Pagi ini Merry sudah terlihat sangat cantik dan juga rapi. Setelah kepergian suaminya menuju perusahaannya, Merry ingin segera pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksakan keadaannya. Awalnya, Merry merasa biasa saja dengan sakit perut yang sudah dia derita selama 2 tahun lebih ini. Dia merasa enggan untuk memeriksanya, karena menurutnya itu hanya sakit perut biasa. Akan tetapi, setelah mendengarkan nasehat dari Indira, entah kenapa dia ingin sekali untuk memeriksakan kondisi tubuhnya. Sungguh Merry sangat ingin tahu, ada apa sebenarnya dengan perutnya. Kenapa selalu saja terasa sakit, bahkan semakin lama rasa sakitnya kian bertambah dan terkadang terasa sangat menyiksa. "Sudah cantik, semoga hasilnya baik," ucap Merry lirih.Setelah memastikan kalau dia sudah rapi dan cantik, Merry pun langsung berangkat menuju Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, Merry langsung masuk kedalam ruangannya Elsa. Karena memang sebelumnya Merry telah melakukan janji temu dengan Elsa, Elsa adalah sahaba
Merry benar-benar terlihat kacau hari ini, hampir seharian dia menghabiskan waktu untuk menangis di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dengan gerakan cepat Merry langsung mengguyur tubuhnya agar bisa lebih segar dan lebih tenang. Setelah selesai, Merry langsung merias wajahnya. Dia tidak mau jika Edbert melihat wajahnya yang kini sudah mulai terlihat memucat. Setelah puas dengan hasil riasannya, Merry langsung melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Dia ingin menunggu suaminya pulang, dia harus terlihat biasa saja. Jangan sampai Edbert curiga dengan keadaannya saat ini. Tidak lama kemudian, lelaki yang kini sudah menjadi suaminya tersebut datang dan menghampiri Merry. Edbert langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Merry, Memeluknya dan melabuhkan sebuah ciuman hangat di bibir istrinya. "Kangen, aku pengen di sini," ucap Edbert. Merry terlihat kelabakan, dia belum siap mengatakan semuanya pada suaminya itu. Dia bingung harus beralasan seperti apa kepada Edb
Merry terlihat sangat kacau, dia masih menangis sambil meminta Edbert untuk menikah lagi. Wajah Edbert terlihat memerah menahan amarah, dia sangat kesal dengan apa yang diucapkan oleh istrinya. Edbert menghampiri Merry, dan mencengkram kedua bahunya dengan kuat. Merry terlihat meringis menahan sakit, karena tanpa sadar Edbert sudah menyakiti istrinya."Katakan, Sayang! Apa maksud dari perkataanmu?!" seru Edbert. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang diminta oleh istrinya, apakah istrinya itu mengira jika pernikahan adalah sebuah pemain, pikirnya."A--aku sakit, aku menderita kanker rahim stadium empat," jawab Merry terbata. Edbert nampak limbung, dia bahkan sampai menjatuhkan tubuhnya di lantai. Sedangkan Indira nampak syok dengan apa yang dia dengar, ini terdengar menyakitkan.Seorang istri mengemis pada suaminya agar mau menikah lagi, alasannya karena sakit. Sungguh miris, pikir Indira. Merry langsung meluruhkan tubuhnya ke atas lantai, lalu dia memeluk Edbert dengan
Merry langsung menyusul suaminya, Merry begitu takut jika Edbert akan marah besar padanya. Langkah Edbert begitu cepat, bahkan Merry sampai harus berlari untuk mensejajarkan langkah suaminya. Edbert seolah tidak perduli akan hal itu, dia tetap saja melangkah dalam diam. Setelah sampai di parkiran, Edbert langsung masuk ke dalam mobilnya. Merry pun langsung masuk dan duduk di samping suaminya, Merry nampak terengah-engah. Dia tak menyangka jika Edbert akan mendiamkannya. "Benahi dandananmu," ucap Edbert tanpa menolehkan wajahnya ke arah Merry. Merry terlihat kebingungan mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya, karena Edbert tiba-tiba saja menyuruh dirinya untuk membenahi dandanannya "Maksudnya?" "Kita akan ke rumah mommy, kita harus meminta izin untuk pergi ke luar negeri," jawab Edbert. Merry memang meminta Edbert untuk menikah kembali, tetapi tidak secepat ini. Tidak harus tinggal di luar negeri juga, pikirnya."Harus sekarang? Harus secepat ini?" "Tentu, aku ingin kita tin
Satu minggu sudah Merry berada di Singapura, tapi Merry belum bisa membuat suaminya tidur satu kamar dengan Indira. Merry mulai resah, kalau Edbert tidak mau tidur satu kamar dengan Indira dan bahkan tidak mau menyentuhnya, lalu kapan mereka akan punya keturunan, pikir Merry. "Apa yang saat ini harus aku lakukan, Tuhan?" tanya Merry kepada dirinya sendiri.Malam pun telah menjelang, tetapi Edbert masih berada di ruang kerjanya. Sedangkan Indira sudah masuk ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Edbert memang tidak pernah menemui Indira, tetapi dia selalu memberikan pekerjaan pada Indira. Setumpuk berkas yang harus Indira selesaikan dalam setiap harinya. Itu merupakan salah satu cara dari Edbert agar Indira tidak merasa bosan karena harus tinggal jauh di negeri orang tanpa punya sahabat, itu adalah cara yang efektif, menurut Edbert.Berbeda dengan Merry, wanita itu belum bisa tidur. Merry terlihat sangat gelisah. Dia sedang memikirkan bagaimana car
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi, tapi pintu kamar Indira masih terlihat tertutup dengan rapat. Merry terlihat sangat khawatir, dia merasa takut jika Edbert akan betah di kamar Indira dan tidak berniat untuk satu kamar lagi dengan dirinya. Merry terlihat mondar-mandir di depan kamar Indira, dia ingin sekali masuk dan melihat sedang apa suaminya di dalam bersama Indira. Akan tetapi, dia berpikir kembali. Inilah keinginannya, inilah yang dia minta kepada suaminya. Dia tidak bisa berbuat hal yang nantinya malah akan mempermalukan dirinya. Rasanya, dia tidak berani masuk ke dalam kamar Indira. Walaupun, hanya untuk sekedar mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh suaminya di dalam sana. Setelah merasa capek dengan pikirannya sendiri, Merry pun memutuskan untuk pergi ke pinggir pantai. Dia ingin menenangkan pikirannya. Sampai di bibir pantai, Merry langsung duduk sambil menenggelamkan kaki telanjangnya di dalam air asin yang terasa sangat dingin. "Ya Tuhan! Ternyata rasanya sanga
Setelah mengetahui kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, Merry terlihat enggan untuk pulang. Rasanya, dia ingin pergi saja meninggalkan suaminya. Sebagai wanita, dia merasa hancur sehancur-hancurnya. Karena hal yang paling berharga untuk seorang istri adalah bisa memuaskan suami di atas ranjang, memberikan servis terbaik untuk suaminya dan tentunya memberikan keturunan. Jika seorang istri tidak bisa memasak, banyak Resto yang menawarkan makanan serba enak. Jika seorang istri tidak bisa merapikan rumah, banyak yayasan yang menawarkan jasa asisten rumah tangga. Lalu, bagaimana dengan istri yang tidak mampu memenuhi kebutuhan suaminya di atas ranjang? Bagaimana dengan seorang istri yang tidak mampu memberikan suaminya seorang keturunan? Sudah pasti, istri tersebut bisa dikategorikan sebagai wanita tidak berguna, pikir Merry. Wanita yang diciptakan hanya untuk menjadi beban berat bagi suaminya.Pada kenyataannya, Merry memang tidak bisa melakukan kewajibannya sebagai seorang istr
POV Indira Aku tidak tahu dengan apa yang ada di dalam pikiranku saat ini, kenapa dengan mudahnya aku menyanggupi untuk menjadi istri kedua dari seorang Edbert Law. Pria kaya, dingin, arogan dan terkenal suka bergonta-ganti wanita.Bahkan aku rela berbohong kepada sahabatku sendiri, sahabat yang selalu mendukung aku di kala senang mau pun susah. Sahabat terbaikku, sahabat yang selalu memberikan aku dukungan.Oh, Melly. Maafkan aku, aku bahkan berkata pada Melly jika aku di tugaskan kembali di kantor cabang yang berada di kota kami, sungguh aku tidak bermaksud jahat terhadap sahabat aku itu.Melly pun dengan mudahnya memercayai aku, karena memang selama ini aku tidak pernah berbohong sekali pun kepadanya. Saat pertama aku pergi ke luar negeri, aku sangat takut. Aku takut sesuatu hal yang buruk akan terjadi padaku, tapi ternyata itu hanya ketakutanku yang tidak nyata tetapi beralasan. Kak Merry sangat baik kepadaku, bahkan dengan mudahnya dia memperbolehkan suaminya untuk menikah deng