Kantor Catatan Sipil Vileria berdiri dengan gagah, bangunan batu abu-abu di antara deretan gedung birokrasi lainnya. Tidak ada kemegahan, hanya efisiensi yang dingin.
Meri masuk seperti badai berkilau yang menantang. Gaun emasnya memantulkan sinar matahari yang masuk melalui jendela, membuat mata semua orang menyipit—persis seperti yang ia inginkan. Sebuah pernyataan, 'Aku mungkin terjebak dalam pernikahan kontrak ini, tetapi aku akan bersinar sampai akhir.'
Di belakangnya, Adrian Montclair mengikuti dengan langkah tenang. Setelan abu-abu gelapnya rapi tanpa cela, dasinya yang tipis terlihat elegan, rambutnya disisir sempurna. Dia adalah bayangan tenang di balik siluet Meri yang bersinar, kontras yang begitu mencolok hingga terasa konyol.
Petugas catatan sipil—seorang wanita paruh baya dengan kacamata bertengger di ujung hidungnya—mengarahkan mereka ke sebuah meja kayu besar tanpa basa-basi. "Pasangan Montclair dan Vale?" tanyanya dengan nada datar dan monoton.
"Kami," jawab Adrian singkat.
Meri hanya duduk diam, kakinya disilangkan, seolah menunggu pesanan kopi, bukan menghadapi pernikahan yang baru saja disepakati.
Petugas itu mengangguk sedikit, mulai memeriksa dokumen dengan suara pelan. "Kartu identitasnya sesuai. Akta kelahiran, formulir persetujuan, semuanya lengkap. Oke. Kalian tahu prosedurnya: tidak ada ciuman romantis, tidak ada janji pernikahan yang penuh air mata." Dia menatap mereka sejenak, lalu mengangkat sebelah alis. "Kalian berdua tampak... sangat antusias."
Keheningan menggantung di udara, berat dan ironis. Meri harus mengerutkan bibir rapat-rapat untuk menahan tawa. Antusias? Kami baru saja menandatangani kesepakatan iblis, Bu.
Petugas itu menarik napas dalam-dalam. "Tapi cinta bukanlah persyaratan hukum untuk pernikahan, jadi mari kita selesaikan ini."
Petugas itu menyerahkan map yang berisi dokumen pernikahan. Adrian mengambil pena lebih dulu. Tanda tangannya ditulis dengan cepat dan tegas, seolah-olah dia sedang menandatangani kesepakatan bisnis bernilai jutaan. Meri mengikutinya, menandatangani dengan tinta merah terang. Tentu saja, merah. Tinta khusus untuk transaksi berdarah dingin.
"Baiklah," kata petugas itu setelah memberi stempel pada dokumen dengan bunyi keras, mengakhiri semuanya dengan suara datar. "Kalian dengan ini resmi menjadi suami istri menurut hukum Vileria. Nikmati hidup kalian bersama... atau setidaknya, sampai kalian memutuskan untuk tidak bersama lagi."
Tidak ada ucapan selamat yang tulus. Tidak ada pelukan hangat. Tidak ada pertukaran cincin. Hanya suara berkas dokumen yang ditutup. Akhir yang hambar untuk babak penting dalam hidup mereka.
Mereka melangkah keluar dari gedung Catatan Sipil. Aura di antara mereka tetap seperti dua orang asing yang baru saja dipaksa memenangkan lotere pernikahan yang aneh.
Udara di luar terasa sedikit lebih hangat, tetapi Meri merasakan dinginnya kenyataan merayapi tulang punggungnya. Kenyataan bahwa dia baru saja menjual enam bulan kebebasannya—dan mungkin hatinya—demi kelangsungan hidup tokonya.
Dia berhenti di puncak tangga. "Baiklah," gumam Meri sambil mengangkat gaun emasnya yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. "Aku resmi menikah dengan pria yang dikutuk. Romantis sekali."
Adrian berdiri di sampingnya. "Kontrak kita sah. Mulai sekarang, kita adalah pasangan publik. Jadi, tolong jangan mengutuk atau mengumpat di depan umum."
"Jangan khawatir, Tuan Montclair," jawab Meri dengan nada ringan namun tajam. Ia berbalik, memberinya seringai tipis. "Saya akan mengirimkannya dalam bentuk karangan bunga. Tentu saja, dikirim tanpa nama."
Ia berbalik, bersiap untuk pergi. "Aku akan pergi ke toko. Memeriksa kemajuan renovasi hari ini."
Namun, ia baru melangkah sekali ketika Adrian berkata, "Kita bertemu nenek dulu."
Meri berbalik, alisnya terangkat curiga. "Nenek?"
"Iya, nenekku."
Jeda menggantung di udara. Kali ini, jeda yang terasa seperti palu godam. Nenek? Meri menatap Adrian, mencari jejak keraguan, tetapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang familiar.
"Ah. Jadi, babak 'acara keluarga' dimulai sekarang?"
Adrian menyelipkan ponselnya ke dalam saku jasnya. "Ya, dia bersikeras. Dan percayalah, bahkan aku tahu kapan harus menuruti keinginannya." Ada nada pasrah samar di sana, nyaris seperti keluhan.
Meri menghela napas panjang, campuran antara kesal dan geli. "Baiklah.."
Adrian mengangguk, tatapannya sedikit melembut. "Jangan khawatir, nenekku menyenangkan," dan untuk pertama kalinya hari itu, sudut bibirnya sedikit terangkat. Hampir seperti senyuman. Senyum yang nyaris tak terlihat, tetapi cukup untuk mengejutkan Meri.
Menyenangkan, ya? pikir Meri. Entah itu berarti beliau suka minum teh... atau suka mencabik-cabik menantu dengan tatapan tajam dan pertanyaan retoris.
Marigold menatap pria di sampingnya, pria yang sekarang resmi menjadi suaminya.
Ini bukan pernikahan yang dirayakan, hanya tanda tangan di atas kertas dan bertemu nenek yang tak bisa ia tolak. Bertemu dengan Nenek Montclair, katanya. Entah bagaimana, bagian itu terdengar jauh lebih mengancam daripada seluruh upacara pernikahan yang baru saja mereka lalui.
Meri menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahunya dengan anggun. Dia melangkah maju, ia sudah merasa seperti pion yang baru saja dipindahkan ke papan catur dinasti Montclair.
Jika ini adalah sandiwara... maka babak pertama dimulai. Layar baru saja terbuka. Dan kali ini, sang nyonya besar Montclair duduk di barisan depan.
Ruang kerja Adrian terasa lebih dingin. Sinar matahari sore memantulkan cahaya keemasan di meja panjang yang dipenuhi berkas-berkas rahasia Montclair Group. Adrian duduk, satu tangan memutar pelan pena perak, sementara pandangannya fokus ke layar tablet di depannya.Nama-nama muncul rapi di layar—eksekutif yang sudah diwarnai merah, biru, abu-abu. Semua catatan Julian kini ada di genggaman Adrian.“Dia pikir aku tidak tahu siapa saja yang sudah dia dekati…” suara Adrian rendah, nyaris seperti gumaman, tapi penuh ancaman terpendam.Lucien berdiri di samping meja, menyilangkan tangan. “Kalau Julian berani gerak, berarti salah satu dari mereka sudah kasih celah. Anderson, misalnya.”Adrian meletakkan pena, menatap lurus ke asistennya. Se
Ruang kerja Adrian di lantai atas Montclair Group sunyi. Hanya suara jarum jam yang terdengar saat Anderson masuk, wajahnya tegang, keringat tipis menetes di pelipisnya.Adrian tidak menyuruhnya duduk. Ia hanya menatap dengan tatapan datar, membuat pria paruh baya itu semakin gelisah.“Duduklah, Tuan Anderson.” Suara Adrian tenang, tapi dingin. Anderson segera menuruti, punggungnya kaku.Adrian membuka map di mejanya. Beberapa lembar dokumen kontrak luar negeri, tanda tangannya, dan informasi transfer mencurigakan. Anderson langsung pucat.“Lucien menelusuri file lama,” Adrian berkata ringan, seolah hanya membicarakan laporan keuangan biasa. “Kau cukup berbakat… sampai harus menutupi proyek ilegal di Singapore. Kontrak ganda, suap pejabat. Aku punya semua salinannya.”
Malam itu, ruang kerja di penthouse dipenuhi cahaya lampu kuning temaram. Jendela besar menampilkan siluet kota Vileria, berkilau tapi dingin. Adrian duduk di kursi kulit hitam, jasnya masih rapi, tangan mengetuk pelan permukaan meja.Lucien masuk lebih dulu, membawa map tebal. “Jejak terakhir Julian terlacak di kawasan utara. Bukan rumah, lebih mirip gudang. Orang-orangnya keluar masuk, tapi dia sendiri jarang terlihat.”Dr. Zhu menyusul, wajahnya serius. “Aku sudah bicara dengan Cassie. Dari semua yang dia ungkap, jelas: Julian tidak tertarik dengan sihir. Dia hanya peduli satu hal—merebut Montclair. Semua ini tentang tahta yang menurutnya seharusnya jatuh padanya.”Adrian menatap keduanya. “Itu menjelaskan kenapa dia mulai menyerang lewat kenangan. Bukan untuk mengutukku, tapi
Suasana sore tenang, cahaya matahari menembus kaca besar, memantul di lantai. Meri memerhatikan Rowan dan Rosie yang sedang menggambar. Ia baru hendak membuat teh saat suara interkom di dinding berbunyi.Meri mendekat, menekan tombol. Layar kecil menyala, menampilkan wajah seorang kurir dengan kotak kecil di tangan.“Pengiriman untuk Ny. Montclair,” katanya.Meri mengernyit. “Dari siapa?”Kurir menggeleng. “Tidak ada nama pengirim. Petugas keamanan gedung sudah memverifikasi, paketnya aman. Mau dikirimkan naik?”Hati Meri berdebar, tapi ia mengangguk singkat. “Ya, kirimkan.”Beberapa menit kemudian, bunyi bel lift pribadi terdengar. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang petugas keamanan gedung, bukan kurir tadi, berdiri sopan sambil menyerahkan paket. “Dari bawah, Nyonya. Sudah dicek, tidak ada perangkat berbahaya.”“Terima kasih,” jawab Meri, meski dadanya terasa berat.Ia meletakkan paket itu di meja makan. Kertas cokelatnya serupa dengan kiriman Adrian beberapa hari lalu. Saat dibu
Setelah semua badai reda, Adrian dan Meri akhirnya memutuskan untuk tinggal di penthouse. Montclair Manor memang penuh kenangan, tapi ada jarak—selalu terasa seperti tempat keluarga besar. Penthouse berbeda. Di sini, setiap sudutnya punya jejak mereka sendiri. Lebih sederhana, lebih pribadi, lebih seperti “rumah” yang benar-benar milik mereka.Pagi itu, cahaya matahari jatuh dari jendela besar, menghangatkan ruang makan. Anak-anak sudah duduk, tapi bukannya sarapan dengan tenang, mereka sibuk berebut selai stroberi. Sendok beradu, tawa bercampur rengekan kecil.“Boleh nggak kalau aku yang olesin dulu?” Rowan merengek, memeluk toples selai seperti harta karun.“Enggak! Aku dulu!” Rosie membalas, wajahnya memerah penuh semangat.Me
Pagi itu Montclair Manor tenang. Cahaya matahari menembus jendela besar, memantul di lantai marmer. Adrian sedang merapikan jas di depan cermin, sementara Meri berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan yang hangat.“Kenapa lihat aku begitu?” Adrian mengangkat alis, senyum tipis muncul.Meri mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Cuma... kadang aku masih nggak percaya kita bisa sampai sini.”Adrian menghampiri, meraih dagunya singkat. “Kita sudah melewati neraka, Meri. Sisanya... kita jalani sama-sama.”Ketukan pintu pelan memutus momen itu. Seorang pelayan masuk, membawa sebuah kotak kecil berbalut kertas cokelat. “Tuan, ini baru saja diantar. Tidak ada nama pengirim.”Adrian merengut. “Letakkan di meja.”Pelayan pergi. Meri dan Adrian saling pandang. Ada sesuatu yang dingin menyelinap di udara.Adrian membuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah mainan kayu kecil—kuda yang dulu ia kenal betul, hadiah dari ibunya saat masih kecil. Tapi kini, kuda itu diukir ulang dengan goresan simbo