"Apakah Tuan Nero ada di kamarnya?" tanya Eleora pada seorang pelayan laki-laki yang baru saja membersihkan area lantai tiga.
"Aku tidak tahu," sahut lelaki itu yang langsung menuruni anak tangga. Eleora jadi gugup, perasaannya juga semakin tidak enak. Bagaimanapun juga ia mengetahui orang seperti apa Nero ini. Eleora mengetuk pintu kamar Nero pelan, namun tidak ada jawaban dari dalam hingga membuat Eleora terpaksa membuka sendiri pintu kamar tersebut. "Tuan, permisi ... saya ingin menaruh baju Anda di lemari," ujar Eleora sedikit berteriak. Namun, tetap tidak ada jawaban, bahkan kamar tersebut terasa sunyi. Eleora mengedarkan pandangannya meneliti kamar Nero, ruangan luas, dengan cahaya temaram, dan beraroma maskulin. Dindingnya dilapisi panel kayu gelap yang mengilap, dengan rak berisi botol-botol wine mahal dan senjata berlapis kaca. Sebuah chandelier kristal menggantung rendah, memantulkan cahaya samar ke lukisan-lukisan klasik yang membingkai ruangan. Di tengahnya, ranjang king size berkanopi hitam terletak rapi, dan seprai satin kelabu nyaris tanpa kerutan. "Mungkin dia tidak ada di sini," batin Eleora yang langsung berjalan menuju lemari pakaian yang berada di samping ranjang. Namun, baru saja ia melangkahkan kakinya, terdengar suara pintu dari arah belakangnya terbuka. Ceklek .... Eleora reflek menoleh. Terlihat Nero yang baru saja mandi hanya bertelanjang dada dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air yang jatuh dari rambutnya meluncur pelan di sepanjang dada bidangnya yang putih, menyusuri lekuk otot perutnya yang tegas sebelum akhirnya menghilang di bawah gulungan handuk. Tatapan matanya yang dingin bertemu dengan milik Eleora, membuat napas gadis itu seketika tercekat, apalagi saat ini Nero berjalan menghampirinya. "Tu-Tuan, maafkan saya. Saya hanya ingin--" Kata-kata Eleora tergantung saat Nero sudah berdiri di hadapannya. Wangi samar sabun yang menempel di tubuh Nero menyeruak di indra penciumannya. Perpaduan aroma kayu oud yang hangat, sentuhan tembakau halus, dan rempah tajam seperti lada hitam menciptakan kesan maskulin yang mewah dan berbahaya. Ada jejak musk dan kulit yang melekat lembut, namun tegas seolah tubuhnya sendiri menyimpan ancaman tersembunyi. Bahkan sebelum ia bicara, wanginya sudah lebih dulu memperingatkan siapa dirinya. Nero mengambil bajunya dari tangan Eleora, lalu membentangkan baju tersebut untuk mengecek hasil mencuci dan menyetrika Eleora. "Cukup bersih dan rapi, kalau begitu mulai sekarang kamu yang mencuci bajuku." Eleora tersentak. Namun, ia buru-buru menundukkan kepalanya seraya mengatakan, "Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi." Eleora melangkah pergi, namun Nero mencegahnya. "Tunggu. Keringkan dulu rambutku." Jantung Eleora berdegup kencang. Kenapa dia memberikan pekerjaan yang aneh-aneh seperti ini? Bukankah selama ini Nero seperti anti pada wanita? Apakah ia benar-benar salah menerima informasi? Di tengah ributnya spekulasi isi otaknya, Eleora akhirnya berbalik dan melangkah mendekati Nero lagi yang sedang memakai baju yang baru dicucinya tadi. "Ambil handuk kecilnya di dalam kamar mandi." Tanpa banyak bicara, Eleora langsung menuruti perintah Nero. Setelah ia mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambut, Eleora langsung bersiap di belakang Nero yang sedang duduk di depan meja rias. Wajah mereka terpantul di kaca, Nero yang duduk dengan santai, sementara Eleora berdiri tegak di belakangnya, tampak ragu memulai. Tatapan mata Nero yang tajam menangkap bayangan Eleora di cermin, membuat gadis itu menunduk tanpa sadar, merasa seolah-olah segala ketakutannya terpampang jelas di permukaan kaca itu. "Permisi, Tuan." Dengan lembut Eleora mulai menggosok pelan rambut basah Nero. Tidak ada tindakan aneh dari Eleora, kecuali ia hanya fokus dalam pekerjaannya, sehingga hal itu membuat Nero merasa sedikit puas. "Dia memang bukan wanita jalang, kalau begitu apa mungkin gerak-geriknya tadi hanya sebagai perlindungan dirinya yang sudah mendarah daging?" batin Nero. Nero awalnya menduga kalau Eleora adalah wanita licik yang akan menggunakan kecantikannya untuk merayunya. Namun, setelah ia mengujinya seperti ini, Eleora tampak tidak tertarik dengannya, kecuali ekspresi pura-pura takutnya. Ya, Nero memang peka melihat dari sorot mata Eleora yang terlihat tenang meski reaksi tubuhnya seperti orang yang sedang gugup. "Sudah selesai, Tuan," ujar Eleora setelah ia menyisir rambut Nero. Nero sejenak memperhatikan penampilannya di cermin. "Tidak buruk. Kalau begitu mulai sekarang jadikan ini tugas utamamu." Eleora terkejut, matanya membelalak tak percaya. Nero memicingkan matanya saat melihat reaksi Eleora dari cermin. "Kenapa? Kamu tidak mau?" Eleora buru-buru menundukkan kepalanya. "Bagaimana mungkin saya tidak mau? Itu justru adalah suatu kehormatan bagi saya." "Bagus. Pergilah, nanti aku akan menghubungimu jika dibutuhkan." "Baik." Membungkukkan badannya sedikit, lalu kemudian Eleora langsung pergi. Setelah membantu memasak untuk makan malam, Eleora dan Barbara kembali ke paviliun untuk mandi. Namun, saat sampai di teras paviliun, mereka berdua melihat Anya yang sudah terlihat cantik dan sedang duduk santai di kursi malas. Sejenak Eleora beradu pandang dengan Anya yang terlihat tersenyum meledek padanya. "Apa tugasnya Anya di sini, Bi? Yang aku lihat hari ini dia hanya mondar-mandir saja." "Tugasnya hanya mengawasi para pekerja, bisa dibilang dia kepala pelayan di sini." Eleora sejenak tampak heran, bukankah Barbara yang seharusnya lebih pantas jadi kepala pelayan? Kenapa bisa gadis itu yang menjadi kepala pelayanannya? Memangnya apa kelebihannya? Apa mungkin dia bekerja lebih lama di sini daripada Barbara? Eleora hendak bertanya pada Barbara, namun seseorang masuk dan memanggil namanya. "Eleora." Eleora dan Barbara reflek menoleh, mereka berdua melihat Draco datang dan membawa sesuatu di tangannya. Lalu Anya terlihat ikut masuk karena penasaran. "Ini HP dari Tuan Nero," ujar Draco seraya menyerahkan paper bag yang ternyata berisi ponsel. Eleora segera menerimanya seraya mengucapkan terima kasih lalu setelah itu Draco langsung pergi. "Kenapa Tuan Nero memberimu HP?" tanya Anya dengan raut wajah yang tampak tidak suka, sebab di sini hanya pekerja penting yang boleh menggunakan ponsel, dan itu berarti Eleora termasuk menjadi bagian dari mereka. "Mungkin ... karena aku memiliki tugas baru untuk mengeringkan rambut Tuan Nero, jadi ... biar dia lebih mudah menghubungiku nantinya." Ada sorot mata mengejek saat Eleora mengatakan itu. "Apa?!" Anya tentu semakin tidak suka. Tangannya sudah mengepal erat dan bersiap untuk memukul Eleora, namun masih bisa ia tahan. "Bagaimana bisa kamu mendapat tugas itu dari Tuan Nero?" tanya Barbara yang jadi penasaran. "Tadi saat aku menaruh bajunya di kamarnya." "Tidak mungkin! Kamu sudah pernah masuk kamar Tuan Nero?" Anya tentu semakin murka, sebab dirinya yang lahir di sini dan sekarang sudah berusia dua puluh tahun, belum pernah masuk ke dalam kamar Nero, apalagi sampai mendapat kehormatan untuk mengeringkan rambut Nero. Eleora mengangguk, bahkan salah sudut bibirnya terangkat sedikit sebagai bentuk ejekan, dan Anya mengerti bahwa Eleora sedang meremehkannya. "Kurang ajar!" Anya tidak terima, ia lantas menampar Eleora dengan kencang, bahkan sampai membuat Eleora jatuh ke lantai. Rasa panas dan nyeri menjalar di pipi Eleora, namun ada sedikit senyum dari balik wajahnya yang saat ini sedang menunduk. "Semuanya akan aku mulai darimu, Anya," batin Eleora dengan mata yang berbinar, sebelum kemudian ia harus mengeluarkan air matanya."Ternyata dia hanya gadis biasa," gumam Draco saat melihat Eleora menangis. Draco yang tadinya mengintip dari balik pohon besar yang ada di depan paviliun, ia memundurkan langkahnya lalu kemudian langsung berbalik pergi dari tempat itu.Mendengar rasa penasaran Nero terhadap Eleora, membuat Draco ikut juga memiliki rasa penasaran yang sama. Nero mengatakan bahwa Eleora hanya pura-pura lemah, namun apa yang baru saja terjadi tidak seperti apa yang dikatakan Nero. Eleora tetap hanyalah seorang gadis lemah."Apa mungkin ini hanya sekedar alasan untuk menutupi bahwa Bos ternyata menyukai gadis itu dari pandangan pertama."Draco tidak pernah melihat Nero jatuh cinta, sebab bagi Nero, wanita itu sangat merepotkan, dan mereka bisa jadi penghambat buat mereka menjadi raja bisnis nomor satu di dunia, oleh sebab itu Nero seperti anti pada wanita."Ah, sudahlah ... kenapa aku harus ikut memikirkan hal ini? Asalkan gadis itu bukan ancaman, maka aku akan membiarkannya hidup dengan aman."Draco me
"Apakah Tuan Nero ada di kamarnya?" tanya Eleora pada seorang pelayan laki-laki yang baru saja membersihkan area lantai tiga."Aku tidak tahu," sahut lelaki itu yang langsung menuruni anak tangga. Eleora jadi gugup, perasaannya juga semakin tidak enak. Bagaimanapun juga ia mengetahui orang seperti apa Nero ini.Eleora mengetuk pintu kamar Nero pelan, namun tidak ada jawaban dari dalam hingga membuat Eleora terpaksa membuka sendiri pintu kamar tersebut."Tuan, permisi ... saya ingin menaruh baju Anda di lemari," ujar Eleora sedikit berteriak.Namun, tetap tidak ada jawaban, bahkan kamar tersebut terasa sunyi.Eleora mengedarkan pandangannya meneliti kamar Nero, ruangan luas, dengan cahaya temaram, dan beraroma maskulin. Dindingnya dilapisi panel kayu gelap yang mengilap, dengan rak berisi botol-botol wine mahal dan senjata berlapis kaca. Sebuah chandelier kristal menggantung rendah, memantulkan cahaya samar ke lukisan-lukisan klasik yang membingkai ruangan. Di tengahnya, ranjang king
Tiba-tiba saja Nero membuka kancing bajunya, terlihat dada bidang dan perut kotaknya yang keras. Otot-ototnya tegas, kulitnya mulus dengan satu bekas luka kecil di sisi kiri. Eleora buru-buru menundukkan pandangannya."Cuci pakaian ini sampai bersih! Lalu setelah itu datanglah ke ruang penyiksaan." Nero melemparkan bajunya ke atas kepala Eleora, lalu kemudian ia langsung pergi ke kamarnya.Anya yang mendengar Eleora disuruh pergi ke ruang penyiksaan, ia lantas tertawa senang. "Baru juga hari pertama jadi budak, sudah masuk ke ruang penyiksaan."Eleora mendongakkan kepalanya sedih, namun sorot matanya menatap tajam langkah Anya yang meninggalkannya, dan itu tidak luput dari pandangan Nero yang sedang mengawasinya dari rekaman CCTV.Nero mengambil ponselnya, ia menghubungi tangan kanannya. "Nanti kamu bawa gadis itu ke ruang penyiksaan. Aku ingin memastikan sesuatu.""Baik, Bos," sahut Draco tanpa banyak tanya.Nero beralih dari rekaman CCTV beberapa menit lalu ke detik sekarang, ia mas
Nero sejenak memperhatikan wanita yang sedang berlutut di depannya, wajah polosnya yang cantik tanpa make up, rambutnya yang sedikit berantakan, dan noda darah yang kontras dengan dress putihnya yang indah entah mengapa memberi daya tarik tersendiri di matanya."Bawa saja dia, siapa tahu suatu hari nanti dia akan berguna." Setelah mengatakan itu, ia langsung kembali masuk mobil."Baik, Bos," sahut Draco seraya menutup pintu mobil.Draco memberi instruksi pada bawahannya dengan menggerakkan kepalanya, lalu dua orang pria berbadan besar langsung menarik tangan Eleora."Aaa ... aku mau dibawa ke mana? Tolong lepaskan!" teriak Eleora seraya berontak."Diam! Jangan banyak bicara!" sentak salah satu pria tersebut sembari terus menyeret Eleora masuk ke dalam mobil jeep yang ada di belakang mobil yang ditumpangi Nero.Eleora menggigil ketakutan saat dikurung di dalam mobil bersama empat pria lain yang wajahnya juga tampak menyeramkan. Ia ingin kabur, namun bayangan akan dibunuh secara langsun
"Pakai baju ini! Sebentar lagi Tuan Theodore akan menjemputmu." Melemparkan dress berwarna putih yang jatuh tepat di wajah Eleora.Eleora menatap dress yang kini jatuh ke pangkuannya. Perlahan, ia mendongak menatap Emma, ibu tirinya."Kenapa harus aku?" Suaranya terdengar parau. Mata sembabnya menggambarkan ketidakberdayaannya selama ini.Belum sempat Emma menjawab, terdengar suara pintu dari ruangan samping terbuka, lalu disusul derap langkah heels yang mendekat, nyaring beradu dengan lantai."Terus kamu pikir, harus aku yang menikah dengan bos mafia tua dan jelek itu?" sahut Anne sinis. Wanita berambut pirang dengan gaun merah terang itu bergelayut manja di pundak ibunya, sementara Emma mengusap pipi anaknya dengan lembut.Melihat pemandangan itu, tanpa sadar Eleora meremas gaun di pangkuannya dengan erat. Ia benci, namun tidak berdaya untuk melawan mereka berdua."Ini semua gara-gara Ayahmu yang mati hanya meninggalkan utang, jadi terima saja konsekuensinya." Emma melingkarkan tan