Montclair Group — Ruang Rapat EksekutifSorotan lampu di langit-langit menyinari ruangan panjang dengan jendela kaca setinggi langit-langit, memperlihatkan langit kota yang berawan. Para direktur duduk tegak, sebagian membolak-balik dokumen presentasi. Di ujung meja, Adrian duduk dengan tubuh condong ke depan, jas hitamnya rapi, ekspresinya tenang—namun matanya waspada.Di sisi seberang, Julian berdiri dengan satu tangan di saku celana, tangan lainnya mengarahkan pointer laser ke layar presentasi.“...dan berdasarkan pendekatan regional yang saya adaptasi dari strategi Asia-Pasifik, kami berhasil menutup kesepakatan dengan dua distributor utama dalam waktu kurang dari empat belas hari,” katanya santai. “Margin laba naik 6,7 persen di kuartal ini saja. Dengan sedikit penyesuaian di lini logistik, proyeksi untuk tahun depan bisa naik dua digit.”Beberapa direktur mengangguk setuju. Salah satu dari mereka berbisik ke rekan di sebelahnya, “Anak ini tahu apa yang dia lakukan.”Nenek Montcl
Langit Vileria masih kelabu ketika Julian Vale melangkah ke lantai eksekutif Montclair Group, mengenakan jas arang dengan potongan presisi dan jam tangan kulit klasik yang membingkai pergelangan tangannya. Senyumnya tenang, langkahnya stabil, dan tangannya menggenggam berkas laporan yang baru dikompilasi semalam.Rapat pagi berlangsung padat. Salah satu mitra distribusi dari Asia Tenggara melaporkan kendala bea cukai yang menghambat pengiriman. Beberapa staf mulai saling lempar tanggung jawab. Di tengah atmosfer rapat yang tegang, Adrian Montclair duduk di kepala meja—tegak, tajam, dan tak tergoyahkan.“Langkah korektif pertama,” ucap Julian dengan nada datar namun jelas. “Alihkan pengiriman berikutnya lewat Vietnam Selatan. Saya sudah kontak mitra lokal yang siap bantu distribusi dengan biaya tambahan. Detailnya ada di lampiran ini.”Ia menggeser map ke arah kepala divisi logistik yang langsung menyambarnya.“Untuk jangka panjang,” lanjut Julian, “kita butuh distributor cadangan yang
Meri duduk di pojok sofa. Di pangkuannya, secangkir teh yang sudah mendingin. Ia belum menyentuhnya.Adrian berdiri tak jauh. Sorot matanya tajam, tapi pikirannya jelas belum selesai mencerna kejadian saat makan malam tadi.“Dia tahu banyak,” kata Meri akhirnya.Adrian menoleh, lalu mengangguk pelan. “Terlalu banyak.”“Waktu dia ke toko, dia membeli ramuan penenang, tapi nggak ngomong apa-apa lagi.”Adrian berjalan mendekat, mengambil cangkir dari tangan Meri dan meletakkannya di meja. “Dia bilang apa soal darah?”Meri menatap matanya. “Katanya... ‘Rasa pedas begini cuma bisa dinikmati oleh orang dengan darah yang sama. Kau tahu, Meri, darah kita serupa.’”Ruangan mendadak terasa lebih dingin.Adrian menarik napas pendek. “Itu bukan basa-basi. Dia sedang uji coba.”Meri menyandarkan punggung. “Apa ada kemungkinan dia tahu tentang perjanjian darah itu?”Adrian menatap kosong ke jendela. “Julian. Entahlah. Dia dulu tinggal di manor juga waktu kecil.”“Kamu akrab?” tanya Meri pelan.“Kam
Julian menyapa dengan senyum tipis yang nyaris terlalu ramah. “Halo, sepupu.”Lucien yang sedang duduk langsung menoleh. Alisnya terangkat, refleks berdiri dengan tangan masih memegang laporan. Suasana ruangan mendadak sunyi. Hanya suara jarum jam di dinding yang berdetak pelan, terdengar terlalu jelas.Adrian memutar tubuhnya perlahan dari jendela, menatap pria yang kini berdiri di ambang pintu dengan jas abu gelap dan rambut disisir rapi ke belakang. Tatapannya datar, tapi sorot matanya tajam.“Julian?” nada Adrian nyaris datar, tapi ada ujung tak percaya. “Kenapa kamu di sini?”Julian mengangkat bahu kecil. “Sudah lama kan aku tidak pulang.”Lucien melihat ke Adrian sejenak, lalu tanggap. “Aku... aku keluar dulu. Laporan lengkapnya nanti kususulkan lewat email.”Ia buru-buru mengemasi berkas dan melangkah pergi, menutup pintu dengan bunyi klik yang lembut, tapi terasa seperti segel antara dua garis keturunan yang lama tak bersentuhan.Julian melangkah masuk lebih jauh tanpa diundan
Suara burung samar terdengar dari taman belakang. Cahaya matahari menyusup masuk lewat tirai krem, menyinari dinding batu Montclair Manor yang dingin tapi anggun.Di tempat tidur berlapis linen putih dan selimut wol tebal, Meri duduk bersandar pada kepala ranjang, rambutnya masih sedikit kusut. Ia membaca ulang halaman-halaman dari arsip lain yang ditemukan kemarin—lembaran tua dengan simbol darah yang kini jauh lebih berarti dari yang ia kira.Di sampingnya, Adrian baru saja terbangun. Ia mengerjapkan mata, lalu mengusap wajah pelan sebelum duduk. “Udah pagi?”“Sudah. Dan dunia belum runtuh,” jawab Meri tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi di matanya ada kesibukan yang tak biasa.Adrian menyandarkan kepala ke bahunya. “Kamu nggak tidur?”“Aku tidur. Terus kebangun, dan otakku mutusin sekarang saatnya overthinking.” Meri melipat satu halaman dan meletakkannya di pangkuannya. “Adrian… kamu yakin kamu nggak tahu apa-apa soal ini?”“Kalau aku tahu, kamu pikir aku bakal diem?” Suaran
Matahari belum tinggi ketika aroma kopi memenuhi penthouse. Meri duduk di meja makan dengan hoodie kebesaran dan rambut yang masih agak berantakan. Adrian muncul dari dapur, membawa dua mug. Ia menyerahkan salah satunya ke Meri tanpa banyak kata."Terima kasih," ucap Meri pelan.Hening sejenak. Tak canggung, tapi jelas ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang perlu dibicarakan.Adrian akhirnya duduk di seberangnya. "Aku janji kita akan bicara."Meri mengangguk. "Aku ingat."Adrian menatap isi cangkirnya. "Kutukannya... kadang rasanya seperti belati yang dipelintir dari dalam. Tapi yang paling menyiksa bukan sakitnya."Meri menunggu."Yang paling menyiksa, Meri, itu kebohongannya. Hidup dengan banyak versi cerita untuk setiap orang. Bahkan ke orang yang—" Ia menghela napas. "—yang kupikir paling peduli.""Kamu maksud Cassie?"Ada jeda kecil. Adrian tak mengelak. Tapi ekspresinya berubah—bukan nostalgia, tapi lelah."Dia tahu aku terkutuk, tapi tidak pernah tahu sebera