Share

Aku Suamimu, Erland

Malam yang kehilangan kegelapan itu, mulai dihuni oleh suara letup santai yang ditimbulkan oleh terbakarnya mayat. Sedang suara menggelegar terdengar dari mobil yang meledak. Membuat diameter api membara dan memakan seluruh yang terlihat.

"Pergi sekarang."

Hanya dua kata terlontar oleh bibir tebal itu. Sopir langsung tancap gas meninggalkan tempat yang mungkin akan menjadi arang pada waktu fajar memunculkan diri. Jari-jemari tersebut mengusap lembut, tak peduli dengan darah yang mengikis warna kulit.

"Lebih cepat."

"Baik Tuan Erland," sahut sopir langsung menambah kecepatan.

Mulut membisu dengan netra membingkai Aruna yang berada dalam dekap pelukan. Menurut Erland kemiripan ini bukan sebuah kebetulan. Justru bak pinang dibelah dua.

"Istriku, Irene," sebut Erland dengan tangan meraih sejumput rambut Aruna dan hidung bangir tersebut mulai menghirup.

Gigi terdengar saling beradu. "Sial, harusnya aroma sampo menyeruak."

Mata sopir melirik sekilas. Jelas tahu alasan sang tuan terlihat marah. Selain tubuh penuh luka serta goresan kecil, kepala adalah bagian yang paling parah. Darah telah menemukan jalan keluar hingga tak berhenti mengalir.

"Menyetir yang benar!" seruan dari Erland membuat pria tersebut tertegun sejenak.

"Maaf Tuan."

Sekitar 5 menit perjalanan ke klinik terdekat guna menghentikan pendarahan sementara. Erland melanjutkan dengan menempuh waktu 25 menit untuk sampai di rumah sakit terdekat. Sosok yang selalu berjalan penuh wibawa, hari itu berlari seperti orang kesetanan dengan pakaian berlumur darah.

"Dokter!" Bahkan mulut yang biasa menyindir telak dengan tenang, sekarang dilanda kegundahan.

Tergesa Erland merebahkan Aruna di atas brankar rumah sakit yang keras itu. Tubuh telah siap melangkah, namun perawat langsung mencegat. Ekspresi Erland begitu ingin membunuh.

"Maaf Pak, tetap di sini dan tunggu kabar dari dokter." Itu perkataan terakhir, karena akses masuk sudah terblokir bagi Erland setelah pintu ditutup.

"Aku sangat ingin menghancurkan pintu sialan ini," gerutu Erland meninju dinding rumah sakit.

Perasaan resah itu sama sekali tak bisa dibagi. Erland hanya bisa duduk tak berdaya di atas kursi tunggu. Helaan napas kasar terdengar dan merajai lorong gawat darurat yang senyap.

Sangat tak sabar Erland menunggu, selama 15 menit tak ada kabar apa pun. Hingga pintu terbuka dan terlihat dokter yang menangani keluar. Mata saling membingkai satu sama lain.

"Bagaimana keadaan Irene?" tanya Erland seolah bisa kehilangan segalanya, jika tak segera mendengar kondisi terbaru dari Aruna.

"Kondisi ibu Irene tidak serius, setelah ini bisa langsung dipindah ke ruang perawatan."

Seorang perawat mendekat. "Pak, mari ikut saya untuk urus administrasinya."

Namun, kaki Erland seperti dipaku di sana. Pandangan menjadi lebih serius ketika tertunduk sejenak dan memenjarakan sang dokter. Dia memiliki keyakinan untuk mengutarakan pendapat.

"Kepalanya terluka parah, kau yakin Irene baik-baik saja?"

"Untuk saat ini baik-baik saja. Setelah tersadar kita akan tahu apakah ada risiko kehilangan ingatan."

Perkataan itu seperti sebuah ide brilian bagi Erland. "Lupa ingatan? Bisakah itu terjadi?"

"Bisa saja Pak. Tapi bisa juga ingatan baik-baik saja."

Bibir Erland sedikit terangkat dan menyeringai. "Jika baik-baik saja, maka rusak otak yang digunakan untuk ingatan."

Dokter tersebut tertegun. "Ya? Apa maksud Anda, Pak?"

Tangan Erland meraih kerah baju sang dokter dan berakhir dengan mencengkram. "Rusak ingatannya jika dia baik-baik saja."

Mata dokter melirik ke arah perawat yang memandang ngeri. Bahkan wanita tersebut terlihat sangat ingin melaporkan Erland pada satpam. Erland menarik napas dan melepaskan dokter begitu berhasil mengendalikan diri.

"Jika rumah sakit kecil ini, masih punya keberanian untuk menentangku, maka bersiaplah rata dengan tanah," ancam Erland dengan raut dingin.

"Tuan."

Seorang pria mendekat setelah berlari sedikit lebih lama. Dan berakhir dengan meraup napas rakus. Demi bisa berdiri di hadapan Erland yang disebut tuan.

"Siapkan perjalanan kembali ke Jakarta, serta ...."

Mata Erland menyorot serius. "Panggilkan penghulu secepatnya."

"Penghulu?"

"Lalu, hapus seluruh tanda di tubuhnya jika ada, tambahkan tanda yang Irene miliki. Aku sudah menuliskan detailnya."

***

Bulu-bulu lentik yang menghuni kelopak mata mulai bergerak. Semakin lama melihat, terasa kepala seperti dipukul keras. Terdengar suara kursi yang digeser dengan kasar, kepala Aruna menoleh.

"Dokter!"

Seorang pria tampan berlari panik memanggil dokter, namun pada akhirnya terusir oleh mereka. Aruna menyentuh kepalanya, tertegun sejenak karena merasakan kain halus melilit. Aruna yakin keberadaan di rumah sakit dengan ditangani dokter, artinya ia terluka.

"Irene, bagaimana keadaanmu? Apa kepalamu masih sakit?" Dokter ini bertanya padanya.

Kepala Aruna mengangguk. Entah mengapa ia merasa asing dengan kata Irene, tapi mulut pria ini menyebut sekaligus menatap padanya. Bisa disimpulkan kalau Irene itu adalah dirinya.

"Apa nama saya Irene?"

Dokter terlihat tertegun kemudian menoleh, bibir berusaha mengulas senyum. "Tentu saja. Jangan bercanda seperti ini, Erland sudah takut melihatmu tak sadarkan diri."

"Erland? Siapa dia?" Aruna merasa sangat asing.

Bibir dokter ini kembali tersenyum. "Biarkan dia sendiri yang mengatakan siapa dirinya. Kalau begitu panggil aku jika masih ada rasa tak nyaman pada tubuhmu."

Pria itu mulai meninggalkan kamar rawat dengan senyum ramah. Namun, setelah pintu sepenuhnya tertutup. Serta mata saling bertukar dengan Erland, ekspresi pria tersebut menjadi panik.

"Di mana kau temukan wanita yang mirip Irene?" bisik sang dokter masih tak percaya.

Erland menyeringai. "Dia memang Irene, jadi jangan terlihat mencurigakan di hadapannya. Lalu soal merusak ingatan--"

"Dia sudah lupa ingatan."

Erland tertegun sejenak, namun bibir tersenyum sinis. Seolah dia telah mendapat berlian paling langka di dunia. Segera dia memasuki ruang rawat setelah mengubah ekspresi menjadi sendu.

"Irene, akhirnya kau tersadar." Suara yang bergetar tersebut terdengar.

Mata Aruna mengerjap kaget, ketika dahi telah disapu oleh bibir yang mengecup. Tubuh Aruna beringsut karena tak nyaman. Siapa pria ini! Datang-datang langsung bertindak tak sopan.

"Ada apa Irene?"

Jika diperhatikan sekali lagi. Pria yang hampir meneteskan air mata ini, sekujur tubuh dipenuhi luka. Sedang Erland mengikuti arah pandangan Aruna. Merasa puas melompat langsung dari mobil yang masih dikemudian oleh sopir. Luka yang tercipta benar-benar memuaskan.

"Anda siapa?" Pertanyaan ini lolos dari mulutnya dengan menepis tangan yang hendak mengusap wajahnya.

"Sayang, kau sungguh tidak mengingatku? Harusnya saat itu aku mengemudi perlahan." Erland terlihat sangat menyesal di mata Aruna.

"Apa maksudmu memanggil saya akrab begitu?" Aruna masih ingin tahu.

"Aku Erland, kau tidak ingat? Aku suamimu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status