“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira.
Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.
“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”
“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.
Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?
“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya saja keadaan janinnya agak lemah.”
Bara dilanda kebingungan seketika. Jujur ia tak tahu harus bersikap bagaimana? Keira benar hamil dan ia yakin anak itu adalah hasil dari perbuatannya malam itu. Ia lah yang merenggut kegadisan Keira. Ketika Bara bangun pagi itu dan tak menemukan Keira di sebelahnya, ia sempat melihat noda darah di atas ranjang yang mereka tiduri bersama.
***
Aroma obat menguar kuat, seperti menyengat rongga hidungnya, begitu Keira membuka mata. Kepalanya masih terasa berat dan tubuhnya pun masih lemas sekali.
Tembok putih, lantai putih, dan langit-langit putih. Apakah semua warna putih ini menandakan bahwa dia sudah berpindah alam?
Keira mencoba tersenyum, tetapi saat matanya menangkap infus yang terpasang di tangannya, senyum itu memudar.
"Rupanya aku belum mati," gumamnya dengan nada kecewa. "Kenapa aku masih hidup? Kenapa Tuhan enggak membiarkanku mati aja? Aku enggak mau hidup menanggung beban berat yang memalukan kayak gini”
Dengan tatapan kosong ke langit-langit, air mata mulai mengalir di pipi Keira. Bukan ini yang Keira kehendaki. Ia tak mau berada di dunia ini lagi dan ingin menyusul Papanya di alam sana. Tetapi mengapa Tuhan malam mengirimnya kembali ke dunia?
Tegakan Tuhan menyaksikan ia menanggung derita, kalau tetap hidup di dunia dengan membawa anak haram dalam perutnya?
Memikirkan mengenai anak haram, Keira berjengit sambil meremas perutnya. “Apa dia masih bertahan di perutku? Atau sudah gugur dia?” gumamnya dengan suara bergetar penuh kecemasan
Benak Keira terus mengalunkan pertanyaan yang sama. Setidaknya tak apa kalau ia masih diberi hidup, asalkan obat yang ia tenggak, berhasil meluruhkan buah kesalahan yang telah ia ketahui tumbuh di rahimnya.
“Keira!” Bara tampak terkejut sekaligus lega begitu kembali menebus obat Keira, ia melihat gadis itu tak lagi memejamkan mata.
Hatinya yang sempat kalut kini sedikit tenang melihat Keira telah sadar, meski khawatir akan reaksi gadis itu terhadap dirinya.
“Om Bara? Kenapa Om bisa ada di sini?!” tanya Keira memicingkan mata penuh kecurigaan. “Jangan bilang, kalau Om Bara yang bawa Keira ke rumah sakit ini?”
Bara menghela nafas panjang sembari menganggukan kepalanya. “Om tidak tahu kenapa kamu sampai berbuat nekat seperti itu, Kei. Tapi, sangat bersyukur karena bisa membawamu kemari tepat waktu.” Suaranya penuh dengan kekhawatiran.
“Kenapa Om lancang banget?! Bisa enggak sih Om berhenti ikut campur dan biarin aja Keira mati dengan tenang! Terakhir kali juga, waktu Om nyelamatin Keira, malah berujung enggak enak akhirnya. Jadi, mending Om diem aja!”
Seketika rasa segan dan malu yang Keira pikir akan ia rasakan kalau bertemu lagi dengan Om Bara, kini berganti dengan emosi yang membara.
Ia kesal saat tahu bahwa Om Bara menyelamatkannya dengan buru-buru membawanya ke rumah sakit, menggagalkan usaha bunuh diri yang coba dilakukan oleh Keira.
Bara menggeram mendengar kata "ingin mati" yang terucap enteng dari mulut Keira. Tahukah gadis itu seberapa paniknya dirinya saat melihat Keira sekarat dan nyaris mati di depannya?
“Sampai kapan pun Om tidak akan bisa diam saja melihat kamu meregang nyawa, Kei. Kalau sampai kamu mati dan Om lah penyebabnya, akan sangat besar rasa bersalah Om pada Mahesa.”
“Kayak Om tahu aja alasan Keira mau mati?!”sengit Keira memunggungi Bara. “Udah lah, mending Om pergi aja, Keira mau sendiri!”
Tak mempedulikan ucapan Keira yang mengusirnya, Bara malah berjalan semakin dekat dan duduk di kursi samping ranjang rawat Keira.
“Kamu mengira Om akan membiarkanmu sendiri setelah apa yang terjadi padamu hari ini? Tidak Kei. Om akan terus di sini sampai memastikan kamu tidak akan pernah berpikiran untuk merenggut nyawamu lagi!” tegas Bara, suaranya bergetar dengan emosi yang tertahan.
“Kenapa Om sok tahu dan suka banget ikut campur, sih?! Pergi aja sana! Keira enggak mau ditemenin Om disini! Lagian ini hidup aku, jadi Om enggak ada hak untuk melarangku mengakhiri hidupku sendiri!” seru Keira, nadanya semakin tinggi dan histeris.
“Harus Om akui, tidak bisa ikut campur atas hidupmu. Tetapi Om berhak untuk mencegahmu ikut melenyapkan darah daging Om yang ada di rahimmu. Bagaimanapun, Om adalah ayah dari anak di kandunganmu dan Om punya hak atas hidupnya.”
“J–jadi dia masih hidup?!” Mendapati Bara menyinggung masalah anak membuat Keira seketika refleks duduk dan memegang perutnya. “Enggak! Aku enggak mau dia masih ada di dalam sini!”
Keira tak bisa menerima kenyataan bahwa janin di perutnya masih bertahan hidup. Kenapa tidak mati saja? Kalaupun masih diberi hidup, Keira tidak ingin menanggung beban hamil anak jadah.
“Tenang lah, Kei. Kalau kamu terlalu emosi, bisa mempengaruhi kandunganmu. Dokter mengatakan kalau kondisi janinnya agak melemah, jadi tolong jangan terlalu emosi. Saya tahu kamu belum bisa menerima kehamilanmu, tapi tolong jangan menyakiti dirimu sendiri, ucap Bara menurunkan nada suaranya, berusaha menenangkan Keira.
Buru-buru Bara menahan tangan Keira yang meremas perutnya sendiri dengan begitu kencang. Masalahnya tak hanya sekedar meremas, tetapi Keira juga memukuli perutnya bertubi-tubi.
“Akh! Lepasin! Aku enggak mau hamil! Kenapa janin sialan ini enggak mati aja?! Buat apa aku hidup, tapi harus menanggung penderitaan hamil kayak gini?!” Keira berteriak, memberontak dan mencabut infus di tangannya dengan histeris.
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia