LOGINKeesokan harinya, Sara sudah siap dengan pakaian kerjanya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi, untuk memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna.
Kemudian, ia turun ke bawah. Di dapur, sudah ada pelayan yang membuatkan sarapan untuknya. Namun, seperti biasa, Matthew sudah tidak ada di rumah. "Pagi," sapa Sara seraya tersenyum lembut. Ia mengambil duduk di sana dan menerima layanan seperti biasanya. "Pagi, Nyonya. Hari ini sudah siap mengawali hari yang baru?" kata pelayan itu ramah. Sara mengangguk singkat kemudian menghabiskan sarapan paginya. Semalam, Matthew sudah memberitahunya untuk datang tepat waktu. "Syarat utama adalah, kau harus bekerja di perusahaanku dan mengikuti semua aturanku." Sara mengingat kembali obrolannya dengan Matthew semalam. Pria itu mengizinkannya untuk bekerja, tetapi sebagai jaminannya, Sara harus mengikuti semua aturannya. Sara yang sangat ingin bekerja langsung menyetujuinya tanpa bertanya lebih jauh lagi. "Supir Anda sudah menunggu di depan, Nyonya." Pelayan itu mengingatkan. Mendengar hal itu, Sara langsung menghabiskan sarapannya dan bergegas keluar. Hari ini ia tidak boleh terlambat, ia harus membuktikan kepada Matthew bahwa dirinya bisa diandalkan. "Aku berangkat dulu Margaretha!" Kepala pelayan yang dipanggil Margareta itu tersenyum sambil melambaikan tangannya. ••• Gedung Stanley Group menjulang kokoh, nyaris angkuh, di tengah hiruk-pikuk pusat kota. Di lobi, semua karyawan berpakaian rapi, langkah cepat, dan wajah serius. Sara berdiri di antara mereka. Ia ragu, canggung, tapi berusaha tenang. Ini hari pertamanya bekerja di perusahaan suaminya sendiri. Ia melangkah ke resepsionis dan menyebut namanya. Petugas itu langsung tersentak, lalu buru-buru menunduk sopan dan menyerahkan sebuah ID card. Di sana tertulis namanya, Sara Stanley sebagai Asisten Pribadi Direktur Utama. Sara meringis. Nama belakangnya kini bukan lagi Clementine, melainkan Stanley. Sara Stanley. "Pria itu memang tidak pernah setengah-setengah dalam menyiapkan sesuatu." Sara langsung mengalungkan tanda pengenalnya dan berjalan ke lift. Untuk sampai di ruangan direktur utama, Sara harus menaiki lift hingga ke lantai dua puluh delapan. Lift berdentang, ia masuk dan mematut dirinya sekali lagi. Sesampainya di sana, sang sekretaris langsung memberitahunya untuk langsung masuk ke dalam ruangan sang direktur. Sara menarik nafas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. "Ayo Sara, kamu pasti bisa!" monolognya menyemangati diri sendiri. Ketika suara Matthew terdengar, Sara langsung melangkah masuk ke ruang yang sama mewahnya seperti rumah mereka—gelap, modern, dan terlalu sunyi. Matthew sedang berdiri di depan dinding kaca, memandangi kota. “Kau datang tepat waktu,” katanya tanpa menoleh. “Seperti yang Anda perintahkan, Sir.” Sara menjawab dengan datar. Tatapannya tertuju ke bawah, menatap lantai ruangan yang dingin. Sedingin pria yang menempati ruangan itu. Matthew berbalik. “Hari ini kau akan belajar mengenali sistem kerja. Lusa, kau akan ikut ke rapat-rapat penting. Tapi ingat, di kantor ini, kau bukan istriku. Kau hanya karyawan.” Sara mengangkat pandangannya. “Baik. Karena aku lebih nyaman diperlakukan sebagai seseorang yang bekerja … daripada sebagai boneka pamer," katanya merendahkan suara di akhir kalimat. Tatapan Matthew menajam, tapi ia tidak menjawab. Ia lantas menekan tombol interkom. “Suruh David masuk.” Tak lama kemudian, seorang pria sekitar awal 30-an masuk. Berpakaian formal, dengan senyum tenang dan sorot mata penuh pengamatan. Sara langsung menangkap aura berbeda darinya. Tidak terlalu kaku, tapi pria itu jelas tidak bisa disepelekan. “David Morrison,” kata Matthew singkat. “Wakil Direktur. Kau akan bekerja di bawah pengawasannya.” David mengulurkan tangan. “Selamat datang di zona perang, Sara.” Pria itu tersenyum hangat. Namun, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuat Sara merasa tak aman. Mungkin tatapan mengintimidasi atau senyum hangat pria itu. Sara tak tahu pasti. Sara mengangkat alis dengan senyum singkat. “Kudengar ini perusahaan. Bukan medan tempur.” David tertawa kecil. “Di bawah kepemimpinan Matthew Stanley? Percayalah, Sara, pekerjaanmu bisa lebih buruk dari perang urat syaraf.” Sara memalingkan pandangan, menatap Matthew yang terlihat tak peduli. Padahal, pria bernama David itu tengah menyinggungnya. 'Ataukah dia memang terbiasa seperti itu?' pikir Sara tak paham. ••• Sejak siang itu, Sara mulai belajar. Tentang ritme kerja di Stanley Group, tentang dinamika tim, dan tentang banyaknya tekanan dibalik nama besar perusahaan itu. Ia menyadari betapa kejam dan efisiennya sistem yang dibangun Matthew. Semua telah diatur. Hingga tak ada celah untuk kesalahan. Tapi ia juga mulai melihat hal lain. Bisik-bisik. Tatapan diam dari karyawan lain yang menatapnya rendah. Kalimat-kalimat hinaan yang tak sengaja Sara dengar. “Katanya, Pak Matthew menikahinya karena utang ayahnya menumpuk.” "Maksudmu, dia dibeli?" “Apa dia disiapkan untuk mengamankan posisi Pak Matthew ya?” “Bisa jadi cuma pengalihan isu.” Tetapi, Sara menahan diri. Ia tidak punya waktu untuk meluruskan semuanya. Yang ia punya hanyalah tekad dan membuktikan dirinya bukan seperti yang mereka sangka. "Sepertinya mereka memang tidak punya topik lain untuk dibahas disini," gumam Sara jengah. Sore harinya, saat semua sudah hampir pulang, David menghampirinya di pantry. “Kerjamu sangat bagus hari ini,” pujinya santai sambil menyeruput kopi. “Tapi … ada satu hal yang harus kau ketahui dengan baik, Sara." Sara menatapnya penuh ingin tahu. “Apa?” “Banyak orang yang ingin menjatuhkan Matthew. Dan sekarang, kau jadi celah paling empuk untuk itu.” Sara menatapnya bingung. “Apa maksudmu?"Pagi berikutnya, Sara bangun lebih awal. Saat ia turun ke dapur, aroma kopi sudah memenuhi ruangan. Matthew berdiri di dekat counter dapur dengan rambut sedikit berantakan dan kemeja yang masih belum dirapikan. Biasanya, ia akan pura-pura sibuk, pura-pura tidak melihat Sara terlebih dahulu. Tapi tidak kali ini.Matthew menoleh. "Pagi," katanya lembut sambil tersenyum dan mengerlingkan mata ke arah Sara yang mendekat. Perempuan itu balas tersenyum malu, lalu membalas, “Pagi.”Matthew memutar tubuhnya ke arah meja makan. "Aku buatkan kopi untukmu, silakan diminum.” Ia menggeser cangkir putih ke tempat Sara. “Tidak terlalu manis, karena kau sudah terlalu manis," katanya menggoda. Sara terkekeh pelan seraya mengangkat alis sedikit, terkejut. "Kau masih ingat kesukaanku, ya?"Matthew tersenyum tipis. “Itu salah satu hal yang tidak pernah kulupakan.”Ucapan itu membuat dada Sara menghangat. Bukan rasa yang meledak-ledak, tapi seperti selimut lembut yang membungkus perlahan.Mereka sarapan
Udara malam terasa lebih sejuk ketika mereka keluar dari hotel. Musik pesta yang tadinya memenuhi telinga perlahan menghilang, digantikan deru suara mobil yang lalu-lalang dari kejauhan. Matthew membuka pintu mobil untuk Sara tanpa berkata apa-apa, tapi gerakannya lebih lembut daripada sebelumnya. Tanpa sadar, ia sedang mencoba merapikan jarak yang ia buat sendiri.Begitu pintu mobil tertutup, keheningan menyelubungi ruang mobil. Matthew masuk ke sisi pengemudi, menyalakan mesin, lalu mulai menyetir pelan. Lampu kota memantul di kaca depan seperti kilatan-kilatan kecil yang lewat begitu cepat.Untuk beberapa menit, tak ada satu kata pun terucap. Sara menatap keluar jendela, sementara Matthew beberapa kali meliriknya tanpa sengaja, atau mungkin justru sengaja, tapi tidak cukup berani menatap lebih lama.Akhirnya, Matthew menghela napas pelan. “Tadi di pesta ….” Ia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman.”Sara menoleh perlahan, sudut
Lampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Aula besar Hotel Langford dipenuhi tamu-tamu bergaun indah dan jas hitam rapi. Musik lembut dari orkestra di sudut ruangan mengalun merdu, menambah kesan mewah malam itu.Di depan pintu masuk, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya, Matthew keluar lebih dulu. Penampilannya seperti biasa, dengan jas hitam yang melekat sempurna pada tubuhnya, rambutnya tertata rapi, ekspresi tenang yang sulit diterjemahkan. Kemudian, ia berputar sedikit, lalu membuka pintu di sisi penumpang.Sara keluar dengan langkah hati-hati. Gaun biru tua yang dikirim Matthew sore tadi tampak sederhana, tapi jatuh dengan anggun di tubuhnya. Rambutnya disanggul setengah, memperlihatkan leher jenjangnya yang berhiaskan kalung berlian kecil.Begitu Sara berdiri di sampingnya, Matthew sempat terpaku sejenak. Tak ada kata yang keluar, hanya seulas napas panjang yang ia tahan sebelum mengulurkan tangan.“Siap?” tanyanya pelan, suaranya hampi
Langit sore terlihat berwarna tembaga ketika Matthew duduk di ruang kerjanya, menatap undangan berlapis kertas tebal yang baru saja diantarkan oleh salah seorang kurir. Logo keluarga yang terukir dengan tinta emas tampak mencolok di bagian depan. Matthew menatap nama pengundang itu cukup lama. Nathaniel Beckett, seorang kolega bisnis lama, pemilik perusahaan besar yang berperan penting dalam pengembangan proyek Matthew di pusat kota. Acara itu bukan sekadar pesta biasa. Itu ajang penting bagi para pengusaha, tempat di mana kesepakatan bisnis sering kali lahir di tengah lantunan musik klasik dan gelas sampanye.Namun malam itu, bagi Matthew, pesta itu lebih terdengar seperti beban. Ia lantas menyandarkan punggung di kursi, menarik napas panjang sambil memutar undangan itu di tangannya.Datang ke pesta itu berarti tampil berdua dengan Sara. Padahal, hubungan mereka belum benar-benar pulih. Ia masih menutup diri, sementara Sara mencoba mendekat dengan penuh hati-hati. Ia tahu, menghadi
Matahari baru saja naik ketika aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur rumah itu. Sara berdiri di depan kompor dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahnya masih tampak letih karena semalaman tidak tidur, tetapi pagi itu, ia bertekad untuk mencoba memperbaiki keadaan.Ia memecahkan dua butir telur ke atas wajan, menatap cairan kuning itu mengeras pelan di atas panas api. Suara mendesisnya memenuhi keheningan rumah, menggantikan percakapan yang semalam tak pernah terjadi.Di meja makan, piring-piring sudah tertata rapi. Ada buah potong, roti, omelet, dan secangkir kopi hitam, minuman kesukaan Matthew setiap pagi. Sara menatap hasil kerjanya, menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bisa jadi awal yang baru.Ia ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli, bahwa ia masih ingin memperjuangkan mereka.Suara langkah kaki di lantai atas membuat jantungnya berdebar pelan. Ia menoleh ke arah tangga, menunggu.Matthew turun perlahan dengan kemeja kerja yang rapi dan waja
Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan cahaya hangat ke arah dinding, tapi hawa di dalam rumah justru terasa dingin dan berat.Sara duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuan. Sejak sore, ia menunggu Matthew pulang, berharap setidaknya malam ini mereka bisa bicara dengan kepala dingin. Tapi jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam, dan suaminya belum juga muncul.Begitu suara mobil berhenti di depan rumah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera berdiri, menatap ke arah pintu. Langkah kaki itu terdengar berat, tenang, dan tanpa emosi.Matthew muncul di ambang pintu dengan jas kerja yang masih menempel di tubuhnya. Ia tampak lelah, tapi yang lebih jelas terlihat adalah jarak di matanya. Tatapan yang dulu lembut kini tampak tumpul, seolah ia sengaja membuat tembok di antara mereka.“Kau belum tidur?” tanya Matthew datar, tanpa nada marah tapi juga tanpa kehangatan.Sara menelan ludahnya. “A







