Binar Azaleya terpaksa menjadi istri ke-2 seorang William Aarav sebab hutang budi keluarganya. Tujuannya hanya satu, yakni melahirkan keturunan yang akan menjadi ahli waris sang presdir karena istri pria itu tak bisa melakukannya. Hanya saja, pernikahan itu tak semudah yang dikira Binar. Siapa sangka, cinta tumbuh di antara Binar dan William? Lantas, bagaimana kisah keduanya? Apakah William berhasil menahan Binar dan mempertahankan pernikahan mereka atau harus berakhir sesuai kesepakatan?
View MoreResepsi pernikahan kedua dari Presdir Diamond Group sedang dihelat secara private. Para tamu yang hadir tampak menikmati pesta di mansion mewah itu, kecuali satu orang--Binar Azaleya. Pengantin wanita dari Tuan William itu bahkan memilih undur diri ke kamar kala waktu masih menunjukkan pukul 22.00.
Klak!
Lampu kamar mansion mewah itu menyala otomatis begitu Binar masuk. Segera ia menuju kamar mandi untuk melepaskan gaun pengantin mewah yang masih melekat pada tubuh rampingnya.
Sayangnya, berkali-kali dia mencoba, resleting yang terletak di bagian punggung itu tak mau turun. Gadis itu sampai kembali ke area kamar untuk mencari sesuatu yang dapat membantunya.
“Biar kubantu!”
Suara bariton dari belakang membuat Binar tersentak. Pasalnya, ia tidak mendengar seseorang masuk ke dalam kamar.
“Tuan William? Kenapa Anda ada di sini?” Ragu, Binar bertanya.
“Aku juga lelah. Semua tamu sudah pulang.” Pria tampan itu hanya menyahut pendek seraya membantu membuka resleting bagian belakang gaun pengantin –seolah tindakannya itu biasa saja dan tak berarti apapun.
“Tuan, saya bisa melakukannya sendiri. Tolong–”
“Kamu ingat tujuan utama pernikahan ini, kan?"
Tatapan pria itu membuat Binar menundukkan wajahnya. Apakah ia harus melayani pria itu sekarang?
Pernikahan ini memang bertujuan untuk menghasilkan penerus keluarga Aarav. Tidak lebih dan tidak kurang. Binar bahkan tahu dirinya akan dibuang setelah tujuan itu berhasil didapatkan. Seandainya bukan karena desakan ayah dan ibu tirinya, jelas dia tak akan pernah mau.
Deg!
Seketika, Binar sadar jika Tuan William sudah tak mengenakan jas pengantinnya. Tiga kancing atas kemeja pria itu bahkan terbuka, memamerkan tubuh bagian atas yang Binar akui, mempesona.
Jantung perempuan itu menggila. Sepertinya, dia tak bisa kabur malam ini.
“Ka–kalau begitu, sebaiknya kita melakukannya dengan cepat, Tuan William.”
“Tentu! Ini sudah larut malam. Kita bisa terkena flu jika mandi terlalu malam,” ucap pria itu tegas, hingga membuat kedua alis Binar terangkat.
Tunggu ... mandi?
Berarti, dia aman karena Tuan William tak akan menyentuhnya, kan?
Tak ingin suami yang baru dinikahinya itu berubah pikiran, Binar pun segera berlari dan menutup kamar mandi.
Dijatuhkannya gaun pengantin yang dari tadi ia cengkeram dan merendam tubuhnya di dalam bathup. Persetan dengan rasa malu, perempuan itu hanya ingin semua ini cepat berlalu.
Hanya saja, Binar tak sadar bahwa dirinya lupa mengunci kamar mandi!
William Aarav ternyata menyusul masuk ke dalam bathup, dan tanpa ragu turut berendam berhadapan dengannya.
Binar ingin berteriak.
Namun, pandangan mata pria 32 tahun yang terpancang lurus kepadanya, membuat Binar menahan diri.
“Maaf jika ucapanku terdengar kasar," ucap pria itu tiba-tiba, "Lebih cepat kamu hamil, maka lebih cepat pula kita bisa mengakhiri semua ini."
"Setelahnya, aku akan kembali kepada istriku dan kamu bisa mencari pria yang lebih baik."
Jantung Binar mencelos. Ucapan pria itu memang benar.
Ia pun mengangguk–berusaha menampakkan gestur tenang dan biasa saja.
Kesucian yang sudah ia jaga selama 25 tahun, sepertinya harus ia serahkan malam ini kepada William–suami yang tak mencintai dan dicintai olehnya.
Tanpa kata, keduanya membilas tubuh dan mengeringkan badan.
Binar berusaha mengalihkan pandangan dari tubuh William saat menuju ke tempat tidur bersama.
Tak butuh waktu lama, posisi William sudah berada di atas tubuh Binar.
Entah mengapa, rasa takut kembali menderanya.
“Tolong lakukan pelan-pelan,” pinta Binar lirih. Ia ketakutan.
William mengangguk. “Rileks saja, jangan gugup. Katakan padaku kalau kamu merasa sakit. Aku akan berhenti.”
Kedua manik Binar sontak memejam kala sang suami membelai rahangnya dengan lembut.
Sekujur tubuh Binar merinding begitu napas hangat William menerpa telinganya.
Tubuhnya meremang setiap merasakan sentuhan-sentuhan ‘suaminya’ di bagian yang selama ini belum terjamah.
Entah sejak kapan, suasana di kamar itu memanas.
Binar bahkan tak sadar, sampai dia menyadari sesuatu terasa membelah inti tubuhnya.
Walau ternyata memang benar-benar sakit, namun entah mengapa Binar tidak ingin William berhenti.
Perempuan itu memejamkan mata rapat-rapat dengan kedua tangan meremat fabrik seprai. Ia mengatupkan bibir, berusaha tidak terlalu bersuara kala afeksi lembut namun penuh gairah dari William yang menghujani setiap inci bagian tubuh, berhasil menenggelamkan akal sehatnya.
“Tidak apa-apa, kau boleh bersuara. Jangan khawatir, tidak akan ada yang mendengar.” William menyunggingkan seringai lebar, yang membuat wajah Binar kembali membara.
"Akh, Tuan...."
Desahan seketika memenuhi ruangan.
Tuan Konglomerat itu menyemburkan harapan-harapan di rahim sang istri kedua, hingga tanpa keduanya sadari, kegiatan itu berlangsung hingga malam berganti menjadi fajar.
Pergumulan panas itu bahkan baru berakhir saat langit timur perlahan terang, dengan keduanya yang tertidur dengan saling berbagi pelukan.
Hanya saja, ketika Binar terbangun pada keesokan paginya, William Aarav ternyata sudah tidak berada di sampingnya.
Air mata gadis itu pun luruh. “Apa yang aku harapkan? Aku hanya perempuan yang dia nikahi karena menginginkan keturunan, bukan karena cinta.”
William Aarav memang populer sebagai pengusaha muda tampan dan kaya. Sudah menjadi rahasia umum, pria itu digilai banyak perempuan, namun percuma saja, karena William sudah memiliki istri yang ia cintai.
Sayangnya, publik tak akan menyangka bahwa pria itu semalam telah menghabiskan malam pengantin dengan Binar, gadis biasa yang tak layak disandingkan dengannya.
Saking biasanya, Binar layak untuk ditinggalkan setelah malam itu, kan?
“Kamu sudah bangun?”
Perempuan 25 tahun itu sedikit terkesiap tatkala sapaan terdengar tiba-tiba ; suara Tuan William.
Ia reflek menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos, serta buru-buru menghapus air mata.
Suaminya itu belum pergi? Apakah ia melihat Binar menangis?
Di sisi lain, William mengerutkan alis melihat tindakan Binar. Bukankah ia sudah melihat dan melakukan segalanya pada tubuh istrinya itu semalam?
Tapi, itu tak penting saat ini, sebab ada hal yang harus keduanya lakukan sekarang.
“Bersihkan dirimu dan bersiaplah turun untuk sarapan bersama. Istriku sebentar lagi datang,” titahnya dengan suara dingin.
***
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments