Pernikahan Rani dan Galvin sudah diselenggarakan secara tertutup. Rani bahkan masih tak menyangka kinu statusnya sudah berubah menjadi seorang istri. Meski kenyataannya dia hanya menjadi istri kedua.
“Setelah selesai apa aku boleh pulang?” tanya Rani saat berada di dalam satu kamar hotel. Galvin yang fokus dengan benda pipihnya pun mendongak ke arah Rani yang berdiri di hadapannya. “Apa? Pulang? Buat apa? Kamu istriku sekarang. Jadi, aku minta kamu tetap di sampingku mulai detik ini,” timpal Galvin dingin. Rani pun membelalak tak percaya. “Tapi, Tuan. Ada beberapa hal yang ingin aku selesaikan. Aku janji setelah semua tuntas, aku akan kembali ke sini,” ucapnya penuh berharap. “Seberapa pentingkah hal itu untukmu?” tanya Galvin dengan beranjak dari kursi dan mendekat ke arah istri keduanya. Rani cukup gugup untuk menjawab. Dia tidak bisa memberitahu kenyataannya jika hal penting itu adalah menyangkut hutang kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melibatkan Galvin ke dalam masalah yang sudah lama tak terselesaikan. Kali ini sesuatu janjinya, Rani akan menemui pria brengs*k itu yang selalu memerasnya dengan dalil hutang orang tuanya selama ini. “Kenapa kamu diam? Kamu sudah istriku sekarang. Jadi katakan sejujurnya apa yang sedang kamu sembunyikan!” hardik Galvin curiga. Rani menghela napas panjang sebelum menjawab. Namun, desakan Galvin dengan tatapan tajamnya membuat Rani tak berani melihatnya. “Maaf, Tuan. Ini masalah pribadiku, aku tidak bisa bicara sejujurnya sekarang. Aku tahu, statusku sudah menjadi istrimu. Tapi, perlu diingat, Tuan. Sebelum aku menjadi istrimu, hal penting itu sudah ada! Aku harap biarkan aku menyelesaikannya sendiri,” pinta Rani memohon. Galvin sebenarnya tidak setuju dengan ucapan yang dilontarkan istri keduanya. Namun, ia juga sadar akan posisinya. Ia juga tidak mau memaksa wanita itu untuk bicara jujur. “Baiklah, terserah kamu! Asal, kemana pun kamu pergi harus dijaga ketat oleh pengawal,” titah Galvin tak boleh dibantah. Mau tak mau, Rani pun mengiyakan. Asalkan urusannya secepatnya selesai. *** Keesokan harinya. Sesuai permintaan Rani yang meminta pulang. Ia pun kini berada di apartemennya setelah menghabiskan malam seorang diri. Malam yang seharusnya menjadi malam pertama membuatnya merasa berdebar tak terkira. Padahal ia sudah melayani banyak pria. Namun, entah kenapa saat memikirkan masalah ranjang dengan pria yang sudah menjadi suaminya membuat jiwa Rani terasa berbeda. “Sial! Kenapa harus seperti ini perasaanku!” gerutunya kesal. “Tahu ah! Pusing. Mending langsung ke tempat si Brengs*ek itu agar semuanya cepat selesai.” Rani pun beranjak dari ranjang lalu bersiap untuk pergi ke tujuannya kali ini. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit. Kini Rani sudah sampai di bangunan tua yang menjadi tempat tinggal pria yang memerasnya. Rani masuk begitu saja ke bangunan tua tanpa rasa takut. Setelah seseorang itu yang ia cari ternyata sedang bersantai di sofa membuat Rani langsung mendekat dengan melempar satu koper silver ke hadapan pria itu. “Hutangku lunas. Jadi, jangan menggangguku lagi!” gertak Rani menatap tajam pria itu. Seseorang itu menyeringai dengan mengambil koper di atas mejanya. Setelah dibuka ia mengangguk sinis saat melihat isi di dalamnya berupa lembaran uang merah dan biru. “Dapat dari mana uang sebanyak ini?” tanya pria itu dingin. Ia bahkan beranjak berdiri lalu mendekat ke arah Rani yang melangkah mundur secara pelan. “Aku kerja lah. Kamu tahu sendiri pekerjaanku seperti apa!” jawab Rani jutek. “Oh, ya. Memangnya aku percaya begitu saja? Tentu tidak. Meski urusan kita selesai jangan harap hidupmu akan tenang. Ingat itu!” ancam pria itu menyeringai. “Cukup, Marko! Jangan ganggu aku lagi. Kalau sampai kamu tetap menganggukku, aku akan laporkan kamu ke polisi!” gertak Rani memberanikan diri. “Uh! Takut! Ha ha ha, silakan saja laporkan. Aku tidak takut!” sindir Marko dengan menyolek dagu Rani secara kasar. Rani sangat muak dengan sikap Marko yang selalu kasar padanya. Ia pun tak menggubris, Rani memilih untuk meninggalkan tempat itu yang menurutnya tak pantas dikunjungi. “Sial! Nggak akan aku biarkan kamu terlepas begitu saja, Rani!” batin Marko penuh emosi. *** Setelah urusan masalah hutang itu selesai. Kini Rani bersiap merapikan semua barang-barangnya. Siang nanti ia sudah berjanji akan kembali ke hotel. Ia pun menatap ke sekeliling kamar apartemennya yang sudah menjadi tempat tinggal paling nyaman selama dia keluar dari rumah kedua orang tuanya. “Aku bakalan rindu sama tempat ini. Setelah urusanku selesai, aku janji akan kembali ke sini,” katanya dalam hati dengan terharu. “Nona, Tuan Galvin ingin Anda segera ke hotel sekarang,” ucap salah satu pengawal yang ikut dengan Rani. Rani mengusap cairan bening yang menetes, lalu ia mengangguk pelan. “Baiklah, kita ke sana sekarang!” Sesampainya di hotel. Rani langsung menemui Galvin yang sudah siap sedari tadi. “Maaf, Tuan. Urusan saya baru selesai,” ucapnya lirih. “Tidak masalah. Jika sudah selesai. Aku akan ajak kamu tinggal di Jakarta,” titah Galvin dengan mengajak Rani keluar dari kamar hotel itu. “Maaf, Tuan.” Rani melepaskan tangan Galvin yang menggandengnya. Sontak, Galvin langsung menghentikan langkahnya dengan menengok ke arah belakang. “Kenapa, Rani? Apa ada yang tertinggal?” Rani menggeleng. “Tuan, jika aku ikut ke Jakarta. Bagaimana dengan pekerjaanku di sini?” Galvin tersenyum. “Jangan pikirkan. Aku sudah urus semuanya. Jadi, kamu tidak perlu bekerja di tempat haram seperti ini lagi,” katanya terus terang. “Apa?” Rani sangat terkejut. “Sudah tidak perlu dipikirkan. Kita harus segera ke Bandara,” ucap Galvin dengan kembali berjalan menggandeng tangan Rani. Rani pun hanya menurut. Entah kenapa, ia merasa bukan seperti dirinya. Apalagi ia sudah terkenal sebagai wanita pemberontak. *** Setelah menempuh perjalanan udara kurang lebih 1 jam. Kini Rani dan Galvin sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. “Apa rumah, Tuan. Masih jauh dari sini?” tanya Rani merasa tubuhnya ingin segera rebahan. “Lumayan. Kalau mau capek, tidur saja. Nanti aku banguni kalo sudah dekat,” titah Galvin lembut. Rani hanya bisa menurut. Ia pun memejamkan kedua matanya saat sudah berada di mobil yang menjemput mereka. Tanpa disadari, Galvin sedari tadi memperhatikan istri keduanya yang terlelap. Rambut hitam Rani yang panjang menutupi wajahnya. Membuat Galvin merasa ingin menyingkirkan ke belakang. Namun, ia masih ragu menyentuhnya. Namun, karena ia risih. Galvin memberanikan diri melakukan hal tersebut. Saat rambut sudah tersisipkan di telinga. Wajah Rani kini terpampang sangat jelas. Entah, kenapa hal itu membuat hati Galvin berdebar. Ia pun langsung memalingkan muka ke arah jendela. Untuk menetralkan kembali perasaannya. Tidak lama, setelah berperang dalam pikirannya sendiri. Kini mobil yang ditumpangi Galvin dan juga Rani sudah sampai di kediaman megah milik keluarga besar Galvin. Galvin sengaja membawa Rani ke sini untuk memperkenalkan kepada keluarganya. Setelah turun dari mobil. Galvin mengajak Rani masuk ke dalam. Namun, kali ini ia tidak menggandeng tangan Rani karena ia ingin menjaga perasaan istri pertamanya, Siska Ayu Lestari. “Mas!” sapa Siska saat melihat suaminya datang. Galvin mencium kening Siska, lalu bersalaman bersama kedua orang tuanya yang memang ikut menghampiri. “Ada yang ingin aku kenalkan ke kalian,” ucap Galvin langsung. Siska dan kedua orang tua Galvin saling memandang. “Siapa, Mas?” tanya Siska penasaran. Rani yang berdiri di balik pintu kini menampakkan diri dan berjalan pelan ke arah mereka. “Kenalkan ini Rani, istri keduaku,” kata Galvin jujur. “Apa?” ucap Siska terkejut. Bukan hanya Siska, tetapi seluruh anggota keluarganya.Satu minggu kemudian. Semenjak kejadian tidur bersama waktu lalu. Sikap Galvin kini tampak begitu berbeda sekali. Sikap perhatiannya semakin diperlihatkan untuk Rani, meski Siska berada di sisinya. Tentu saja kecemburuan yang Siska lihat membuat perasaannya kacau balau. Hal itu membuat dirinya semakin yakin untuk melancarkan rencana yang sudah ia susun bersama Marshel waktu itu. “Tidak perlu, Mas. Ini saja sudah cukup, kok,” tolak Rani saat Galvin dengan perhatiannya mengambilkan lauk untuk istri keduanya itu. “Sedikit saja, ikan salmon ini bagus lho buat kandungan kamu. Jangan ditolak, ya, ini perintah dari ayah si jabang bayi,” kekeuh Galvin. Siska yang berada di sampingnya hanya menaikkan bibir kanannya sebagai tanda tak suka. “Baik, Mas. Terima kasih,” ucap Rani akhirnya mengalah untuk menerima saja. Karena ia paham Galvin perhatian hanya ingin bayi yang ia kandung terjamin gizinya dari apa yang ia makan. “Oh, ya, Ran. Kalau nanti sore tidak sibuk. Rencananya aku mau n
“Aku tidak suka, kalo kamu pergi tanpa seizinku, Rani!” pekik Galvin emosi. “Tapi, Mas ....” Rani hendak bicara, namun tanpa diduga bibirnya kini dilumat oleh Galvin hingga ia hampir kehabisan oksigen. Dia mendorong tubuh Galvin dengan keras. Hingga membuat tubuh suaminya itu terpental jatuh di atas ranjangnya. “Kenapa kamu sekasar ini, Mas? Apa salahku!” gertaknya tak terima. Galvin mendengkus. “Karena ini hukuman yang pantas untukmu, Rani!” sangkalnya menatap dingin. Rani menggeleng cepat. Ia lalu meninggalkan suaminya dengan masuk ke kamar mandi, tidak lupa juga menguncinya dari dalam. Setelah itu ia tatap wajahnya yang cukup berantakan. Lipstik yang ia pakai juga sudah belepotan ke mana-mana. Air matanya tak bisa ditahan lagi. Ia menghapus jejak air matanya yang berulang kali keluar. “Hanya karena pulang bersama mas Haris. Mas Galvin sampai semarah itu,” desisnya tak habis pikir. *** Setelah hampir dua jam lebih berada di dalam kamar mandi. Kini Rani keluar s
Kalisa menarik lengan mantan kekasihnya hingga dia berbalik ke hadapannya. Suara tamparan keras pun terdengar saat tangan mungil Kalisa mendarat ke pipi kiri mantannya itu. “Beraninya lo jalan sama wanita lain, sedangkan hutang lo aja belum dibayar!” cecarnya emosi. Marshel Gunawan, mantan kekasih dari Kalisa memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan dari mantan kekasihnya itu. Ia mendengkus kesal kali ini. “Gue akan balikin secepatnya!” desisnya meninggi. “Kalau lo tetap memaksa, gue bisa aja sebarin rahasia kita!” ancamnya membuat wajah Kalisa yang kesal langsung melunak. “Jangan cuman berani mengancam saja, ya, Shel!” pekik Kalisa. Ia juga menatap ke wanita di samping Marshel dengan penuh amarah. “Sebelum lo jadi mangsa selanjutnya, lebih baik putusin dia, carilah yang lebih baik darinya!” tuduhnya membuat si wanita itu menunduk takut.“Jaga bicaramu, Lisa!” geram Marshel mendorong tubuh Kalisa hingga terhuyung ke arah lantai. Untung saja, Marko dengan sigap men
Beberapa hari kemudian. Setelah dinyatakan hamil, keadaan Rani cukup berbeda. Bukan hanya Galvin yang selalu mengkhawatirkan dirinya, tetapi sekarang Helena bersikap yang sama. Rani begitu bahagia diperlakukan sebaik itu oleh ibu mertuanya. Dari pakaian dan juga makanan, Helena sangat antusias menyiapkan semuanya untuk Rani. Tentu saja, hal itu membuat Siska semakin cemburu atas sikap Helena pada istri kedua suaminya. Rani seperti biasa setiap pagi ia kan menyirami tanaman di kebun samping rumah milik suaminya. Semenjak hamil, ia menjadi menyukai tanaman. “Bisa nggak, hamil jangan bikin manja atau caper ke semua orang! Jijik tahu nggak lihatnya!” desis Siska yang tiba-tiba berdiri di samping Rani. Rani memutar tubuhnya ke arah samping. Ia tatap wajah istri pertama suaminya dengan membuang napas secara pelan. “Siapa yang manja?” tanya Rani dengan kembali fokus ke arah tanaman. “Kamu tuh, ya!” geram Siska kesal. Tangannya yang terangkat seketika ia hempaskan secara kasar.
Rani di antar oleh Helena dan Frans sampai di kediaman Galvin. Meski wajahnya terlihat murung dan lesu, tetapi Rani harus menunjukkan senyum lebarnya kepada kedua orang tua suaminya. “Kamu istirahat saja di kamar, jangan terlalu banyak beraktivitas. Kalo perlu sesuatu panggil saja bi Inah. Dia yang akan ku suruh untuk menjagamu setiap saat,” titah Helena saat sudah masuk ke dalam rumah putranya. Bi Inah sendiri adalah pelayan kepercayaannya yang sengaja ia datangkan langsung dari rumahnya. Karena ini menyangkut cucu kesayangannya. Membuat Helena enggan mencari orang baru, ia belum sepenuhnya percaya kepada orang baru bahkan pembantu baru yang bekerja di rumah putranya saat ini. “Terima kasih, Bu. Ini suatu kehormatan untukku,” kata Rani tersenyum trenyuh. Helena seketika menggeleng. “Tidak perlu berkata seperti, Rani. Kamu sudah saya anggap seperti anakku, yang terpenting cucuku nantinya bisa lahir dengan sehat,” sahutnya lagi. Rani hanya tersenyum tak menjawab. Ia rasanya s
Satu jam pun berlalu. Keluarga Galvin dan istri pertamanya kini telah sampai di rumah sakit. Helena langsung memeluk Rani saat sudah berada di dalam ruang IGD. “Sayang, terima kasih untuk kehamilanmu,” ucapnya dengan lembut. “Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Rani terharu. Frans juga mengucapkan selamat, di belakangnya kini tinggal Siska yang masih terdiam berdiri sembari menatap ke arah istri kedua suaminya. “Selamat, Rani. Jaga dirimu baik-baik selama 9 bulan,” kata Siska setelah mengurai pelukannya. “Terima kasih, Mbak,” sahut Rani tersenyum. Rani sedikit senang dengan ucapan Siska yang menurutnya enak di dengar. Entah ini hanya karena ada kedua mertuanya dia bersikap baik, atau memang senang mendengar atas kehamilannya. “Bu, kata Dokter, Rani sudah diperbolehkan pulang sekarang,” ucap Galvin saat masuk ke dalam ruangan. Saat orang tuanya datang. Dia memang dipanggil oleh suster untuk menemui sang dokter. “Syukurlah, hayo, Rani. Ibu dan ayah akan mengantarmu. Biar Siska