Share

6. Pagi Yang Buruk

**

Binar tertegun memandang perempuan cantik di hadapannya. Selama beberapa saat ia hanya terdiam di tempat, sama sekali tidak mengerti mengapa Rachel bisa berkata seperti itu.

“Mbak? Bagaimana mungkin saya menipu Tuan William? Dokter sendiri yang menyatakan saya hamil setelah dilakukan pemeriksaan.”

“Bisa saja kamu sudah merencanakan semua ini dari awal. Kamu sudah hamil sebelum menikah dengan suamiku, mungkin?”

“Mbak, astaga! Saya nggak seperti itu!”

Binar benar-benar kaget dengan tuduhan Rachel yang tidak berdasar itu. Ini sangat tidak masuk akal, mengingat yang menginginkan kehamilan ini adalah William dan Rachel sendiri, bukan Binar. Bahkan pernikahan itu akan segera berakhir setelah Binar melahirkan. Jadi bagaimana bisa Rachel menuduhnya demikian?

“Aku hanya berjaga-jaga,” pungkas Rachel akhirnya. “Aku hanya memastikan bahwa benih itu benar-benar milik suamiku. Hanya keturunan suamiku yang akan menjadi pewaris Diamond Group.”

Sementara Binar tetap terpaku di tempat dengan kerutan menghiasi keningnya. Ia bahkan masih mengingat rasa sakit saat malam pertamanya dengan William kala itu, bagaimana mungkin ia melakukannya dengan orang lain seperti yang Rachel tuduhkan?

“Jangan khawatir, saya nggak akan mengkhianati kalian. Ini benar-benar anak Tuan William.” Binar berujar dengan sakit hati. Ia menunduk sampai langkah-langkah kaki Rachel terdengar meninggalkan kamarnya.

Belum sampai satu jam Binar menginjakkan kaki di rumah ini, ia sudah mendapatkan perlakuan demikian dari istri pertama suaminya. Bagaimana ia bisa bertahan hingga sembilan bulan ke depan, sampai bayi yang dikandungnya lahir?

“Sepertinya benar-benar bukan ide bagus Tuan William membawaku pindah ke sini. Besok aku akan bicara lagi sama beliau, siapa tahu aku diizinkan kembali lagi ke rumah lama.”

Binar kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia berbaring, memandang nyalang langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak menentu. Merasa demikian terpuruk hingga tertidur tanpa sadar.

*

“Binar, kamu sudah bangun?”

Binar terlonjak kaget saat pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Ia sedang berada di depan cermin rias pagi itu.

“Ah, maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud mengagetkanmu. Aku lupa nggak ketuk pintu dulu.” William yang masih berada di ambang pintu menyadari bahwa perbuatannya membuat kaget yang lebih muda.

“Nggak apa-apa, Tuan. Saya sudah bangun dari tadi kok.” Binar mengulas senyum tipis. Ia berusaha tidak banyak memandang William yang pagi itu sudah rapi dengan kemeja dan celana kantornya.

“Oke, bisakah kamu keluar dan sarapan bersama? Rachel sudah menunggu.”

Mendadak saja selera makan Binar lenyap ketika nama Rachel disebut. Ia sangat ingin menghindari berada dalam satu area dengan perempuan cantik itu, tapi bagaimana bisa?

“Binar? Kenapa kamu malah melamun? Aku bilang, ayo keluar dan sarapan.”

“Oh, baiklah.”

Tidak bisa. Kalimat penolakan itu tersendat di tenggorokan, dan Binar tak bisa menyuarakannya. Akhirnya ia berakhir melangkah keluar kamar, mengikuti Willliam menuju meja makan.

Benar saja, kedatangannya disambut dengan lirikan enggan dari sang istri pertama.

“Se-selamat pagi, Mbak Rachel,” sapa Binar berbasa-basi. Satu yang lain hanya menjawab dengan anggukan kecil. Itu agak menyakitkan.

“Kamu mau makan apa? Menu ini nggak apa-apa, kan?” Lagi-lagi, William tidak sadar dengan sikap istri pertamanya. Pria itu malah mendekatkan piring menu kepada Binar dan berujar dengan antusias. “Kamu harus makan yang banyak, Binar. Sekarang kamu kan makan buat dua orang. Kamu mau makan apa?”

“Ah? Oh, saya makan apa saja nggak masalah, kok.” Binar menelan saliva. Ia merasa tidak enak saat William menambahkan ini dan itu ke dalam piringnya.

“Dokter bilang kamu boleh makan apa saja selama nggak berlebihan. Bilang saja kalau misalnya kamu mau sesuatu. Apa itu istilahnya, mengidam, eh?” 

Senyum kecil tersemat pada bibir William saat ia mengatakannya. Secara reflek Binar memandang kepada Rachel, dan ia bisa melihat betapa horor wajah perempuan itu.

“Tu-Tuan William, sudah cukup. Saya nggak akan bisa menghabiskannya kalau terlalu banyak.” Binar segera menarik piringnya menjauh. Sebisa mungkin meminimalisir interaksi dengan pria itu, sebab tidak ingin semakin menambah kecanggungan pada meja makan yang mewah ini.

“Oh ya, Binar,  nanti jangan lupa minum vitamin yang dikasih dokter kemarin. Dan juga–”

Kata-kata William terputus oleh suara dentang keras yang berasal dari sampingnya. Rachel menjatuhkan garpunya dengan sengaja.

“Aku harus berangkat sekarang, Will. Hari ini aku pemotretan pagi,” ujarnya kepada William tanpa sedikitpun memandang ke arah Binar.

William yang merasa Rachel menjadi agak tersinggung dengan perhatiannya kepada Binar, mendadak agak menjauh. Pria itu berdehem dengan salah tingkah. “Rachel, kamu juga harus sarapan dulu. Kamu punya gerd, kan? Jadi, kamu juga nggak bisa skip sarapan.”

“Kamu tahu, aku harus menjaga berat badan. Penampilan penting untukku.”

“Tapi, Rachel–”

It’s okay. Aku berangkat dulu.”

Perempuan cantik semampai itu meninggalkan meja makan diiringi pandangan dalam dari sang suami. Sementara Binar hanya bisa membisu sembari menundukkan pandangan. Ini benar-benar terasa tidak nyaman. Betapa Binar merasa ia telah merebut perhatian sang suami dari istri pertamanya, padahal ia sama sekali tidak memiliki maksud seperti itu.

Sepeninggalnya, saat hanya tinggal Binar berdua dengan William di meja makan, perempuan itu berdehem lirih. Ia berusaha menenangkan diri sebelum berucap.

“Tuan William?”

Sang tuan memandangnya. “Ya?”

“Apakah … tidak sebaiknya saya kembali lagi saja ke rumah yang lama itu? Bolehkah saya pindah ke sana lagi?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status