti yang diharapkan. Dia melangkahkan kakinya yang terasa ingin roboh ke tanah. Air matanya menetes mamandangi bunga yang bergelantungan di setiap sudut tenda di depan rumahnya, sampai ke dalam rumahnya. Berbeda dengannya, ketiga adiknya tampak sangat bersemangat dan bergembira. “Wah! Makan enak nih,” seru si bungsu sambil berlari ke dalam. Kedua kakaknya juga mengikutinya. Seseorang datang menuntunnya untuk segera masuk dan berganti pakaian. Dia adalah bibinya. Adik dari ibunya yang datang dari desa sebelah. Dia sengaja datang untuk menghadiri pernikahan Rena. “Bibi? Bibi di sini?” tanya Reina seperti orang bingung. “Iya, Sayang. Tadi pagi ibumu menelpon Bibi. Katanya kamu akan menikah hari ini. Makanya Bibi ada di sini.” perempuan itu memeluk Reina deng
Dipaksa nikah. *** “Reina! Kamu harus menikah ldengan pria pilihan Ayah. Ayah sudah janji ke seseorang untuk menikahkan kamu dengannya.” Wanita muda yang cantik bernama Reina natasya tersedak mendengar ayahnya mengatakan hal itu. Seketika matanya melebar. Ia meletakkan gelas air yang sedang ia minum di atas meja. “Ayah … apaan sih, Yah! Aku kan masih SMA. Satu bulan lagi aku akan lulus. Aku akan mencari pekerjaan. Kok malah ngomongin soal nikah. Aneh-aneh saja Ayah ini.” Reina bersungut dan hendak pergi ke kamarnya. Tapi ibunya, Sita, memanggilnya untuk duduk kembali. “Reina! Kamu jangan pergi dulu! Tidak sopan meninggalkan orang tua yang belum selesai bicara!” Dengan terpaksa, Reina duduk kembali. Wajahnya tidak lagi cerah. Mahmud menarik napas dalam dan menghenpaskannya. “Sebenarnya Ayah juga nggak tega memaksamu untuk nikah dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Hutang kita sudah menumpuk. Kita sudah tidak punya tanah lagi untuk melunasi hutang ke beliau. Apalagi uang