Mag-log inMatahari pagi menyelinap lewat jendela, menyorot lantai kamar yang masih terlalu netral untuk hati yang lagi mendidih. Meri membuka mata pelan, seolah berharap semalam hanya mimpi buruk.
Tapi koper masih di sudut. Bantal bulan sabit masih di pelukan. Dan di luar sana, entah ada berapa gram sisa parfum mahal yang masih menggantung di udara penthouse, menyisakan jejak manis yang menjengkelkan.
Meri duduk. Rambutnya berantakan, tapi auranya sangat siap untuk perang dingin. Ia berdiri, menggeliat malas, lalu berjalan ke kamar mandi.
Setelah mencuci muka dan memasang senyum sosial level minimum, Meri keluar kamar, merasakan dinginnya marmer di bawah kakinya.
Ia nyaris mencapai dapur ketika suara itu datang.
Senandung ringan, manis, dan terlalu ceria untuk pagi hari.
Lalu aroma kopi menyusul, disertai suara gelas diletakkan di atas meja marmer. Dan saat ia belok dari balik tembok, ia melihatnya.
Hantu itu. Rambutnya tergerai sempurna, berkilau seperti mahkota. Duduk santai di kursi bar dapur. Memakai salah satu kemeja Adrian—yang terlalu besar di bahu. Dengan riasan minimalis yang sudah sangat I woke up like this padahal jelas-jelas tidur di sini.
Cassie mengangkat cangkir kopinya. "Pagi," sapanya ceria. "Kamu pasti Marigold, ya?" Nada suaranya terlalu ramah, nyaris palsu.
Dan Meri, masih dalam hoodie hitam kebanggaannya dan tatapan setengah sadar, cuma bisa menjawab dalam hati: Astaga. Bahkan namaku terdengar seperti tanaman herbal yang tak diundang di kebun mahal ini.
Meri menatap Cassie selama dua detik penuh—cukup lama untuk membaca seluruh energi dan auranya. Manis di luar. Militan di dalam. Tipe yang bisa melempar glitter dan racun sekaligus, lalu bilang itu 'aesthetic'.
“Betul,” sahut Meri akhirnya, nada suaranya datar, tanpa emosi. “Marigold Vale. Istri kontrak. Penyihir semi-pensiun. Mantan pemilik toko bangkrut. Tentu saja, sedang direnovasi. Berkat Adrian.”
Ia membuka lemari dapur dengan ekspresi datar, mengeluarkan cangkir favoritnya—yang bergambar kucing terbang dengan teks Screw Your Aura. Lalu menyeduh teh herbal, menuangkan air panas ke cangkir dengan gerakan tenang, seolah tidak sedang disaksikan oleh perempuan yang semalam mencium suaminya. Dan mungkin lebih.
Cassie tersenyum lebar. “Oh, kamu lucu.”
“Terima kasih. Aku juga bisa mengganti warna lidah orang dengan mantra satu kata, tapi itu belum waktunya.”
Cassie mengangkat alis, tapi senyumnya tak goyah. Ia menyeruput kopinya pelan, lalu mengamati Meri seakan sedang menilai sesuatu yang dijual di butik, memindai dengan pandangan merendahkan.
“Kau suka tinggal di sini?” tanyanya akhirnya.
Meri menoleh. Seringai tipis terukir di bibirnya. “Aku suka jendelanya. Pemandangan lautnya membuatku ingat bahwa dunia ini luas… dan aku bisa mendorong orang dari balkon kapan saja.”
Tepat saat Cassie akan membuka mulut, suara langkah pelan terdengar dari lorong. Adrian muncul—kaus putih sederhana dan celana tidur gelap. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya masih setengah sadar. Terlihat... lebih manusiawi dari biasanya.
Dia berhenti begitu melihat mereka berdua di dapur. Seketika tegang.
“Kau bangun lebih pagi dari biasanya,” katanya pada Cassie, nada suaranya sedikit kaku.
Cassie menyeruput kopinya. “Aku membuatkan sarapan. Kopi dan roti bakar dengan telur.”
Adrian menghela napas, matanya berpindah dari satu wanita ke wanita lain.
“Mari kita semua bersikap dewasa,” katanya akhirnya, nada suaranya terdengar pasrah.
Cassie tersenyum manis. “Tentu. Aku cuma mampir karena... ya, aku memang sering mampir.” Ia menoleh pada Meri, dengan tatapan penuh kemenangan. “Dan menginap. Kami sudah cukup lama bersama sebelum pernikahan kilat kalian.”
“Oh, aku paham.” Meri meletakkan cangkirnya dengan pelan di atas meja, bunyinya nyaris tak terdengar, namun menyimpan ketegasan. “Tapi jangan khawatir. Aku nggak keberatan dengan kehadiran makhluk dari masa lalu. Selama mereka tahu kapan waktunya kembali ke kandang.”
Sunyi sejenak. Ketegangan memuncak di udara.
Adrian menggosok pelipisnya, frustrasi terlihat jelas. “Cass, kau harusnya sudah...”
“Aku akan pergi,” potong Cassie dengan nada lembut namun jelas. Ia berdiri, merapikan kemeja Adrian di tubuhnya dengan dramatis, menghampirinya, dan mengecup pipinya. Lalu melangkah ke arah lift, kepalanya terangkat tinggi.
Saat pintu lift menutup, Meri mengangkat cangkirnya sekali lagi dan bergumam, “Kurasa itu cukup ‘sarapan tinggi protein’ untuk satu pagi.” Nada suaranya mengandung sindiran tajam.
Adrian menatapnya. “Kau marah?”
“Aku? Tidak.” Meri tersenyum datar, senyum palsu yang tidak mencapai matanya. “Aku hanya sedang menyusun klausul tambahan dan mempertimbangkan untuk mencoret kata ‘netral’ dari semua zona rumah ini.”
Adrian memandangnya beberapa detik. Lalu, untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, ia terlihat sedikit... bersalah. Ada kerutan samar di antara alisnya, menunjukkan penyesalan.
Tapi Meri tidak memberinya ruang untuk menjelaskan. Ia membawa cangkirnya dan berjalan ke arah balkon, angin laut menerpa rambutnya. Mencari udara segar dari drama yang menyesakkan.
Karena kadang, lebih baik berdialog dengan ombak daripada dengan pria yang tidak tahu bedanya antara ‘kontrak’ dan ‘komitmen’.
Meri berdiri di balkon, membiarkan angin laut membelai wajahnya, namun pikirannya masih tertuju pada seringai Cassie yang penuh kemenangan. Ia tahu, gadis itu tidak akan menyerah begitu saja. Ini adalah permainan perebutan wilayah, bukan hanya hati. Dan Marigold Vale, penyihir yang sudah terbiasa dengan kutukan, kini harus menghadapi kutukan lain: mantan pacar yang enggan pergi. Permainan baru saja dimulai, dan ia takkan membiarkan siapa pun menang.
Lampu sorot berderet di depan podium. Deretan kamera dan kilatan flash memenuhi ruangan ballroom hotel yang disulap jadi ruangan konferensi pers. Suara riuh wartawan terdengar, semua berebut tempat untuk dapat angle terbaik.Pintu samping terbuka. Adrian Montclair melangkah masuk dengan setelan hitam yang rapi, dasi warna biru gelap, wajahnya dingin tapi mantap. Di sampingnya, Meri berjalan anggun, sederhana tapi elegan, langkahnya selaras dengan Adrian. Begitu mereka muncul, riuh suara ruangan langsung mereda—seolah semua orang menahan napas.Adrian berdiri di podium, menatap barisan kamera dengan tatapan yang tajam. Ia tidak langsung bicara. Hening beberapa detik, cukup lama untuk menegaskan bahwa dialah yang mengendalikan panggung.“Keluarga Montclair telah melalui badai,” suaranya dalam, menggema di ruangan. “Tapi malam ini, saya berdiri di sini untuk mengatakan satu hal sederhana: badai itu telah berakhir.”Flash kamera kembali menyala. Wartawan mulai berbisik.Adrian mengangkat
Adrian berdiri di ujung meja. “Aku tahu siapa saja yang menjual Montclair pada Julian. Hari ini, aku bersihkan meja ini.” Lucien membuka map, menaruh di tengah. Bukti terpampang jelas. Salah satu eksekutif tergagap. “Tuan Montclair… saya—” Adrian memotong dingin. “Diam. Kau duduk di sini karena aku masih izinkan. Satu langkah salah, pintu keluar ada di belakangmu.” Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “Montclair bukan milik pengkhianat. Siapa yang mau bertahan, buktikan dengan kerja. Siapa yang ragu… jangan buang waktuku.” Seorang eksekutif lain memberanikan diri. “Dan kalau kami memilih keluar?” Adrian mencondongkan badan, tatapannya menusuk. “Maka kalian akan keluar dengan tangan kosong—dan nama kalian hancur di luar sana.” Keheningan. Tak ada yang berani bergerak. Adrian menutup map dengan satu hentakan. “Mulai hari ini, aku pimpin dengan caraku. Julian sudah jatuh. Sekarang giliran siapa pun yang masih coba bermain dua sisi.” Adrian berdiri, kursinya bergeser pelan
Penthouse itu sunyi. Hanya jam dinding di ruang tamu yang berdetak pelan, mengisi kekosongan malam. Meri duduk di sofa, kedua tangannya menggenggam erat mug teh yang sudah lama dingin. Ia menatap pintu lift pribadi, menunggu tanpa berkedip, seperti kalau ia mengalihkan pandangan sebentar saja, Adrian mungkin tidak akan benar-benar kembali.Ting!Denting lift terdengar. Jantung Meri berdegup kencang. Pintu terbuka, dan Adrian muncul—jasnya kusut, dasi longgar, wajahnya lelah tapi matanya tetap sama.“Adrian…” suara Meri hampir bergetar.Ia melangkah masuk, menutup pintu lift dengan satu dorongan. Pandangannya langsung jatuh pada Meri. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata pelan, “Semua selesai.”Meri bangkit, menghampirinya dengan langkah cepat. “Kau… baik-baik saja?”Adrian mengangguk kecil, lalu meraih tangan Meri, seakan hanya itu yang menahannya tetap berdiri. “Julian sudah ditangkap. Tapi, Meri…” ia menarik napas panjang, “…ada hal lain yang harus kau tahu.”“Duduklah. Aku
Asap hitam masih membubung dari reruntuhan gudang. Api yang belum padam memberikan cahaya merah di langit, seolah kota sendiri sedang terbakar oleh amarah yang tidak terlihat.Julian Vale berdiri di balkon gedung kosong, setinggi enam lantai, menatap kobaran api dengan senyum tipis di bibirnya. Rokok menyala di ujung jarinya, abu jatuh berhamburan ke bawah.“Lihat itu,” katanya pelan, suaranya bercampur dengan dengung sirene pemadam. “Adrian pikir dia bisa menjebakku. Sekarang pasukannya jadi arang.”Dua pengawal di belakangnya saling melirik, ikut menyeringai seakan kemenangan itu juga milik mereka.Julian mengembuskan asap rokok ke udara, lalu mendesis, “Kematian ayahku tidak akan sia-sia. Aku akan membuat Adrian berlutut. Satu per satu, semua yang dia cintai akan hancur.”Ia berbalik, menepuk bahu salah satu pengawal. “Siapkan kendaraan. Kita pindah malam ini. Jangan sampai jejak ini mengikat kita lebih lama dari yang perlu.”Pengawal itu mengangguk cepat. “Ya, Tuan.”Julian berjal
Pagi itu, kantor pusat Montclair Group tidak berbeda dari biasanya—ramai, sibuk, para eksekutif bergegas masuk ruang kerja. Tapi di ruang tertutup paling atas, suasananya justru hening mencekam.Adrian berdiri di depan jendela kaca besar, menatap kota yang masih diselimuti kabut tipis. Di tangannya, secangkir kopi yang nyaris tak tersentuh.“Semalam Anderson berhasil,” suara Lucien memecah diam, tablet di tangannya memuat rekaman transkrip percakapan yang sudah diteruskan tim mereka. “Julian percaya. Dia bahkan menyuruh orang-orangnya bergerak cepat.”Adrian menurunkan cangkirnya ke meja, lalu berbalik. Sorot matanya tajam, penuh konsentrasi. “Bagus. Itu berarti kita tidak perlu menunggu lebih lama. Hari ini kita mulai menggerakkan pion.”
Ruang rapat eksekutif Montclair Group siang itu kosong kecuali tiga orang. Lampu putih menyorot meja panjang dari marmer hitam, menciptakan bayangan dingin di dinding kaca yang menghadap kota.Tuan Anderson duduk di ujung meja, jasnya sedikit kusut, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia jelas lebih gugup dari yang ingin ia tunjukkan.Di sisi lain, Adrian bersandar tenang pada kursinya. Lengannya terlipat di dada, matanya tajam seperti sedang menakar angka di neraca keuangan—hanya saja kali ini yang ia timbang adalah nasib seorang manusia. Lucien berdiri di dekat layar, laptopnya terbuka dengan deretan kode dan jaringan komunikasi yang sedang dipantau.“Kenapa kau terlihat seperti terdakwa di pengadilan, Anderson?” suara Adrian tenang tapi menekan. “Aku sudah bilang, aku tidak berniat menja







