Share

kelima

Lyra memandangi televisi yang menyala acak di hadapannya dengan pandangan datar. Sedikit menyesali perjanjian bodohnya dengan Angela.

Lyra dalam keadaan sadar bersedia menjadi istri kedua dari bekas tunangannya. Apa dia sudah gila?

Sungguh kejadian ini ada di luar nalarnya.

'Aku hanya asal bicara tadi'

Lyra bisa melemparkan kalimat itu dengan santai kepada Angela. Tapi, lagi-lagi, atas dasar kemanusiaan, menghapus harapan orang lain setelah menerima permintaan Angela tadi sama sekali bukan tipenya.

Lyra bukan orang sejahat itu.

Terlintas keraguannya dibalik Keputusan cerobohnya.

Lyra mencintai Nathaniel sebanyak itu sampai dia rela mengorbankan dirinya sendiri. Namun, melihat Nathaniel bahagia dengan wanita lain di pelupuk matanya, sampai kapanpun dia takkan pernah sanggup. Dia terlalu takut untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Nathaniel dan akan memohon-mohon lelaki itu untuk meninggalkan istrinya untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya.

"Lyra".

Dengan cepat gadis menolehkan pandangannya ke sumber suara. Melihat orang tersayangnya,Ibu Diah, memanggil namanya lembut sedikit mengurangi bebannya. Lyra segera menekan kekhawatirannya dengan memamerkan senyum palsunya yang terasa canggung.

Lyra menggumamkan terima kasih ketika wanita paruh baya yang telah menemaninya sejak kecil itu meletakkan secangkir teh hangat di hadapannya. Dia mengesapnya perlahan berharap cairan itu dapat merubah pikirannya menjadi sedikit rileks.

"Ibu”, panggilnya ragu. Diah melihat ke arah gadis kecilnya dengan penuh kasih sayang. “Apa kau akan menganggap aku gila jika aku menerima permintaan Nathaniel untuk menjadi istri kedua baginya?", tanyanya tanpa basa-basi. Lyra bahkan tak memperhatikan perubahan raut muka yang ditunjukkan Ibu Diah yang berubah murung.

Gadis itu tak tahu, betapa khawatirnya wanita yang telah menjadi pengasuhnya sejak kecil itu akan pertanyaannya tadi.

Ibu Diah menatap gadis itu dengan tatapan lembutnya yang menenangkan, kemudian menyunggingkan senyum tipis yang bahkan terasa sangat hambar di bibirnya. "Tidak, Nak. Itu pilihanmu. Kau berhak melakukan apapun yang kau mau. Tapi......"

Wanita berusia lima puluh tahunan itu menggantungkan kalimatnya. Diah sedikit ragu untuk dapat mengatakannya atau tidak. Dia merasa tak pantas untuk mengatakannya di depan Lyra.

"Katakan saja apa yang ada di pikiranmu, Ibu", seolah tahu keraguan Diah, Lyra pun tanggap menimpali.

" Bisakah kau memikirkannya lagi, Lyra? Menjadi wanita kedua dalam suatu rumah tangga itu akan sangat sulit. Aku takut kau tak bisa melalui semua kesulitan itu".

Lyra mengangguk tegas, membalas perkataan itu dengan melengkungkan senyum di bibirnya. Lalu tubuhnya bergerak mendekati wanita yang telah dianggapnya sebagai Ibunya sendiri itu kemudian memeluknya, mencoba mencari kehangatan yang dia rindukan dari dekapan itu.

"Aku akan melakukannya, Ibu".

*

Altair menjawab hanya dengan gumaman yang agak keras ketika asistennya mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya di ruang kerja. Matanya masih meneliti setiap kata dari dokumen-dokumen yang diterimanya tadi pagi. Dia harus menyelesaikannya siang ini. Jadi, dia lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di ruangannya yang dingin tanpa berniat untuk menikmati makan siang di luar.

“Yaampun, Altair. Kau terlalu bekerja keras hingga mengabaikan jadwal makanmu. Pantas saja badanmu semakin kurus".

Altair teralihkan dari fokusnya meneliti tumpukan kertas yang tertata seperti tisu. Matanya menyipit melihat sosok seseorang familiar yang kini berada di seberang mejanya, dengan kedua tangannya yang penuh dengan barang bawaan, menatap dirinya cemas.

"Ibu, tumben kesini?", serunya tak percaya.

Ibunya jarang menemuinya di kantor, itulah mengapa dia sangat terkejut ketika beliau datang. Dan karena Altair adalah orang yang menghabiskan lebih dari setengah harinya untuk bekerja di kantor, sudah dipastikan mereka jarang bertatap muka. Apalagi, Ibunya itu pernah berkata bahwa dia tak suka suasana kantor karena akan teringat anaknya yang sangat suka bekerja.

Tentang Altair yang workaholic, itu bukan rahasia umum lagi. Dan Ibunya itu sangat membencinya karena hal itu. Padahal Ibu Diah jugalah yang mengetahui mengapa Altair bersikap begitu.

"Kau tak senang melihat Ibumu?", seru satu-satunya wanita di ruangan itu berpura kesal.

Altair hanya tersenyum tipis menanggapi lelucon. Dia beranjak dari kursi kerjanya, kemudian melangkah menuju deretan sofa dan meja berwarna senada yang biasa dipergunakan untuk menyambut tamunya. Ibunya pun mengikutinya, kemudian duduk di hadapan pria itu.

Selanjutnya, Altair melahap makanan yang diantarkan Ibunya dengan semangat. Sebagai pria yang tinggal sendiri, tentu saja sangat menyenangkan bisa menyantap makanan rumahan yang sangat dirindukannya. Dia menghabiskan makanannya dengan cepat kemudian meluruskan punggungnya di sandaran sofa.

Altair mencoba membuka percakapan dengan Ibunya. Dia tahu Ibunya itu tak akan datang ke kantornya hanya untuk mengantarkan makan siang. "Aku tahu Ibu tidak mungkin mengunjungiku jika tidak ada sesuatu yang mendesak. Katakan, ada apa Ibu?"

"Kau sudah membujuk Lyra kan, Altair?", ucap wanita itu lembut, tersisip nada kesedihan dari cara bicaranya.

Untuk sejenak, Altair terdiam. Mengingat percakapannya dengan gadis itu kemarin, dia sudah cukup bisa menyimpulkan apa yang ada di pikiran Lyra. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, membuatnya tak bisa merasakan apapun ketika ingatan itu kembali.

Lelaki itu menarik nafas panjangnya yang terdengar lelah. "Ya, aku sudah melakukannya. Aku sudah melakukannya tapi sepertinya dia sudah kukuh dengan keputusan gegabahnya".

"Termasuk mengungkapkan perasaanmu padanya?", serobot wanita itu cepat.

Reaksi Altair adalah menundukkan kepalanya lesu. Dari situ saja, Ibunya dapat mengetahui apa jawaban pastinya. Altair pasti tidak melakukan yang satu itu. Dia pasti melewatkan hal penting yang harus diketahui Lyra dan melakukan apa yang menjadi kebalikan dari kata hatinya.

"Bu, sudah kubilang aku tak memiliki perasaan apapun pada Lyra. Dia adikku. Bagaimana aku bisa mencintai adikku sendiri? Itu hal yang mustahil terjadi".

Wanita paruh baya itu menangis dalam diam. Dia merasa bersalah kepada anaknya sendiri. Jika dia bukan seorang asisten rumah tangga keluarga Lyra dan keadaan keluarga mereka setara, mungkin Altair tidak akan memendam perasaannya itu sekian lama, bukan?

Altair tidak akan berubah menjadi seorang anak yang tak pernah lagi dikenalnya hanya untuk menyembunyikan perasaannya pada Lyra. Altair akan menjadi lelaki penyayang yang ceria seperti dulu, setidaknya untuk dirinya dan Lyra.

"Altair....", panggil Ibunya lemah.

Lelaki itu tak menghiraukan panggilan Ibunya lalu kembali ke tempat duduknya semula. Dia menekuni tumpukan kertas itu lagi seolah menolak untuk berbicara lebih jauh tentang perasaannya yang menyangkut Lyra.

Cukup dia sendiri yang tahu bagaimana persis perasaannya terhadap gadis itu.

Tidak ada orang lain yang boleh tahu mengenai itu, termasuk Ibu kandungnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, telinganya menangkap suara pintu yang tertutup. Dia mengusap dahinya yang tiba-tiba terasa pening memikirkan Lyra dan rencana bodohnya. Bagaimana bisa gadis itu mencintai seseorang brengsek seperti itu? Haruskah dia melakukan sesuatu untuk mencegah tindakan tak masuk akal Lyra dan menuruti apa yang dikatakan Ibunya?

Disela kegiatannya memikirkan cara terbaik untuk memecahkan masalah ini, pria tampan itu melebarkan matanya ketika sosok yang selalu membuat jantungnya berdetak tak beraturan itu menerobos masuk ke ruangannya. Lyra datang dengan mata dan hidungnya yang memerah, dan Altair berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang menderanya dibalik tatapan dinginnya.

Gadis itu membangun kontak mata yang sangat intens dengannya, membuat Altair terperangkap dalam tatapan manik cokelat yang selalu didambanya. Keduanya terlarut dalam keheningan, sebelum kemudian Lyra memecah hening dengan melontarkan kalimat gila.

"Kak Altair, marry me, please?".

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status