Geri berdiri di depan pintu ruangan Nicholas dengan raut tegang. Tangannya meremas-remas tablet kecil berisi catatan rapat, tapi bukan itu yang membuatnya gusar pagi ini.“Maaf, Pak… tapi dia ngotot masuk,” ucap Geri pelan.Nicholas yang baru saja keluar dari lift, mengangkat wajah. Matanya menyipit. “Dia siapa?”“Bu Lidya, Pak,” jawab Geri cepat. “Sudah saya larang, tapi dia… dia mengancam akan memanggil media kalau Bapak tidak menemuinya.”Nicholas meremas jemarinya, rahangnya mengeras. “Mana dia sekarang?”Geri menelan ludah dengan gugup. “Di dalam, Pak.”Nicholas meringsek tanpa banyak bicara. Didorong oleh amarah yang tertahan sejak kemarin, ia melangkah menuju ruangan pribadinya. Saat membuka pintu, suara kursi berderit menyambutnya. Di balik meja kerjanya sendiri, Lidya duduk santai, seperti tak bersalah sedikit pun.Matanya menatap Nicholas, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Campuran kecewa, marah, dan terluka.“Nicky…” suaranya parau, hampir berbisik.“Keluar.” Nicholas tak
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai dapur, menimbulkan bayangan hangat di antara perabotan kayu dan aroma kopi yang baru saja diseduh Nicholas. Eliza turun lebih awal dari biasanya, mengenakan cardigan rajut tipis berwarna krem dan rambutnya dikuncir asal, wajahnya masih sedikit sembab tapi ada tekad di sana.“Gue bantu, ya,” ucapnya pelan, mendekati Nicholas yang sedang menuang adonan telur ke atas wajan.Nicholas menoleh, ragu sejenak. “Nggak usah. Istirahat aja.”“Bosan istirahat terus.” Eliza nyengir kecil, lalu mengambil pisau mentega dan sepotong roti tawar. “Gue nggak bakal bikin dapur kebakaran, kok. Cuma ngoles mentega doang.”Nicholas akhirnya mengangguk, lalu kembali pada telurnya. Mereka bekerja dalam diam yang tidak sesepi biasanya. Canggung, tapi tidak setegang dulu. Eliza kadang mengintip arah Nicholas, mencuri pandang pada garis rahang suaminya yang tegang. Sementara Nick, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menatap Eliza terlalu dalam—karena
Hujan mengguyur pelan di luar jendela apartemen itu, menggantikan suara obrolan yang biasanya hangat. Sore ini terasa dingin. Bukan karena cuaca semata, tapi karena atmosfir di dalam ruangan yang begitu menyesakkan.Nicholas duduk di sisi sofa, hanya mengenakan celana pendeknya, punggungnya membungkuk, kedua telapak tangan menyatu, saling menggenggam di antara lutut. Di hadapannya, Lidya berdiri dengan koper hitam kecil dan selembar kertas yang sejak tadi ia genggam erat."Jadi kamu benar-benar mau pergi?" suara Nicholas pelan, seperti bisikan yang tak ingin terdengar oleh dunia.Lidya menatapnya. "Aku sudah bilang dari tadi, Nicky. Aku harus pergi. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin tentang ini berbulan-bulan.""Tapi kenapa? Kenapa setelah kita—setelah semalam?" Nicholas mendongak. Matanya merah. Nafasnya tak stabil. "Kita baru aja... Lidya, kita baru aja tidur bareng. Kamu tahu apa artinya itu buat aku."Nicholas tercekat dan tidak melanjutkan. Adegan beberapa jam lalu
“Nicky?”Suara perempuan. Ringan. Nyaring. Dan... akrab.Eliza memutar kepala. Detak jantungnya langsung berubah ritmenya. Di sana, berdiri seorang perempuan cantik dengan balutan gaun sederhana berwarna hijau zaitun. Rambutnya sebahu, bibirnya tersenyum—tapi mata itu berbinar tajam, penuh kejutan yang tak bisa disembunyikan."Oh, hai, Lidya." Nicholas mengangguk dan menurunkan pandangannya yang sempat terpaku pada sosok wanita itu."Ini ... istrimu?" “Ya. Dia Eliza,” sahut Nick pelan, bahkan cenderung kaku. “Liza, ini... Lidya.”Dada Eliza terasa dicekik sesaat. Nama itu. Wajah itu. Tatapan itu.Tepat. Dia perempuan yang duduk satu meja dengan Nicholas siang itu di restoran. Perempuan yang membuat Anne menaruh curiga. Perempuan yang membuat Nicholas berbohong.Lidya menatap Eliza. Matanya sempat turun ke arah perut Eliza yang terlihat membulat di balik dress longgar berwarna krem.“Oh, kamu hamil?” ucap Lidya pelan, nyaris tak percaya. “Wow, selamat ya!”“Terima kasih,” jawab Eliza
Nicholas tak pernah menyangka sebuah gulungan banner yang jatuh bisa menjadi awal dari sesuatu yang terus tinggal dalam memorinya bertahun-tahun ke depan.Sore itu, langit kota terlihat kelabu, dan siswa-siswa SMA Kencana perlahan mengosongkan gedung sekolah. Hanya segelintir yang masih bertahan di ruang kelas, OSIS, dan tentu saja—perpustakaan.Itu tempat favorit Nicholas. Sunyi, tenang, tidak ada yang memperhatikan. Ia menyukai aroma kertas tua, denting jam dinding, dan bunyi samar halaman-halaman buku yang dibalik. Bagi Nicholas, perpustakaan adalah tempat yang tidak menuntutnya untuk bicara.Sampai akhirnya, hari itu…Sebuah banner besar tiba-tiba jatuh dari atas pintu saat ia hendak masuk. Nicholas reflek menunduk. Gulungan kain itu menyentuh sepatunya. Ia menatap ke dalam ruangan dan melihat seorang siswi berdiri di atas meja dengan selotip dan senyum kikuk.Rambutnya panjang dan dikuncir tinggi. Wajahnya sedikit berkeringat tapi tetap cerah. Ia menatap Nicholas dengan tatapan m
Sarapan pagi itu seperti biasanya—hening, tapi tidak setegang minggu-minggu lalu.Eliza duduk di sisi meja, mengaduk teh jahe hangat tanpa benar-benar berniat meminumnya. Nicholas di seberangnya, membaca sesuatu di layar tablet sambil sesekali menyuap potongan roti panggang. Tidak ada yang berbicara lebih dari tiga kalimat dalam satu waktu. Tidak ada topik besar. Tidak juga ada pertengkaran. Dan bagi mereka berdua, itu sudah cukup baik.Setelah menyelesaikan sarapannya, Nick bangkit lebih dulu. Ia membereskan piringnya sendiri, lalu menghampiri Eliza sebentar.“Saya ke kantor dulu,” ucapnya singkat, suaranya datar tapi tidak dingin.Eliza hanya mengangguk pelan, “Hati-hati.”Nicholas menoleh sebentar, lalu pergi. Tak ada kontak mata. Tapi saat ia sudah keluar dari pintu, Eliza diam-diam menatap punggungnya… cukup lama.---Hari itu, di kantor, Nicholas sibuk seperti biasa. Tapi sekitar pukul tiga sore, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Anita.[Nick, maaf. Mama nggak bisa temenin El