LOGINSetelah menidurkan Archie yang kelelahan dan mengobati luka-lukanya dengan tangan gemetar, Teresa tidak bisa lagi menahan amarahnya. Dia segera mengambil ponselnya dan menekan nomor Aras. Dadanya sesak melihat putra sulungnya diperlakukan seperti sampah di sekolah elit itu. "Halo, Tuan Yohan," suara Teresa bergetar, antara sedih dan marah. "Ada apa lagi, Teresa? Aku sedang dalam perjalanan pulang," jawab Aras dingin dari seberang telepon. "Archie sudah pulang. Tapi... dia hancur, Aras! Seragamnya penuh tinta, wajahnya memar, dan bibirnya pecah. Anak itu mengalami perundungan dan penghinaan yang luar biasa hari ini. Aku harap kau segera mengurus masalah ini—" "Cukup, Teresa!" Aras menyela dengan nada tajam yang membuat Teresa tersentak. "Aku sudah ingatkan berkali-kali, ini bukan tempatmu mengajariku cara mendidik putraku sendiri. Perkelahian antar anak laki-laki adalah hal biasa. Jangan mendramatisir keadaan hanya untuk menarik perhatianku." Teresa memejamkan mata, air matan
"Kalau begitu ayah akan berangkat bekerja, pengasuhmu yang akan mengantar ke sekolah. Tidak masalah, kan?" Pamit Aras mengacak rambut hitam putranya. "Em, huh!" Archie mengangguk enggan, dari matanya bisa terlihat kalau sebenarnya dia menolaknya. Aras memperhatikan semua itu, dia teringat apa yang di katakan Teresa tempo hari. Kalau anak-anak dan orang tua di sekolah itu tidak menyukai Archie. Rasa khawatir muncul di hati Aras. "Bilang pada ayah, apa benar kamu tidak suka pergi ke sekolah?" Tanya Aras menatap Archie serius. Archie memalingkan wajahnya, membukam mulutnya. Aras mendesah pelan. Selalu saja, setiap kali dia berusaha berkomunikasi pada putranya tentang masalah seperti ini, Archie selalu menghindar dan menolak untuk jujur. Bocah itu selalu acuh tak acuh, merasa bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Merasa bahwa dengan posisi dan otoritasnya, tidak akan ada yang berani padanya. "Baik, kalau kamu tidak bisa mengatakannya. Ayah anggap semuanya baik-baik saja. Kalau beg
Aras dan Teresa langsung memandang Arthur yang berdiri di depan mereka, kaget. Arthur yang berpura-pura menjadi Archie, hanya menatap Ayahnya dengan tatapan penuh menuntut. "Apa semua itu benar?" Tanya Aras mencibir dengan bibirnya yang tipis, mengarahkan tatapan tajamnya pada Teresa. Mendapat serangan intimidasi dari Aras, Teresa semakin gelisah. Dia tahu Arthur sedang bertindak, tetapi dia harus melindungi rahasia keberadaan Alice. "Ya, aku memang punya anak perempuan," kata Teresa pelan, memilih untuk memberitahu setengah kebenaran. "Dia lebih muda dari Archie. Dan selama dua hari ini dia demam. Aku terlambat karena harus merawatnya." Aras mengerutkan keningnya. Wajahnya menunjukkan rasa jijik. Bagaimana bisa dia memacari pria lain dan memiliki anak lagi setelah meninggalkan bayinya sendiri? "Aku tidak ingin tahu tentang drama keluargamu," usir Aras, tidak ada belas kasihan. "Yang aku tahu, kau harus mengurus Archie dengan sepenuh hati. Jika tidak bisa, lebih baik kau b
Archie menarik tangan Arthur turun ke bawah, tapi saat mereka tiba di tangga lantai dua. Mereka justru mendengar perdebatan sengit antara Teresa dan Aras. Mereka akhirnya memutuskan untuk bersembunyi dan menyaksikan perdebatan kedua orang tua mereka. Teresa yang berdiri dengan berani, terus membela dirinya. "Tuan Yohan, kau selalu menyalahkan semuanya kepadaku. Kau tidak pernah puas akan apa yang sudah aku lakukan. Padahal kau sendiri berbuat hal yang tidak benar dengan membiarkan wanita berbeda untuk mengantar dan menjemput anakmu ke sekolah, tapi kau tidak pernah berpikir apakah itu akan mempengaruhi Archie atai tidak?" "Jangan meremehkan caraku mengasuh Archie. Aku tidak perlu mendengar protesanmu. Selain itu, wanita yang kau bilang itu adalah saudara dan kerabat Archie. Kenapa harus mempermasalahkannya?" Balas Aras marah. "Lalu, bagaimana dengan Nasya? Apa dia kerabat Archie?" "Teresa, kau tidak berhak ikut campur dalam kehidupan pribadiku!" "Siapa yang perduli dengan ke
Meskipun Teresa bergegas cepat, dia tetap seja terlambat sampai di rumah mewah Aras. Aras berdiri di balkon kamarnya, menatap Teresa yang terburu-buru masuk ke dalam rumah."Lagi-lagi kau telat, Nona Teresa." Suara dingin Aras mengagetkan Teresa hingga jiwanya terasa hampir meninggalkan tubuhnya. Ia mendongak, melihat seringai terkutuk Aras. "Ja-jalanan macet pagi ini, maka-nya aku terlambat." Ucap Teresa memberikan alasan."Macet?" Wajah Aras menggelap. Ia berjalan menuruni tangga dan duduk di sofa ruang tamu. "Baiklah. Kau tahu aturannya. Karena kau terlambat, apa yang harus aku lakukan padamu?" Teresa menelan ludah, dengan jelas mengingat peringatan Aras kemarin, jika dia terlambat lagi maka dia tidak perlu bekerja lagi. Kalau bukan karena Archie, dia mungkin sudah mengundurkan diri sejak lama karena memiliki bos yang busuk seperti Aras. "Ini memang salahku. Tolong maafkan aku." Cicit Teresa pelan. Aras mencibir. "Kalau permintaan maaf semudah itu, untuk apa ada kontrak? Ka
"Kenapa?" Tanya Teresa melotot. "Masih tanya?" Geram Aras. "Kau bertengkar dengan salah satu orang tua murid di sekolah dan membuat Archie bolos sekolah! Nasya sudah melaporkan semuanya!" Teresa mencibir. "Aku tahu Nasya adalah wanita licik, dia pasti mengadu yang tidak-tidak. Apa kau tahu kenapa aku membalas orang itu? Kenapa aku membawa Archie keluar dari sekolah? Itu kar—" "Aku tidak perlu mendengar semua alasanmu!" Potong Aras menggelegar. "Apa yang sudah kau lakukan sudah menunjukkan betapa tidak bertanggung jawabnya dirimu!" "Aku bertengkar dengan orang itu, karena dia melukai Archie!" balas Teresa, melangkah maju. "Dia mengkritik caramu membesarkannya. Dia membuat mental anak itu buruk. Kau tidak berhak menyalahkanku sebelum mencari tahu semuanya lebih dulu." Aras menatap Teresa sejenak, dia merasa semua yang Teresa ucapkan ada benarnya. Tapi gengsinya terlalu besar untuk mengakuinya. "Jadi, apa alasan Archie bolos sekolah?" "Dia tidak suka pergi ke sekolah." Bisik







