Sera menatap sosok wanita yang berdiri di dekat pintu dengan napas terengah-engah. Sera mengabaikan kepalanya yang berdenyut semakin hebat.
“Ibu …?” Dahlia melangkah mendekat dengan tenang, tatapannya tajam dan penuh amarah. Senyum tipis tersungging di wajahnya, tetapi senyum itu tidak membawa kehangatan, hanya dingin yang menusuk. Sera berusaha duduk bersandar, tetapi nyeri di tubuhnya membuat gerakannya tertahan. "Kenapa aku di sini? Apa yang terjadi, Bu?" Dahlia berhenti di sisi ranjang, tangannya menyilang di dada. Matanya menyelidik seperti predator mengintai mangsanya. “Kamu lupa? Atau pura-pura lupa?” tanyanya datar. "Kamu benar-benar telah menyeret kita ke dalam neraka, Sera." Sera kebingungan, dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi, tetapi pikirannya masih kacau. Dahlia mendekat, menundukkan tubuhnya hingga wajah mereka hampir sejajar. "Herman. Apa kamu lupa apa yang sudah kamu lakukan pada Herman?” Sera terdiam, nama itu menghantam kesadarannya. Ingatan tentang malam itu perlahan kembali—malam yang begitu mengerikan. Tubuhnya mulai gemetar. “Ibu, dia—” Sera berusaha menjelaskan, tetapi Dahlia memotong. "Dia apa, hah? Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan, Sera? Kamu pikir Rosa akan membiarkan ini begitu saja? Sekarang aku harus menanggung semua akibat dari kebodohanmu!” Air mata mulai menggenang di mata Sera. “Dia menyerangku, Bu. Dia mencoba ….” Suaranya bergetar, terhenti sejenak, seolah-olah berat untuk dilanjutkan. “Dia ingin menyakitiku. Aku hanya membela diri.” “Membela diri?” Dahlia mencibir, tawanya hambar dan penuh penghinaan. “Membela diri, katamu? Kamu tahu apa akibatnya? Kita sekarang diburu! Diburu, Sera! Kamu benar-benar menghancurkan semuanya!” Sera menelan ludah, berusaha menahan air matanya. Sera tahu ibunya tidak akan memihaknya, tetapi mendengar itu langsung dari mulut Dahlia membuat dadanya sesak. "Semua ini terjadi karena Ibu! Ibu menyerahkanku pada Bu Rosa, menjualku seperti barang!" “Diam!” tangan Dahlia melayang, menampar pipi Sera dengan keras. Kepala Sera tersentak ke samping, rasa panas menjalar di kulit wajahnya. “Jangan pernah menyalahkanku!” suara Dahlia meninggi. “Kalau bukan karena aku, kamu sudah mati kelaparan sejak kecil. Kamu tahu betapa sulitnya membesarkanmu sendirian?” Sera memegang pipinya yang perih, dia menatap Dahlia dengan kebencian yang membara. "Kalau begitu, kenapa Ibu tidak membiarkan aku mati saja waktu itu?" Dia menangis, suaranya pecah. “Beraninya kamu bicara seperti itu padaku setelah apa yang sudah aku lakukan?!” “Bu, lebih baik aku mati daripada terus jadi budak Ibu dan Bu Rosa!” Mendengar itu, Dahlia kehilangan kontrol sepenuhnya. Dia mendekat dan menekan kedua tangannya ke leher Sera. “Diam, Sera! Kamu pikir aku takut membunuhmu? Kamu hanya beban untukku! Semua masalahku dimulai sejak kamu ada!” Sera panik. Dia tersedak, tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Dahlia. Meski tubuhnya lemah, Sera berontak sekuat tenaga mengikuti instingnya untuk bertahan hidup. Kaki Sera menendang tidak tentu arah, tangannya berusaha mencakar Dahlia, tetapi Dahlia terlalu kuat. "Dasar anak kurang ajar! Aku sudah muak melihat wajahmu! Mati saja kamu! Mati!" Perlahan, kesadaran Sera mulai berkurang. Tubuhnya melemah, pandangannya memudar. Kebetulan soerang suster yang akan memeriksa Sera datang, seketika suster menjauhkan Dahlia dari Sera. Namun, tenaga Dahlia yang sangat kuat akibat amarah, membuat usaha sang suster sia-sia. “Jangan ikut campur! Dia harus mati!” Dahlia berusaha tetap mencengkeram leher Sera. Dengan panik dan masih berusaha menahan Dahlian, suster berteriak meminta bantuan. Tidak lama kemudian, dua petugas keamanan masuk dan segera menarik Dahlia menjauh. Dahlia meronta, berusaha keras melawan petugas yang menahannya. Dengan susah payah, mereka menyeret Dahlia keluar dari ruang perawatan, suara Dahlia masih terdengar mengancam di lorong. Suster segera memeriksa kondisi Sera. Dia menepuk pipi gadis itu dengan hati-hati, memastikan bahwa Sera masih bernapas dan aman. Setelah memeriksa tanda-tanda vital, suster segera memanggil dokter. Suasana sunyi, hanya suara napas berat Sera yang terdengar. Dengan tatapan buram, Sera melihat sekitar, memastikan Dahlia tidak ada lagi di sekitarnya. Pikiran tentang Dahlia yang kembali menerornya membuat jantung Sera berdetak kencang. “Aku harus pergi, kalau tidak, Ibu akan kembali.” Dengan tangan gemetar, Sera meraih jarum infus yang masih terpasang di tangannya. Tanpa ragu dia menariknya dengan paksa. Darah segar langsung mengalir di punggung tangannya, menetes ke lantai. Sera menggertakkan giginya, menahan sakit. Tapi itu tidak penting. Yang penting baginya adalah pergi sejauh mungkin dari ibunya. Tubuhnya lemah, tapi Sera memaksakan diri turun dari tempat tidur. Dengan kaki gemetar dan nyaris tidak mampu menopang berat tubuhnya, Sera memaksakan diri melangkah ke pintu. Tangannya yang berlumuran darah menempel di dinding untuk penopang agar tidak oleng. Pandangan Sera semakin kabur saat dia berhasil membuka pintu kamar inap. Sera memaksa diri berjalan di lorong, menyeret kakinya meski tertatih-tatih, mengabaikan sakit di kepalanya yang semakin kuat menghantamnya. Akhirnya, tubuh Sera tidak sanggup lagi bertahan. Langkahnya terhenti, tubuhnya oleng, dan dia ambruk ke lantai dengan suara yang menggema di lorong sepi. Tidak sadarkan diri. Saat membuka mata, Sera mendapati dirinya kembali di ranjang rumah sakit. Infus pun terpasang di tangannya. "Kamu sudah sadar?" suara datar seorang pria mengejutkan Sera. Sera menatap sosok pria asing yang duduk di sisi ranjangnya dengan kening berkerut. Pria itu menatap Sera dengan ekspresi yang sulit dibaca.Sera hanya bisa diam, tubuhnya terasa kaku, dan kepalanya tertunduk semakin dalam. Napasnya pendek-pendek, berusaha menenangkan diri meskipun situasinya terasa semakin mencekam. "Lucas," panggil Indira begitu panggilan tersambung, tetapi tidak ada jawaban di ujung sana. Dia menurunkan ponselnya, mendengkus pelan, dan kembali mencoba. Kali ini, nada panggilan berlangsung lebih lama, tetapi Lucas tetap tidak menjawab. "Anak ini benar-benar!" geram Indira. Dia kembali menekan nomor Lucas, tatapannya masih tidak lepas dari Sera, seolah memastikan bahwa perempuan muda itu tidak akan kabur. Sera menggigit bibir bawahnya. "Astaga, Lucas! Beraninya kamu mengabaikan ibumu seperti ini?!" Akhirnya, pada panggilan keempat, sambungan terhubung. "Ma, aku sib—" suara Lucas terdengar di ujung sana. “Lucas,” suara ibunya memotong. “Pulang ke apartemenmu sekarang. Kita harus bicara.” Lucas terdiam sesaat, otaknya mencoba
Sera mengernyit bingung, tetapi dia mengesampingkan hal itu. Dengan cepat, dia mulai menyiapkan sarapan menggunakan bahan-bahan seadanya. Saat dia sibuk memasak, aroma masakannya memenuhi ruangan. Sera merasa lega karena setidaknya dia bisa menyajikan sesuatu untuk Lucas, meskipun sederhana. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Lucas muncul dengan pakaian rapi untuk bekerja, Sera tengah menyelesaikan memasak telur dadar dan menumis sayur. Dia menoleh sekilas ke arah Lucas. “Sarapan hampir selesai, Tuan." Lucas mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, dia duduk di meja makan. Sera segera menyajikan piring berisi makanan di hadapannya. Lucas menatap makanan itu sekilas, lalu mengambil garpu dan mulai makan tanpa banyak bicara. Sera berdiri di dekatnya, memperhatikan dengan seksama, berharap makanan sederhana itu bisa diterima. Setelah beberapa suap, Lucas meletakkan garpu dan berkata singkat, “Cukup enak. Setidak
Setelah makan malam, Lucas dan Sera meninggalkan restoran dalam keheningan. Lucas berjalan di depan, sementara Sera mengikuti dengan rasa canggung yang masih mengganggu. Di dalam mobil, mereka terdiam, hanya suara mesin yang terdengar. Ketika akhirnya mobil berhenti di depan gedung apartemen, Sera menatap bangunan tinggi itu dengan takjub. "Kita sudah sampai, Tuan?" tanyanya pelan. Lucas mengangguk singkat. “Ayo turun,” katanya tanpa basa-basi, lalu keluar dari mobil. Setibanya di apartemen Lucas, Sera hampir tidak bisa menutup mulutnya. Tempat itu begitu megah, dengan dinding kaca yang memamerkan pemandangan kota yang penuh lampu berkilauan. Ruang tamu yang luas dihiasi sofa kulit berwarna gelap, meja marmer, dan perabotan modern yang terlihat sangat mahal. Lucas berjalan masuk tanpa banyak bicara, melepas jasnya, dan menggantungnya di dekat pintu. Dia melirik Sera yang masih berdiri
Lucas melirik Sera sekilas, matanya tajam. “Pilih yang kamu butuhkan atau yang kamu suka.” Sera mengerjap, merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa maksud Tuan?” Lucas mendesah pelan, nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Kamu butuh baju, kan? Jadi, cepat pilih yang kamu mau.” Sera terpaku, belum sepenuhnya memahami maksud Lucas. “Tapi, Tuan. Baju saya—” “Kamu pikir kamu bisa tinggal di rumahku tanpa pakaian? Apa yang akan kamu pakai selain baju yang kamu gunakan ini?” potong Lucas dengan nada dingin. “Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Pilih sekarang.” Melihat tatapan Lucas yang tajam, Sera akhirnya mengangguk perlahan dan mulai melihat-lihat barang di sekitarnya. Dia memilih beberapa pakaian sederhana. Sebuah kaus, celana panjang, dan cardigan tipis. Namun, Lucas tamp
Mobil terus melaju. Sera melirik Lucas dari ekor matanya. Pria itu kembali fokus menyetir, dengan wajah yang sulit ditebak.Beberapa saat kemudian, suara Lucas terdengar lagi.“Dengar baik-baik,” ujar Lucas dengan suara dingin dan tajam. “Kamu di sini bukan untuk ikut campur urusan pribadiku. Ingat tempatmu. Tugasmu cuma satu, jalankan peranmu sesuai kontrak.” Sera menelan ludah, jemarinya erat menggenggam ujung gaunnya. “Saya mengerti, Tuan.” “Kalau memang mengerti, jangan coba-coba melewati batas,” lanjut Lucas, tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari jalan. “Jangan bertanya tentang sesuatu yang bukan urusanmu.” Sera hanya mengangguk kecil, menunduk dalam-dalam. Diam. Kali ini dia benar-benar tidak berani berkata apa-apa. Hawa di dalam mobil terasa semakin menyesakkan.Beberapa menit berlalu, mobil mereka berhenti di lampu merah. Sera memalingkan wajah
“Lucas!”Suara Reza memecah keheningan di aula. Semua orang menoleh, termasuk Lucas dan Sera."Reza." Lucas menatap pria di ambang pintu itu dengan ekspresi datar.Reza berjalan cepat menghampiri mereka, napasnya masih terengah-engah. Wajahnya memerah, amarah jelas terlihat. Dia berhenti tepat di depan Lucas, menatap sahabatnya dengan sorot mata yang menusuk.“Bisa bicara sebentar?”Lucas mengangguk, lalu melirik ke arah Sera di sampingnya. “Tunggu di sini,” ucapnya singkat.Sera menatap Lucas, keningnya berkerut samar. “Apa ada masalah, Tuan?” tanyanya ragu.“Tidak ada.” Lucas hanya menjawab singkat. “Tetap di sini.”“Iya, Tuan,” sahut Sera singkat.Lucas berbalik dan berjalan mengikuti Reza keluar aula. Mereka melangkah ke lorong sepi di sisi gedung. Lucas bersandar santai di dinding, seolah tidak terganggu sedikit pun, sementara