Share

Bab 3 Keluarga dan Kutukan

Penulis: Luna Maji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-11 22:25:02

Mobil melambat dan akhirnya berhenti di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi, dengan ukiran-ukiran aneh yang terasa mengamati. Gerbang itu berderit perlahan saat terbuka, memperlihatkan jalan setapak batu yang diapit deretan pohon tua yang rimbun.

"Ini... istana Drakula versi premium?" bisik Meri, menyipitkan mata mencoba melihat lebih jelas melalui dahan-dahan yang bergoyang.

Adrian hanya tersenyum tipis tanpa menjawab, tapi matanya berbinar geli, menangkap kegelisahan Meri.

Montclair Manor akhirnya muncul di ujung jalan—sebuah bangunan bergaya Gotik yang megah dengan menara-menara runcing, jendela-jendela tinggi berbingkai batu, dan dinding yang tampaknya dirancang untuk menghadapi pengepungan abad pertengahan. Lampu gantung antik di teras depan menciptakan bayangan-bayangan aneh yang bergoyang di atas batu, seolah bangunan itu sendiri bernapas.

Mobil berhenti dengan tenang. Meri keluar dengan hati-hati. Gaun emasnya berkibar lembut ditiup angin, sementara sepatu hak tingginya berbunyi klak-klik tajam di atas batu paving. Dia mendongak, merasa tiba-tiba sangat kecil, ditelan oleh arsitektur yang menindas.

Saat mereka menaiki tangga batu besar menuju pintu utama, suara gagak terdengar memecah keheningan dari kejauhan, seruan melengking yang menusuk telinga.

Tentu saja, pikir Meri sinis. Karena situasi ini belum cukup dramatis tanpa kehadiran burung-burung pembawa sial itu.

Sebelum dia bisa mengeluh lebih jauh, pintu kayu berat itu terbuka dengan deritan pelan. Di ambang pintu berdiri seorang wanita tua ramping dengan rambut putih disanggul rapi, dan tatapan mata seolah ia tahu setiap rahasia Meri.

Selamat datang di keluarga Montclair, pikir Meri getir. Tempat di mana kutukan turun-temurun hanyalah permulaan dari semua masalah yang akan kuhadapi.

Wanita tua itu mengamati Meri dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan tajam dan menyelidik, seperti seekor elang yang sedang mengukur mangsanya sebelum menerkam. Meri, yang biasanya tidak gentar menatap siapa pun, mendapati dirinya berdiri diam membeku, jantungnya berdebar terlalu cepat di dadanya.

Adrian memperkenalkannya dengan sopan, sedikit membungkuk pada wanita tua itu. "Nenek, ini Marigold Vale."

Keheningan menggantung selama beberapa detik yang terasa abadi. Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Bibir tipis wanita tua itu meregang membentuk senyuman kecil yang tulus.

"Marigold," ucapnya dengan suara serak tapi kuat. "Akhirnya, seseorang dengan nyala api di matanya."

Meri berkedip, tak yakin apakah harus merasa tersanjung atau memanggil taksi untuk pulang.

Nenek Montclair melangkah mendekat, mengulurkan tangan yang kurus namun terasa kuat saat menggenggam tangan Meri. Meri menerimanya dengan sedikit keraguan pada awalnya, dan hampir melompat kaget ketika wanita tua itu menggenggam tangannya dengan kehangatan yang tak terduga.

"Aku sudah menunggu seseorang sepertimu terlalu lama," bisiknya pelan, cukup pelan sehingga hanya Meri yang bisa mendengarnya. Suara itu bergetar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar usia.

Di belakang mereka, Adrian menghela napas pelan—sebuah campuran antara kelegaan dan kepasrahan.

"Masuklah," kata neneknya, melepaskan tangan Meri dengan lembut. "Kita punya banyak hal untuk dibicarakan... dan kita tidak punya banyak waktu."

Saat mereka melangkah masuk ke dalam Montclair Manor yang dingin dan megah, Meri merasakan sebuah kesadaran yang samar menyelinap masuk:

Mungkin, mungkin saja, dia tidak sendirian dalam kekacauan yang baru saja ia masuki ini. Ada sekutu tak terduga.

Mereka duduk di ruang tamu bergaya Victoria yang remang-remang, dipenuhi dengan lukisan-lukisan keluarga Montclair dari berbagai abad yang lalu. Tatapan mata para leluhur di lukisan itu tampak mengawasi Meri dengan intensitas yang membuatnya sedikit tidak nyaman. Seolah mereka adalah penonton di sebuah pertunjukan, dan Meri adalah bintang utamanya.

Sang nenek menuangkan teh ke dalam cangkir porselen tipis dengan gerakan anggun dan terlatih. Ia menatap Meri lagi, tatapan matanya lembut namun penuh dengan harapan yang mendalam, seolah mencoba menanamkan sesuatu yang penting di benak gadis itu.

"Marigold," katanya lembut, mengucapkan nama itu dengan hati-hati, menikmati setiap suku kata. "Nama yang kuat."

Meri tersenyum canggung dan mengangkat tangannya sedikit. "Meri saja, Nek. Itu lebih praktis."

Nenek—yang sebelumnya tampak seperti seorang menteri sihir yang sudah pensiun—tertawa pelan. "Meri, kalau begitu," katanya. "Terdengar lebih akrab."

Setelah hening sejenak, nenek mencondongkan tubuhnya ke depan, nadanya berubah menjadi serius dan mendesak. "Kau pasti bertanya-tanya mengapa semua ini begitu mendesak," katanya, tatapannya mengunci mata Meri. "Mengapa kutukan itu harus segera dipatahkan."

Meri menahan napas dan mengangguk pelan, merasakan ketegangan di udara semakin meningkat. “Kau percaya pada kutukannya?”

"Kutukan Montclair lebih dari sekadar nasib buruk yang terus berulang," lanjut sang nenek dengan suara yang lebih rendah, hampir berbisik. "Itu adalah jebakan berdarah. Setiap generasi keluarga ini... kehilangan sesuatu yang berharga. Jiwa, cinta sejati, bahkan kewarasan mereka perlahan terkikis."

Adrian hanya menatap piring kue di meja seolah kue itu bisa memberinya jawaban. Meri sempat meliriknya sekilas—bukan simpati, tapi rasa ingin tahu yang menusuk. Pria ini, yang sebentar lagi mungkin mati, apakah dia benar-benar menerima takdirnya?

Nenek tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Tapi jangan khawatir, Meri. Takdir bisa diubah. Kutukan bisa menakutkan, tapi manusia tetap lebih keras kepala."

"Pernikahan ini—" Meri mengerutkan kening, "—untuk melindunginya?"

“Ya, dan jagalah dirimu, Meri,” kata nenek lembut, nyaris seperti bisikan, namun suaranya begitu jelas. “Bukan karena Adrian berbahaya… tapi karena kadang, yang mencoba menyelamatkan bisa lebih mudah tenggelam.”

Meri tak menjawab. Namun, dari sudut matanya, dia melihat senyum tipis di wajah sang nenek. Bukan senyum licik atau manipulatif, melainkan senyum harapan yang tulus—dan permintaan maaf yang tak terucapkan.

"Kau mungkin satu-satunya harapan kami, Meri."

Dan untuk pertama kalinya sejak ia bertemu Adrian, Meri merasakan sesuatu yang aneh tumbuh dalam dirinya. Ini terasa lebih besar dan lebih penting daripada sekadar menandatangani kontrak pernikahan yang aneh. Ada beban tanggung jawab yang tak terduga.

Adrian mengecek jam tangannya sekilas. “Aku harus kembali ke kantor.”

“Tentu saja,” jawab Meri, tersenyum manis. Hanya senyum formalitas.

Ia berdiri, merapikan gaunnya dengan gerakan santai, siap melarikan diri.

“Pulanglah ke penthouse nanti malam,” kata Adrian pelan. “Kita masih harus menyelaraskan beberapa detail.”

“Detail seperti... siapa yang menang saat rebutan remote TV?” Meri balas, menantang, sudut bibirnya terangkat.

“Seperti siapa yang tidak boleh masuk seenaknya ke ruang kerjaku.” Adrian menjawab, tatapannya tajam, namun ada kilat geli di matanya.

Meri hanya mengangkat alis. “Kita lihat saja.”

Nenek menyesap tehnya terakhir kali, senyum kecilnya nyaris licik. “Hati-hati, Adrian. Istrimu bukan tipe yang mudah dikendalikan.”

Adrian tidak menjawab, namun senyum tipis, nyaris tak terlihat, melengkung di bibirnya saat tatapannya mengarah pada Meri.

Meri berpamitan pada nenek, lalu melangkah keluar ruangan dengan anggun, diikuti Adrian dibelakangnya. Gaunnya berkilau di bawah cahaya matahari yang menembus jendela, lalu berpikir:

Satu: menikah. Dua: mengesankan nenek mertua. Tiga: pura-pura tidak terganggu oleh pria yang terlalu tampan untuk neraka yang ia bawa.

Hari ini produktif sekali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 61 Detik-Detik yang Terasa Abadi

    Malam sudah turun saat mereka tiba di manor. Lampu-lampu taman menyala temaram, menyambut langkah mereka berdua yang hening tapi saling menggenggam erat.Adrian membuka pintu utama dan membiarkan Meri masuk lebih dulu. Hawa rumah besar itu terasa lebih hangat dari biasanya—entah karena sistem pemanas atau karena Nenek Montclair kini kembali, berbaring di kamarnya dengan nyaman, dikelilingi staf yang siaga.Meri memutuskan untuk menginap di sana. Ia berkata alasannya karena ingin memastikan nenek benar-benar pulih, tapi sebenarnya... ia hanya ingin merasakan rumah ini seutuhnya. Sekali lagi. Untuk terakhir kalinya—jika memang itu yang harus terjadi.Setelah memastikan Nenek Montclair benar-benar stabil, Meri kembali ke penthouse keesokan harinya. Angin malam membawa aroma asin dari laut. Gemuruh ombak samar terdengar dari kejauhan, seperti bisikan waktu yang tak bisa dihentikan.Meri berdiri di balkon penthouse, berbalut kaus tipis dan celana tidur longgar. Kedua tangannya menggenggam

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 60 Keputusan yang Terpaksa

    Koridor rumah sakit berbau antiseptik dan terlalu terang. Meri berjalan cepat menyusuri lorong Unit Gawat Darurat, seolah langkahnya tak cukup cepat untuk mengejar detak jantungnya sendiri.Di depan ruang observasi, Adrian berdiri dengan kedua tangan terlipat, wajahnya pucat dan mata sembab. Saat melihat Meri, ekspresinya mencair sedikit, tapi kecemasan tak hilang dari sorotnya.“Meri.”“Di mana dia?” suara Meri tercekat.Adrian menunjuk ke balik tirai kaca. Di dalam ruangan, Nenek Montclair terbaring dengan selang infus di tangan dan monitor detak jantung di sisinya. Matanya terpejam. Terlihat rapuh—terlalu rapuh dibanding biasanya.“Kata dokter, dia sempat kehilangan kesadaran beberapa menit. Gula darahnya turun drastis. Tapi... sekarang sudah stabil.”Meri menempelkan tangannya ke kaca, lalu menoleh ke Adrian. “Dia akan baik-baik saja, kan?”Adrian mengangguk pelan, tapi tak menjawab langsung. “Dia tadi manggil namamu. Bahkan pas di ambulans. Kayak... dia tahu kamu harus ada di san

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 59 Pilihan Mustahil

    Meri tidak menjawab. Tangannya mengepal di sisi gaunnya. Matanya menatap lurus ke wajah Julian, dingin dan penuh waspada.Julian tersenyum miring. “Kutukan itu tidak hilang hanya karena kalian saling cinta, Meri. Ini bukan dongeng.”“Dan kamu pikir dengan menakutiku, aku akan lari?” suara Meri tajam tapi pelan.“Aku tidak menakutimu.” Julian melangkah mendekat, setengah berbisik. “Aku memberimu pilihan. Satu yang... manusiawi.”Ia berhenti hanya beberapa langkah dari Meri. “Kau tahu sendiri sekarang, kan? Bahkan sihirmu tidak bisa menyelamatkannya saat kutukan itu aktif. Dan itu... bukan kejadian terakhir, kalau kau tetap di sisinya.”Meri menahan napas.“Aku tahu siapa kamu,” lanjut Julian, suaranya nyaris lembut. “Marigold Vale. Cucu dari Rose. Darah keluarga yang sama yang menentang perjanjian ulang dulu... dan orangtuamu dibunuh karena itu. Dan, ngomong-ngomong… ternyata kita juga sepupu ya. Dunia memang sempit.”Dia mencondongkan tubuh. “Apa kamu pikir nenekmu menyembunyikan semu

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 58 Masa Lalu yang Kejam

    Lampu gantung di langit-langit ruang bawah tanah itu berpendar redup. Bau logam, darah kering, dan dupa sihir memenuhi udara. Beberapa artefak tua berserakan di meja panjang—botol darah, pecahan kristal, dan satu gulungan kontrak sihir yang mulai rapuh.Lysander Vale duduk di kursi tinggi, tubuhnya membungkuk lelah. Tangan kanannya gemetar saat menuangkan cairan ungu pekat ke cawan kecil. Wajahnya pucat, mata kelabunya tenggelam dalam lingkaran hitam yang dalam.Julian berdiri di sisi ruangan, memandangi ayahnya dengan raut gelisah.“Ayah,” katanya akhirnya. “Kau tak kelihatan baik.”Lysander mengangkat cawan, meneguk cairan itu tanpa ragu. Rasa pahit menyeringai di wajahnya, tapi ia menahannya.“Serangan tadi malam,” gumamnya. “Menghabiskan lebih banyak dari yang kupikirkan. Kutukannya... tidak seperti dulu lagi.”Julian mendekat. “Bukankah efeknya berhasil?”Lysander menggeleng pelan. “Itu hanya ilusi, dibentuk dari sisa-sisa kontrak darah lama. Tapi ikatannya dengan si gadis—dengan

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 57 Manipulasi Mematikan

    Langit di luar jendela gelap pekat, hanya dihiasi kilat sesekali di kejauhan. Meri berdiri di dapur, menuang teh chamomile ke cangkir. Tangannya bergetar sedikit, bukan karena panas... tapi karena pikirannya belum berhenti memutar ulang kata-kata pria tadi siang."Kalau kau tidak percaya... perhatikan malam ini."Suara itu masih mengendap di telinga. Dingin. Yakin. Mengancam.Ia menatap jam dinding. Hampir tengah malam.Adrian sudah tidur. Meri memutuskan untuk tetap terjaga, berjaga-jaga. Ia duduk di sofa, cangkir teh di tangan, mata tak lepas dari Adrian yang sedang terlelap.Lima menit berlalu. Lalu sepuluh.Lalu—Kutukan BangkitJeritan.Bukan suara. Tapi rasa. Gelombang tekanan tiba-tiba menghantam seluruh ruangan seperti angin dari neraka. Lampu berkedip satu kali sebelum padam total.Meri langsung berlari mendekat.Adrian menggeliat di ranjang, tubuhnya kejang-kejang, keringat membanjiri dahinya. Matanya terbuka tapi kosong—terpaku ke langit-langit dengan pupil menyusut jadi ti

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 56 Kebenaran yang Menyakitkan

    Beberapa jam setelah Adrian bangunRuang kerja utama di penthouse nyaris gelap, hanya cahaya dari layar besar yang menyala menampilkan berkas-berkas terenkripsi.Adrian duduk di kursi dengan hoodie gelap. Tatapannya tajam menelusuri deretan nama, tanggal, dan angka yang terhubung dengan satu perusahaan: Blackmoor Ltd.Dia sengaja tidak ke kantor Montclair Group, supaya pihak lawan masih mengira dirinya lemah.Lucien berdiri di belakangnya, lengan menyilang. “Aku baru dapat salinan dokumen dari partner legal kita di Frankfurt. Blackmoor baru buka dua anak cabang dalam tiga bulan terakhir. Tapi semua dana awalnya masuk dari—” ia menunjuk layar, “Montclair East Asia.”Adrian menggeram pelan. “Jalur investasi offshore. Mereka nyamar lewat proyek energi. Tapi dananya ngalir ke eksperimen.”“Dan bukan cuma eksperimen.” Lucien meletakkan tablet kecil ke meja. Layar menampilkan blueprint bangunan bawah tanah. “Fasilitas ini ada di bawah kantor utama Blackmoor. Sistem keamanan independen. Ada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status