Share

Berteman Luka

Author: Miss Secret
last update Last Updated: 2023-08-07 10:23:56

"Maaf, maaf untuk apa Mas?" tanya Aileen seraya mengurai pelukannya, lalu menatap suaminya itu dengan tatapan tanda tanya, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba suaminya meminta maaf, dan bersikap aneh setelah pulang dari luar kota.

"Mas, kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba aneh gini? Minta maaf untuk apa sih, Mas?"

"Minta maaf karena aku pulang tanpa kasih kabar. Hahahahaha ... "

"Ih, kamu nyebelin!" sahut Aileen, lalu mencubit perut Elvan yang tengah tersenyum sambil menatapnya dengan tatapan hangat. Tanpa Aileen tahu, di balik senyuman itu, suaminya tengah menahan rasa sesak di dada. Saat ini, Elvan memang memilih untuk menyembunyikan masalah yang sedang menimpanya, karena dia belum sanggup untuk mengatakan hal itu pada istrinya, sekaligus juga belum siap dengan resiko yang menimpa rumah tangganya.

"Ya udah masuk yak, Sayang. Aku kangen banget sama kamu!" Aileen pun mengangguk, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam mansion tersebut.

Malamnya

Saat ini, Elvan tengah berdiri di balkon kamar seraya menatap bulan yang bergelayut manja di balik awan. Malam ini, memang lebih cerah di bandingkan malam sebelumnya. Lebih tepatnya, sebuah malam kelam yang telah membuat perubahan besar pada hidupnya, dan dia yakin, setelah kejadian malam itu, pasti hidupnya akan berubah, dan dia tidak tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya kedepan. Yang jelas, semua akan berbeda.

Dering ponsel miliknya, menyentak lamunan Elvan, gegas dia mengangkat panggilan telepon itu yang berasal dari orang tuanya yang tinggal di Sydney.

[Halo Ma, ada apa?]

[Halo Elvan, maaf mama ganggu malem-malem, mama cuma mau kasih kabar kalau papa masuk rumah sakit, Nak. Papa mengalami serangan jantung mendadak, dia tiba-tiba pingsan waktu pulang dari kantor. Kamu sama Aileen bisa nggak pergi ke sini?]

[Tentu Ma, terus sekarang gimana keadaan Papa?]

[Papa masih mendapatkan penanganan intensif, Elvan.] Isak tangis mulai terdengar di ujung sambungan telepon, hal tersebut tentunya membuat Elvan kian merasa cemas.

[Ma, Mama tenang ya, Elvan sama Aileen ke sana secepatnya.]

[Iya Nak.]

Gegas, Elvan menutup sambungan telepon itu, kemudian mengutak-atik ponselnya kembali memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan penerbangan dengan menggunakan jet pribadi keluarga mereka.

Setelah selesai menghubungi anak buahnya, saat Elvan hendak masuk masuk ke dalam kamar untuk memberi tahu keadaan papanya pada Aileen, tiba-tiba ponselnya kembali berdering.

[Halo ada apa, Dewa? Apa kau sudah menemukan siapa gadis itu?]

[Iya Tuan, dia bernama Neya. Dia gadis yatim yang saat ini tinggal dengan ibunya yang sakit-sakitan.]

[Bagus, terus awasi dia. Aku ada urusan di Sydney, kalau aku sudah kembali, aku akan menemuinya, kau jangan sampai lengah dan kehilangan jejaknya.]

[Baik bos.]

Setelan mengakhiri percakapan dengan anak buahnya, Elvan masuk ke dalam kamar, untuk memberi tahu keadaan papanya pada Aileen, sekaligus memintanya berkemas karena sebentar lagi, mereka harus pergi, meskipun kepergiannya kali ini, meninggalkan sebuah masalah yang belum dia temukan jalan keluarnya.

"Maafkan aku gadis malang, aku janji akan kembali secepatnya, dan mencari jalan keluar terbaik untuk kita semua."

Empat Bulan Kemudian

Neya menatap tubuhnya pada cermin di toilet mini market tempatnya bekerja. Ada perubahan pada postur tubuhnya, bentuk payudara dan pantatnya, kini mulai membesar, bahkan perutnya pun terlihat kian membuncit.

Melihat hal tersebut, Neya kian resah, tak selamanya dia bisa menutupi kehamilannya. Apa lagi, beberapa rekan kerjanya mulai curiga dengan menanyakan postur tubuh Neya yang tidak seperti biasanya. Mungkin, saat ini Neya masih bisa beralasan, dan teman-temannya masih percaya pada dirinya, akan tetapi dia tidak yakin dengan kondisinya beberapa bulan ke depan. Pasti kehamilan itu, tak mungkin lagi dia tutupi, dan Neya harus mencari jalan keluar dari masalah hidupnya yang rumit itu.

Neya memejamkan matanya, tiba-tiba kepalanya terasa begitu pening. Di saat itu juga, kembali terlintas dalam benaknya, manakala teringat beberapa bulan yang lalu saat dia mengalami telat datang bulan. Neya merasa begitu cemas, jika hal yang paling dia takutkan terjadi. Dan akhirnya, kecemasan itu terjawab saat Neya melakukan test kehamilan dan mendapati dua garis merah pada alat test kehamilan tersebut.

Seketika, Neya merasa begitu hancur. Belum selesai dia menata kepingan hati yang hancur serta belum hilang rasa traumanya, Neya kembali ditampar kenyataan pahit jika saat ini benih dari laki-laki yang merenggut kesuciannya telah berkembang menjadi janin di dalam rahimnya. Akan tetapi, dia bisa apa? Selain hanya bisa pasrah dan menerima dengan ikhlas kehendak yang kuasa. Meskipun, kehadirannya tidak diinginkan akan tetapi janin itu darah dagingnya, dan Neya menyayangi anak yang di dalam kandungnya.

"Ney! Neya!" panggil salah seorang rekan kerjanya, hingga menyentak lamunan Neya saat wanita itu menyenderkan tubuhnya seraya menutup kedua matanya. Mendengar panggilan itu, reflek Neya pun membuka mata, dan menoleh pada wanita seusianya yang saat ini berdiri di sampingnya.

"Ney, kamu sakit?" tanya Wulan, rekan kerjanya.

"Nggak Lan, aku nggak apa-apa kok."

"Bener nih nggak apa-apa? Wajah kamu pucet loh!"

"Aku nggak apa-apa, Lan. Kamu tenang aja, kerja lagi yuk!" sahut Neya, lalu berjalan meningglkan Wulan yang masih menatapnya dengan tatapan curiga.

Malamnya, saat Neya pulang ke rumahnya, sakit kepalanya terasa begitu menjadi. Sepanjang jalan, di sela kayuhan sepedanya, wanita itu memijit pelipis dan tengkuknya dengan menggunakan tangan kirinya, akan tetapi rasanya seakan sia-sia. Sakit kepalanya, tak berkurang sedikitpun, bahkan tubuhnya kini terasa begitu lemas.

Dengan sisa tenaga, Neya mengayuh sepedanya hingga sampai ke rumah. Dan saat dia membuka pintu rumah itu, tubuhnya seakan tak sanggup lagi menahan rasa sakit di kepala, yang mulai menjalar ke seluruh bagian tubuh, dan juga perutnya. Akhirnya, tubuh itu terkulai begitu saja di ambang pintu.

"Neya!" panggil Lastri saat melihat putrinya tak sadarkan diri.

"Tolong! Tolong!" teriak Lastri meminta bantuan para tetangganya.

Tak berapa lama, beberapa orang tetangga di sekitar rumahnya pun datang dan membantu membawa Neya ke puskesmas dengan menggunakan mobil salah seorang warga.

"Terima kasih sudah membantu," ucap Lastri saat mereka sudah sampai di puskesmas.

"Nggak apa-apa, Bu Lastri. Kami pulang dulu ya, semoga Neya baik-baik saja, dan bisa cepat kembali pulang ke rumah," pamit beberapa warga tersebut, dan diaminkan oleh Lastri. Setelah itu, wanita paruh baya itu mendekat ke arah dokter yang sedang memeriksa keadaan Neya.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok? Apa dia punya penyakit yang tidak saya ketahui?"

Dokter tersebut tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak Bu, anak ibu baik-baik saja. Dia hanya mengalami kelelahan karena wanita hamil sebaiknya tidak boleh bekerja terlalu berat."

Jantung Lastri pun seakan berhenti berdetak mendengar perkataan dokter tersebut. "A-apa, Dok? Hamil?" tanya Lastri memastikan.

"Ya, putri ibu saat ini sedang hamil. Kemungkinan kandungannya memasuki usia dua belas minggu."

Tubuh Lastri menegang, bagaikan mendengar petir di siang bolong dan mendapatkan hujaman belati tepat di jantungnya, dia pun hanya bisa termenung disertai perasaan yang begitu berkecamuk di dada, bahkan dia tak menjawab perkataan dokter yang pamit dari hadapannya.

Lastri hanya menatap putrinya dengan tatapan nanar, seakan tak percaya dengan kenyataan pahit yang baru saja didengarnya. Selama ini, Neya gadis yang baik dan penurut, dia tidak pernah berbuat di luar batas dan dia benar-benar tidak menyangka jika putrinya itu, akan mengecewakan dan mencoreng wajahnya dengan hal yang begitu memalukan. Tak berapa lama, kelopak mata Neya pun terbuka.

"Ibu, aku di mana?" tanya Neya yang mendapati dirinya saat ini bukan berada di rumahnya. Akan tetapi, Lastri hanya terdiam, dia menatap Neya dengan tatapan nanar, penuh dengan emosi dan kebencian.

"Bu, ibu kenapa?"

Lastri masih saja terdiam. "Bu ... " panggil Neya kembali, akan tetapi bukan sebuah jawaban yang Neya dapatkan, namun sebuah tamparan keras di pipi mulusnya.

PLAK

"KAPAN AKU MENGAJARIMU MENJADI WANITA JALANG, HAH?"

"Bu, ada apa? Kenapa ibu berkata seperti ini padaku?"

"Cih, tidak usah berpura-pura bodoh dan sok polos! Aku muak dengan sikap sok polosmu itu! Selama ini, ternyata aku telah ditipu oleh topeng kepolosanmu!"

"Bu, Neya bener-bener nggak ngerti apa maksud, Ibu?"

"Kau tidak mengerti maksudku tapi mengerti bagaimana menjadi seorang pelacur, hah? Sekarang aku tanya padamu, siapa laki-laki yang sudah menghamilimu?"

Neya pun merasa begitu terkejut saat mengetahui jika Lastri telah mengetahui kondisinya saat ini. "Kenapa kamu diem? Sekarang ibu tanya siapa yang hamilin kamu, Neya?"

Neya kian terisak, rasanya begitu sakit saat mendengar pertanyaan tersebut, karena laki-laki yang menghamilinya, adalah laki-laki biadab yang tidak ingin dia ingat sepanjang hidupnya.

"Kenapa kamu diem, Neya? Apa susahnya jawab pertanyaan ibu? Siapa yang udah hamilin kamu?"

Neya menggelengkan kepala di sela isak tangisnya. "Jadi, kamu ngga tahu siapa yang hamilin kamu? Cih, dasar memalukan, bukankah benar tadi ibu memanggilmu dengan sebutan pelacur karena kamu pun nggak tahu siapa ayah kandung dari anakmu itu kan, Ney? Sudah berapa banyak yang tidur sama kamu?"

"Tapi Bu, Neya bukan wanita seperti itu. Neya selalu menjaga kehormatan Neya."

"Apa kamu bilang? Menjaga kehormatan? Bagaimana bisa kamu bilang menjaga kehormatan sedangkan laki-laki yang menghamilimu saja, kamu tidak tahu, Neya!"

"Bu, Neya hamil karena diperkosa. Apa ibu ingat beberapa bulan yang lalu saat Neya nggak pulang ke rumah? Neya disekap pria tidak dikenal, lalu dia memerkosa Neya, Bu. Neya memang sengaja nggak ngomong ke ibu karena saat itu, ibu sedang sakit-sakitan, dan Neya nggak mau keadaan ibu semakin parah."

"Tidak usah banyak alasan untuk menutupi kebobrokanmu, Ney. Bagaimana mungkin seorang korban pemerkosaan bisa hidup baik-baik saja? Atau sebenarnya kamu nggak pernah kerja di mini market itu? Pekerjaan itu hanya buat kedok kan, Ney?"

"Kenapa Ibu bicara kaya gitu sama Neya? Kenapa Ibu nggak percaya sama Neya?"

"Karena ibu sudah muak sama kamu, dan ibu nggak sanggup menahan malu atas aib yang udah kamu bikin, Neya! Lebih baik kau pergi saja dan jangan pernah temui ibu lagi!"

"Tapi Bu ... "

"Pergi Neya! Ibu nggak mau lihat muka kamu lagi!"

"Bu ... "

"Pergi!"

Neya turun dari atas brankar, lalu keluar dari puskesmas tersebut, meninggalkan Lastri yang menatapnya dengan penuh amarah. Air mata membasahi pipi Neya, dia bahkan tak menyangka jika ibu yang sangat dia sayangi tak percaya padanya. Neya berjalan menyusuri jalanan berbatu dengan segenap luka di dada. Ya, lagi-lagi Neya harus kembali terluka, atau bahkan dia harus biasa berteman dengan luka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua Tuan Elvan   Berdamai Dengan Keadaan

    Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang

  • Istri Kedua Tuan Elvan   Jangan Mendekat

    "Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap

  • Istri Kedua Tuan Elvan   Ruang ICU

    "Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma

  • Istri Kedua Tuan Elvan   Maafkan Aku, Luna

    Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum

  • Istri Kedua Tuan Elvan   Waktu Yang Tepat

    Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak

  • Istri Kedua Tuan Elvan   Menyelesaikan Masa Lalu

    Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status