LOGIN“Terima kasih sudah menerima kedatanganku.”
Lucy dan Leon menunduk bersamaan, menyambut kedatangan Kaisar Kaelith di kediaman kakak beradik itu.
Setelah percakapan malam itu, Lucy tak menunggu lama. Esok paginya, ia segera memberi kabar pada Kaelith bahwa Leon sudah “memberi restu”.
Namun tentu saja Kaelith harus datang sendiri dan memberitahu tujuannya.
Dan hari itu, mereka bertiga bertemu di aula teh kediaman Baron Mortayne. Hanya ada mereka bertiga dan kedua pengawal Kaelith yang berjaga di luar pintu.
Sebelum datang, Kaelith sempat meminta agar Lucy meliburkan semua pelayang yang ada di kediaman Baron Mortayne. Tentu saja permintaan itu membuat sang kepala keluarga bingung.
Dan kebingungannya terjawab saat melihat pria yang dimaksud adalah Kaelith, teman masa kecil sang kakak sekaligus penguasa kejam di kekaisaran Velcarion.
“Kau pasti sudah dengar maksud kedatanganku hari ini apa, Baron Mortayne,” lanjut Kaelith setelah dipersilakan duduk, suaranya terdengar tenang sekaligus tegas.
Leon tidak langsung menjawab. Ia duduk tegak, dan wajahnya terlihat jauh lebih serius dari biasanya.
Apalagi, di hadapannya sekarang duduk seorang kaisar. Fakta bahwa pria penguasa kekaisaran datang terang-terangan untuk meminta restunya.
“Saya sudah mendengarnya dari kakak saya,” jawab Leon akhirnya. “Namun, saya ingin mendengarnya langsung dari Yang Mulia.”
Lucy menoleh sekilas ke arah adiknya. Ada ketegangan yang tak bisa disembunyikannya. Meski Leon sudah resmi mendapat gelar Baron, tapi di mata Lucy, pemuda itu masih menjadi adik kecilnya.
Ia menoleh lagi menatap Kaelith, sedikit penasaran dengan apa yang akan dikatakan pria itu pada adiknya.
Dengan postur santai dan punggung bersandar ringan di kursi, Kaelith berucap dengan tegas,
“Aku datang meminta restu untuk menikahi kakakmu.”
Lalu hening.
Lucy menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Mendengar kata menikah secara langsung membuat jantungnya berdetak tak karuan, terlebih saat diucapkan di hadapan adiknya sendiri.
Ia mendengar Leon menarik napas dalam. “Saya perlu tahu alasannya,” ucapnya pelan. “Kenapa Yang Mulia Kaisar, seorang penguasa di Kekaisaran Velcarion yang Agung ini ingin menikah dengan kakak saya yang hanya berasal… dari keluarga Baron rendahan.”
Tatapan Kaelith masih terpaku pada Leon, tenang dan tidak tersinggung sedikitpun. “Karena aku menginginkannya.”
Jawaban singkat itu membuat Leon mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu.
“Itu bukan jawaban yang cukup untuk menyerahkan kakak saya pada seorang kaisar,” ucapnya tegas. “Terlebih setelah apa yang terjadi padanya.”
Lucy refleks mengangkat wajahnya, hendak menyela sikap adiknya yang sudah kelewatan. Bagaimanapun, yang sedang ia hadapi adalah seorang kaisar. Ia bisa saja ditebas di tempat jika ucapannya menyinggung sang kaisar.
Namun, belum sempat menyela, Kaelith sudah lebih dulu berbicara.
“Aku sudah menunggu lama,” ucapnya. Suaranya tetap datar, tapi ada sesuatu yang lebih dalam dari yang terdengar. “Kesempatan ini… tidak datang begitu saja.”
Lucy tertegun mendengar pernyataan Kaelith.
Apa... maksudnya Kaelith?
Sementara Leon menatap Kaelith lebih tajam.
“Menunggu?”
Kaelith tersenyum samar, sebelum kembali berucap, “Aku sudah menunggunya lama, sejak kami masih kecil.”
Lucy menahan napas. Jika ini hanya sandiwara… Kaelith sudah berlebihan. Namun entah mengapa, sorot matanya terlalu jujur, seperti tak dibuat-buat.
“Saat itu, aku hanya pangeran kedua yang tidak memiliki banyak pilihan selain mengabdi pada kekaisaran.”
Tatapannya beralih pada Lucy sesaat, sebelum kembali pada Leon.
“Dan ketika aku tahu pertunangannya gagal,” ucapnya, “Aku tidak melihatnya sebagai kesempatan semata. Aku melihat sebagai titik di mana aku akhirnya bisa bergerak dan meraihnya.”
Leon menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba mencerna setiap kata yang terucap oleh Kaelith. “Jadi, Yang Mulia datang bukan karena kasihan?”
“Tentu bukan,” jawab Kaelith tanpa ragu.
“Apakah Anda benar-benar menyukai kakak saya?” tanya Leon lagi, kali ini lebih tajam.
Kaelith tidak langsung menjawab. Ia menarik napas pelan, seolah menimbang sesuatu yang tidak perlu diucapkan terlalu jauh.
“Karena aku memilihnya,” katanya akhirnya. “Dan aku tidak terbiasa memilih sesuatu yang tidak bisa kupastikan.”
Dan kemudian hening lagi.
Lucy merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa ini terlalu berlebihan dan berisiko.
Namun ada pula bagian lain yang diam-diam merasa… dipilih.
Leon mengusap wajahnya dengan satu tangan. “Jika ini tentang politik—”
“Ini bukan aliansi politik,” potong Kaelith. “Dan untuk saat ini, pernikahan ini akan bersifat rahasia.”
Lucy tersentak. Leon mengangkat kepalanya perlahan, ada sorot tajam samar di matanya saat mendengar kalimat itu.
“Rahasia…?” cicit Leon pelan, tangannya mengepal di atas pangkuannya.
Kaelith mengangguk. “Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan terlebih dahulu.”
“Apa maksud Anda, Yang Mulia?”
“Kau tahu, Baron Mortayne, aku naik takhta dengan kudeta,” ucap Kaelith tenang. “Aku membunuh seluruh keluargaku dan melawan bangsawan yang mengkhianati kekaisaran.”
Leon terdiam, menunggu.
“Musuhku tidak hanya berasal dari luar istanaku dan Kekaisaran Velcarion,” lanjut Kaelith. “Mereka yang masih hidup dengan tenang di istana mereka… juga musuhku.”
Leon masih tak bersuara. Kalimat itu terdengar serius untuk disebut manipulasi.
Setelah terdiam cukup lama, Leon akhirnya kembali bersuara,
“Bagaimana jika…” ucap Leon akhirnya. “Saya memberi syarat bahwa Yang Mulia tidak boleh memiliki selir jika ingin menikahi kakak saya?”
Lucy menoleh cepat mendengar perkataannya. “Leon!”
Namun tak ada keterkejutan di wajah Kaelith, hanya sudut bibirnya yang naik seperti menahan tawa.
“Permintaan yang berani,” ucapnya akhirnya. “Jika saja kau bukan calon kakak iparku, kepalamu jelas sudah melayang detik ini juga.”
Leon tidak gentar. Punggungnya tetap tegak, dagunya terangkat sedikit. “Saya bukan menantang Yang Mulia,” ucapnya tenang. “Saya hanya memastikan kakak saya tidak kembali menjadi korban.”
Lucy menahan napas. Ia ingin menarik lengan Leon dan menghentikannya. Namun Kaelith justru tersenyum tipis.
“Aku tidak seperti kakakku yang menjijikan,” kata Kaelith, “Kau bisa membunuhku dan naik takhta menggantikanku jika aku mengkhianati kakakmu.”
Ia menggeser posisi duduknya condong sedikit ke depan.
“Aku tidak berencana mengambil selir,” lanjutnya tanpa ragu. “Tidak sekarang, dan tidak juga nanti.”
Lucy membeku mendengar kalimat itu. Kaelith… terdengar serius dengan ucapannya dan itu membuat hatinya menghangat.
Leon pun terdiam sesaat, jelas tidak menyangka jawaban itu akan keluar dengan begitu mudah.
“Sebagai kaisar,” sambung Kaelith, “Aku bisa saja berbohong, memberikan janji kosong, lalu melanggarnya setelah mendapat apa yang kuinginkan.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Leon lurus. “Tapi aku tidak pernah membangun kekuasaanku dengan janji yang tidak bisa kutepati.”
Keheningan kembali jatuh di aula teh itu.
“Jika aku menikah,” ucap Kaelith lagi, “Maka wanita itu akan berdiri di sisiku. Bukan di belakang, bukan di bawah bayang-bayang selir.”
Lucy merasakan dadanya menghangat. Kata-kata itu terlalu berbahaya untuk didengar, dan ia masih terlalu takut untuk mempercayainya.
Namun ia… ingin percaya pada Kaelith.
Leon menghela napas panjang. “Dan keselamatannya?”
“Akan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya,” ucapnya tanpa ragu. “Siapa pun yang menyentuhnya tanpa izinku, berarti menantangku langsung sebagai kaisar.”
Nada suaranya tetap tenang. Justru ketenangan itulah yang membuat ancamannya terasa nyata dan berbahaya.
Namun mendengar itu, Lucy tidak tahu harus merasa lega… atau takut dengan “calon suaminya”.
Leon terdiam cukup lama, lalu bangkit berdiri. Lucy refleks ikut berdiri, panik. Namun Leon tidak menatap Kaelith dengan sorot permusuhan. Ia hanya menatapnya dengan kewaspadaan seorang adik yang terlalu cepat dipaksa tumbuh dewasa.
“Saya tidak bisa memberi jawaban sendiri,” ucap Leon akhirnya. “Bukan untuk hal yang… mendadak seperti ini.”
Kaelith ikut berdiri. “Aku tidak pernah berniat mengambil keputusan itu darimu.”
Leon menoleh ke arah dinding aula, tempat dua lukisan tua tergantung berdampingan. Wajah ayah dan ibu mereka, membeku dalam senyum yang tak lagi bisa menjawab apa pun.
“Kakak saya,” ucap Leon pelan. “Bukan hanya milik saya. Dia milik keluarga kami.”
Leon melangkah menuju figura itu. Lucy dan Kaelith mengikutinya.
Pria itu berdiri di depan figura orang tua mereka, lalu menunduk dalam. Lucy mengikuti, matanya terasa panas.
Adiknya benar, sejak pertunangan itu, semua hal terjadi begitu mendadak. Begitu cepat.
Dan Lucy juga tak menyangka setelah dikhianati sang kekasih, ia akan langsung “dilamar” oleh kaisar.
Lucy menoleh ke arah Kaelith yang berdiri di sisi mereka, lalu tanpa diminta, pria itu ikut menundukkan kepala.
“Saya, Kaelith Vortigan,” ucapnya dengan suara rendah. “Datang bukan sebagai kaisar yang menuntut, tapi sebagai pria yang meminta izin.”
Lucy terkejut. Leon pun perlahan mengangkat wajahnya.
Kaelith menoleh, menatap Lucy yang juga sedang menatapnya. Keduanya saling bertatapan, dan untuk sesaat, sorot dingin yang biasa melekat pada dirinya seketika melunak. Lalu, Kaelith tersenyum tipis.
“Aku tidak bisa menjanjikan hidup yang tenang sebagai istriku,” lanjut Kaelith. “Tapi aku bersumpah, selama aku bernapas, Lucy tidak akan berdiri sendirian lagi.”
“Terima kasih sudah menerima kedatanganku.” Lucy dan Leon menunduk bersamaan, menyambut kedatangan Kaisar Kaelith di kediaman kakak beradik itu.Setelah percakapan malam itu, Lucy tak menunggu lama. Esok paginya, ia segera memberi kabar pada Kaelith bahwa Leon sudah “memberi restu”.Namun tentu saja Kaelith harus datang sendiri dan memberitahu tujuannya.Dan hari itu, mereka bertiga bertemu di aula teh kediaman Baron Mortayne. Hanya ada mereka bertiga dan kedua pengawal Kaelith yang berjaga di luar pintu.Sebelum datang, Kaelith sempat meminta agar Lucy meliburkan semua pelayang yang ada di kediaman Baron Mortayne. Tentu saja permintaan itu membuat sang kepala keluarga bingung.Dan kebingungannya terjawab saat melihat pria yang dimaksud adalah Kaelith, teman masa kecil sang kakak sekaligus penguasa kejam di kekaisaran Velcarion.“Kau pasti sudah dengar maksud kedatanganku hari ini apa, Baron Mortayne,” lanjut Kaelith setelah dipersilakan duduk, suaranya terdengar tenang sekaligus teg
“Mendapatkan… segalanya?”Kaelith tersenyum samar. Tatapannya terus mengunci Lucy, tenang tapi cukup menekan.“Termasuk balas dendam,” ucapnya pelan. “Apa pun yang mereka lakukan padamu nanti, aku pastikan mereka akan menerima pembalasan yang lebih kejam.”“Tidak perlu sampai seperti itu…” cicit Lucy, suaranya mengecil di akhir kalimat.Kaelith tidak langsung menjawab. Senyum samarnya memudar, digantikan dengan tatapan tenangnya. “Kau masih berpikir mereka akan berhenti jika kau diam saja?”Lucy diam tak menjawab. Dan diamnya berarti iya.Kaelith menegakkan tubuhnya. Ia menghela napas keras, tangan sambil memijat pelipis frustasi.“Balas dendam bukan soal kemarahan, Lucy. Ini soal memastikan mereka tidak pernah punya kesempatan mengulanginya lagi.”Lucy menunduk, jemarinya saling meremas. “Saya hanya… tidak ingin menimbulkan masalah yang tidak seharusnya.”“Masalah itu sudah ada sejak mereka berani menyentuhmu,” balas Kaelith datar. “Yang aku tawarkan hanya kendali atas bagaimana ka
“Apa yang sedang terjadi di sini?”Suara tegas itu berasal dari seorang pria yang melangkah maju dari kerumunan. Posturnya tinggi dan tegap, berseragam hitam berlis perak dengan pedang di pinggang, dan lambang kekaisaran di dadanya.Aura yang menguar dari pria itu membuat beberapa bangsawan refleks bergerak mundur.Pria itu Sylar. Pengawal kekaisaran yang sempat menegurnya di pesta pertunangan kemarin malam. Tatapannya langsung jatuh pada Lucy yang berlutut, rambutnya yang berantakan masih dicengkeram, dan darah mulai mengalir di pelipisnya.Ekspresi wajahnya seketika mengeras.“Lepaskan,” katanya singkat.Seraphine menoleh, napasnya tersengal oleh amarah. “Ini urusan pribadi keluarga Duke Vallarond.”Sylar tidak mengubah ekspresi. “Tidak saat Anda menyeret seorang bangsawan perempuan di tempat umum.”Ia melangkah lebih dekat. Tekanannya cukup untuk membuat Seraphine ragu. Beberapa detik kemudian, jari-jari itu akhirnya terlepas dari rambut Lucy.Lucy hampir jatuh ke depan, tapi Syla
Dunia di sekitar seakan berhenti berputar.“Apa…?” suara Lucy nyaris tak keluar.“Menikahlah denganku,” ulang Kaelith tenang, seolah yang dibicarakan bukan hal yang besar. “Dan aku bisa memberikan segalanya yang kau inginkan, termasuk balas dendam.”Lucy menggenggam jubah itu lebih erat. “Balas dendam… untuk siapa?”“Untukmu,” jawab Kaelith tanpa ragu. “Dan untukku.”Ia mencondongkan tubuh sedikit, cukup dekat hingga Lucy bisa melihat kelelahan yang disembunyikan di balik mata abu-abu itu. “Biarkan mereka melihat apa yang terjadi ketika mereka meremehkan seseorang yang berada di sisi Kaisar.”Lucy terdiam lama. Angin masih berhembus, membuat jubah pria itu berkibar.“Aku tidak akan memaksamu,” lanjut Kaelith lebih pelan saat tak mendapat balasan. “Tapi jika kau lelah mengalah… ini jalannya.”Kaelith tidak mendesaknya. Ia menatap Lucy lebih lama, seolah sudah menduga reaksi itu.“Pikirkan saja dulu,” ucapnya akhirnya, suaranya tenang. “Keputusan seperti ini tidak seharusnya lahir dari
Lucy membelalak panik, wajahnya seketika pucat begitu menyadari siapa yang baru saja ia tabrak.Pria itu, Kaelith Vortigan, kaisar muda dari Kekaisaran Velcarion. Pria yang dikenal berkuasa dan kejam di kalangan bangsawan itu menatapnya tanpa ekspresi.Leon yang berhasil menyusul Lucy pun ikut terbelalak saat menyadari kehadiran pria itu.“Yang Mulia, saya mohon maaf!” ucap Leon cepat. “Kakak saya tidak melihat jalan dan tanpa sengaja menabrak Anda.” Tangannya refleks menahan bahu Lucy agar tidak jatuh lagi. Kaelith tidak langsung menjawab, hanya menatap kedua kakak beradik itu tanpa ekspresi.Leon menunduk lebih dalam, ia melirik bingung kakaknya yang malah terpaku. “Kak, menunduklah… aku tidak mau melihat kepalamu hilang malam ini”Lucy mendengarnya. Namun dunia di sekitarnya masih terasa bergema dan kabur. Dan sekarang ia malah dihadapkan dengan kehadiran pria paling berkuasa di kekaisaran.Pria itu bukan lagi Pangeran Kedua Verlcarion. Apalagi teman masa kecilnya bersama Eldric d
“Malam ini, kami merayakan pertunangan putra bungsu kami, Eldric Montclair, dengan Lady Seraphine, putri sulung dari keluarga Grand Duke Vallarond!”Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh penjuru aula, berbanding terbalik dengan gemuruh di dada Lucy. Ia merasa dunianya runtuh seketika saat melihat kekasih dan teman masa kecilnya berada di atas panggung aula kediaman Marquis Montclair, saling bergandengan tangan dengan mesra. Malam ini seharusnya menjadi malam yang berarti di hidupnya. Malam di mana Eldric Montclair, kekasihnya sejak masa kecil, akan mengumumkan pertunangan mereka secara resmi di hadapan seluruh bangsawan.Sebaliknya, yang terjadi adalah hal yang tak pernah ia bayangkan seumur hidupnya.Lucy hanya bisa membeku saat beberapa wanita bangsawan bersorak seolah mereka menyaksikan hal yang sudah mereka nantikan. Pertunangan Eldric dan… Seraphine? Bukankah harusnya aku yang bertunangan dengan Eldric…Semua perjuangannya selama ini berakhir sia-sia. Bahkan adik laki-lakinya, Leo







