Share

ketujuh

Lyra’s Point Of View

Dengan memacu mobil di atas kecepatan rata-rata, aku sampai ke kantor milik Altair hanya dalam beberapa menit. Aku sudah kehilangan kesadaranku ketika lelaki brengsek itu kembali merobohkan pertahananku. Dia seakan memaksaku untuk membenci dirinya sehingga dia dapat memastikan bahwa aku tak akan jatuh cinta padanya untuk kali kedua.

Sedangkan aku terlalu banyak dikonsumsi oleh rasa belah kasih sehingga dia tak segan menginjak harga diriku.

Aku tak tahu mengapa sebuah ide gila dalam sekejap muncul di benakku. Jika aku harus membuktikan padanya bahwa bukan hanya Nathaniel yang menginginkan keberadaanku. Menunjukkan padanya aku bahkan bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih dibandingkan dia.

Tanpa berpikir panjang, pikiran itu kurealisasikan segera. Aku menyambangi kantor Altair—pusat dari Perusahaan raksasa yang salah satu lininya adalah Perusahaan Manajemen Model yang menaungiku— dengan mata dan hidung memerah. Aku mengabaikan lirikan-lirikan aneh dari karyawan-karyawan yang kulewati karena wajahku yang benar-benar sudah tak jelas lagi rupanya.

Mengabaikan teriakan Sekretaris di depan yang coba menghalangi, aku menerobos masuk ke ruangan pribadi milik sang Direktur. Mungkin karena mendengar derap langkahku memasuki ruangannya, dia pun mendongakkan wajahnya untuk melihat ke arahku. Tatapannya sedikit aneh melihat aku datang dengan wajahku yang terlihat menyedihkan.

"Kak Altair, marry me, please".

Kalimat itu pun terucap sempurna dari bibirku. Dia mengatupkan rahangnya rapat, seakan berpikir keras mengapa aku melontarkan kata pernikahan itu dengan lancang.

Untuknya, yang bahkan berstatus sebagai teman dekatku saja.

Altair dapat mengendalikan ekspresinya dengan baik. Dia masih memasang wajah datar andalannya, tanpa sedikitpun terlihat terkejut. Namun, dari matanya itu, aku dapat melihat jika dia bahkan lebih mengkhawatirkan keadaanku yang kacau dibanding kata-kata aneh yang baru saja kuucapkan.

Dia bangkit dari singgasananya kemudian tangannya yang kekar menarik lenganku. Diua memaksaku mengikutinya sampai kami berdiri depan pintu kecil yang berada di samping rak-rak tinggi yang berisi banyak buku.

Mulutku ternganga ketika Altair membuka pintu untuk menunjukkan apa yang berada di dalamnya. Disana terdapat ruangan berukuran cukup besar setara dengan kamar presidental suit hotel berbintang lima. Altair mendorongku masuk sedangkan dirinya masih berdiri tegap di ambang pintu.

"Istirahatlah disini. Nanti malam aku akan mengantarkanmu pulang setelah pekerjaanku selesai". Dia berujar kaku dan dari nadanya saja aku tahu jika dia tidak ingin dibantah.

Aku membalikkan badan. Mataku mencari matanya yang kerap kali menghindar lalu berujar. “Kau tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku sekarang?”.

Dia menggeleng.

“Bisakah kau mendengarkanku sekali saja, Lyra?”. Aku menciut mendengar penekanan di setiap suku kata yang diucapkannya. “Kau sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk kita bisa membicarakan ini”.

Mata sayunya menghujam mataku yang sekejap dapat membuat hatiku lebih tenang. Dia mencoba menarik kedua ujung bibirnya –meskipun gerakannya kaku—dan aku tak kuasa menolak permintaannya karena itu.

*

Normal Point Of View

Altair membersihkan meja kerjanya dari tumpukan-tumpukan kertas itu cepat. Untuk pertama kali di dalam sejarah hidupnya semenjak dia membangun dengan susah payah perusahaannya yang kini menjelma sebagai salah satu perusahaan besar itu dia meninggalkan ruangannya sebelum jam sepuluh malam.

Suatu hal yang langka terjadi. Karena saat ini jam baru menunjukkan pukul enam sore dan dia sudah bersiap untuk pulang ke rumah.

Lelaki itu mengulum senyum. Membayangkan bahwa setiap hari dia akan merindukan rumahnya karena ada seseorang yang menunggunya membuat hatinya menghangat.

Dengan gerakannya yang dibuat sepelan mungkin, Altair mengunjungi kamar yang seringkali ditempatinya jika sedang menginap di kantornya itu dengan jantung berdebar. Derap jantungnya semakin bertalu melihat sosok cantik yang selalu ada di bayangannya kini meringkuk di ranjangnya.

Sungguh, tak pernah terbesit di pikiran liarnya sekalipun bahwa dia bisa mengamati Lyra sebebas ini.

Gadis itu perlahan membuka kedua matanya kemudian mendudukkan tubuhnya dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang. Lyra melirik ke arah Altair yang sedang mati-matian menyembunyikan rasa takjubnya karena terpesona bahkan dengan wajah bangun tidur yang ditunjukkan gadis itu.

Lyra memang termasuk orang yang dapat terusik dari tidurnya walaupun hanya mendengar suara yang tidak keras. Itulah mengapa dia langsung bangun ketika Altair masuk ke kamar tersebut.

"Apa aku tertidur terlalu lama?".

Altair yang masih terpana dengan aura kecantikan alami yang terpancar dari gadis teman masa kecilnya itu tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Lyra, kemudian memandang gadis itu dengan raut wajah kebingungan.

"Ya?", katanya pendek.

Lyra terkekeh geli, dan dengan sengaja mengganti pertanyaannya dengan yang lainnya. Tentang hal utama yang menjadi alasannya datang kesini, meskipun pada akhirnya dia menyerah dan tertidur di ranjang empuk milik lelaki itu.

"Aku bertanya, apa kau mau menikah denganku?"

Altair menipiskan  bibirnya gugup. Seperti biasa, dia mengamati mata cokelat gelap milik gadis itu untuk menemukan kebohongan di dalamnya.

Nihil.

Lyra benar-benar serius dengan ucapannya kali ini.

Namun, dia telah memikirkan sesuatu yang mungkin terjadi, tentang alasan gadis itu melamarnya tanpa diduga seperti saat ini. Dan alasan yang terpikirkannya itu memukuli hatinya hingga tak berbentuk.

Altair berjalan mendekati ranjang dengan langkah tergesa. Altair bergegas menitipkan tangannya di atas bahu Lyra, menundukkan badannya agar mereka dalam garis pandangan yang sama.

“Dengar”, Altair memulai kalimat dengan tarikan nafas panjang. “Kau harus menenangkan hatimu terlebih dahulu sebelum mengatakan hal itu, Lyra”. Gadis itu terdiam kala Altair mengungkapkan kebenaran. “Kau tidak serius dengan perkataanmu tadi dan aku anggap aku tak pernah mendengar kau yang mengajukan pertanyaan tentang pernikahan padaku”.

“Jika aku benar-benar serius, apa kau mau menikahiku, Kak?”.

"Bukankah aku sudah bilang untuk menenangkan hatimu terlebih dahulu? Kau tahu, jika yang kau lakukan itu salah? Menggunakanku untuk mengakhiri patah hatimu, memintaku menikah denganmu hanya karena kau ingin lari dari lelaki pengecut itu. Kau bahkan tak serius dengan permintaanmu itu, Lyra. Untuk apa aku menjawabnya?"

Lyra terpaku mendengarkan rentetan kata yang semakin merobek hatinya. Gadis itu salah. Seharusnya Lyra tidak datang ke tempat Altair untuk meredam rasa sakit yang bertubi-tubi dirasakannya. Dia bahkan berharap Altair dapat mengembalikan rasa percaya dirinya—sungguh itu adalah hal terbodoh yang pernah dipikirkannya.

Lyra dengan lancang menepis tangan Altair yang bersarang di pundaknya lalu melonjak dari ranjang. Mengambil tas tangannya dengan tergesa –meninggalkan Altair yang masih terpaku di tempatnya, meratapi kebodohannya yang telah menorehkan luka lain di hati Lyra.

Tetesan cairan bening yang mengalir dari mata indah gadis itu mencambuk hati Altair keras. Altair harus bertahan menahan sakit karena dia tak akan pernah sanggup mempertahankan gadis itu untuk berada di sampingnya, sebesar apapun dia menginginkannya.

Namun, relakah Altair melihat gadis itu tersakiti oleh lelaki lain? Haruskah dia hanya menjadi penonton yang hanya diam saja ketika melihat gadis itu hancur?

Atau......mungkinkah Altair dapat melaksanakan perintah Ibunya untuk menghalangi Lyra menerima pinangan Nathaniel—lelaki tak bertanggung jawab yang hanya menginginkan seorang anak dari gadisnya?

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status