Share

Berteman Luka

"Maaf, maaf untuk apa Mas?" tanya Aileen seraya mengurai pelukannya, lalu menatap suaminya itu dengan tatapan tanda tanya, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba suaminya meminta maaf, dan bersikap aneh setelah pulang dari luar kota.

"Mas, kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba aneh gini? Minta maaf untuk apa sih, Mas?"

"Minta maaf karena aku pulang tanpa kasih kabar. Hahahahaha ... "

"Ih, kamu nyebelin!" sahut Aileen, lalu mencubit perut Elvan yang tengah tersenyum sambil menatapnya dengan tatapan hangat. Tanpa Aileen tahu, di balik senyuman itu, suaminya tengah menahan rasa sesak di dada. Saat ini, Elvan memang memilih untuk menyembunyikan masalah yang sedang menimpanya, karena dia belum sanggup untuk mengatakan hal itu pada istrinya, sekaligus juga belum siap dengan resiko yang menimpa rumah tangganya.

"Ya udah masuk yak, Sayang. Aku kangen banget sama kamu!" Aileen pun mengangguk, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam mansion tersebut.

Malamnya

Saat ini, Elvan tengah berdiri di balkon kamar seraya menatap bulan yang bergelayut manja di balik awan. Malam ini, memang lebih cerah di bandingkan malam sebelumnya. Lebih tepatnya, sebuah malam kelam yang telah membuat perubahan besar pada hidupnya, dan dia yakin, setelah kejadian malam itu, pasti hidupnya akan berubah, dan dia tidak tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya kedepan. Yang jelas, semua akan berbeda.

Dering ponsel miliknya, menyentak lamunan Elvan, gegas dia mengangkat panggilan telepon itu yang berasal dari orang tuanya yang tinggal di Sydney.

[Halo Ma, ada apa?]

[Halo Elvan, maaf mama ganggu malem-malem, mama cuma mau kasih kabar kalau papa masuk rumah sakit, Nak. Papa mengalami serangan jantung mendadak, dia tiba-tiba pingsan waktu pulang dari kantor. Kamu sama Aileen bisa nggak pergi ke sini?]

[Tentu Ma, terus sekarang gimana keadaan Papa?]

[Papa masih mendapatkan penanganan intensif, Elvan.] Isak tangis mulai terdengar di ujung sambungan telepon, hal tersebut tentunya membuat Elvan kian merasa cemas.

[Ma, Mama tenang ya, Elvan sama Aileen ke sana secepatnya.]

[Iya Nak.]

Gegas, Elvan menutup sambungan telepon itu, kemudian mengutak-atik ponselnya kembali memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan penerbangan dengan menggunakan jet pribadi keluarga mereka.

Setelah selesai menghubungi anak buahnya, saat Elvan hendak masuk masuk ke dalam kamar untuk memberi tahu keadaan papanya pada Aileen, tiba-tiba ponselnya kembali berdering.

[Halo ada apa, Dewa? Apa kau sudah menemukan siapa gadis itu?]

[Iya Tuan, dia bernama Neya. Dia gadis yatim yang saat ini tinggal dengan ibunya yang sakit-sakitan.]

[Bagus, terus awasi dia. Aku ada urusan di Sydney, kalau aku sudah kembali, aku akan menemuinya, kau jangan sampai lengah dan kehilangan jejaknya.]

[Baik bos.]

Setelan mengakhiri percakapan dengan anak buahnya, Elvan masuk ke dalam kamar, untuk memberi tahu keadaan papanya pada Aileen, sekaligus memintanya berkemas karena sebentar lagi, mereka harus pergi, meskipun kepergiannya kali ini, meninggalkan sebuah masalah yang belum dia temukan jalan keluarnya.

"Maafkan aku gadis malang, aku janji akan kembali secepatnya, dan mencari jalan keluar terbaik untuk kita semua."

Empat Bulan Kemudian

Neya menatap tubuhnya pada cermin di toilet mini market tempatnya bekerja. Ada perubahan pada postur tubuhnya, bentuk payudara dan pantatnya, kini mulai membesar, bahkan perutnya pun terlihat kian membuncit.

Melihat hal tersebut, Neya kian resah, tak selamanya dia bisa menutupi kehamilannya. Apa lagi, beberapa rekan kerjanya mulai curiga dengan menanyakan postur tubuh Neya yang tidak seperti biasanya. Mungkin, saat ini Neya masih bisa beralasan, dan teman-temannya masih percaya pada dirinya, akan tetapi dia tidak yakin dengan kondisinya beberapa bulan ke depan. Pasti kehamilan itu, tak mungkin lagi dia tutupi, dan Neya harus mencari jalan keluar dari masalah hidupnya yang rumit itu.

Neya memejamkan matanya, tiba-tiba kepalanya terasa begitu pening. Di saat itu juga, kembali terlintas dalam benaknya, manakala teringat beberapa bulan yang lalu saat dia mengalami telat datang bulan. Neya merasa begitu cemas, jika hal yang paling dia takutkan terjadi. Dan akhirnya, kecemasan itu terjawab saat Neya melakukan test kehamilan dan mendapati dua garis merah pada alat test kehamilan tersebut.

Seketika, Neya merasa begitu hancur. Belum selesai dia menata kepingan hati yang hancur serta belum hilang rasa traumanya, Neya kembali ditampar kenyataan pahit jika saat ini benih dari laki-laki yang merenggut kesuciannya telah berkembang menjadi janin di dalam rahimnya. Akan tetapi, dia bisa apa? Selain hanya bisa pasrah dan menerima dengan ikhlas kehendak yang kuasa. Meskipun, kehadirannya tidak diinginkan akan tetapi janin itu darah dagingnya, dan Neya menyayangi anak yang di dalam kandungnya.

"Ney! Neya!" panggil salah seorang rekan kerjanya, hingga menyentak lamunan Neya saat wanita itu menyenderkan tubuhnya seraya menutup kedua matanya. Mendengar panggilan itu, reflek Neya pun membuka mata, dan menoleh pada wanita seusianya yang saat ini berdiri di sampingnya.

"Ney, kamu sakit?" tanya Wulan, rekan kerjanya.

"Nggak Lan, aku nggak apa-apa kok."

"Bener nih nggak apa-apa? Wajah kamu pucet loh!"

"Aku nggak apa-apa, Lan. Kamu tenang aja, kerja lagi yuk!" sahut Neya, lalu berjalan meningglkan Wulan yang masih menatapnya dengan tatapan curiga.

Malamnya, saat Neya pulang ke rumahnya, sakit kepalanya terasa begitu menjadi. Sepanjang jalan, di sela kayuhan sepedanya, wanita itu memijit pelipis dan tengkuknya dengan menggunakan tangan kirinya, akan tetapi rasanya seakan sia-sia. Sakit kepalanya, tak berkurang sedikitpun, bahkan tubuhnya kini terasa begitu lemas.

Dengan sisa tenaga, Neya mengayuh sepedanya hingga sampai ke rumah. Dan saat dia membuka pintu rumah itu, tubuhnya seakan tak sanggup lagi menahan rasa sakit di kepala, yang mulai menjalar ke seluruh bagian tubuh, dan juga perutnya. Akhirnya, tubuh itu terkulai begitu saja di ambang pintu.

"Neya!" panggil Lastri saat melihat putrinya tak sadarkan diri.

"Tolong! Tolong!" teriak Lastri meminta bantuan para tetangganya.

Tak berapa lama, beberapa orang tetangga di sekitar rumahnya pun datang dan membantu membawa Neya ke puskesmas dengan menggunakan mobil salah seorang warga.

"Terima kasih sudah membantu," ucap Lastri saat mereka sudah sampai di puskesmas.

"Nggak apa-apa, Bu Lastri. Kami pulang dulu ya, semoga Neya baik-baik saja, dan bisa cepat kembali pulang ke rumah," pamit beberapa warga tersebut, dan diaminkan oleh Lastri. Setelah itu, wanita paruh baya itu mendekat ke arah dokter yang sedang memeriksa keadaan Neya.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok? Apa dia punya penyakit yang tidak saya ketahui?"

Dokter tersebut tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak Bu, anak ibu baik-baik saja. Dia hanya mengalami kelelahan karena wanita hamil sebaiknya tidak boleh bekerja terlalu berat."

Jantung Lastri pun seakan berhenti berdetak mendengar perkataan dokter tersebut. "A-apa, Dok? Hamil?" tanya Lastri memastikan.

"Ya, putri ibu saat ini sedang hamil. Kemungkinan kandungannya memasuki usia dua belas minggu."

Tubuh Lastri menegang, bagaikan mendengar petir di siang bolong dan mendapatkan hujaman belati tepat di jantungnya, dia pun hanya bisa termenung disertai perasaan yang begitu berkecamuk di dada, bahkan dia tak menjawab perkataan dokter yang pamit dari hadapannya.

Lastri hanya menatap putrinya dengan tatapan nanar, seakan tak percaya dengan kenyataan pahit yang baru saja didengarnya. Selama ini, Neya gadis yang baik dan penurut, dia tidak pernah berbuat di luar batas dan dia benar-benar tidak menyangka jika putrinya itu, akan mengecewakan dan mencoreng wajahnya dengan hal yang begitu memalukan. Tak berapa lama, kelopak mata Neya pun terbuka.

"Ibu, aku di mana?" tanya Neya yang mendapati dirinya saat ini bukan berada di rumahnya. Akan tetapi, Lastri hanya terdiam, dia menatap Neya dengan tatapan nanar, penuh dengan emosi dan kebencian.

"Bu, ibu kenapa?"

Lastri masih saja terdiam. "Bu ... " panggil Neya kembali, akan tetapi bukan sebuah jawaban yang Neya dapatkan, namun sebuah tamparan keras di pipi mulusnya.

PLAK

"KAPAN AKU MENGAJARIMU MENJADI WANITA JALANG, HAH?"

"Bu, ada apa? Kenapa ibu berkata seperti ini padaku?"

"Cih, tidak usah berpura-pura bodoh dan sok polos! Aku muak dengan sikap sok polosmu itu! Selama ini, ternyata aku telah ditipu oleh topeng kepolosanmu!"

"Bu, Neya bener-bener nggak ngerti apa maksud, Ibu?"

"Kau tidak mengerti maksudku tapi mengerti bagaimana menjadi seorang pelacur, hah? Sekarang aku tanya padamu, siapa laki-laki yang sudah menghamilimu?"

Neya pun merasa begitu terkejut saat mengetahui jika Lastri telah mengetahui kondisinya saat ini. "Kenapa kamu diem? Sekarang ibu tanya siapa yang hamilin kamu, Neya?"

Neya kian terisak, rasanya begitu sakit saat mendengar pertanyaan tersebut, karena laki-laki yang menghamilinya, adalah laki-laki biadab yang tidak ingin dia ingat sepanjang hidupnya.

"Kenapa kamu diem, Neya? Apa susahnya jawab pertanyaan ibu? Siapa yang udah hamilin kamu?"

Neya menggelengkan kepala di sela isak tangisnya. "Jadi, kamu ngga tahu siapa yang hamilin kamu? Cih, dasar memalukan, bukankah benar tadi ibu memanggilmu dengan sebutan pelacur karena kamu pun nggak tahu siapa ayah kandung dari anakmu itu kan, Ney? Sudah berapa banyak yang tidur sama kamu?"

"Tapi Bu, Neya bukan wanita seperti itu. Neya selalu menjaga kehormatan Neya."

"Apa kamu bilang? Menjaga kehormatan? Bagaimana bisa kamu bilang menjaga kehormatan sedangkan laki-laki yang menghamilimu saja, kamu tidak tahu, Neya!"

"Bu, Neya hamil karena diperkosa. Apa ibu ingat beberapa bulan yang lalu saat Neya nggak pulang ke rumah? Neya disekap pria tidak dikenal, lalu dia memerkosa Neya, Bu. Neya memang sengaja nggak ngomong ke ibu karena saat itu, ibu sedang sakit-sakitan, dan Neya nggak mau keadaan ibu semakin parah."

"Tidak usah banyak alasan untuk menutupi kebobrokanmu, Ney. Bagaimana mungkin seorang korban pemerkosaan bisa hidup baik-baik saja? Atau sebenarnya kamu nggak pernah kerja di mini market itu? Pekerjaan itu hanya buat kedok kan, Ney?"

"Kenapa Ibu bicara kaya gitu sama Neya? Kenapa Ibu nggak percaya sama Neya?"

"Karena ibu sudah muak sama kamu, dan ibu nggak sanggup menahan malu atas aib yang udah kamu bikin, Neya! Lebih baik kau pergi saja dan jangan pernah temui ibu lagi!"

"Tapi Bu ... "

"Pergi Neya! Ibu nggak mau lihat muka kamu lagi!"

"Bu ... "

"Pergi!"

Neya turun dari atas brankar, lalu keluar dari puskesmas tersebut, meninggalkan Lastri yang menatapnya dengan penuh amarah. Air mata membasahi pipi Neya, dia bahkan tak menyangka jika ibu yang sangat dia sayangi tak percaya padanya. Neya berjalan menyusuri jalanan berbatu dengan segenap luka di dada. Ya, lagi-lagi Neya harus kembali terluka, atau bahkan dia harus biasa berteman dengan luka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status