Share

Bab 2 Akta, Bukan Cinta

Author: Luna Maji
last update Last Updated: 2025-05-11 20:21:55

Kantor Catatan Sipil Vileria berdiri dengan gagah, bangunan batu abu-abu di antara deretan gedung birokrasi lainnya. Tidak ada kemegahan, hanya efisiensi yang dingin.

Meri masuk seperti badai berkilau yang menantang. Gaun emasnya memantulkan sinar matahari yang masuk melalui jendela, membuat mata semua orang menyipit—persis seperti yang ia inginkan. Sebuah pernyataan, 'Aku mungkin terjebak dalam pernikahan kontrak ini, tetapi aku akan bersinar sampai akhir.'

Di belakangnya, Adrian Montclair mengikuti dengan langkah tenang. Setelan abu-abu gelapnya rapi tanpa cela, dasinya yang tipis terlihat elegan, rambutnya disisir sempurna. Dia adalah bayangan tenang di balik siluet Meri yang bersinar, kontras yang begitu mencolok hingga terasa konyol.

Petugas catatan sipil—seorang wanita paruh baya dengan kacamata bertengger di ujung hidungnya—mengarahkan mereka ke sebuah meja kayu besar tanpa basa-basi. "Pasangan Montclair dan Vale?" tanyanya dengan nada datar dan monoton.

"Kami," jawab Adrian singkat.

Meri hanya duduk diam, kakinya disilangkan, seolah menunggu pesanan kopi, bukan menghadapi pernikahan yang baru saja disepakati.

Petugas itu mengangguk sedikit, mulai memeriksa dokumen dengan suara pelan. "Kartu identitasnya sesuai. Akta kelahiran, formulir persetujuan, semuanya lengkap. Oke. Kalian tahu prosedurnya: tidak ada ciuman romantis, tidak ada janji pernikahan yang penuh air mata." Dia menatap mereka sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. "Kalian berdua tampak... sangat antusias."

Keheningan menggantung di udara, berat dan ironis. Meri harus mengerutkan bibir rapat-rapat untuk menahan tawa. Antusias? Kami baru saja menandatangani kesepakatan iblis, Bu.

Petugas itu menarik napas dalam-dalam. "Tapi cinta bukanlah persyaratan hukum untuk pernikahan, jadi mari kita selesaikan ini."

Petugas itu menyerahkan map yang berisi dokumen pernikahan. Adrian mengambil pena lebih dulu. Tanda tangannya ditulis dengan cepat dan tegas, seolah-olah dia sedang menandatangani kesepakatan bisnis bernilai jutaan. Meri mengikutinya, menandatangani dengan tinta merah terang. Tentu saja, merah. Tinta khusus untuk transaksi berdarah dingin.

"Baiklah," kata petugas itu setelah memberi stempel pada dokumen dengan bunyi keras, mengakhiri semuanya dengan suara datar. "Kalian dengan ini resmi menjadi suami istri menurut hukum Vileria. Nikmati hidup kalian bersama... atau setidaknya, sampai kalian memutuskan untuk tidak bersama lagi."

Tidak ada ucapan selamat yang tulus. Tidak ada pelukan hangat. Tidak ada pertukaran cincin. Hanya suara berkas dokumen yang ditutup. Akhir yang hambar untuk babak penting dalam hidup mereka.

Mereka melangkah keluar dari gedung Catatan Sipil. Aura di antara mereka tetap seperti dua orang asing yang baru saja dipaksa memenangkan lotere pernikahan yang aneh.

Udara di luar terasa sedikit lebih hangat, tetapi Meri merasakan dinginnya kenyataan merayapi tulang punggungnya. Kenyataan bahwa dia baru saja menjual enam bulan kebebasannya—dan mungkin hatinya—demi kelangsungan hidup tokonya.

Dia berhenti di puncak tangga. "Baiklah," gumam Meri sambil mengangkat gaun emasnya yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. "Aku resmi menikah dengan pria yang dikutuk. Romantis sekali."

Adrian berdiri di sampingnya. "Kontrak kita sah. Mulai sekarang, kita adalah pasangan publik. Jadi, tolong jangan mengutuk atau mengumpat di depan umum."

"Jangan khawatir, Tuan Montclair," jawab Meri dengan nada ringan namun tajam. Ia berbalik, memberinya seringai tipis. "Saya akan mengirimkannya dalam bentuk karangan bunga. Tentu saja, dikirim tanpa nama."

Ia berbalik, bersiap untuk pergi. "Aku  akan pergi ke toko. Memeriksa kemajuan renovasi hari ini."

Namun, ia baru melangkah sekali ketika Adrian berkata, "Kita bertemu nenek dulu."

Meri berbalik, alisnya terangkat curiga. "Nenek?"

"Iya, nenekku."

Jeda menggantung di udara. Kali ini, jeda yang terasa seperti palu godam. Nenek? Meri menatap Adrian, mencari jejak keraguan, tetapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang familiar.

"Ah. Jadi, babak 'acara keluarga' dimulai sekarang?"

Adrian menyelipkan ponselnya ke dalam saku jasnya. "Ya, dia bersikeras. Dan percayalah, bahkan aku tahu kapan harus menuruti keinginannya." Ada nada pasrah samar di sana, nyaris seperti keluhan.

Meri menghela napas panjang, campuran antara kesal dan geli. "Baiklah.."

Adrian mengangguk, tatapannya sedikit melembut. "Jangan khawatir, nenekku menyenangkan," dan untuk pertama kalinya hari itu, sudut bibirnya sedikit terangkat. Hampir seperti senyuman. Senyum yang nyaris tak terlihat, tetapi cukup untuk mengejutkan Meri.

Menyenangkan, ya? pikir Meri. Entah itu berarti beliau suka minum teh... atau suka mencabik-cabik menantu dengan tatapan tajam dan pertanyaan retoris.

Marigold menatap pria di sampingnya, pria yang sekarang resmi menjadi suaminya. 

Ini bukan pernikahan yang dirayakan, hanya tanda tangan di atas kertas dan bertemu nenek yang tak bisa ia tolak. Bertemu dengan Nenek Montclair, katanya. Entah bagaimana, bagian itu terdengar jauh lebih mengancam daripada seluruh upacara pernikahan yang baru saja mereka lalui.

Meri menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahunya dengan anggun. Dia melangkah maju, ia sudah merasa seperti pion yang baru saja dipindahkan ke papan catur dinasti Montclair.

Jika ini adalah sandiwara... maka babak pertama dimulai. Layar baru saja terbuka. Dan kali ini, sang nyonya besar Montclair duduk di barisan depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
mbok yo dikenalkan dulu istrimu ke keluargamu ojo tiba² menikah, Mas. wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 120

    Lampu sorot berderet di depan podium. Deretan kamera dan kilatan flash memenuhi ruangan ballroom hotel yang disulap jadi ruangan konferensi pers. Suara riuh wartawan terdengar, semua berebut tempat untuk dapat angle terbaik.Pintu samping terbuka. Adrian Montclair melangkah masuk dengan setelan hitam yang rapi, dasi warna biru gelap, wajahnya dingin tapi mantap. Di sampingnya, Meri berjalan anggun, sederhana tapi elegan, langkahnya selaras dengan Adrian. Begitu mereka muncul, riuh suara ruangan langsung mereda—seolah semua orang menahan napas.Adrian berdiri di podium, menatap barisan kamera dengan tatapan yang tajam. Ia tidak langsung bicara. Hening beberapa detik, cukup lama untuk menegaskan bahwa dialah yang mengendalikan panggung.“Keluarga Montclair telah melalui badai,” suaranya dalam, menggema di ruangan. “Tapi malam ini, saya berdiri di sini untuk mengatakan satu hal sederhana: badai itu telah berakhir.”Flash kamera kembali menyala. Wartawan mulai berbisik.Adrian mengangkat

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 119 Rapat Luar Biasa

    Adrian berdiri di ujung meja. “Aku tahu siapa saja yang menjual Montclair pada Julian. Hari ini, aku bersihkan meja ini.” Lucien membuka map, menaruh di tengah. Bukti terpampang jelas. Salah satu eksekutif tergagap. “Tuan Montclair… saya—” Adrian memotong dingin. “Diam. Kau duduk di sini karena aku masih izinkan. Satu langkah salah, pintu keluar ada di belakangmu.” Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “Montclair bukan milik pengkhianat. Siapa yang mau bertahan, buktikan dengan kerja. Siapa yang ragu… jangan buang waktuku.” Seorang eksekutif lain memberanikan diri. “Dan kalau kami memilih keluar?” Adrian mencondongkan badan, tatapannya menusuk. “Maka kalian akan keluar dengan tangan kosong—dan nama kalian hancur di luar sana.” Keheningan. Tak ada yang berani bergerak. Adrian menutup map dengan satu hentakan. “Mulai hari ini, aku pimpin dengan caraku. Julian sudah jatuh. Sekarang giliran siapa pun yang masih coba bermain dua sisi.” Adrian berdiri, kursinya bergeser pelan

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 118 Pengungkapan

    Penthouse itu sunyi. Hanya jam dinding di ruang tamu yang berdetak pelan, mengisi kekosongan malam. Meri duduk di sofa, kedua tangannya menggenggam erat mug teh yang sudah lama dingin. Ia menatap pintu lift pribadi, menunggu tanpa berkedip, seperti kalau ia mengalihkan pandangan sebentar saja, Adrian mungkin tidak akan benar-benar kembali.Ting!Denting lift terdengar. Jantung Meri berdegup kencang. Pintu terbuka, dan Adrian muncul—jasnya kusut, dasi longgar, wajahnya lelah tapi matanya tetap sama.“Adrian…” suara Meri hampir bergetar.Ia melangkah masuk, menutup pintu lift dengan satu dorongan. Pandangannya langsung jatuh pada Meri. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata pelan, “Semua selesai.”Meri bangkit, menghampirinya dengan langkah cepat. “Kau… baik-baik saja?”Adrian mengangguk kecil, lalu meraih tangan Meri, seakan hanya itu yang menahannya tetap berdiri. “Julian sudah ditangkap. Tapi, Meri…” ia menarik napas panjang, “…ada hal lain yang harus kau tahu.”“Duduklah. Aku

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 117 Jatuhnya Sang Pemburu

    Asap hitam masih membubung dari reruntuhan gudang. Api yang belum padam memberikan cahaya merah di langit, seolah kota sendiri sedang terbakar oleh amarah yang tidak terlihat.Julian Vale berdiri di balkon gedung kosong, setinggi enam lantai, menatap kobaran api dengan senyum tipis di bibirnya. Rokok menyala di ujung jarinya, abu jatuh berhamburan ke bawah.“Lihat itu,” katanya pelan, suaranya bercampur dengan dengung sirene pemadam. “Adrian pikir dia bisa menjebakku. Sekarang pasukannya jadi arang.”Dua pengawal di belakangnya saling melirik, ikut menyeringai seakan kemenangan itu juga milik mereka.Julian mengembuskan asap rokok ke udara, lalu mendesis, “Kematian ayahku tidak akan sia-sia. Aku akan membuat Adrian berlutut. Satu per satu, semua yang dia cintai akan hancur.”Ia berbalik, menepuk bahu salah satu pengawal. “Siapkan kendaraan. Kita pindah malam ini. Jangan sampai jejak ini mengikat kita lebih lama dari yang perlu.”Pengawal itu mengangguk cepat. “Ya, Tuan.”Julian berjal

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 116 Eksekusi

    Pagi itu, kantor pusat Montclair Group tidak berbeda dari biasanya—ramai, sibuk, para eksekutif bergegas masuk ruang kerja. Tapi di ruang tertutup paling atas, suasananya justru hening mencekam.Adrian berdiri di depan jendela kaca besar, menatap kota yang masih diselimuti kabut tipis. Di tangannya, secangkir kopi yang nyaris tak tersentuh.“Semalam Anderson berhasil,” suara Lucien memecah diam, tablet di tangannya memuat rekaman transkrip percakapan yang sudah diteruskan tim mereka. “Julian percaya. Dia bahkan menyuruh orang-orangnya bergerak cepat.”Adrian menurunkan cangkirnya ke meja, lalu berbalik. Sorot matanya tajam, penuh konsentrasi. “Bagus. Itu berarti kita tidak perlu menunggu lebih lama. Hari ini kita mulai menggerakkan pion.”

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 115 Kena

    Ruang rapat eksekutif Montclair Group siang itu kosong kecuali tiga orang. Lampu putih menyorot meja panjang dari marmer hitam, menciptakan bayangan dingin di dinding kaca yang menghadap kota.Tuan Anderson duduk di ujung meja, jasnya sedikit kusut, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia jelas lebih gugup dari yang ingin ia tunjukkan.Di sisi lain, Adrian bersandar tenang pada kursinya. Lengannya terlipat di dada, matanya tajam seperti sedang menakar angka di neraca keuangan—hanya saja kali ini yang ia timbang adalah nasib seorang manusia. Lucien berdiri di dekat layar, laptopnya terbuka dengan deretan kode dan jaringan komunikasi yang sedang dipantau.“Kenapa kau terlihat seperti terdakwa di pengadilan, Anderson?” suara Adrian tenang tapi menekan. “Aku sudah bilang, aku tidak berniat menja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status