**
“Seratus persen.”
Pria itu melayangkan senyum tepat setelah Binar mengatakannya.
Jantung Binar mendadak terasa jumpalitan. Buru-buru ia mengalihkan pandangan agar tidak terus-terusan terbawa rasa.
Sangat berbahaya jika William terus-terusan bersikap manis seperti ini.
Tak lama kemudian, mobil berbelok memasuki pelataran sebuah rumah minimalis modern yang berdiri megah di pusat kota. Binar memandangnya dengan takjub. Kadang-kadang ia lupa, suami sementaranya ini adalah seorang pengusaha sukses pemilik banyak hotel berbintang dan beberapa bisnis manufaktur yang tersebar di kota-kota besar.
Namun mengingatnya, membuat Binar insecure dan kembali merasa tidak layak.
“Kenapa wajah kamu begitu? Ayo, masuk.” William berujar saat Binar hanya diam di tempat. Perempuan itu tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti.
“Jangan takut, nggak ada orang lain selain aku dan Rachel. Semua pegawai rumah nggak akan datang kalau nggak dipanggil.”
“Ah, iya.” Mengangguk gugup, Binar bergerak akhirnya. Ia membuka pintu mobil dan meluncur turun.
Mengikuti langkah sang suami, memasuki babak baru dalam kehidupannya, yang tidak akan pernah bisa ia duga bagaimana akan berlangsung.
*
“Kenapa dia ada di sini?”
Adalah kata-kata sambutan pertama yang Rachel layangkan begitu melihat William datang bersama Binar.
Tepat seperti yang Binar takutkan. Perempuan cantik bertubuh semampai itu melayangkan pandangan tajam ke arahnya tanpa sungkan-sungkan.
“Kami baru saja pulang dari rumah sakit, Rachel. Binar tadi pingsan, jadi aku membawanya periksa. Kamu tahu, ternyata dia sudah mengandung. Dokter bilang usia kandungannya sekitar tiga minggu.”
Sepasang netra cokelat Rachel sontak membola. Pandangannya bergulir bergantian antara William dengan Binar. “Hamil? Bagaimana bisa secepat itu? Kamu yakin dia hamil dan bukan cuma masuk angin?”
“Apa maksudmu? Tentu saja aku yakin, karena Dokter Ardi yang memeriksa. Lebih dari itu, aku dan Binar kan sudah menikah sekitar satu setengah bulan. Ini bukan sesuatu yang janggal, kan?”
Belum selesai keterkejutan yang menimpa Rachel, sang suami sudah kembali menambahkan, “Mulai hari ini Binar akan tinggal sama kita, Rachel. Agar aku lebih mudah memantau keadaannya. Juga agar kalian berdua bisa menjadi lebih dekat. Ini bagus kan untuk bonding, karena nantinya kamu yang akan jadi ibu si bayi.”
Demi apapun, Binar sama sekali tidak bisa melihat kemungkinan adanya bonding yang dikatakan William itu. Rachel sama sekali tidak terlihat senang dengan kedatangannya di rumah ini.
Binar jadi ragu jika seperti itu. Ia merasa serba salah dengan keadaannya. Apakah sebaiknya ia kembali pulang ke mansion saja? Binar tidak bisa membayangkan bagaimana, jika ia berada satu atap dengan Rachel Aluna selama sembilan bulan ke depan.
“Binar, ayo aku antar kamu ke kamar. Kamu harus banyak istirahat seperti yang Dokter tadi bilang, kan? Sebaiknya kamu menempati kamar di lantai bawah saja, ya? Biar nanti nggak capek naik turun tangga.”
“Eh, itu–”
“Lewat sini, kamarnya ada di sebelah sini.”
William menunjukkan jalan, membuat Binar mau tak mau mengikutinya. Ia mengangguk ragu dan menggumamkan ucapan selamat malam kepada istri muda suaminya yang tidak menjawab dan hanya terpaku di tempat.
Rachel terdiam, tak mengatakan apapun. Namun raut wajahnya terlihat seperti ia baru saja dihantam satu kenyataan tragis.
“Benarkah Mbak Rachel nggak apa-apa, Tuan?” tanyanya begitu William membukakan pintu sebuah kamar untuk dirinya. “Saya takut Mbak Rachel merasa nggak nyaman dengan adanya saya di sini.”
“Apa sih yang kamu khawatirkan? Sudahlah, jangan mikir macam-macam, kamu lihat sendiri kan, Rachel nggak apa-apa.”
Binar sama sekali tidak melihat sisi ‘nggak apa-apa’ seperti yang William katakan. Benarkah pria itu sama sekali tidak menyadari tatapan dingin penuh hawa permusuhan yang istri pertamanya alamatkan kepada Binar tadi?
“Kamu istirahat saja sekarang. Aku akan panggilkan maid rumah untuk bawakan kamu makan malam. Apakah kamu membutuhkan sesuatu yang lain? Aku akan membawakannya untukmu.”
Buru-buru Binar menggeleng. “Nggak, nggak ada. Sebaiknya anda menemani Mbak Rachel saja sekarang. Bukankah tadi dia sedang sakit? Kasihan Mbak Rachel, Tuan.”
Kedua alis William terangkat mendengar itu. “Oke. Kamu nggak perlu sungkan minta apapun sama maid rumah. Katakan saja kalau kamu butuh sesuatu. Aku ada di kamarku, di lantai atas.”
Binar mengangguk tanpa peduli kamar suaminya ada di mana. Ia ingin William cepat meninggalkannya sendirian, sebab ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semua ini.
Selepas kepergian sang suami, Binar baru bisa menghela napas. Kamar ini luas sekali, dan tidak kalah mewah dengan kamar mansion yang sebelumnya, namun entah bagaimana Binar masih juga merasa sesak.
Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya kembali terbuka. Binar terhenyak, sebab kali ini Rachel yang datang. Perempuan jelita itu berdiri di ambang pintu, memandang Binar dengan raut keruh.
“Mbak Rachel?” sapanya, berusaha bersikap ramah. “Ada apa, Mbak?”
“Benarkah kamu hamil?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ya, emm … menurut pemeriksaan dokter, memang seperti itu.”
“Aku nggak percaya kamu hamil secepat ini. Kamu nggak sedang berusaha menipu suamiku, kan?”
***
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit