Share

Mata Segalak Pemiliknya

Belum sempat Aruna mendebat. Bibirnya langsung disesap oleh Erland, membuat tangan Aruna langsung mendorong tubuh pria ini. Namun, Erland menyudutkan dirinya hingga membentur dinding.

Ciuman Erland begitu menggebu, sedang tangan merambat di pinggangnya. Berusaha memasuki cela bajunya. Ingin Aruna menampar kembali, namun sorot mata Erland bagai elang. Hingga berhasil mencengkram tangan Aruna.

"Apa yang kau lakukan!" serunya marah.

Erland tersenyum meski mendapat bentakan. Reaksi Aruna benar-benar sesuai ekspetasi. Apalagi mata yang melotot, membuat Erland mengusap wajahnya. Tapi dengan kasar Aruna menepis.

"Apa kau tidak mendengar ucapanku? Telingamu tuli?" ocehnya.

Lagi, pria ini malah tersenyum. Kemudian menyenderkan kepala pada dadanya, membuat Aruna tertegun. Napas Erland sedikit menembus hingga kulit dada terasa hangat.

"Aku sangat merindukanmu Sayang," gumam Erland sangat pelan, bahkan tak sampai ke telinga Aruna.

"Kau sedang apa? Menyingkir dariku," tegasnya.

Perlahan Erland menjauhkan kepala, kemudian mengecup keningnya dan tersenyum. "Ayo, aku antar ke kamar. Kau pasti lelah, Irene."

Aruna segera menarik tangannya ketika Erland ingin menggenggam, hal itu membuat Erland melirik. "Aku tidak mau satu kamar denganmu, aku tidak terbiasa."

"Kalau begitu malam ini tidur sendiri, bagaimana?"

"Malam berikutnya juga," pintanya.

Jemari Erland mengusap hidungnya. "Akan aku usahakan."

***

Sebuah kamar yang sangat luas. Bahkan memiliki mini bar setelah berjalan sedikit dan melewati dinding yang membentuk sebuah ruangan. Mata Aruna juga menemukan perpustakaan kecil di dekat sofa yang membelakangi balkon, dengan televisi menawarkan hiburan.

Namun, satu hal yang membuat Aruna dibuat heran. Jendela hingga pintu balkon dipermati. Seolah akan ada orang yang kabur melalui balkon di lantai dua.

"Nyonya muda sudah tidur?"

Suara pria terdengar itu membuat Aruna menoleh. Kemudian ia terburu berlari dan menaiki ranjang. Membungkus diri dengan selimut. Meski Aruna tak begitu hapal, namun hanya ada satu pria di rumah ini.

Dan tentu sosok yang memasuki kamar adalah Erland. Mata membingkai punggung Aruna yang terbungkus selimut. Telinga Aruna menjadi tajam, guna memastikan Erland telah pergi. Namun, pintu yang ditutup serta terdengar kaki mendekat membuat Aruna duduk.

"Bukankah sudah janji tidak akan tidur di sini?"

Erland tersenyum. "Aku memang tidak berencana tidur di sini. Tapi, apa kau juga melarang aku berganti pakaian, Irene Sayang?"

"Lakukan sesukamu."

Kemudian Aruna kembali merebahkan tubuh dan menyelimuti dirinya lagi. Sementara Erland yang sedang membuka kancing baju, langsung terhenti dengan mata melirik ke arahnya. Dia sudah sangat kesusahan mendapatkan pengganti Irene.

"Kalau hanya tidur bersebelahan, bagaimana?" Erland masih menawar.

"Tidak," tegasnya tak ingin dibantah.

Erland menarik napas. "Sejujurnya, aku tidak bisa tidur selain di kamar ini."

Mulut Aruna langsung membisu. Jelas ia tak akan mengeluarkan izin untuk Erland tidur di kamar yang sama. Bukan hanya umur, tapi pola pikirnya pun sudah dewasa. Lawan jenis berada di ruangan yang sama sepanjang malam, mustahil tidak tergiur.

"Aku akan tidur di sofa," ujar Erland lagi.

"Sofa itu kecil, carilah yang lebih besar di ruangan lain," ujarnya sama-sama keras kepala.

Tangan Erland mengepal. Jelas, dia tak sabaran dengan penolakan. Bahkan dulu selalu mendapat hal yang sama saat menghadapi Irene asli.

Mata Aruna melotot karena ranjang terasa bergerak. Bahkan tubuhnya ditarik mundur oleh tangan Erland. Aruna menoleh dengan kesal karena pria ini seenaknya memeluk tubuhnya dan sudah memejamkan mata.

"Lepaskan aku," pintanya dengan suara sedikit lantang.

"Biarkan seperti ini Sayang, aku baru bisa tidur jika memelukmu."

"Aku yang tidak bisa tidur!" serunya membuat Erland sedikit mengernyitkan alis.

Suara Aruna terlalu lantang. Mungkin pembantu di lantai bawah tetap bisa mendengar. Erland bukannya mengalah, justru semakin memeluknya erat.

"Aku tidak akan macam-macam, jadi tidurlah Irene."

"Lepas--"

Aruna belum sempat berteriak, tapi bibirnya sudah lebih dulu dilumat oleh Erland yang mendadak menindih tubuhnya. Aruna tertegun ketika kedua tangannya dikekang di atas kepala. Sedang tangan Erland satu lagi mengusap telinganya.

Ini malapetaka!

Tangan Erland mulai merambat dan meremas dadanya. Saat itu juga Aruna meringis dan merintih kecil, membuat Erland tersadar dari emosi sesaat dan menjauhkan kepala. Perlahan Erland melepaskan kedua tangannya dan duduk di sisinya.

"Ada apa Sayang?"

"Luka di lenganku tertekan," sahutnya dengan suara pelan dan wajah menunjukkan rasa sakit.

Erland hendak menyentuh lengannya, namun menjadi meragu dan terhenti. "Apa lukanya terbuka?"

"Tidak. Rasa sakitnya sedikit mereda."

Aruna menatap kesal dan memukul Erland. "Kenapa kau sangat kasar? Bukankah aku istrimu?"

Bibir Erland membisu dengan pandangan tertunduk. Dia telah terbiasa mendapatkan hak sebagai suami dengan cara merampas kasar, karena Irene asli tak pernah bersedia melayani dan selalu saja menolak. Perlahan mata Erland menatap wajahnya.

Kemudian Erland membenturkan dahi dengannya cukup pelan. "Maafkan aku Sayang."

Tubuhnya direbahkan perlahan di atas ranjang. Lantas Erland memeluk tubuhnya dari belakang seperti semula. Aruna menghela napas, sebab pada akhirnya Erland tetap tak mau melepaskan dirinya. Pria ini tipe pemaksa.

"Jika macam-macam, aku akan menendangmu dari kasur," ancamnya.

Erland terkekeh. "Lakukan sesukamu, Irene Sayang."

"Aku tidak bisa bernapas," keluhnya membuat pelukan Erland sedikit mengendur.

"Aku akan memberi napas buatan," ujar Erland.

Aruna kesal dan menggigit tangan Erland yang mengurung tubuhnya ini. "Aku akan benar-benar memukulmu."

Suara tawa kecil kembali lolos dari bibir Erland. "Tolong jangan pukul aku, istriku yang galak."

Erland menyadari bahwa Irene dengan Aruna memiliki banyak perbedaan. Dari mulai sikap hingga kelakuan. Bahkan, ketika Aruna menatap, mata segalak pemiliknya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status