Sara duduk berselonjor di sofa, selimut membungkus kakinya yang masih belum pulih sepenuhnya. Di layar televisi, adegan emosional dari drama Korea favoritnya sedang berlangsung, tentang kisah cinta rumit antara CEO dingin dan gadis biasa yang polos.Ia sesekali tertawa kecil, kadang menyeka air mata yang menetes pelan saat adegan menyentuh ditampilkan. Hari itu, untuk pertama kalinya sejak insiden hampir tertabrak mobil, Sara benar-benar merasa tenang. Tak ada jadwal pekerjaan, tak ada email menumpuk, dan yang paling penting tak ada gangguan dari Celine.Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Sara segera menoleh. Ia mendapati langkah kaki berat terdengar dari arah pintu masuk. Sesaat kemudian, muncul sosok Matthew yang membawa satu buket bunga. Bukan sekadar buket bunga biasa. Buket itu besar, tersusun dari mawar putih, baby’s breath, dan lavender, terikat pita satin berwarna ungu muda. Sara menatapnya dengan mulut sedikit terbuka, tak percaya dengan pemandangan di hadapannya.Matthew, pria
Matthew pergi bekerja seperti biasanya, tetapi kali ini tanpa didampingi Sara, asisten pribadinya. Terpaksa, ia harus mengurus segala sesuatunya secara mandiri. Tatapannya fokus ke layar laptopnya saat tiba-tiba suara ketukan terdengar. Matthew melihat David memasuki ruangannya. "Kau kelihatannya sangat sibuk," kata David sambil berjalan masuk dan duduk di sofa ruangan Matthew. Untuk sejenak David terlihat memperhatikan temannya yang sedang sibuk bekerja itu. "Bagaimana dengan keadaan Sara?" tanyanya. Mendengar nama Sara disebut sontak Matthew melihat ke arah David. "Dia baik-baik saja," jawabnya singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari layar komputer di depannya. "Hm, baguslah. Sepertinya kau menjadi suami yang sangat siaga sekarang," sindir David yang terdengar seperti godaan bagi Matthew. "Jangan mengolok-olokku, Dav." Matthew menatapnya dengan tajam. David tertawa, merasa puas karena berhasil menggoda temannya itu sehingga Matthew terlihat gelisah sekarang. David bahkan me
"Apa maksudmu?" ulang Sara, meminta kepastian dari tatapan Celine padanya. "Jangan-jangan … kau orang yang berniat menabrakku?!" Sara hampir saja teriak jika tidak mengingat bahwa Matthew berada di sana. Celine tersenyum miring, "Kau ternyata pintar juga. Hanya saja, sayangnya, kau masih memiliki Kak Matthew. Aku benar-benar benci padamu, Sara." Sara menatap Celine tak percaya, "Kenapa kau melakukan hal itu? Apa salahku padamu?" tanyanya, tak percaya. Celine berdiri, melihat Matthew yang berdiri tak jauh dari mereka dengan tatapan penuh selidik. "Aku turut sedih, Sara. Semoga kau lekas sembuh," katanya berpura-pura bersimpati. Celine kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Matthew, berpura-pura membantu pria itu untuk menyiapkan meja makan agar Sara merasa cemburu. "Apa, sih, yang sebenarnya perempuan itu pikirkan?" gumam Sara pelan. Matthew kembali dengan membawa piring tambahan untuk Celine, kemudian mendekati Sara, mengambilkan sarapan untuknya dan bahkan menyua
Sara bangun lebih lambat dari biasanya karena lukanya masih perih saat digerakkan. Namun, ada hal lain yang membuatnya gelisah semenjak bangun. "Kau mau sarapan yang lainnya?" tanya Matthew perhatian. Ia tersenyum lembut saat menatap Sara, hal yang jarang sekali ditunjukkannya. Padahal, biasanya pria itu akan pergi bekerja lebih dulu tanpa banyak bicara. Tapi pagi ini, begitu Sara membuka pintu kamarnya, Matthew sudah berdiri di depan pintu kamarnya dan membantunya turun. Sara menggeleng pelan, "Tidak, terima kasih. Pria itu mengenakan kemeja santai dan celana panjang kasual, sibuk mengaduk-aduk bubur ayam yang baru dipelajarinya dari seorang pelayan.“Kalau kau ingin makan sesuatu, katakan saja,” katanya membujuk. "Itu saja sudah cukup, biar aku bantu." Sara hendak berdiri tetapi langsung dipelototi Matthew yang masih memasak di dapur. “Kau seharusnya tetap di tempatmu.”Sara berdiri terpaku beberapa detik. “Aku bisa jalan, tidak apa-apa. Tidak terasa sakit, kok.”“Lukamu belum
Celine memukul setir kemudinya kencang, ia kesal lantaran tidak bisa menyelesaikan aksinya untuk mencelakai Sara saat di lampu merah tadi. "Sial, sial, sial!" maki Celine, entah pada siapa. Setir kemudi yang tak tahu apa-apa itu menjadi sasaran kemarahan dan ketidakpuasannya. "Kenapa Kak Matthew harus tiba-tiba muncul di sana, sih? Gagal semua rencanaku!" kesalnya kembali memukul kemudi dengan cukup kencang. Merasa usahanya sia-sia, Celine kembali mengendarai mobilnya menuju ke sebuah rumah. Ia harus menyembunyikan mobil itu sebelum ada yang mencurigai dirinya. •••Sara tengah duduk di sofa ruang tamu, kakinya yang diperban diletakkan di atas bantal empuk. Meski obat penghilang rasa sakit yang diberikan rumah sakit masih bekerja, tapi perih di lututnya sesekali terasa. Ia menarik nafas panjang. Pikirannya kembali ke kejadian beberapa jam lalu, saat suara mobil, teriakan orang-orang, dan tangan Matthew yang menariknya begitu kuat lalu menahannya dalam dekapan yang melindungi. Se
Matthew dan Sara baru saja keluar dari restoran kaca tempat mereka makan siang. Beberapa langkah di belakang Matthew, Sara berjalan sembari memegang map berisi catatan pertemuan mereka siang itu. Ia tampak santai, meski bayangan percakapan di restoran masih mengambang di kepalanya.Sementara itu, Matthew terlihat lebih tenang dari biasanya. Sikapnya tak seformal tadi pagi. Ia menanggalkan jas luarnya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. “Kita harus ke lokasi proyek sekitar tiga blok dari sini,” kata Matthew sambil menunjuk arah seberang jalan. “Biasanya aku naik mobil, tapi, bagaimana kalau kita jalan kaki saja?”Sara mengangkat alis, sedikit terkejut. “Yakin? Itu cukup jauh.”Matthew hanya mengangkat bahu. “Setelah makan sebanyak itu, jalan sedikit tidak masalah, kan?”Sara mengangguk, lalu berkata lirih. “Baiklah. Tapi jangan menyesal kalau sepatumu kotor.”Mereka berjalan beriringan, sesekali disapa oleh suara lalu lintas dan teriakan penjual jalanan. Di antara keramaian i