Share

3. Seperti Matahari

***

Suasana siang hari di dalam rumah yang megah terasa semakin tegang saat Ludwig memasuki ruang pribadinya. Wajahnya yang biasanya serius kini tampak begitu marah, dan langkahnya keras saat ia mendekati meja makan yang dipenuhi dengan sajian makanan aneh baginya. Namun, saat mata mendapati piring yang disajikan di hadapannya, ia meluapkan amarahnya dengan keras. Ia mendapati Kinan, wanita itu lancang masuk ke ruang kerja pribadinya tanpa izin darinya.

"Apa ini, Kinan? Apakah kau pikir aku akan menerima makanan dari tanganmu? Kau lancang masuk ke ruang pribadiku, Ha?!" teriak Ludwig dengan penuh amarah.

Kinan, yang sebelumnya tengah sibuk menyiapkan hidangan makan siang untuk suaminya, menoleh dengan ekspresi terkejut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, tangan kasar Ludwig telah menarik jilbabnya dengan paksa.

"Jangan pernah berani menyentuh barang-barang pribadiku dengan sembrono seperti ini, Kinan. Kau hanya boneka mainan yang aku beli, dan kapan pun aku bosan, aku bisa membuangmu. Jangan lupa tentang statusmu! Kau hanya wanita yang kubeli!" ucap Ludwig dengan suara yang dingin.

"Maafkan aku, Ludwig. Aku hanya ingin menyediakan makanan siang yang terbaik untukmu, aku juga hanya masuk ke sini untuk menyimpan makan siang saja,” balas Kinan, suaranya masih terdengar tenang.

Ludwig hanya tersenyum sinis, tatapannya menusuk tajam ke arah Kinan.

"Jangan sekali-kali merasa bahwa kau bisa mengambil hatiku hanya karena menyediakan sarapan pagi untukku. Kau pikir aku bisa luluh hanya dengan hal itu?"

Kinan terdiam, memandang Ludgwig dengan kebingungan dan sedikit ketakutan. Namun, sebelum ia bisa menanggapi lebih lanjut, suaminya itu berkata lagi dengan dingin.

"Jika kau ingin merasa berguna, lakukanlah tugas-tugasmu dengan baik. Kau hanya harus patuh saat aku memintanya, aku tak sudi semua barang-barangku disentuh oleh orang asing, tanganmu kotor!” ucap Ludwig.

Tanpa menunggu jawaban dari Kinan, Ludwig berdiri dan mendekatinya dengan langkah yang penuh ancaman.

"Aku tidak sudi jika harus bersentuhan dengan barang yang sudah aku beli. Aku akan menyentuhmu jika aku menginginkannya, dan jika aku muak, aku tidak akan menyentuhmu. Kau harus ingat statusmu, Kinan. Kau hanya boneka mainan yang kumainkan saat aku mau!”

Dengan kasar, Ludwig menarik Kinan keluar dari ruang pribadinya, mendorongnya dengan keras sehingga membuatnya hampir terjatuh. Kinan merasakan tubuhnya sakit, namun yang lebih menyakitkan adalah perasaannya yang hancur oleh perlakuan suaminya.

"Ya Allah, ampunilah aku. Aku hanya ingin menjadi istri yang baik baginya. Kuatkan hatiku dan lembutkan hati suamiku,” batin Kinan berdoa dalam hatinya.

Dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya, Kinan hanya bisa berharap bahwa suatu hari cahaya akan menyinari jalan yang gelap ini dan juga menyinari hati suaminya yang belum menemukan setitik cahaya.

***

Bu Inah melangkah dengan hati-hati menuju tempat cuci piring, tempat Kinan tengah sibuk membersihkan peralatan makan. Dia merasakan adanya ketegangan di udara, menandakan bahwa Kinan mungkin kembali mendapat amarah dari Ludwig.

"Maaf, Nyonya Kinan. Ini sudah menjadi tugas saya. Nyonya tidak usah bersih-bersih, apalagi sampai cuci piring begini," ucap Bu Inah dengan sopan.

Kinan mengangkat kepalanya, tersenyum lembut pada Bu Inah. “Tidak apa-apa, Bu Inah. Saya hanya suka bersih-bersih. Ini juga hanya cuci piring saja."

Bu Inah menatap Kinan dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa Kinan mungkin baru saja mengalami sesuatu. Ia mendengar bagaimana Arthur berteriak pada Kinan. Hatinya tersentuh karena ia tahu Kinan berbeda dari istri-istri sebelumnya.

"Bisakah kita bicara sebentar, Nyonya Kinan? Saya ingin bicara dengan Nyonya," bisik Bu Inah.

Kinan mengangguk, dan mereka berdua keluar menuju taman belakang. Di sana, di bawah sinar matahari sore yang lembut, mereka duduk di bangku taman yang terbuat dari kayu.

"Saya mengenal Tuan Ludwig sejak kecil. Dia adalah anak dari salah satu bangsawan dari Jerman, keluarga Scholossberg. Mereka memiliki banyak rumah dan usaha di Jakarta dan Bali. Jika liburan ke Indonesia, keluarga Scholossberg sering ke sini dan saya memang bertugas mengurus rumah ini dari dulu. Namun, selama sepuluh tahun terakhir,  Tuan Ludwig memilih untuk menyendiri di Jakarta setelah peristiwa kebakaran yang menimpanya di Jerman. Wajahnya rusak parah, dan dia memutuskan untuk memakai topeng sampai saat ini,” ucap Bu Inah.

Kinan mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna semua informasi yang diberikan oleh Bu Inah.

"Meskipun Tuan Ludwig terlihat keras dan dingin, sebenarnya hatinya sangat lembut. Saya hanya berharap Anda bisa sabar menghadapinya. Saya yakin bahwa Nyonya Kinan datang sebagai matahari bagi dunianya yang sudah gelap." Bu Inah tersenyum penuh harap.

Kinan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Bu Inah.

"Saya Insya Allah akan sabar karena Ludwig adalah suamiku, Bu Inah. Saya akan tetap patuh dan setia di sisinya."

Bu Inah mengangguk, ia tahu bahwa Kinan memang wanita yang berbeda.

Namun, pertanyaan lain masih memenuhi pikiran Kinan. "Bu Inah, apakah... apakah Ludwig mempunyai agama? Agama apa yang dia anut? Saya bertanya, karena saya ingin suami saya satu iman dengan agama yang saya anut, Bu Inah mungkin tahu alasan saya dan Ludwig menikah."

Bu Inah tersenyum hampa. " Sebenarnya Tuan Ludwig adalah seorang  atheis. KTP-nya beragama Islam karena menikah dengan Anda agar pernikahan itu sah."

Tangis hampa tercekat di tenggorokan Kinan, namun dia mencoba untuk tetap tegar. Suaminya ternyata jauh dari harapannya, dulu ia berharap mendapatkan suami yang pemahaman agamanya lebih baik darinya agar bisa membimbingnya, namun ia tidak bisa melawan takdir, Ludwig adalah suaminya dan ia harus bisa menerimanya dan mungkin jika Allah berkehendak, ia ingin mengenalkan islam pada sang suami dengan pendekatan yang lembut. Lalu, Kinan teringat dengan dua istri Ludwig sebelumnya.

"Bu Inah, apakah... saya mendengar bahwa Ludwig sudah pernah memiliki dua istri sebelumnya? Dimana mereka?” tanya Kinan dengan hati-hati.

Bu Inah terdiam, matanya memperlihatkan ekspresi yang berat.

Kinan menangkap tatapan Bu Inah, namun tak ada jawaban yang keluar dari bibir wanita itu. Hanya senyap yang menggelayuti taman belakang itu, membawa denganinya misteri dan pertanyaan yang tak terjawab.

‘Apakah memang kedua istri Ludwig hilang secara misterius?’ batin Kinan dalam hati.

***

Sinar rembulan masih bersinar lembut ketika Kinan bangun dari tidurnya yang nyenyak. Dengan hati yang tenang, dia bangkit dan bergerak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menjalankan sholat sunah tahajud. Cahaya redup dari lampu kecil memberikan suasana yang tenang saat ia sujud di hadapan-Nya.

"Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk menjalani hari ini. Jadikanlah hatiku tenang di tengah segala ujian yang Kau berikan,” bisik Kinan dalam sujudnya.

Setelah selesai sholat, Kinan membuka mushaf al-Quran dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya yang lembut mengalir di udara, membawa kehadiran yang penuh ketenangan.

Di sisi lain rumah, Ludwig tidak bisa tidur dan merasa gelisah. Bayang-bayang air mata Kinan terus saja menghantuinya, membuatnya merasa ada yang aneh di hatinya. Dia melihat jam di mejanya menunjukkan pukul empat pagi. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk melihat ke kamar Kinan, mengenakan topengnya untuk berjaga-jaga.

Dengan langkah hati-hati, Ludwig membuka pintu kamar Kinan perlahan-lahan. Namun, samar-samar ada suara yang asing baginya di dalam kamar. Perasaan penasaran membuatnya semakin ingin tahu.

Ketika ia memasuki kamar, ia melihat Kinan sedang duduk dengan tenang, memakai mukena dan menggenggam sebuah buku besar di tangannya. Suara lembutnya mengalir memenuhi ruangan, memecah keheningan malam.

Ludwig terpana, tak sanggup bergerak. Dia seperti terhipnotis oleh kehadiran dan suara Kinan dengan bahasa yang tidak ia mengerti, ia tak tahu artinya, namun kenapa bisa membuat hatinya tenang?

Tak lama kemudian, Kinan menghentikan bacaannya, ia terkejut dan langsung tersenyum lembut saat melihat Ludwig di belakangnya.

“Ludwig, ada yang ingin aku lakukan untukmu?" tanya Kinan dengan lembut.

Ludwig terkejut dengan kehadiran Kinan di hadapannya. Suaranya terdengar sedikit serak ketika dia bertanya, dan wajahnya sangat cantik, meneduhkan.

"Apa yang Kinan baca pada jam segini?" Ludwig bertanya balik.

Kinan tersenyum lembut, menggambarkan kebahagiaan yang tulus di wajahnya.

"Aku sedang membaca kitab suci Al-Quran, Ludwig. Ini adalah saat yang paling tenang dan penuh berkah bagiku, membaca kalam-kalam Allah selalu membuatku jauh lebih tenang."

Ludwig terpesona oleh kedamaian dan ketenangan yang terpancar dari wajah Kinan. Baginya, saat itu adalah momen langka di antara segala kegelapan yang menyelimutinya. Ia juga tak mengerti, kenapa bisa ia mendadak tenang saat Kinan membaca Al-Quran.

“Al-Quran? Apa itu?” tanya Ludwig semakin penasaran.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status