Share

Sebuah Pertemuan

Erland benar-benar memejamkan mata. Bahkan napas yang menerpa puncak kepalanya terasa lebih halus dan damai. Aruna mencari kesempatan untuk lolos, namun pelukan Erland tak mampu ia singkirkan.

"Kau sungguh tidur? Nyaman dengan posisi membuat aku terjepit begini?" komennya.

Terdengar sedikit tawa dari Erland. "Sudahlah Sayang, ayo kita tidur."

Aruna menghela napas. Bobot tubuh Erland hampir separuhnya diberikan padanya dan terasa sangat berat. Aruna menjadi kesal dan berbalik, berniat memukul namun melihat wajah damai pria ini. Membuat niatan Aruna sirna sudah.

Jantung yang terdengar melambat merajai malam sunyi. Namun, ada suara denyut yang lebih kencang di hadapannya. Mata Aruna fokus menatap dada Erland, selaku sumber suara itu.

"Sepertinya kau sungguh mencintai aku ya?" tanyanya.

Erland menunduk sejenak untuk mengecup keningnya, kemudian menyahut dengan lembut, "sangat."

"Bahkan jika harus mencarimu di tengah samudra, aku rela menghabiskan seluruh harta untuk mengarunginya," lanjut Erland penuh perasaan.

***

"Apa kau anak kecil?"

Di pagi hari yang ditemani matahari terik. Aruna mengeluhkan dasi yang berada di telapak tangannya. Sedang Erland berjalan semakin mendekat dan berhenti tepat di hadapannya.

"Salah ya? Suami minta dipakaikan dasi oleh istri?"

Aruna berdecak kesal. Meski begitu ia membongkar hingga dasi menjadi panjang. Erland pun sedikit menunduk supaya Aruna mencapai tubuh tinggi dari suaminya.

"Apa kau sering seperti ini?" tanya Aruna ingin tahu.

Matanya melirik ke bawah, karena merasa tangan Erland merambat di pinggangnya. Tak lebih dari itu, hanya berdiam diri di sana. Membuat Aruna mengendurkan kewaspadaan.

"Tidak. Karena kau pemalas, kau juga sangat galak. Sampai rasanya aku takut meminta bantuanmu."

Seketika netra Aruna terangkat dan menatap Erland kesal. Ia selalu merasa kalau pria ini jauh lebih galak dan ganas ketimbang dirinya. Tapi, seolah Aruna adalah sang ratu dari seluruh sifat buruk.

Sedang mata Erland membidik cara tangan Aruna yang ahli membentuk sebuah dasi. Dia sedikit geram, atas kemampuan Aruna yang dulu selalu diasah untuk orang lain, yakni Yuda. Selaku suami yang Erland buat ditinggalkan paksa oleh Aruna.

"Ada apa? Kenapa kau jadi diam begini?" tanya Aruna setelah selesai.

Aruna tertegun dengan Erland yang mendadak merebahkan kepala pada pundaknya. "Apa aku tidak ke kantor saja ya? Aku sangat merindukanmu."

"Aku yang tidak suka terus bersamamu," cetusnya sangat jujur sampai membuat Erland terkekeh.

"Irene," sebut Erland.

"Apa," sahutnya, meski sangat tidak terbiasa dengan nama asing itu.

Erland tersenyum. "Hari ini pemeriksaan di rumah sakit ya? Bagaimana kalau kau membawa pembantu?"

"Kenapa?" tanya Aruna heran.

"Berjaga-jaga saja, kalau kau tidak enak badan atau bagaimana."

Aruna memikirkannya sejenak, kemudian mengangguk. "Ya baiklah."

"Aku tidak bisa mengantarmu, maaf ya," ujar Erland sembari mengusap wajahnya.

"Baguslah, aku juga tidak ingin kau antar."

Sekali lagi Erland dibuat tersenyum oleh mulut Aruna yang tidak punya rem. "Kalau begitu sampai jumpa nanti malam di rumah."

Hari itu, Erland dan Aruna keluar dari rumah bersama-sama. Namun, menggunakan mobil yang berbeda karena tujuan juga tidaklah sama. Aruna pergi dengan sopir pribadi dan pembantu yang ditunjuk oleh Erland.

Tapi, di tengah perjalanan. Tiba-tiba ban mobil bocor karena tertusuk paku. Membuat Aruna harus keluar dan mencari tempat untuk berteduh dari matahari.

"Nyonya Irene, bagaimana kalau pergi dengan taksi? Sepertinya mobil akan lama karena menunggu tukang bengkel langganan datang," ujar sopir setelah berlari untuk menghampirinya.

"Omong kosong, mana bisa Nyonya Irene naik taksi," tegur pembantu ini.

Aruna menoleh. "Apakah sangat lama? Jika memang lama ya sudah naik taksi saja."

"Tapi, Nyonya."

"Kalau kau tidak mau ya sudah, aku bisa pergi sendiri."

Ketika Aruna berjalan lebih dulu, membuat pembantu ini terpaksa mengikutinya. Bahkan membuat Aruna risih dengan payung yang dibentangkan oleh pembantu ini. Rasa kesalnya benar-benar sudah memuncak.

"Kau pikir aku monyet! Pakai payung di tengah teriknya matahari!" serunya marah membuat pembantu ini tertegun.

"Maafkan saya, Nyonya Irene."

"Kau pikir aku akan meleleh karena matahari?" ocehnya.

Suara Aruna yang terdengar lantang itu. Berhasil menyita perhatian seorang pengemudi mobil berwarna merah. Dia adalah Yuda yang terburu mengerem mendadak di tengah jalan, menimbulkan teguran keras dari para pengemudi dalam bentuk klakson juga makian.

"Aruna!"

Namun, Yuda tak hirau. Terus berlari mengejar sosok Aruna yang baru saja dibawa pergi oleh taksi. Yuda terus berteriak memanggil namanya. Hingga kepala menoleh ke belakang, melihat Yuda yang berlari. Rasanya nama yang disebut itu tidaklah asing.

"Aruna! Tolong berhenti!"

Mendengarnya Aruna hendak menyuruh sopir taksi untuk berhenti, tapi pembantu terlihat gelisah dan langsung berteriak, "kenapa lambat sekali mengemudinya! Nyonya saya harus segera ke rumah sakit."

"Aruna!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status