Share

Lamaran

Penulis: Hernn Khrnsa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-01 23:34:34

Sara menatap Harold dengan mata yang berkaca-kaca. "Papa … Papa kenapa?" tanya Sara khawatir.

Harold berusaha mengatur napasnya yang terengah, ia baru saja diteror oleh penagih utang.

"Papa baru saja diteror," kata Harold gemetar. "Mereka mengancam akan membunuh Papa, Sara."

Sara terenyak. "Apa? Kenapa mereka sampai nekat seperti itu, Pa? Tenang, tenanglah dulu, ya. Ayo duduk di kamar Papa, biar Sara ambilkan minum."

Ia memapah Harold yang masih gemetaran untuk duduk, mengambilkannya minum dan berusaha menenangkan sang ayah.

Keputusannya benar-benar sudah bulat kali ini. Ia akan menikahi ahli waris itu demi bisa melunasi hutang keluarga serta menyelamatkan Harold dari ketakutannya.

"Sara akan menikahinya, Pa. Demi Papa."

Harold menoleh, "Sungguh, Sara? Kau sudah memikirkannya dengan baik, kan? Oh, anakku!"

Pria paruh baya itu tak bisa menahan diri untuk memeluk erat putrinya. Putri yang ia perlakukan seperti permata sejak kecil. Tapi kini, ia harus menyerahkannya kepada pria asing lantaran terlilit hutang.

"Kita pasti akan baik-baik saja setelah ini, Pa." Sara berujar, demi menenangkan sang ayah yang masih gemetar.

"Iya. Terima kasih, Sara, kau sudah menyelamatkan hidup Papa."

Sara mengangguk sedih karena harus mengorbankan hidupnya sendiri. Tetapi, ia meyakinkan diri bahwa semuanya ia lakukan demi menyelamatkan sang papa.

•••

Keesokan paginya, Sara duduk termenung di meja makan. Tatapannya mengarah kepada teh yang masih mengepulkan uap panas. Sepotong roti yang baru saja diangkat dari toaster sama sekali tidak menggugah seleranya.

Rumah ini terasa sepi sejak kepergian ibunya lima tahun lalu. Hanya menyisakan dua raga yang sama-sama rapuh. Wafatnya sang ibu, membuat Sara kehilangan cahaya hidup.

"Kenapa Papa lama sekali?" gumamnya seraya menatap ke arah pintu masuk rumah mereka.

Satu jam yang lalu, Harold berpamitan untuk pergi ke suatu tempat. Sara sudah menduga bahwa sang papa pasti akan menemui orang bernama Matthew Stanley itu.

Usai menghabiskan sarapannya, Sara memilih duduk di ruang tamu. Menantikan kabar yang akan dibawa Harold.

Tak lama setelah itu, suara ketukan pintu terdengar. Sara langsung beranjak dan membuka pintu.

"Sara, perkenalkan, ini Tuan Matthew," kata Harold begitu Sara membuka pintu.

Matthew Stanley melihatnya dengan tatapan dingin, pria itu bahkan tidak tersenyum untuk sekadar menunjukkan keramahan.

Sara mengangguk singkat, kemudian mempersilahkan keduanya untuk masuk. Melihat pria itu, entah mengapa hati Sara jadi berdebar.

Tatapan Matthew padanya barusan, mengingatkannya pada seseorang yang ia kenal lima belas tahun lalu.

"Silakan duduk, akan aku buatkan minum," kata Sara berusaha menunjukkan kesopanan pada tamu penting mereka.

"Tidak perlu," ucap Matthew mengangkat tangan. "Aku tidak suka bertele-tele, langsung saja kepada intinya."

Harold kemudian memberi isyarat kepada putrinya untuk duduk saja bersama mereka.

Sara menurut, ia duduk tepat di hadapan Matthew. Meskipun sebenarnya, Sara tidak merasa nyaman, terutama dengan tatapan tajam pria itu.

"Aku bisa melunasi semua hutang ayahmu dalam waktu kurang dari 24 jam, tapi." Matthew, sengaja menggantung kalimatnya.

Setiap kata yang keluar dari lisannya, menjadi kalimat yang sangat berarti bagi Harold. Pria paruh baya itu, menajamkan telinganya baik-baik kendati sudah tahu apa yang hendak dikatakan Matthew.

Sara terdiam, menyiapkan hati dan meneguhkan keputusannya sendiri. Ia tarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan debaran jantungnya.

"Kau harus menikah denganku, selama satu tahun penuh," kata Matthew berikutnya.

Tatapannya tak lepas dari menatap wajah Sara yang sudah tidak asing baginya.

"Maksudmu … ini seperti kontrak pernikahan di antara kita?" tanya Sara bingung.

Sebelah alis Matthew terangkat, "Apa kau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu?" tanyanya menyindir.

Sara terhenyak, begitu pula Harold. Kemudian, perempuan itu menggelengkan kepala. Tentu saja ia tidak berharap lebih dari apa yang bisa ia terima dari pria itu.

"Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja—"

"Jawabanmu, Nona Sara Clementine. Aku hanya ingin jawabanmu, ya atau tidak?"

Sara tidak memiliki pilihan lain. Mereka terdesak dan pria di depannya jelas bukan tipe pria yang mudah dibujuk untuk bernegosiasi.

"Papa, bisakah aku membicarakan hal ini hanya dengan Tuan Matthew?"

Harold memahami situasi yang dialami putrinya, maka ia pun memilih beranjak dari sana usai memohon izin undur diri.

"Apakah kau masih membutuhkan waktu untuk berpikir? Aku tidak punya banyak waktu sekarang," ucap Matthew, melirik arlojinya.

"Aku tahu. Jawabanku sudah pasti, ya."

"Bagus, jawaban itulah yang ingin kudengar." Sudut bibir Matthew terangkat ke atas. Ia benar-benar puas dengan kesepakatan ini.

"Memangnya aku punya pilihan lain di sini?" gumam Sara memalingkan wajah.

Lalu, Matthew berdiri, merapikan setelan jas-nya dan bersiap untuk pergi.

"Bersiaplah, dua hari lagi kita akan menikah," ujarnya sambil berbalik.

Sara terperangah, "Apa? Dua hari?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Meminta Maaf

    Matthew tak bisa fokus bekerja hari itu lantaran memikirkan perubahan sikap Sara yang menurutnya jadi lebih dingin, padahal kemarin, hubungan mereka sudah jauh lebih baik. Di saat yang bersamaan, David datang di waktu yang tepat saat Matthew membutuhkan bantuannya. “Kau terlihat tidak bersemangat, Matt. Ada apa? Jangan bilang ini karena Sara,” tebak David yang justru langsung diangguki oleh Matthew tanpa ragu. “Lagi?” tanya David lagi tak percaya. “Kau sepertinya sangat tidak beruntung dalam hal percintaan,” ledeknya sambil terkekeh pelan. Matthew berdecak sebal, “Diamlah, David. Sebaiknya kau membantuku sekarang, aku benar-benar tidak bisa mengerti apa pun yang diinginkan perempuan!” David tertawa makin keras, membuat Matthew melemparkan tatapan tajam kepadanya. “Oke, oke, kemarilah. Dan ceritakan kepadaku apa sebenarnya masalahmu? Bukankah sebelumnya kau bilang kalau dia suka dengan bunga yang kau beri?” Matthew duduk di sebelah David sambil menghela nafas berat, “Itulah yang

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Sikapnya Berubah

    Pagi harinya, Matthew kembali mencoba mengetuk kamar Sara, untuk memastikan perempuan itu baik-baik saja. Namun, belum sempat Matthew mengetuk, perempuan itu muncul dari dalam dengan wajah yang segar sehabis mandi. "Kau belum berangkat?" tanya Sara, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia memalingkan wajah begitu melihat Matthew menatapnya. Terlebih lagi, ia ingin menyembunyikan matanya yang sembab sehabis menangis. "Belum." Matthew menjawab singkat, tetapi tatapannya tertuju kepada wajah Sara intens. "Kau habis menangis?" tanyanya menyadari kedua mata Sara yang sembab. Sara menggeleng pelan, "Tidak." "Lalu?" tanya Matthew lagi, kali ini meraih dagu Sara agar perempuan itu menatapnya balik. "Kau bisa jelaskan kenapa matamu sembab, bukan? Kau habis menangis?" "Tidak, tadi mataku terkena sabun cair saat mandi," alibinya sambil menepis tangan Matthew dari dagunya. Matthew tak percaya, ia justru curiga. "Apa terjadi sesuatu?" tanyanya lagi, tak membiarkan Sara pergi. "Tidak ad

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Rencana Celine

    Teriknya matahari siang memantul di atas helm putih yang dikenakan Matthew. Ia berdiri tegap di sisi pagar pembatas proyek pembangunan gedung tinggi yang kini memasuki tahap struktur lantai lima. Debu dan suara denting logam bercampur aduk dengan teriakan para pekerja yang sibuk menjalankan tugas masing-masing.Matthew melipat kedua tangannya di dada. Matanya menelaah setiap detail, mulai dari crane yang sedang mengangkat balok beton hingga pemasangan bekisting di sisi barat bangunan. Di tengah panas yang menyengat, pria itu tetap tenang dan serius. Ia selalu memastikan proyeknya berjalan presisi, tanpa celah. Namun, ketenangan itu terganggu ketika suara langkah kaki terdengar mendekat.“Kak Matthew!” Suara ceria itu terdengar begitu kontras dengan suasana proyek.Matthew menoleh. Ia melihat Celine yang berjalan ke arahnya, perempuan itu mengenakan kemeja putih longgar yang digulung di bagian lengan dan celana panjang khaki, dengan sepasang kacamata hitam menggantung di kerah bajun

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Yang Berbeda

    Sara menatap foto itu untuk kesekian kalinya. Tak ada kata yang mampu mewakili perasaannya saat ini. Hatinya terasa remuk, kecewa, dan juga bingung. Tangan Sara sedikit gemetar saat ia akhirnya meletakkan ponsel itu di meja kecil di samping tempat tidurnya. “Apa aku cuma lelucon baginya?” gumamnya lirih, hampir seperti sebuah bisikan untuk dirinya sendiri. . Ia pikir, perhatian Matthew selama beberapa hari terakhir, seperti bunga yang ia bawa, cara pria itu merawat lukanya, bahkan saat Matthew membantunya berjalan ke kamar mandi adalah perhatian yang tulus. Tetapi sekarang, semua itu terasa semu. Hanya seperti sebuah formalitas yang dijalankan karena belas kasihan, atau lebih buruk lagi, karena rasa bersalah pria itu. "Betapa bodohnya aku menganggap pria itu mungkin mulai memperhatikan aku," monolog Sara pelan. Ia ingin sekali menangis, atau mungkin bercerita kepada seseorang agar hatinya yang berat bisa lebih lega. Tetapi ia sadar, ia hanya sendirian di rumah ini. Ak

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Panggilan Tiba-tiba

    Pagi itu terasa berbeda. Cahaya matahari menyelinap lembut lewat celah tirai dapur, memantul di meja makan yang sudah tertata rapi. Di atasnya, dua cangkir teh hangat mengepulkan aroma menenangkan, ditemani sepiring roti panggang dan telur dadar yang masih hangat.Sara duduk di ujung meja, mengenakan sweater abu-abu lembut dan celana longgar. Wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya. Matthew menyusul masuk ke dapur dengan kemeja santai berwarna krem yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya tampak lebih rileks dibanding biasanya.“Selamat pagi,” ucapnya sambil tersenyum.Sara menoleh dan mengangguk. “Pagi. Kau bangun lebih dulu rupanya. Sarapan ini, kau yang buat?”Matthew duduk di kursi seberangnya dan menyodorkan sendok. “Kalau rasanya aneh, maafkan aku. Aku cuma mengikuti video tutorial.”Sara tersenyum kecil. “Tenang saja. Aku tidak berekspektasi tinggi dari CEO yang mendadak jadi chef.”Matthew tertawa pelan. “Tapi setidaknya aku sudah berusaha.”Mereka mulai makan dalam ke

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Membantu Sara

    Mentari pagi menyapa lewat celah-celah kecil jendela kamarnya. Sara menggeliat bangun saat sinar matahari tepat mengenai wajahnya. "Ugh! Sudah jam berapa ini?" gumamnya seraya merentangkan tangan sebelum membuka matanya perlahan. Sara terbeliak begitu melihat sosok tinggi tegap berdiri di tepi tempat tidurnya, memperhatikan dirinya yang baru saja bangun dari tidur. "Kau?! Sedang apa kau di kamarku?" Matthew tersenyum tipis, "Kau masih saja terlihat cantik walau baru bangun tidur," pujinya membuat Sara malu dan langsung menutup wajahnya dengan selimut. "Kau mau apa pagi-pagi di kamarku? Keluarlah!" pinta Sara, mengusir Matthew secara halus. Tetapi, pria itu bergeming di tempatnya. "Memangnya kenapa? Ini rumahku, aku bebas mau pergi ke mana saja," katanya bersikeras tak mau pergi. Sara pasrah. "Terserah kau saja, memangnya kau tidak pergi bekerja? Biasanya, kau sudah pergi pagi-pagi buta." Sara menyibak selimutnya dan mengayunkan kakinya turun. Tapi, kakinya masih terasa sakit hi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status