**
Binar tertegun memandang perempuan cantik di hadapannya. Selama beberapa saat ia hanya terdiam di tempat, sama sekali tidak mengerti mengapa Rachel bisa berkata seperti itu.
“Mbak? Bagaimana mungkin saya menipu Tuan William? Dokter sendiri yang menyatakan saya hamil setelah dilakukan pemeriksaan.”
“Bisa saja kamu sudah merencanakan semua ini dari awal. Kamu sudah hamil sebelum menikah dengan suamiku, mungkin?”
“Mbak, astaga! Saya nggak seperti itu!”
Binar benar-benar kaget dengan tuduhan Rachel yang tidak berdasar itu. Ini sangat tidak masuk akal, mengingat yang menginginkan kehamilan ini adalah William dan Rachel sendiri, bukan Binar. Bahkan pernikahan itu akan segera berakhir setelah Binar melahirkan. Jadi bagaimana bisa Rachel menuduhnya demikian?
“Aku hanya berjaga-jaga,” pungkas Rachel akhirnya. “Aku hanya memastikan bahwa benih itu benar-benar milik suamiku. Hanya keturunan suamiku yang akan menjadi pewaris Diamond Group.”
Sementara Binar tetap terpaku di tempat dengan kerutan menghiasi keningnya. Ia bahkan masih mengingat rasa sakit saat malam pertamanya dengan William kala itu, bagaimana mungkin ia melakukannya dengan orang lain seperti yang Rachel tuduhkan?
“Jangan khawatir, saya nggak akan mengkhianati kalian. Ini benar-benar anak Tuan William.” Binar berujar dengan sakit hati. Ia menunduk sampai langkah-langkah kaki Rachel terdengar meninggalkan kamarnya.
Belum sampai satu jam Binar menginjakkan kaki di rumah ini, ia sudah mendapatkan perlakuan demikian dari istri pertama suaminya. Bagaimana ia bisa bertahan hingga sembilan bulan ke depan, sampai bayi yang dikandungnya lahir?
“Sepertinya benar-benar bukan ide bagus Tuan William membawaku pindah ke sini. Besok aku akan bicara lagi sama beliau, siapa tahu aku diizinkan kembali lagi ke rumah lama.”
Binar kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia berbaring, memandang nyalang langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak menentu. Merasa demikian terpuruk hingga tertidur tanpa sadar.
*
“Binar, kamu sudah bangun?”
Binar terlonjak kaget saat pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Ia sedang berada di depan cermin rias pagi itu.
“Ah, maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud mengagetkanmu. Aku lupa nggak ketuk pintu dulu.” William yang masih berada di ambang pintu menyadari bahwa perbuatannya membuat kaget yang lebih muda.
“Nggak apa-apa, Tuan. Saya sudah bangun dari tadi kok.” Binar mengulas senyum tipis. Ia berusaha tidak banyak memandang William yang pagi itu sudah rapi dengan kemeja dan celana kantornya.
“Oke, bisakah kamu keluar dan sarapan bersama? Rachel sudah menunggu.”
Mendadak saja selera makan Binar lenyap ketika nama Rachel disebut. Ia sangat ingin menghindari berada dalam satu area dengan perempuan cantik itu, tapi bagaimana bisa?
“Binar? Kenapa kamu malah melamun? Aku bilang, ayo keluar dan sarapan.”
“Oh, baiklah.”
Tidak bisa. Kalimat penolakan itu tersendat di tenggorokan, dan Binar tak bisa menyuarakannya. Akhirnya ia berakhir melangkah keluar kamar, mengikuti Willliam menuju meja makan.
Benar saja, kedatangannya disambut dengan lirikan enggan dari sang istri pertama.
“Se-selamat pagi, Mbak Rachel,” sapa Binar berbasa-basi. Satu yang lain hanya menjawab dengan anggukan kecil. Itu agak menyakitkan.
“Kamu mau makan apa? Menu ini nggak apa-apa, kan?” Lagi-lagi, William tidak sadar dengan sikap istri pertamanya. Pria itu malah mendekatkan piring menu kepada Binar dan berujar dengan antusias. “Kamu harus makan yang banyak, Binar. Sekarang kamu kan makan buat dua orang. Kamu mau makan apa?”
“Ah? Oh, saya makan apa saja nggak masalah, kok.” Binar menelan saliva. Ia merasa tidak enak saat William menambahkan ini dan itu ke dalam piringnya.
“Dokter bilang kamu boleh makan apa saja selama nggak berlebihan. Bilang saja kalau misalnya kamu mau sesuatu. Apa itu istilahnya, mengidam, eh?”
Senyum kecil tersemat pada bibir William saat ia mengatakannya. Secara reflek Binar memandang kepada Rachel, dan ia bisa melihat betapa horor wajah perempuan itu.
“Tu-Tuan William, sudah cukup. Saya nggak akan bisa menghabiskannya kalau terlalu banyak.” Binar segera menarik piringnya menjauh. Sebisa mungkin meminimalisir interaksi dengan pria itu, sebab tidak ingin semakin menambah kecanggungan pada meja makan yang mewah ini.
“Oh ya, Binar, nanti jangan lupa minum vitamin yang dikasih dokter kemarin. Dan juga–”
Kata-kata William terputus oleh suara dentang keras yang berasal dari sampingnya. Rachel menjatuhkan garpunya dengan sengaja.
“Aku harus berangkat sekarang, Will. Hari ini aku pemotretan pagi,” ujarnya kepada William tanpa sedikitpun memandang ke arah Binar.
William yang merasa Rachel menjadi agak tersinggung dengan perhatiannya kepada Binar, mendadak agak menjauh. Pria itu berdehem dengan salah tingkah. “Rachel, kamu juga harus sarapan dulu. Kamu punya gerd, kan? Jadi, kamu juga nggak bisa skip sarapan.”
“Kamu tahu, aku harus menjaga berat badan. Penampilan penting untukku.”
“Tapi, Rachel–”
“It’s okay. Aku berangkat dulu.”
Perempuan cantik semampai itu meninggalkan meja makan diiringi pandangan dalam dari sang suami. Sementara Binar hanya bisa membisu sembari menundukkan pandangan. Ini benar-benar terasa tidak nyaman. Betapa Binar merasa ia telah merebut perhatian sang suami dari istri pertamanya, padahal ia sama sekali tidak memiliki maksud seperti itu.
Sepeninggalnya, saat hanya tinggal Binar berdua dengan William di meja makan, perempuan itu berdehem lirih. Ia berusaha menenangkan diri sebelum berucap.
“Tuan William?”
Sang tuan memandangnya. “Ya?”
“Apakah … tidak sebaiknya saya kembali lagi saja ke rumah yang lama itu? Bolehkah saya pindah ke sana lagi?”
***
** “Pindah ke rumah lama? Apa maksudmu?” William mengerutkan alis. Wajahnya menyiratkan rasa tidak setuju saat mendengar usulan dari Binar. “Saya hanya nggak ingin terjadi kesalahpahaman antara saya sama Mbak Rachel.” “Apa yang bisa disalahpahami sama Rachel? Aku nggak ngerti apa maksudmu.” Bagaimana Binar menjelaskannya? Padahal ia pikir sikap dingin Rachel kepadanya sangat kentara. Mengapa William tidak paham juga? Perempuan itu kembali menunduk sembari mempermainkan garpu yang ia pegang. “Yah, saya hanya nggak ingin Mbak Rachel terganggu dengan perhatian yang anda berikan kepada saya, Tuan.” “Perhatian?” Seperti baru saja menyadari hal ini, wajah William mendadak agak merona. “Yah … aku pikir itu hal yang wajar. Aku dengar trimester pertama kehamilan itu masa yang berat. Aku hanya ingin membantu.” Wah, Binar sedikit kagum. Bahkan William mengerti hal-hal seperti ini. Rupanya pria ini sudah sangat siap menjadi seorang ayah. William adalah sosok yang tampan rupawan, berpendid
**“Binar, kenapa kamu lakukan itu? Kamu tahu itu berbahaya!” William menegur dengan nada sedikit tinggi, membuat istri keduanya terkesiap.“Saya nggak sengaja, Tuan. Saya nggak bermaksud–”“Kamu sengaja!”Binar terhenyak kaget saat Rachel berseru kepadanya dengan suara keras. Perempuan itu masih merintih kesakitan saat William mendekat kepadanya. Saat Binar melihat telapak kaki Rachel, ruam kemerahan terlihat di sana.“Kamu sengaja jatuhkan nampannya biar kaki aku kena air panas, iya kan?”“Mbak, saya benar-benar nggak sengaja ….”“Bohong!”“Rachel, kita ke rumah sakit saja sekarang, ya?” William yang tampak bingung menghadapi kedua istrinya, berusaha menengahi. “Kita ke dokter sekarang biar kaki kamu lekas dapat penanganan. Sini, biar aku bantu.” Pria 35 tahun itu membantu sang istri pertama untuk berdiri dan memapahnya berjalan. “A-apakah saya boleh ikut ke dokter?” Binar menyela, berkata pelan penuh harap.“Mau ngapain ikut? Mau ngetawain aku, iya?” sahut Rachel penuh emosi, yan
**“Hanya luka seperti ini nggak perlu ke dokter segala kok, Tuan. Saya kan bukan seorang model seperti Mbak Rachel. Nggak masalah kalau saya punya sedikit bekas luka.”William mengernyit. Tampak tidak setuju, namun tidak berkata apapun. Arah pandangnya kembali jatuh kepada kaki Binar. Menatap ruam kemerahan yang menodai permukaan kulit putih itu.“Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Karena kamu sekarang nggak hidup sendirian.”“Ah ….” Binar menelan saliva. Ia merasa tertampar dengan kalimat terakhir suaminya itu. Benar sekali, yang William khawatirkan sebenarnya adalah calon bayi dalam perutnya, bukannya Binar sendiri. “Jangan khawatir. Dia terlindungi dengan sempurna di dalam sini, Tuan.”William mengangguk sembari bangun dan menegakkan tubuh. Pandangannya yang kembali datar bahkan cenderung dingin, sama sekali berbeda dengan beberapa detik yang lalu. “Ya sudah kalau kamu baik-baik saja. Tolong lebih hati-hati lain kali. Seperti yang kamu ketahui, penampilan memang sangat pent
**“Nyonya! Nyonya Binar pingsan di ruang tengah!”Rachel baru saja menyeruput Earl Grey Tea dari cangkirnya saat seorang perempuan muda pegawai rumah menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.“Pingsan?” Dahi Rachel berkerut. “Tapi dia baru saja mengucapkan selamat pagi kepadaku.”“Kami menemukannya di ruang tengah. Apakah harus panggil dokter, Nyonya? Ataukah harus menunggu Tuan datang?”Rachel terhenyak, sadar bahwa tidak akan bagus jika William melihat keadaan ini. Ia menggeleng sesaat. “Kalian bawa ke mana dia?”“Ke kamar, Nyonya. Haruskah menelepon dokter sekarang?”“Biar aku sajalah yang telepon dokter. Kamu bisa kembali ke belakang, aku akan lihat dia ke kamar.”Pegawai perempuan itu mengangguk dengan hormat sebelum undur diri kembali ke belakang. Meninggalkan Rachel sendirian yang berdecih kesal sembari berdiri dengan malas. “Kenapa lagi sih itu orang? Drama banget perasaan. Baru juga hamil, sudah bikin gara-gara saja kerjaannya.”Perempuan rupawan itu menyeret langkah malas-malas
**“Binar? Kamu apa kabar, Nak? Kamu baik-baik saja, kan?”Mendengar pertanyaan seperti itu, Binar justru hampir menangis lagi. Tentu saja ia tidak baik-baik saja saat ini. Tapi apakah ia bisa mengatakan semua itu kepada ayah yang sangat disayanginya? Tentu saja tidak, sebab sudah pasti sang ayah akan khawatir.“Aku baik-baik saja, Ayah ….” Sembari menghela napas, Binar menjawab. “Aku kangen, pengen ketemu Ayah. Aku akan minta izin sama Tuan William untuk pulang sebentar ke rumah buat ketemu sama Ayah hari ini.”Hening sejenak, Binar menyeka air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Ia menahan diri sekuat tenaga agar isak tangisnya tidak sampai lolos dan terdengar hingga ke seberang. Namun agaknya sang Ayah tetap bisa merasakan hal itu.“Kamu yakin baik-baik saja? Jangan memaksa pergi kalau suami kamu nggak kasih izin, ya?”“Dia akan mengizinkanku, Ayah tenang saja.”Binar diam lagi. Sejujurnya ia juga tidak tahu apakah sang suami akan mengizinkannya keluar atau tidak. Namun me
**Sampai juga, akhirnya.Rumah itu masih sama seperti dua bulan yang lalu, ketika Binar meninggalkannya untuk menikah dan hidup sebagai istri kedua seorang bos muda tampan yang sudah menyelamatkan hidup keluarganya dari kebangkrutan.Terpaksa menerima keadaan, meski kala itu semalaman penuh Binar menangis, bahkan berniat kabur dari rumah –walau akhirnya tidak jadi ia lakukan. Statusnya sebagai anak tiri di rumah ini mengharuskannya mengalah dengan semua keputusan kedua orang tuanya, termasuk menjadi pengantin kedua putra satu-satunya keluarga Aarav. William Aarav diharuskan memiliki penerus yang tidak bisa diberikan oleh Rachel Aluna, maka kedua orang tua Binar yang notabene memiliki banyak hutang budi kepada keluarga Aarav, menyerahkan putri sulung mereka untuk membantu.“Kamu melamun lagi? Sebenarnya memang benar-benar mau ketemu ayahmu atau nggak, sih?”Terkesiap, Binar buru-buru menoleh kepada sang suami. Ia terkejut sendiri saat menyadari bahwa mobil William sudah berhenti dari
**Pukul sembilan malam tepat, mobil hitam William kembali berhenti di halaman rumah orang tua Binar. Binar yang sebelumnya menghabiskan waktu sembari bercengkerama bersama ayahnya, beranjak dengan berat hati. Ia tidak ingin meninggalkan rumah, sesungguhnya. Namun, mana bisa begitu, kan?“Aku pulang dulu, Ayah,” pamitnya sembari mencium punggung tangan Rudy. Yang bersangkutan pun tampak berat melepas putrinya kembali, namun seperti halnya Binar, Rudy juga tidak bisa melakukan apapun.“Tuan William, apakah nggak mau masuk dulu?” Di luar dugaan, Vidia melesat keluar dari kamarnya dan menyapa William dengan gembira kala melihat pria itu datang. “Tuan William sudah makan malam? Mari, masuk dulu.”William mengangguk kecil, kentara sekali terpaksa mengulas senyum. “Sudah, terima kasih. Saya hanya akan menjemput Binar kembali.”“Ah, saya harap dia nggak merepotkan anda di sana, Tuan. Binar tuh kan banyak maunya, ya. Nggak kebayang kalau sedang hamil seperti ini, pastinya ngidam ini itu juga.
**“Oh, kamu sudah menikah, ternyata?” Gio bertanya dengan heran. Raut wajahnya berubah setelah mendengar penuturan dari William barusan. “Kenapa aku sama sekali nggak mendengar kabarnya, Binar? Kamu nggak kasih aku undangan?”“Binar memang nggak ingin memberitahu siapapun. Apakah itu sangat mengganggumu?” sahut William dingin, membuat Gio terperangah.“Bukan begitu. Maksudnya–”“Mas Gio, saya harus pergi sekarang karena ini sudah malam. Sampai ketemu lagi ya, Mas.” Terburu-buru Binar memotong sebab merasa atmosfir di sekitar sana menjadi kurang nyaman. Ia agak menarik lengan William untuk masuk ke dalam mobil, agar pria itu tidak terus-terusan bersitatap tajam dengan satu yang lain di hadapannya.Binar sedikitnya menyesal, mengapa harus bertemu dengan Giorgino Gautama, teman sejak kecilnya, pada waktu yang tidak sesuai seperti itu.Mobil kembali melaju, kemudian. Dan masih seperti yang tadi, keheningan melanda dalam kabin. Namun kali ini keheningan itu terasa agak lain, karenanya Bin