Sara menatap Harold dengan mata yang berkaca-kaca. "Papa … Papa kenapa?" tanya Sara khawatir.
Harold berusaha mengatur napasnya yang terengah, ia baru saja diteror oleh penagih utang. "Papa baru saja diteror," kata Harold gemetar. "Mereka mengancam akan membunuh Papa, Sara." Sara terenyak. "Apa? Kenapa mereka sampai nekat seperti itu, Pa? Tenang, tenanglah dulu, ya. Ayo duduk di kamar Papa, biar Sara ambilkan minum." Ia memapah Harold yang masih gemetaran untuk duduk, mengambilkannya minum dan berusaha menenangkan sang ayah. Keputusannya benar-benar sudah bulat kali ini. Ia akan menikahi ahli waris itu demi bisa melunasi hutang keluarga serta menyelamatkan Harold dari ketakutannya. "Sara akan menikahinya, Pa. Demi Papa." Harold menoleh, "Sungguh, Sara? Kau sudah memikirkannya dengan baik, kan? Oh, anakku!" Pria paruh baya itu tak bisa menahan diri untuk memeluk erat putrinya. Putri yang ia perlakukan seperti permata sejak kecil. Tapi kini, ia harus menyerahkannya kepada pria asing lantaran terlilit hutang. "Kita pasti akan baik-baik saja setelah ini, Pa." Sara berujar, demi menenangkan sang ayah yang masih gemetar. "Iya. Terima kasih, Sara, kau sudah menyelamatkan hidup Papa." Sara mengangguk sedih karena harus mengorbankan hidupnya sendiri. Tetapi, ia meyakinkan diri bahwa semuanya ia lakukan demi menyelamatkan sang papa. ••• Keesokan paginya, Sara duduk termenung di meja makan. Tatapannya mengarah kepada teh yang masih mengepulkan uap panas. Sepotong roti yang baru saja diangkat dari toaster sama sekali tidak menggugah seleranya. Rumah ini terasa sepi sejak kepergian ibunya lima tahun lalu. Hanya menyisakan dua raga yang sama-sama rapuh. Wafatnya sang ibu, membuat Sara kehilangan cahaya hidup. "Kenapa Papa lama sekali?" gumamnya seraya menatap ke arah pintu masuk rumah mereka. Satu jam yang lalu, Harold berpamitan untuk pergi ke suatu tempat. Sara sudah menduga bahwa sang papa pasti akan menemui orang bernama Matthew Stanley itu. Usai menghabiskan sarapannya, Sara memilih duduk di ruang tamu. Menantikan kabar yang akan dibawa Harold. Tak lama setelah itu, suara ketukan pintu terdengar. Sara langsung beranjak dan membuka pintu. "Sara, perkenalkan, ini Tuan Matthew," kata Harold begitu Sara membuka pintu. Matthew Stanley melihatnya dengan tatapan dingin, pria itu bahkan tidak tersenyum untuk sekadar menunjukkan keramahan. Sara mengangguk singkat, kemudian mempersilahkan keduanya untuk masuk. Melihat pria itu, entah mengapa hati Sara jadi berdebar. Tatapan Matthew padanya barusan, mengingatkannya pada seseorang yang ia kenal lima belas tahun lalu. "Silakan duduk, akan aku buatkan minum," kata Sara berusaha menunjukkan kesopanan pada tamu penting mereka. "Tidak perlu," ucap Matthew mengangkat tangan. "Aku tidak suka bertele-tele, langsung saja kepada intinya." Harold kemudian memberi isyarat kepada putrinya untuk duduk saja bersama mereka. Sara menurut, ia duduk tepat di hadapan Matthew. Meskipun sebenarnya, Sara tidak merasa nyaman, terutama dengan tatapan tajam pria itu. "Aku bisa melunasi semua hutang ayahmu dalam waktu kurang dari 24 jam, tapi." Matthew, sengaja menggantung kalimatnya. Setiap kata yang keluar dari lisannya, menjadi kalimat yang sangat berarti bagi Harold. Pria paruh baya itu, menajamkan telinganya baik-baik kendati sudah tahu apa yang hendak dikatakan Matthew. Sara terdiam, menyiapkan hati dan meneguhkan keputusannya sendiri. Ia tarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan debaran jantungnya. "Kau harus menikah denganku, selama satu tahun penuh," kata Matthew berikutnya. Tatapannya tak lepas dari menatap wajah Sara yang sudah tidak asing baginya. "Maksudmu … ini seperti kontrak pernikahan di antara kita?" tanya Sara bingung. Sebelah alis Matthew terangkat, "Apa kau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu?" tanyanya menyindir. Sara terhenyak, begitu pula Harold. Kemudian, perempuan itu menggelengkan kepala. Tentu saja ia tidak berharap lebih dari apa yang bisa ia terima dari pria itu. "Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja—" "Jawabanmu, Nona Sara Clementine. Aku hanya ingin jawabanmu, ya atau tidak?" Sara tidak memiliki pilihan lain. Mereka terdesak dan pria di depannya jelas bukan tipe pria yang mudah dibujuk untuk bernegosiasi. "Papa, bisakah aku membicarakan hal ini hanya dengan Tuan Matthew?" Harold memahami situasi yang dialami putrinya, maka ia pun memilih beranjak dari sana usai memohon izin undur diri. "Apakah kau masih membutuhkan waktu untuk berpikir? Aku tidak punya banyak waktu sekarang," ucap Matthew, melirik arlojinya. "Aku tahu. Jawabanku sudah pasti, ya." "Bagus, jawaban itulah yang ingin kudengar." Sudut bibir Matthew terangkat ke atas. Ia benar-benar puas dengan kesepakatan ini. "Memangnya aku punya pilihan lain di sini?" gumam Sara memalingkan wajah. Lalu, Matthew berdiri, merapikan setelan jas-nya dan bersiap untuk pergi. "Bersiaplah, dua hari lagi kita akan menikah," ujarnya sambil berbalik. Sara terperangah, "Apa? Dua hari?"Malam di rumah Harold terasa lebih tenang daripada malam-malam sebelumnya. Angin sepoi yang masuk melalui jendela kamar membuat suasana menjadi damai. Sara duduk di tepi ranjang dengan rambut terurai, menatap ke luar jendela. Meski tubuhnya mulai rileks, hatinya masih sering digelayuti keraguan. Ucapan Matthew beberapa hari lalu masih sesekali terngiang, menusuk batinnya.Namun, perlahan-lahan, kehadiran Matthew di rumah Harold mengubah ritme hari-harinya. Bukan hanya karena pria itu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sederhana di rumah ayahnya, melainkan juga karena setiap gerak-geriknya menunjukkan niat tulus.“Dia sudah berusaha keras, tetapi kenapa dadaku masih saja terasa sesak?” monolog Sara, menekan dadanya sendiri. Ia menatap kegelapan malam dengan hati yang masih terasa sakit. •••Pagi berikutnya, Sara turun ke ruang tamu dan menemukan Matthew yang sedang membantu Harold menyiram tanaman di halaman. Pemandangan itu membuatnya terpaku sejenak. “Sedang apa mereka?”
Ruang kerja Morgan masih terasa berat setelah kedatangan Matthew. Napasnya masih sedikit terengah, meski wajahnya berusaha kembali tenang. Ia tahu betul bahwa sosok Matthew Stanley bukanlah orang yang bisa dianggap main-main. Sekali pria itu memutuskan sesuatu, maka tak ada yang mampu menghalanginya.Tak lama kemudian, pintu ruang kerja itu terbuka pelan. Celine masuk dengan senyum tipis, meski sorot matanya gelisah.“Ayah,” panggilnya lembut. “Tadi aku lihat Kak Matthew datang. Dia bicara apa padamu?”Morgan menatap putrinya dengan tajam, membuat Celine sedikit gugup. Lalu, dengan suara berat, Morgan berkata, “Kau membuat masalah besar, Celine.”Celine terbelalak, langkahnya terhenti. “Apa maksud Ayah?”Morgan bangkit dari kursinya, menghampiri Celine dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. “Matthew datang ke sini dengan bukti. Semua fitnah, gosip, dan rumor buruk tentang Sara. Yang mana, semua itu jejakmu, Celine. Kau pikir Ayah tidak tahu? Kau pikir perbuatanmu bisa kau tutupi
Malam itu, Matthew duduk di ruang kerjanya dengan wajah serius. Sejak beberapa hari terakhir, ia sengaja menyimpan jarak dengan Celine. Bukan hanya karena fokus untuk memperbaiki hubungannya dengan Sara, tetapi juga karena kecurigaan yang kian menguat dalam benaknya. Matthew menyalakan layar laptopnya, menelusuri kembali email-email mencurigakan dan catatan keuangan yang sempat ia temukan. Ia memang sengaja menaruh seseorang untuk memantau gerak-gerik Celine selama beberapa hari terakhir sejak peristiwa tuduhan miring kepada Sara. Dan malam ini, laporan itu akhirnya sampai di tangannya.Dokumen-dokumen itu jelas menunjukkan ada aliran dana yang masuk ke rekening Celine dari sebuah perusahaan kecil yang tidak asing bagi Matthew. Sebuah perusahaan boneka yang sering dipakai untuk menutupi transaksi ilegal. Aliran dana itu ternyata terkait dengan gosip yang sempat beredar mengenai Sara. Semakin Matthew membacanya, semakin dadanya bergemuruh. Semua fitnah dan rumor yang melukai perasaan
Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan ke kamar rumah Harold. Sara masih terlelap, wajahnya terlihat tenang meski jelas ada sisa-sisa kelelahan dari malam-malam penuh tangis sebelumnya. Matthew berdiri di ambang pintu kamar Sara, menatap sosok istrinya yang tertidur dengan perasaan yang campur aduk.Dalam hati, ia ingin sekali membangunkan Sara dan mengajaknya sarapan bersama, tapi ia sadar bahwa Sara mungkin butuh waktu lebih banyak. Perempuan itu butuh ruang untuk bernapas, untuk memulihkan luka yang sudah ia buat sendiri. Maka, ia memilih langkah berbeda.Matthew meraih jas kerjanya, lalu menuliskan sebuah catatan kecil yang ia letakkan di meja samping tempat tidur. “Istirahatlah hari ini. Jangan khawatirkan apa pun. Aku akan pulang secepat mungkin.”Dengan itu, ia pun meninggalkan rumah Harold tanpa membangunkan Sara. Ia masih sempat untuk meninggalkan satu kecupan hangat sebelum benar-benar pergi dari kamar istrinya. •••Di perjalanan menuju kantor, pikirannya tidak bisa tena
Celine duduk di dalam mobil mewahnya, jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi rasa kesal yang tak kunjung reda. Semalam ia sudah memastikan kabar tentang Matthew, bahwa pria itu memilih tinggal di rumah Harold, ayah Sara. Dan pagi ini, kabar yang ia dapat dari orang kepercayaannya membuat darahnya terasa mendidih oleh kecemburuan. Matthew bahkan menyiapkan sarapan untuk Sara.“Tidak masuk akal,” gumamnya dengan nada tajam, matanya menatap kosong ke arah jalanan. “Aku sudah melakukan segalanya, sudah membuat Sara terlihat buruk, sudah menaburkan rumor, bahkan membuat Kak Matthew salah paham, tapi kenapa? Kenapa pada akhirnya dia kembali padanya. Selalu kembali padanya.”Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram kuat setir mobil. Dalam hatinya, tumbuh dendam yang semakin gelap.Tak ingin membuang waktu lagi, Celine memutuskan menemui orang yang paling bisa membantunya. Ia tahu, selama ini ayahnya tak pernah menyukai Sara, terlebih setelah pernika
Pagi itu, suasana rumah Harold terasa berbeda. Di dapur, sudah ada seseorang yang sibuk bergerak dengan penuh keseriusan.Matthew bangun jauh lebih pagi daripada biasanya. Malam tadi ia hampir tak bisa tidur, terus memikirkan cara untuk mendapatkan kembali hati Sara. Ia tahu ucapan maaf saja tidak cukup. Ia harus melakukan sesuatu yang sederhana, misalnya hal-hal kecil yang mungkin bisa mengetuk hati istrinya.Maka, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan sendiri. Ia tidak terbiasa dengan dapur, apalagi untuk memasak sesuatu yang rumit, tapi tekadnya lebih kuat daripada keraguannya.Dengan celemek yang sedikit kekecilan, Matthew berdiri di depan kompor. Tangannya berusaha sigap membalik telur yang hampir gosong. “Astaga, sepertinya ini lebih sulit dari rapat dengan para klien besar,” gumamnya pelan sambil mengelap keringat di pelipis.Harold yang sejak tadi mendengar suara berisik dari dapur akhirnya masuk dengan langkah perlahan. Ia tertegun sebentar melihat menantunya yang biasanya r