Share

kedelapan

Lyra mengambil kotak yang telah lama disimpannya rapat lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia menyapu bagian atas kotak yang berdebu lalu membukanya dengan hati-hati. Disana memorinya bersama Nathaniel tersimpan rapi. Tangannya menyingkap satu persatu benda-benda yang dulu sempat membuat hatinya berbunga.

Dimulai dari gantungan ponsel berwarna merah muda berbentuk salah satu binatang lucu –yang salah satunya dimiliki Nathaniel dengan warna biru kesukaan mereka, kotak musik yang dihadiahkan Nathaniel saat ulang tahun Lyra ke dua puluh dua, berbagai hasil photobox yang kerap mereka lakukan saat bepergian, hingga sebuah kotak persegi berlapiskan beludru berwarna merah yang tak ubahnya membuat air mata Lyra menetes.

Nafas Lyra tercekat ketika matanya menangkap kilauan berlian mungil yang berasal dari cincin yang dulu sempat menjadi saksi ikatan suci diantara dia dan Nathaniel.

Lyra masih ingat binar mata terang pria yang dicintainya saat berlutut di depannya dengan menyodorkan sebuah cincin seolah Nathaniel serius dengan hubungan mereka. Hingga tanpa aba-aba pria itu meninggalkannya tanpa Lyra tahu kesalahan apa yang diperbuatnya. 

Dan sekarang, Lyra menerima keseriusan Nathaniel kembali dengan alasan yang jelas akan sangat menyakitinya.

Lyra menangis dengan tangannya yang memukul-mukul dadanya sendiri seolah jika dia melakukan itu, rasa sakitnya akan hilang. Lyra tak punya kuasa untuk mengendalikan jantungnya berdetak untuk siapa. Lyra tak menampik, hidupnya terlalu hampa ketika dia harus menjalaninya tanpa Nathaniel.

Tak lama berselang, ponsel gadis itu berdering.

Dahinya mengernyit tatkala rangkaian nomor tak dikenal muncul di layar telepon genggamnya. Biasanya, Lyra tak pernah menghiraukannya dan lebih memilih menggeser tombol tolak untuk memutuskan panggilan. Akan tetapi, entah kenapa kali ini dia mengangkat panggilan tanpa ragu. 

"Halo", katanya memulai percakapan.

Nathaniel–pria di seberang telepon– tak langsung menjawab sapaan suara familiar yang terdengar serak itu. Dia tertegun sejenak sampai akhirnya lamunannya terhenti. Dia pun menyampaikan identitasnya karena Lyra mungkin tak akan mengenali nomornya.

"Lyra, ini aku. Nathaniel".

Sebenarnya, tanpa menyebutkan nama pun dia tahu itu siapa. Dia tak mungkin melupakan suara orang yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya. Lyra membersit hidungnya, lalu menjawab. 

"Ya. Ada apa, Nathaniel?".

"Apa kau ada di rumah? Bisakah aku mengunjungimu sekarang?".

Beribu macam perasaan terbesit di hati Lyra. Di satu sisi, jantungnya berdebar mendengar Nathaniel akan datang menemuinya. Di sisi lain, Lyra masih teringat bagaimana kalimat menyakitkan yang diucapkan Nathaniel tempo lalu seolah menusuk hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status