Share

Bab 2: Ustadz, Kok Dingin?

Pandangan Rayyana fokus pada papan tulis. Hari ini adalah pelajaran bahasa Arab, dan ia harus menulis Arab lagi. "Kapan penderitaan ini berakhir?" tanyanya mengerucutkan bibirnya.

Intan yang mendengar keluhan temannya hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia tetap fokus pada pelajaran, ralat lebih tepatnya pada ustadz tampan di depan mereka saat ini.

"Baiklah, siapa yang bisa memberikan contoh pengaplikasian dalam ilmu Sharf ini?“ tanya Akram dengan wajah dinginnya. Hampir tidak ada ekspresi diwajahnya.

Tanpa sengaja, Rayyana mengangkat tangannya. "Saya Ustadz," jawab Rayyana singkat.

"Na'am, tafadhol Ukhty.“ timpal Akram menganggukkan kepalanya.

Rayyana terdiam. "Ustadz, apa itu tafadhol?“ tanyanya dengan wajah polosnya.

Mendengar hal itu, Akram tersenyum tipis. Walaupun ekspresi datarnya menutupi senyuman diwajahnya.

"Jadi, anti tidak tau apa itu tafadhol?“ tanya Akram intens.

Rayyana menggeleng pelan. "Gak tau ustadz, emangnya itu apa?“ Dengan polos Rayyana menjawab pertanyaan dari Akram. Jujur, satu kata itu yang pantas untuk mengekspresikan seorang Rayyana.

"Tafadhol itu silahkan, kamu belum belajar tentang kosakata? Tapi, ini sudah masuk ke dalam Sharf. Tahap awal dalam mempelajari bahasa Arab adalah kosakata nya. Jika tidak tau dasarnya, maka akan sulit kedepannya.“ jelas Akram masih dengan ekspresi dinginnya.

Lagi, lagi, Rayyana kembali menggeleng. "Belum ustadz, karena aku baru seminggu disini, dan ustadz tau itu. Bukankah ustadz yang menghukumku waktu itu?" tanya Rayyana mengingatkan Akram.

'Dia sangat unik, astaghfirullah' batin Akram merasakan ada gejolak aneh dihatinya.

"Yasudah, sehabis kelas nanti, temui saya di ndalem.“ ucap Akram masih betah dengan wajah dinginnya.

Kelas pun berakhir. Seperti perintah dari sang ustadz tadi, Rayyana bertanya pada Intan siapa pria tadi dan mengapa dia ada di ndalem. Karena selama dia disini, bahkan sewaktu orang tuanya mengantarkan dirinya kesini. Tidak pernah sekalipun dirinya bertemu dengan ustadz itu.

"Intan, siapa ustadz tadi? Kenapa beliau berada di ndalem?" tanya Rayyana penasaran.

"Beliau adalah Gus Akram, putra ketiga Kyai Hasby.“ jawab Intan mengulas senyum simpul.

Rayyana mengerutkan dahinya. "Bukannya Gus Haikal ya, putra Abah Yai?“ timpal Rayyana masih dengan ekspresi penasarannya.

"Sudah ana katakan tadi, beliau putra ketiga Kyai. Selama ini, Gus Akram menempuh pendidikan di Mesir.“ jelas Intan dengan sabar menjawab setiap pertanyaan dari Rayyana.

Rayyana hanya ber 'O' ria saja. Kemudian, ia berjalan menuju ke ndalem. Karena sedang jam istirahat dan kebetulan hari ini adalah hari senin, para santri dan santriwati melaksanakan puasa sunnah Senin-Kamis.

Sesampainya di ndalem, Rayyana mengucapkan salam sebelum masuk dan menunggu jawaban dari dalam.

"Assalamu'alaikum warahmatullah," sapa Rayyana dengan sedikit berteriak. Karena suaranya yang kecil, kemungkinan tidak ada yang mendengarnya.

Cukup lama Rayyana menunggu jawaban, tapi tidak ada satupun orang yang menjawab salamnya. "Apa Abah Yai dan Ummi Laila tidak ada di rumah ya? Yaudah deh, nanti aja ketemu dengan ustadz nyebelin tadi!“ gumam Rayyana pelan dan terdengar sampai di telinga Akram yang baru saja tiba disana.

"Assalamu'alaikum," sapa Akram mengejutkan Rayyana.

Rayyana berbalik dan menatap tajam ustadz di depannya ini. "Ustadz ngagetin aku, tau gak!“ cicit Rayyana mendengus kesal.

Dengan wajah tenang dan datarnya, Akram menegur gadis yang tak lain adalah santriwati nya itu. "Menjawab salam hukumnya wajib, walaupun kamu masih baru disini. Semoga kamu tidak melupakan apa hukum menjawab salam.“ tegur Akram datar.

Rayyana baru teringat bahwa pria di depannya ini bukanlah ustadz biasa, melainkan seorang Gus. Ia langsung mengubah panggilan untuk Akram yang semula 'ustadz' menjadi 'Gus'.

"Iya! Wa'alaikumussalam warahmatullah, Gus." jawab Rayyana dengan raut wajah kesalnya. "Tadi Gus menyuruhku kesini, ada apa?“ lanjutnya menatap ke arah Akram.

Akram baru teringat dengan perintahnya tadi. "Oh itu, saya ingin memberikan buku ini. Kamu bisa belajar bahasa Arab dari buku itu.“ jawab Akram memberikan buku tebal yang berada di tangannya.

Rayyana mengerutkan dahinya. "Tebel banget Gus!“ cicitnya dengan raut wajah yang sulit ditebak. Sebenarnya, ia tidak masalah membaca buku setebal itu, karena memang hobinya membaca. Tapi, namanya juga manusia, jika sudah tidak suka dengan sesuatu, sebagus apapun benda itu, mereka tetap tidak akan menyukainya.

Akram menghiraukan ucapan gadis di depannya ini. "Kalau begitu saya permisi, assalamu'alaikum.“ pamitnya dengan wajah datar plus dingin. "Dan satu lagi, panggil ustadz saja, karena nama saya bukan Agus!“ lanjutnya berlalu darisana tanpa menunggu jawaban salam dari Rayyana.

Rayyana yang melihat ustadz dingin di depannya itu berlalu begitu saja, membuatnya sangat kesal. "Dia itu orang atau gunung es!“ celetuknya mengedikkan bahunya dan pergi dari lingkungan ndalem.

Suasana siang itu cukup terik, gadis berparas cantik itu sedang mengelap keringatnya. "Kalau gak takut dihukum, males banget aku ketemu sama ustadz dingin plus galak itu! Capek-capek jalan dari kelas ke rumah Kyai, malah ditinggal gitu aja! Dih!“ dumel Rayyana kesal dengan sikap Akram. Karena biasanya gadis cantik itu dengan mudah menarik simpati lawan jenisnya, tapi Akram berbeda. Pria itu menundukkan pandangannya saat bertemu dengan Rayyana.

"Tampan sih, tapi dingin! Mana ada yang mau nikah sama tuh cowok! Dih! Kalaulah tinggal satu cowok di dunia ini dan itu adalah dia, mending aku jomblo seumur hidup!“ lanjutnya masih mendumel sembari berjalan menuju kelasnya.

Sesampainya di dalam kelas, Rayyana mengambil bukunya yang tipis untuk dijadikan kipas. "Panas banget anjir!“ gerutunya kesal. Wajar saja Rayyana menggerutu, karena dulu sekolahnya dan rumahnya selalu memakai AC. Tidak seperti sekarang yang hanya mengandalkan kipas angin dan itupun hanya ada satu.

"Astaghfirullah Nis, ucapannya dijaga, ini lingkungan pesantren loh.“ tegur Intan yang duduk disebelah Rayyana.

"Bener itu, Nis, jangan sampai kamu dihukum lagi loh.“ timpal yang lain.

"Iya-iya!" jawab Rayyana melayangkan lirikan tajamnya.

Jam istirahat pun berakhir, dan berganti dengan jam pelajaran. Ini adalah pelajaran favorit Rayyana yaitu Kimia. Gadis cantik itu sedang mengerjakan sebuah soal yang terbilang cukup sulit. Setelah mendapatkan jawabannya, Rayyana langsung mengangkat tangannya.

"I wanna try, miss!“ ucap Rayyana memakai bahasa Inggris. Karena disekolahnya dahulu, lebih sering memakai bahasa asing daripada bahasa Indonesia.

Semua orang menatap kagum ke arah Rayyana. Pasalnya, gadis cantik yang masih belia itu mampu mendapatkan jawabannya hanya dalam hitungan menit.

"Na'am tafadhol,“ ucap sang ustadzah tersenyum pada gadis cantik nan mungil itu.

Dengan percaya diri dan senyuman di wajahnya, Rayyana menuliskan jawaban yang telah ia peroleh. "Finally, miss.“ ucap Rayyana setelah selesai menuliskan jawabannya.

Sang ustadzah kembali tersenyum. "Berikan tepuk tangan untuk Rayyana, sebagai bentuk apresiasi." titah ustadzah cantik tersebut. "Rayyana, lain kali gunakan bahasa Indonesia saja ya? Agar yang lain paham.“ lanjutnya tersenyum manis.

"Baik ustadzah, maaf.“ ucapnya berjalan untuk duduk kembali.

"Jawaban Rayyana sangat bagus dan benar!“ puji sang ustadzah kembali menjelaskan pelajarannya.

Waktu pun berlalu. Kini jam pelajaran telah usai tepat pukul tiga siang. "Baiklah pertemuan kita akhiri sampai disini. Oh iya, saya ingin memberitahukan bahwa dia minggu lagi ada Olimpiade untuk pelajaran kimia di tingkat Nasional, jika ada yang berkenan mengikutinya bisa mendaftarkan diri pada saya. Dan Rayyana, ustadzah harap kamu mengikutinya.“ ucap ustadzah Zahro. Selain menjadi ustadzah, ia juga seorang Ning. Karena ayahnya memiliki pondok pesantren ternama di salah satu kota besar. Perlu di ingat juga, bahwa Zahro adalah tunangan Akram yang dijodohkan oleh abahnya.

"Baik ustadzah,“ jawab Rayyana menganggukkan kepalanya.

Setelah Zahro keluar dari kelas, para santriwati pun ikut keluar juga. Rayyana dan Intan berjalan bersamaan karena memang kamar mereka bersebelahan.

"Kamu beruntung banget sih, Nis, bisa sekamar sama Ning Aulia. Para santriwati disini ingin sekali satu kamar dengan beliau.“ ucap Intan berbincang ringan dengan Rayyana.

"Kenapa gitu? Aku malah kesel sendiri sama kak Aulia, dia sering ninggalin aku sendiri di kamar.“ tanya Rayyana penasaran.

Membuat Intan menghentikan langkahnya. "Jangan bilang kalau kamu gak tau kalau Ning Aulia itu kakaknya Gus Akram, anaknya Kyai Hasby?“ tanya Intan menerka-nerka.

"Gak tau, lagian juga aku gak peduli!“ jawab Rayyana santai. Ia memang tidak terlalu banyak omong, sifatnya cuek, namun manja. "Yaudah aku duluan ya? Assalamu'alaikum," lanjutnya pergi dari hadapan Intan. Hari ini sangat melelahkan baginya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah,“ Intan hanya menggelengkan kepalanya saja melihat teman barunya itu. "Belum tau aja dia kalau Gus Akram itu incaran para santriwati, tapi sayangnya beliau sudah dijodohkan.“ gumam Intan sendu. Ia pun kembali melanjutkan jalannya menuju kamarnya.

Di dalam kamar, Rayyana disambut oleh Aulia yang baru saja pulang kuliah. "Assalamu'alaikum," sapa Rayyana yang sudah mulai terbiasa.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, alhamdulillah akhirnya kamu terbiasa juga, dek.“ puji Aulia senang mendengar Rayyana mengucapkan salam. Aulia memang tinggal di asrama putri karena keinginannya sendiri. Tapi, jika sedang ingin tidur dikamarnya, gadis cantik keturunan Arab itu pulang ke ndalem. Ia juga sudah menganggap Rayyana sebagai adiknya sendiri, makanya ia betah tinggal di asrama untuk mendampingi sekaligus menjaga Rayyana agar tidak kabur lagi.

Rayyana melirik tajam ke arah Aulia. "Kak Aulia kenapa gak bilang kalau kakak itu anaknya Kyai?" tanya Rayyana kesal dengan Aulia.

Senyuman manis terbit di bibir Aulia. "Sengaja, agar kamu tidak canggung padaku. Anggap saja aku ini kakakmu sendiri, bukankah kamu menginginkan seorang kakak?“ jawab Aulia dengan lembut. "Sudahlah, sekarang kamu bersih-bersih dan ikut aku ke ndalem, karena nanti malam ada acara.“ lanjutnya masih dengan senyuman diwajahnya.

"Tapi, kenapa kak Aulia pakai kata aku? Bukankah itu dilarang disini?" Dengan polos Rayyana bertanya demikian.

"Sudah ku bilang sebelumnya, bahwa aku tidak ingin kamu canggung denganku. Sudahlah sana mandi!“ cicit Aulia dengan tawa kecil.

"Tapi disini kalau mandi pasti antri,“ celetuk Rayyana lagi. Ia memang belum terbiasa untuk mengantri di kamar mandi. Karena selama hidupnya, dirinya selalu menjadi prioritas.

Aulia terkekeh pelan. "Yaudah mandi di kamar aku aja, bawa semua perlengkapan kamu. Karena udah gak ada waktu nih, sebentar lagi juga masuk waktu Ashar.“ putus Aulia dan dibalas anggukan oleh Rayyana.

Gadis cantik itu pun mengambil pakaian dan alat sholatnya. Setelah itu, ia mengikuti langkah Aulia menuju ndalem. Sesampainya di ndalem, mereka berdua disambut oleh Ummi Laila, orang tua Haikal, Akram dan Aulia.

"Assalamu'alaikum Ummi,“ sapa Aulia terlebih dahulu mencium punggung tangan uminya. Lalu, disusul oleh Rayyana.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, tumben pulang. Biasanya di asrama terus,“ ledek Laila pada anak perempuannya. Lalu, pandangannya beralih pada Rayyana, anak semata wayang sahabat suaminya. "Loh, nak Rayyana ada apa kesini?" tanya Laila dengan lembut.

"Jadi gini Ummi, kan malam ini orang tuanya Mbak Zahro mau ke rumah kita. Terus Aulia bawa Rayyana kesini untuk bantuin kita. Qadarullah kamar mandi di asrama lagi penuh, karena sebentar lagi ashar yaudah Aulia bawa aja Rayyana kesini untuk mandi disini sekalian. Gak apa-apa kan Ummi?“ jelas Aulia sembari meminta izin.

Laila menganggukkan kepalanya dan memberi izin. Ia juga menyentuh pipi Rayyana, karena gemas pada gadis dengan kecantikan yang sangat alami itu.

"Yaudah mandilah nduk, nanti bantuin Ummi di dapur nggih." titah Laila tersenyum lembut pada Rayyana. Karena kepribadian Rayyana yang jujur dan polos, membuat Laila sangat menyayangi gadis cantik di depannya itu.

"Baik Ummi,“ jawab Rayyana tersenyum tipis. Ia pun kembali mengikuti langkah Aulia.

Mereka berdua menaiki anak tangga menuju lantai dua. Karena memang kamar Aulia di lantai dua. Namun, saat baru setengah menaiki tangga tersebut, Aulia dipanggil oleh uminya.

"Aulia, bantuin Ummi sebentar nduk...“ teriak Laila dari bawah.

Aulia yang mendengar hal itu langsung menyetujui permintaan uminya. "Nggih Ummi, sebentar.“ jawab Aulia dengan sopan dan sedikit berteriak. Lalu, ia beralih menatap Rayyana.

"Rayyana, kamar aku ada di sebelah kiri dari sini. Nanti nampak kok, kamu kesana sendiri gak apa-apa kan?“ tanya Aulia dan dibalas anggukan kepala oleh Rayyana.

"Gak apa-apa kok kak. Aku bisa sendiri." jawab Rayyana menganggukkan kepalanya.

Aulia pun tersenyum. Lalu, dengan berlari secepat kilat, ia menghampiri uminya. Sementara, Rayyana melanjutkan langkahnya menuju kamar Aulia.

Sesampainya di lantai dua, Rayyana dibuat bingung dengan dua pintu di sebelahnya. "Tadi kata Kak Aulia kamarnya sebelah kanan atau kiri ya?“ tanya Rayyana mencoba untuk mengingat ucapan Aulia. "Kanan mungkin, karena kanan kan baik, dan Kak Aulia juga baik samaku.“ putus Rayyana masuk ke dalam kamar yang berada di sebelah kanan. Padahal kamar Aulia di sebelah kiri.

Cklek.

Pintu kamar terbuka, pandangan pertama yang ia lihat adalah interior kamar yang didominasi dengan warna silver dan hitam. Terkesan sangat minimalis, tapi mewah. 'Masa Kak Aulia kamarnya kayak kamar cowok sih?' batin Rayyana bertanya-tanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, setelah menemukannya.

Baru saja Rayyana ingin membuka pintu kamar mandi tersebut, tapi seseorang sudah keluar dari sana dan hanya menggunakan bathrobe saja. Membuat Rayyana terbelalak, karena di depannya ada seorang pria. Sialnya lagi, ia terpeleset dan meraih tangan pria itu untuk menolongnya. Namun, berujung mereka terjatuh di lantai secara bersamaan.

"Aaaaargh...“

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status