Dara langsung ditangani oleh dokter dan mendapatkan beberapa jahitan di kepala akibat benturan yang cukup keras di kepala bagian belakangnya. Saat ini Dara masih berada di dalam ruangan bersama dengan dokter dan tim medis lainnya. Sementara Endara, lelaki itu setia berada di depan pintu menunggu kabar selanjutnya. Jelas sekali terlihat di wajah Endara, lelaki itu sedang menyesali perbuatannya.“Mas.”Suara dari belakang tubuhnya membuat Endara menoleh ke belakang. Dilihatnya Afifa sedang berdiri di sana menatapnya dengan mata sayu.“Baju Mas Endara dipenuhi darah, lebih baik ganti dengan yang baru.” Afifa memberikan Endara kaos pendek. Melihat kondisi suaminya yang berlumuran Darah membuat Afifa tidak tega melihatnya. Apa lagi banyak pasang mata yang menatap Endara heran.“Aku terlalu jahat,” ucap Endara, dengan suara lirih. Lelaki itu seolah lupa dengan sikapnya tadi yang persis seperti manusia tidak punya hati saat sedang menghajar Dara tanpa ampun.“Seharusnya aku tidak menyakitiny
Tiga hari telah berlalu dan kini Dara sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sejak kejadian waktu itu Dara dan Endara juga belum berbicara empat mata karena Dara terus menjauh dari lelaki itu akibat rasa sakit dan kecewa yang masih melekat erat di pikiran Dara.Dara masuk ke dalam rumah dituntun Afifa yang selalu ada di samping Dara selama berada di rumah sakit. Hanya Afifa, karena Vega tidak diperbolehkan Endara untuk menjenguk Dara. Bukan karena Endara takut Dara akan melakukan hal gila, hanya saja lelaki itu tidak mau Vega kelelahan.“Terima kasih, Mbak.” Dara tersenyum saat Afifa menuntun langkahnya sampai masuk ke dalam kamar. Tidak hanya itu, Afifa juga membantu Dara membereskan barang-barang yang dibawa dari rumah sakit.“Kamu istirahat saja dulu untuk beberapa hari ke depan. Dapur biar Mbak saja yang mengurusnya,” ujar Afifa.“Iya, Mbak, maaf untuk beberapa hari ke depan Dara tidak bisa membantu kegiatan di dapur.” Wajah Dara langsung murung karena tidak bisa membantu Afifa di d
“Mau saya bantu ke kamar mandi?” tanya Endara, pada dini hari ketika lelaki itu merasakan kasur di sebelahnya bergoyang. Ternyata Dara hendak pergi ke kamar mandi.“Dara bisa sendiri kok Mas.” Mencoba untuk terlihat mandiri di depan suaminya sendiri, meskipun nyatanya Dara sangat kesulitan untuk bangun dari posisi tidurnya.“Kamu belum bisa bergerak dengan bebas, Dara. Biarkan saya bantu.” Endara turun dari kasur berjalan ke sisi tempat di mana Dara tidur. Lelaki itu membantu Dara untuk bangun dan menuntun gadis itu sampai ke kamar mandi.“Saya akan tunggu di sini.” Endara keluar dari kamar mandi dan Dara menutup pintu setelah mengucapkan kata terima kasih.Endara melirik jam yang ada di dinding ternyata sudah pukul dua pagi dank e dua mata Endara terasa sangat berat sekali, tetapi lelaki itu tetap menunggu Dara sampai selesai buang air kecil. Tidak berselang lama Dara pun keluar.“Sudah selesai?” tanya Endara, dan dijawab anggukan kepala oleh Dara.Kemudian Endara kembali menuntun Da
Setelah mengelilingi jalanan kota akhirnya Endara memutuskan untuk membawa Dara ke sebuah taman besar di sana. Meskipun hanya berkunjung ke sebuah taman, Endara yakin dara pasti akan suka dengan pemandangan di sana.“Kita mau jalan-jalan di sini, Mas?” tanya Dara, menatap sebuah tulisan besar di pintu masuk utama.“Iya, kamu nggak suka ya?” Endara menatap Dara kecewa, karena ia pikir Dara akan menyukainya. Pada saat di tengah jalan tadi pun Endara tidak mengatakan ingin singgah di mana.“Dara suka kok Mas, sebenarnya udah lama Dara pengen datang ke sini, tapi nggak tahu jalan, jadi Cuma bisa lihat di internet saja,” jelas Dara, dengan mata berbinar.“Benarkah?” tanya Endara, seketika hatinya kembali bahagia mendengar penjelasan Dara. Tidak Endara sangka ternyata membahagiakan Dara semudah ini, tidak perlu membawa gadis itu ke sebuah mall besar untuk membeli barang-barang ternama, hanya dibawa ke sebuah taman saja sudah membuat wajah Dara bersinar bahagia.“Terima kasih, Mas.” Pancaran
Cuaca yang cerah tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Angin yang berhembus terasa sangat dingin itu pertanda bahwa hujan akan segera turun. Dara dan Endara mengemasi barang-barang mereka agar segera pergi ke mobil untuk berteduh agar tidak terkena percikan air hujan. Saat ke duanya baru tiba di dalam mobil, hujan turun dengan derasnya.“Sepertinya kita tidak mungkin menerobos hujan sederas ini. Mau tidak mau harus mencari penginapan dulu menunggu esok,” ujar Endara, memprediksi hujan tidak akan segera reda.Dara menggigit bibir bagian dalamnya, gadis itu cemas karena mengingat ucapan Endara kepada Vega tadi sebelum pergi.“Tapi Mas, bagaimana dengan Mbak Vega? Bukankah tadi Mas Endara hanya bilang mau mengantar Dara cek ke dokter?” tanya Dara, fakta yang sejak tadi ia pendam kini harus terungkap.“Kamu mendengar percakapan saya bersama Vega tadi?” tanya Edara.Dara mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara lirih, “Tidak sengaja.”“Vega biar menjadi urusan saya. Tidak mungkin sa
Keesokan paginya, Dara sudah lebih bangun, tetapi ia tidak berani beranjak dari kasur akibat mengingat kejadian semalam yang membuat dirinya tersipu malu. Sepanjang malam kegiatan itu berlangsung cukup lama membuat Dara sangat kelelahan. Saat Dara sedang diam memikirkan kejadian semalam, tiba-tiba saja ada yang memeluknya dari belakang siapa lagi pelakunya kalau bukan Endara. Sedekat ini dengan lelaki itu dalam keadaan sadar membuat jantung Dara berdebar sangat kuat.“Sudah bangun?” lelaki yang sedang memeluk Dara dari belakang itu bertanya dengan suara lirih dan serak.“He’em?” Dara bergumam, masih belum ingin membalikkan tubuhnya. Posisinya Dara miring membelakangi Endara.“Sudah jam berapa?” tanya Endara, lagi-lagi dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Jam tujuh,” jawab Dara, lagi-lagi ia tidak mau menoleh ke belakang.Endara semakin mengeratkan pelukannya. Hujan di luar masih sangat deras, nampaknya semalam penuh bumi ibu kota sedang diguyur air hujan yang sangat deras
Sesampainya Dara dan Endara di rumah, mereka berdua langsung berhadapan langsung dengan Vega dengan muka masam. Dara menjadi tidak enak hati ketika melihat wajah tidak mengenakkan Vega.“Kalian berdua kemana saja sih, kenapa jam segini baru pulang?” tanya Vega, dengan nada sewot. Ke dua matanya menatap Dara dan Endara tajam, bak busur panah yang siap menancap di tubuh lawan.“Tadi aku sudah bilang di sana sedang hujan dan angin kencang di tambah lagi banjir aku tidak mungkin memutuskan untuk pulang,” jelas Endara, lelaki itu juga kesal karena saat dirinya baru tiba di rumah langsung mendapat omelan dari Vega.“Apa salahnya memberi tahu aku terlebih dahulu? Aku khawatir,” ujar Vega.“Sudahlah, Vega, aku lelah ingin istirahat. Dara, masuk ke kamar dan langsung istirahat.” Lalu Endara melenggang pergi di susul Dara.Vega yang masih berada di tempat yang sama menggerutu kesal di tinggal sendiri. Vega marah karena Endara tidak memberitahukan terlebih dahulu akan pulang sore. Padahal sejak
“Mas Endara tumben sendirian malam-malam di sini?”Suara itu membuat lamunan Endara buyar. Lelaki itu menoleh ke belakang dan tersenyum mendapati Dara menghampirinya.“Kok belum tidur?” tanya Endara.“Belum ngantuk Mas,” jawab Dara. Gadis itu duduk di samping Endara ikut memasukkan kaki ke dalam kolam yang sudah terasa dingin airnya.“Mbak Vega masih marah ya Mas?” Dara menatap Endara dengan wajah penuh rasa bersalah.Mendengar pertanyaan Dara membuat Endara tersenyum tipis lalu lelaki itu berkata dengan pasrah, “Yah, seperti itu lah.”“Vega itu wanita yang sangat pencemburu. Saat saya menikah dengan Afifa nyaris satu bulan penuh kita berdua tidak mengobrol. Saya pikir ketika menikah denganmu dia tidak akan cemburu, tapi nyatanya sama saja padahal dulu dia yang meyakinkan saya untuk menikah lagi.” Endara tersenyum miris dengan nasibnya seperti perahu kecil di tengah lautan.Tanpa sadar Dara menyentuh puncak Endara mengusapnya pelan untuk memberi sebuah kekuatan. Dara tahu betul apa ya