Mobil melambat dan akhirnya berhenti di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi, dengan ukiran-ukiran aneh yang terasa mengamati. Gerbang itu berderit perlahan saat terbuka, memperlihatkan jalan setapak batu yang diapit deretan pohon tua yang rimbun.
"Ini... istana Drakula versi premium?" bisik Meri, menyipitkan mata mencoba melihat lebih jelas melalui dahan-dahan yang bergoyang.
Adrian hanya tersenyum tipis tanpa menjawab, tapi matanya berbinar geli, menangkap kegelisahan Meri.
Montclair Manor akhirnya muncul di ujung jalan—sebuah bangunan bergaya Gotik yang megah dengan menara-menara runcing, jendela-jendela tinggi berbingkai batu, dan dinding yang tampaknya dirancang untuk menghadapi pengepungan abad pertengahan. Lampu gantung antik di teras depan menciptakan bayangan-bayangan aneh yang bergoyang di atas batu, seolah bangunan itu sendiri bernapas.
Mobil berhenti dengan tenang. Meri keluar dengan hati-hati. Gaun emasnya berkibar lembut ditiup angin, sementara sepatu hak tingginya berbunyi klak-klik tajam di atas batu paving. Dia mendongak, merasa tiba-tiba sangat kecil, ditelan oleh arsitektur yang menindas.
Saat mereka menaiki tangga batu besar menuju pintu utama, suara gagak terdengar memecah keheningan dari kejauhan, seruan melengking yang menusuk telinga.
Tentu saja, pikir Meri sinis. Karena situasi ini belum cukup dramatis tanpa kehadiran burung-burung pembawa sial itu.
Sebelum dia bisa mengeluh lebih jauh, pintu kayu berat itu terbuka dengan deritan pelan. Di ambang pintu berdiri seorang wanita tua ramping dengan rambut putih disanggul rapi, dan tatapan mata seolah ia tahu setiap rahasia Meri.
Selamat datang di keluarga Montclair, pikir Meri getir. Tempat di mana kutukan turun-temurun hanyalah permulaan dari semua masalah yang akan kuhadapi.
Wanita tua itu mengamati Meri dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan tajam dan menyelidik, seperti seekor elang yang sedang mengukur mangsanya sebelum menerkam. Meri, yang biasanya tidak gentar menatap siapa pun, mendapati dirinya berdiri diam membeku, jantungnya berdebar terlalu cepat di dadanya.
Adrian memperkenalkannya dengan sopan, sedikit membungkuk pada wanita tua itu. "Nenek, ini Marigold Vale."
Keheningan menggantung selama beberapa detik yang terasa abadi. Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Bibir tipis wanita tua itu meregang membentuk senyuman kecil yang tulus.
"Marigold," ucapnya dengan suara serak tapi kuat. "Akhirnya, seseorang dengan nyala api di matanya."
Meri berkedip, tak yakin apakah harus merasa tersanjung atau memanggil taksi untuk pulang.
Nenek Montclair melangkah mendekat, mengulurkan tangan yang kurus namun terasa kuat saat menggenggam tangan Meri. Meri menerimanya dengan sedikit keraguan pada awalnya, dan hampir melompat kaget ketika wanita tua itu menggenggam tangannya dengan kehangatan yang tak terduga.
"Aku sudah menunggu seseorang sepertimu terlalu lama," bisiknya pelan, cukup pelan sehingga hanya Meri yang bisa mendengarnya. Suara itu bergetar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar usia.
Di belakang mereka, Adrian menghela napas pelan—sebuah campuran antara kelegaan dan kepasrahan.
"Masuklah," kata neneknya, melepaskan tangan Meri dengan lembut. "Kita punya banyak hal untuk dibicarakan... dan kita tidak punya banyak waktu."
Saat mereka melangkah masuk ke dalam Montclair Manor yang dingin dan megah, Meri merasakan sebuah kesadaran yang samar menyelinap masuk:
Mungkin, mungkin saja, dia tidak sendirian dalam kekacauan yang baru saja ia masuki ini. Ada sekutu tak terduga.
Mereka duduk di ruang tamu bergaya Victoria yang remang-remang, dipenuhi dengan lukisan-lukisan keluarga Montclair dari berbagai abad yang lalu. Tatapan mata para leluhur di lukisan itu tampak mengawasi Meri dengan intensitas yang membuatnya sedikit tidak nyaman. Seolah mereka adalah penonton di sebuah pertunjukan, dan Meri adalah bintang utamanya.
Sang nenek menuangkan teh ke dalam cangkir porselen tipis dengan gerakan anggun dan terlatih. Ia menatap Meri lagi, tatapan matanya lembut namun penuh dengan harapan yang mendalam, seolah mencoba menanamkan sesuatu yang penting di benak gadis itu.
"Marigold," katanya lembut, mengucapkan nama itu dengan hati-hati, menikmati setiap suku kata. "Nama yang kuat."
Meri tersenyum canggung dan mengangkat tangannya sedikit. "Meri saja, Nek. Itu lebih praktis."
Nenek—yang sebelumnya tampak seperti seorang menteri sihir yang sudah pensiun—tertawa pelan. "Meri, kalau begitu," katanya. "Terdengar lebih akrab."
Setelah hening sejenak, nenek mencondongkan tubuhnya ke depan, nadanya berubah menjadi serius dan mendesak. "Kau pasti bertanya-tanya mengapa semua ini begitu mendesak," katanya, tatapannya mengunci mata Meri. "Mengapa kutukan itu harus segera dipatahkan."
Meri menahan napas dan mengangguk pelan, merasakan ketegangan di udara semakin meningkat. “Kau percaya pada kutukannya?”
"Kutukan Montclair lebih dari sekadar nasib buruk yang terus berulang," lanjut sang nenek dengan suara yang lebih rendah, hampir berbisik. "Itu adalah jebakan berdarah. Setiap generasi keluarga ini... kehilangan sesuatu yang berharga. Jiwa, cinta sejati, bahkan kewarasan mereka perlahan terkikis."
Adrian hanya menatap piring kue di meja seolah kue itu bisa memberinya jawaban. Meri sempat meliriknya sekilas—bukan simpati, tapi rasa ingin tahu yang menusuk. Pria ini, yang sebentar lagi mungkin mati, apakah dia benar-benar menerima takdirnya?
Nenek tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Tapi jangan khawatir, Meri. Takdir bisa diubah. Kutukan bisa menakutkan, tapi manusia tetap lebih keras kepala."
"Pernikahan ini—" Meri mengerutkan kening, "—untuk melindunginya?"
“Ya, dan jagalah dirimu, Meri,” kata nenek lembut, nyaris seperti bisikan, namun suaranya begitu jelas. “Bukan karena Adrian berbahaya… tapi karena kadang, yang mencoba menyelamatkan bisa lebih mudah tenggelam.”
Meri tak menjawab. Namun, dari sudut matanya, dia melihat senyum tipis di wajah sang nenek. Bukan senyum licik atau manipulatif, melainkan senyum harapan yang tulus—dan permintaan maaf yang tak terucapkan.
"Kau mungkin satu-satunya harapan kami, Meri."
Dan untuk pertama kalinya sejak ia bertemu Adrian, Meri merasakan sesuatu yang aneh tumbuh dalam dirinya. Ini terasa lebih besar dan lebih penting daripada sekadar menandatangani kontrak pernikahan yang aneh. Ada beban tanggung jawab yang tak terduga.
Adrian mengecek jam tangannya sekilas. “Aku harus kembali ke kantor.”
“Tentu saja,” jawab Meri, tersenyum manis. Hanya senyum formalitas.
Ia berdiri, merapikan gaunnya dengan gerakan santai, siap melarikan diri.
“Pulanglah ke penthouse nanti malam,” kata Adrian pelan. “Kita masih harus menyelaraskan beberapa detail.”
“Detail seperti... siapa yang menang saat rebutan remote TV?” Meri balas, menantang, sudut bibirnya terangkat.
“Seperti siapa yang tidak boleh masuk seenaknya ke ruang kerjaku.” Adrian menjawab, tatapannya tajam, namun ada kilat geli di matanya.
Meri hanya mengangkat alis. “Kita lihat saja.”
Nenek menyesap tehnya terakhir kali, senyum kecilnya nyaris licik. “Hati-hati, Adrian. Istrimu bukan tipe yang mudah dikendalikan.”
Adrian tidak menjawab, namun senyum tipis, nyaris tak terlihat, melengkung di bibirnya saat tatapannya mengarah pada Meri.
Meri berpamitan pada nenek, lalu melangkah keluar ruangan dengan anggun, diikuti Adrian dibelakangnya. Gaunnya berkilau di bawah cahaya matahari yang menembus jendela, lalu berpikir:
Satu: menikah. Dua: mengesankan nenek mertua. Tiga: pura-pura tidak terganggu oleh pria yang terlalu tampan untuk neraka yang ia bawa.
Hari ini produktif sekali.
Ruang kerja Adrian terasa lebih dingin. Sinar matahari sore memantulkan cahaya keemasan di meja panjang yang dipenuhi berkas-berkas rahasia Montclair Group. Adrian duduk, satu tangan memutar pelan pena perak, sementara pandangannya fokus ke layar tablet di depannya.Nama-nama muncul rapi di layar—eksekutif yang sudah diwarnai merah, biru, abu-abu. Semua catatan Julian kini ada di genggaman Adrian.“Dia pikir aku tidak tahu siapa saja yang sudah dia dekati…” suara Adrian rendah, nyaris seperti gumaman, tapi penuh ancaman terpendam.Lucien berdiri di samping meja, menyilangkan tangan. “Kalau Julian berani gerak, berarti salah satu dari mereka sudah kasih celah. Anderson, misalnya.”Adrian meletakkan pena, menatap lurus ke asistennya. Se
Ruang kerja Adrian di lantai atas Montclair Group sunyi. Hanya suara jarum jam yang terdengar saat Anderson masuk, wajahnya tegang, keringat tipis menetes di pelipisnya.Adrian tidak menyuruhnya duduk. Ia hanya menatap dengan tatapan datar, membuat pria paruh baya itu semakin gelisah.“Duduklah, Tuan Anderson.” Suara Adrian tenang, tapi dingin. Anderson segera menuruti, punggungnya kaku.Adrian membuka map di mejanya. Beberapa lembar dokumen kontrak luar negeri, tanda tangannya, dan informasi transfer mencurigakan. Anderson langsung pucat.“Lucien menelusuri file lama,” Adrian berkata ringan, seolah hanya membicarakan laporan keuangan biasa. “Kau cukup berbakat… sampai harus menutupi proyek ilegal di Singapore. Kontrak ganda, suap pejabat. Aku punya semua salinannya.”
Malam itu, ruang kerja di penthouse dipenuhi cahaya lampu kuning temaram. Jendela besar menampilkan siluet kota Vileria, berkilau tapi dingin. Adrian duduk di kursi kulit hitam, jasnya masih rapi, tangan mengetuk pelan permukaan meja.Lucien masuk lebih dulu, membawa map tebal. “Jejak terakhir Julian terlacak di kawasan utara. Bukan rumah, lebih mirip gudang. Orang-orangnya keluar masuk, tapi dia sendiri jarang terlihat.”Dr. Zhu menyusul, wajahnya serius. “Aku sudah bicara dengan Cassie. Dari semua yang dia ungkap, jelas: Julian tidak tertarik dengan sihir. Dia hanya peduli satu hal—merebut Montclair. Semua ini tentang tahta yang menurutnya seharusnya jatuh padanya.”Adrian menatap keduanya. “Itu menjelaskan kenapa dia mulai menyerang lewat kenangan. Bukan untuk mengutukku, tapi
Suasana sore tenang, cahaya matahari menembus kaca besar, memantul di lantai. Meri memerhatikan Rowan dan Rosie yang sedang menggambar. Ia baru hendak membuat teh saat suara interkom di dinding berbunyi.Meri mendekat, menekan tombol. Layar kecil menyala, menampilkan wajah seorang kurir dengan kotak kecil di tangan.“Pengiriman untuk Ny. Montclair,” katanya.Meri mengernyit. “Dari siapa?”Kurir menggeleng. “Tidak ada nama pengirim. Petugas keamanan gedung sudah memverifikasi, paketnya aman. Mau dikirimkan naik?”Hati Meri berdebar, tapi ia mengangguk singkat. “Ya, kirimkan.”Beberapa menit kemudian, bunyi bel lift pribadi terdengar. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang petugas keamanan gedung, bukan kurir tadi, berdiri sopan sambil menyerahkan paket. “Dari bawah, Nyonya. Sudah dicek, tidak ada perangkat berbahaya.”“Terima kasih,” jawab Meri, meski dadanya terasa berat.Ia meletakkan paket itu di meja makan. Kertas cokelatnya serupa dengan kiriman Adrian beberapa hari lalu. Saat dibu
Setelah semua badai reda, Adrian dan Meri akhirnya memutuskan untuk tinggal di penthouse. Montclair Manor memang penuh kenangan, tapi ada jarak—selalu terasa seperti tempat keluarga besar. Penthouse berbeda. Di sini, setiap sudutnya punya jejak mereka sendiri. Lebih sederhana, lebih pribadi, lebih seperti “rumah” yang benar-benar milik mereka.Pagi itu, cahaya matahari jatuh dari jendela besar, menghangatkan ruang makan. Anak-anak sudah duduk, tapi bukannya sarapan dengan tenang, mereka sibuk berebut selai stroberi. Sendok beradu, tawa bercampur rengekan kecil.“Boleh nggak kalau aku yang olesin dulu?” Rowan merengek, memeluk toples selai seperti harta karun.“Enggak! Aku dulu!” Rosie membalas, wajahnya memerah penuh semangat.Me
Pagi itu Montclair Manor tenang. Cahaya matahari menembus jendela besar, memantul di lantai marmer. Adrian sedang merapikan jas di depan cermin, sementara Meri berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan yang hangat.“Kenapa lihat aku begitu?” Adrian mengangkat alis, senyum tipis muncul.Meri mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Cuma... kadang aku masih nggak percaya kita bisa sampai sini.”Adrian menghampiri, meraih dagunya singkat. “Kita sudah melewati neraka, Meri. Sisanya... kita jalani sama-sama.”Ketukan pintu pelan memutus momen itu. Seorang pelayan masuk, membawa sebuah kotak kecil berbalut kertas cokelat. “Tuan, ini baru saja diantar. Tidak ada nama pengirim.”Adrian merengut. “Letakkan di meja.”Pelayan pergi. Meri dan Adrian saling pandang. Ada sesuatu yang dingin menyelinap di udara.Adrian membuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah mainan kayu kecil—kuda yang dulu ia kenal betul, hadiah dari ibunya saat masih kecil. Tapi kini, kuda itu diukir ulang dengan goresan simbo