“Desti … apa kau mau aku lempar ke api unggun terlebih dahulu baru kau mau turun untuk memasak?” bentak Siska yang tiba-tiba datang dengan membuka pintu kamar Desti dengan kasar. “I-iiya …,” jawab Desti dengan kepala tetunduk. “Buruan! Winarta sudah menunggu di meja makan,” bentak Sika. Untung saja kamar Desti memiliki alat kedap suara, sehingga tidak akan ada yang mendengar suara teriakan Siska. “Tapi … saya ‘kan tidak bisa melihat, bagaimana caranya saya akan memasak?” tanya Desti berusaha membuat dirinya tenang. “Tidak ada alasan kau tidak bisa memasak karena matamu itu! Kau ‘kan memiliki dua dayangmu itu. Untuk apa suamiku menyewa dayang juka bukan untuk membantumu?” ucap Siska terdengar sinis. Setelah mengucapkan itu, Siska turun menuju ruang makan. Selagi Desti turun dengan di tuntun oleh Nita dan Jona. Melihat Siska yang turun dan duduk di hadapanya membuat Winarta mengerutkan alisnya dan bertanya, “Kenapa kau duduk? Siapa yang akan masak?” “Semua chef dan beberapa maid k
Melihat kedatangan Winarta membuat Siska kalap. Dengan cepat Siska berdiri dari duduknya dan berkata, "Bukannya aku sudah bilang … biarkan aku saja yang mencuci semua piring ini, kau ini sangat keras kepala!" Siska segera mengambil spon pencuci dan mengganti posisi Desti. "Dia pasti sengaja melakukannya untuk membuatku terkena marah Winarta, awas saja kau akan aku beri pelajaran padamu nanti," batin Siska dengan tangannya yang mencuci piring. Namun, Siska lupa jika Desti baru saja menjatuhkan piring, dan tanpa sengaja Siska menginjak pecahan piring itu. "Aarhh …." "Ada apa Mbak? Kenapa Mbak teriak?" tanya Desti terlihat panik saat mendengar teriakan Siska. Winarta yang melihat derama dari istrinya pun hanya bisa memutar bola matanya malas. Bukannya ia tidak tau jika Siska saat ini sedang berakting, Winarta bukanlah orang bodoh yang bisa ditipu dan dibodohi begitu saja. Jika Winarta memang orang yang bodoh tidak mungkin ia mendirikan perusahaan terbesar se-Asia sekarang. "Ikut ak
"Lalu saya akan tinggal di mana Tuan? Saya tidak memiliki tempat tinggal lagi," ucap Desti, ia pikir jika dirinya akan dibuang oleh Winarta tanpa Winarta menepati kontrak yang sudah mereka tanda tangani. "Di Amerika," ucap Winarta yang mana semakin membuat Desti bingung. "Tapi aku tidak punya rumah di sana … dan lagi aku tidak bisa bahasa Inggris," ucap Desti menundukan kepalanya. "Tidak perlu … itu urusanku," ucap Winarta yang mana masih mengompres bibir Desti. "Balik ke kamarmu," ucap Winarta dengan ketua. "Iya Tuan," ucal Desti. Namun saat akan menurunkan kakinya ternyata ia salah jalan. Yang Desti injak adalah lemari sepatu Winarta dan itu membuat Desti kembali menarik kembali kakinya ke atas kasur. "Wanita ini … sudah tau tidak bisa melihat, bukanya meminta tolong malah asal jalan," batin winarta menggelengkan kepalanya saat melihat Desti. Winarta menggenggam pergelangan tangan Desti dan menuntunnya menuju pintu keluar kamarnya. Saat sampai di luar kamar Winarta pun berter
Winarta keluar dari kamar Desti untuk menelpon Dimas, dokter pribadi yang memang bekerja sebagai dokter untuknya. Selain menjadi dokter Dimas juga adalah sahabat Winarta yang sudah bersama Winarta sejak mereka duduk di bangku SD. Cukup lama Winarta menunggu panggilannya tersambung sampai dari seberang sana terdengar suara seorang pria. [Hallo.] Terdengar suara pria dari dalam telepon. [Datang ke mansionku sekarang juga!] Suara Winarta terdengar sangat dingin dan menyeramkan dari dalam telpon. "Gila, habis makan apa ni orang sampai bisa seperti singa yang sedang terusik?" batin Dimas menjauhkan handphonenya dari telinganya. [Untuk apa? Bukankah kau baik-baik saja?] tanya Dimas. Karena selama ini dimas tidak memeriksa siapa pun di keluarga Winarta selain Winarta sendiri bahkan untuk memeriksa Siska yang sedang demam beberapa hari lalu saja tidak di izinkan oleh Winarta. Winarta memilih untuk memanggil dokter lain untuk memeriksa Siska. [Datang sekarang atau gajimu akan hangus!] Anc
Entah kenapa saat mendengar itu hati winarta menjadi sakit. Namun, Winarta berusaha untuk tidak menunjukkannya dan berkata, "Lakukan apa pun asal dia selamat." Setelah mendengar perkataan Winarta, Dimas pun menyerahkan berkas yang harus ditandatangani oleh Winarta untuk bisa melakukan pencangkokkan kulit. “Apa ini?” tanya Winarta bingung. “Tandatangani ini untuk melakukan operasi pencangkokan kulit,” ucap Dimas menjawab kebingungan Winarta.. Winarta pun langsung menandatangani berkas itu dan menyerahkannya kembali kepada Dimas. Setelah Dimas menerimanya, Dimas kembali masuk ke dalam ruangan Desti untuk melakukan pencangkokan kulit. Winarta duduk di kursi tunggu dengan kepalanya yang menunduk ke bawah. Entah kenapa Winarta merasa gelisah saat ini, ada sesuatu yang tak bisa ia jabarkan dalam hatinya saat mendengar Desti akan melakukan pencangkokan kulit. Bahkan hatinya merasa sakit saat mendengar itu. winata sendiri juga tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya.Winata mengambil h
Kurang lebih sekitar sebulan dari hari setelah Desti operasi pencangkokan kulit. Saat ini adalah hari di mana Desti dan Winarta akan pergi ke Amerika. Akan tetapi saat Winarta, Desti dan Jemi akan naik ke dalam Jet pribadi milik Winarta, terdengar suara teriakan seseorang dari belakang mereka sampai membuat mereka bertiga menoleh kebelakang. "Winarta …," teriakan seorang wanita membuat orang-orang yang berada di bandara itu melihat ke arah wanita yang berteriak itu. Wanita itu tidak lain adalah Siska, istri pertama Winarta yang sedang berlari menuju ke arah jet pribadi Winarta. Winarta yang melihat Siska yang berlari ke arahnya hanya menaikan sebelah alisnya, dan Desti yang mendengar suara teriakan Siska pun gemetar ketakutan. Semenjak kejadian Siska menyiram Desti dengan air yang sangat panas membuat Desti trauma."Ada apa kau berteriak seperti orang gila?" tanya Winarta acuh tak acuh kepada Desti."Sayang … aku ingin ikut denganmu, hanya beberapa hari saja tidak apa, setelahnya aku
[Terserah kau sajalah …,] ucap Winarta, dengan nada yang terdengar seperti orang pasrah.[Ok, akan aku bawakan ke mansionmu.] Setelah mengatakan itu, Jemi langsung mematikan sambungan teleponnya. Winarta yang mendengar jawaban Jemi menaikan sebelah Alisnya. “Dia sudah mencari tau sebelumnya?” gumam Winarta. “Ada apa dengannya tidak biasanya dia ingin mencari tau soal wanita?” batin Winarta. ***Brakkk “Bisakah kau tidak membuat keributan!” ucap Winarta dengan nada sedikit membentak. “Okey-okey … slow dong.” Jemi yang dibentak hanya memperlihatkan senyum manisnya. “Nah, aku sudah mencari tau tentang Desti semenjak dua hari lalu. Aku yakin kau akan kaget setelah membacanya?” ucap Jemi merasa bangga dengan dirinya semdiri. Winarta menaikan sebelah alisnya dan berkata, “Sejak kapan kau peduli dengan yang namanya Wanita?” “Jika ini tidak bersangkutan denganmu aku tidak akan mau mencari tau tentang Desti,” ucap Jemi santai, dan mengambil kopi yang ada di atas meja Winarta. “Tidakka
"Gadis ini? Apakah dia gadis yang aku selamatkan dulu? Apakah itu dia?" tanya Winarta dengan rasa senang yang membuncah. "Hmmm … sepertinya tadi ada yang mengatakan jika dia tidak tertarik dengan document yang aku bawa," ucap Jemi menggoda Winarta. "Katakan saja, atau aku akan memecatnya saat ini juga!" Ancam Winarta tidak main-main. "Okey, okey. Santai dong jangan bawa emosi …," ucap Jemi dengan tangannya yang seperti menahan Winarta. Jemi menghembuskan nafasnya kasar saat melihat Winarta yang sudah mulai tenang dan Jemi pun mulai berkata, "Iya … anak kecil yang ada di foto itu adalah Desti, dan kau tau lagi? Desti adalah keponakan dari Burdan. Orang yang sebenarnya akan kau nikahi, itu dialah orangnya. Dia kabur karena mengetahui jika Burdan akan menjualnya karena itu dia kabur dengan bantuan dari temannya, dan ternyata owh ternyata … temannya itu adalah orang bayaran Siska istri pertama lo dan lo taulah bagaimana kisah selanjutnya.” Rasa marah, senang dan sedih bercampur di ha