Meri duduk di ruang pertemuan keluarga Montclair yang entah bagaimana telah disulap menjadi markas pelatihan intensif calon istri CEO. Di hadapannya, tiga sosok sempurna yang seolah baru keluar dari sampul majalah "Panduan Profesional Elite".
Seorang wanita paruh baya dengan garis rahang tegas dan ekspresi wajah yang tak bergerak, mengenakan setelan biru dongker yang tampak mahal dan tanpa cela. Seorang pria muda berkacamata bulat yang duduk tegak dengan pena siap di atas buku catatan, mencatat setiap kata seolah nyawanya bergantung pada tinta yang tertulis. Dan seorang pengacara senior dengan senyum palsu yang licin, tatapannya sesekali menyiratkan keinginan untuk menggugat Meri hanya karena postur duduknya yang terlalu santai. Adrian, tentu saja, berdiri bersandar di dinding dengan gaya kasual yang mahal, kedua tangannya bersilang di dada, mengamati Meri dengan tatapan seorang bos mafia yang sedang menilai potensi rekrutan barunya—dingin, analitis, dan sedikit meremehkan. "Marigold Vale," kata wanita berjas biru, suaranya setajam silet yang baru diasah, "dalam empat puluh delapan jam ke depan, tugas kami adalah mentransformasi Anda menjadi istri yang layak mendampingi Adrian Montclair." Meri memiringkan kepalanya sedikit, senyum manis yang jelas-jelas dibuat-buat tersemat di wajahnya. "Wah, nggak nyangka ya, Bu. Tekanan banget nih kayaknya." Tak ada satu pun dari mereka yang tertawa. Bahkan Adrian hanya mengangkat sebelah alisnya tipis, seolah membisikkan tanpa suara: Kau baru saja memulai, Marigold. Bersiaplah. Wanita itu—yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ms. Sloane, konsultan humas pribadi keluarga Montclair yang legendaris—melanjutkan dengan nada datar namun penuh otoritas. "Ada serangkaian modul yang meliputi etiket sosial tingkat tinggi, keterampilan diplomasi kilat, tata cara jamuan formal yang sempurna, teknik menghadapi wawancara pers yang memukau... dan tentu saja, pengelolaan citra publik yang tak bercela." Meri menyeringai kecil, menahan dengan susah payah keinginan untuk menyindir tentang citra publiknya yang selama ini lebih dekat dengan deskripsi 'penyihir jalanan dengan reputasi sedikit... berwarna'. Ms. Sloane menggeser sebuah map tebal ke hadapan Meri, suaranya tanpa emosi. "Tanda tangan di sini. Ini adalah surat persetujuan Anda untuk mengikuti program pelatihan intensif ini." Meri mengambil pena yang disodorkan, melirik sekilas ke arah Adrian yang masih bersikap sok keren di sudut ruangan, lalu menghela napas panjang. "Apa ini juga bagian dari klausul 4B yang misterius itu?" gumamnya sinis, berharap ada sedikit humor yang bisa memecah ketegangan. Adrian hanya mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh, seolah mengatakan tanpa kata: Kau sudah terlalu jauh masuk ke dalam lubang kelinci ini untuk bisa mundur sekarang. Dengan satu tarikan napas berat yang terasa seperti menyerahkan sebagian kecil jiwanya, Meri membubuhkan tanda tangannya di atas kertas, secara resmi mendaftarkan dirinya ke dalam program kilat "Menjadi Nyonya Montclair dalam 48 Jam—Edisi Darurat." Pelatihan awal menjadi calon istri CEO yang sempurna dimulai dengan tata krama di meja makan. Ya, tentu saja, semua orang memang perlu makan, kan? Ruang makan keluarga Montclair tampak seperti set film serial drama kerajaan Inggris yang terlalu serius dan mahal. Taplak linen putih membentang tanpa cela di atas meja panjang, alat makan yang tebuat dari perak berkilauan tersusun dengan presisi militer, dan gelas-gelas kristal berjajar rapi seperti prajurit yang siap berperang. Meri duduk di salah satu ujung meja, menghadap pemandangan mengerikan berupa tumpukan alat makan yang jumlahnya lebih banyak dari semua sendok yang pernah ia miliki sepanjang hidupnya digabungkan. "Sendok yang ini secara spesifik digunakan untuk sup," jelas Ms. Sloane dengan nada instruktif sambil menunjuk sendok besar di antara jajaran sendok perak. "Yang ini untuk kaviar," lanjutnya, mengarahkan perhatian Meri ke sendok yang lebih kecil dan elegan. "Dan yang ini pasti untuk menghancurkan semangat hidupku," gumam Meri pelan, hampir tidak terdengar. Meri mengerjapkan matanya beberapa kali. "Yang terakhir itu serius?" tanyanya dengan nada polos yang dibuat-buat. Ms. Sloane tidak menjawab. Wanita itu terlalu sibuk menyesuaikan posisi garpu dengan sudut presisi 45 derajat terhadap piring, seolah-olah keseimbangan alam semesta akan terganggu jika miring setengah senti saja. Di sebelahnya, Adrian duduk dengan ekspresi netral yang sudah menjadi ciri khasnya. Tapi Meri, dengan kepekaan seorang penyihir jalanan, bisa menangkap sudut bibirnya yang sedikit terangkat, tanda bahwa dia diam-diam menikmati tontonan ketidakberdayaannya. "Dan," kata Ms. Sloane sambil menyerahkan segelas wine merah yang tampak mahal, "sekarang kita akan berlatih cara mengangkat gelas dengan anggun dan menyentuhkan bibir pada tepi gelas, bukan... menggigitnya seperti sedang makan buah." Meri menerima gelas itu dengan sangat hati-hati, seolah benda itu terbuat dari kaca setipis harapan. Mungkin terlalu hati-hati. Sedetik kemudian, terdengar bunyi kreekk! yang mengerikan, diikuti oleh percikan wine merah yang membasahi taplak putih yang tadinya sempurna. Semua orang di ruangan itu terdiam membeku. Ms. Sloane menatap Meri dengan ekspresi seolah-olah dia baru saja menghina Ratu Inggris secara pribadi di depan umum. "Aku... tidak sengaja," kata Meri lemah, merasa seperti anak kecil yang ketahuan memecahkan vas kesayangan ibunya. "Apakah kau... menyihir gelas itu?" tanya pengacara tua dari ujung meja dengan nada serius yang mencurigakan. "Aku cuma tegang, oke?" jawab Meri, setengah defensif. "Aku belum pernah dilatih hal seperti ini sebelumnya." Adrian, yang sejak tadi hanya menjadi pengamat pasif, akhirnya angkat bicara dengan nada datar namun dengan sedikit sentuhan geli. "Kau membuat hari ini sedikit lebih... berwarna, setidaknya." Meri menatapnya tajam, bibirnya sedikit terangkat dalam senyum sinis. "Senang bisa menghibur Anda, Tuan Montclair." Ms. Sloane menghela napas berat yang terdengar seperti desahan keputusasaan dan mengambil gelas wine pengganti dari pelayan yang berdiri kaku di dekat dinding. "Kita ulangi lagi dari awal. Kali ini, kumohon... cobalah untuk tidak panik." Meri mengangguk patuh, meskipun dalam hati dia sudah merencanakan rute teleportasi darurat langsung ke rumahnya yang nyaman dan berantakan. Atau mungkin ke bar terdekat. Atau bahkan ke dimensi lain di mana pelatihan menjadi istri CEO tidak melibatkan gelas kristal yang mudah pecah dan tatapan mematikan dari konsultan PR yang tampak seperti baru keluar dari peti es.Kantor Catatan Sipil Vileria berdiri angkuh di antara bangunan-bangunan birokrasi lainnya, eksterior kelabunya memancarkan aura dingin dan formalitas—seolah dibangun dari beton dan sisa-sisa harapan pernikahan yang kandas. Tidak ada bunga, tidak ada dekorasi romantis. Hanya udara pengap, tumpukan dokumen, dan janji-janji yang terlalu mudah diucapkan dan dilupakan. Meri masuk seperti badai glitter—gaun emasnya memantulkan sinar matahari yang masuk melalui jendela kotor, sengaja membuat semua orang mengerutkan mata. Sebuah pernyataan, 'Aku mungkin terperangkap dalam pernikahan kontrak, tapi aku tidak akan memudar.' Di belakangnya, Adrian Montclair mengikuti dengan langkah tenang dan terukur. Jas kelabu gelapnya, dasi tipis yang elegan, rambut tersisir rapi—penampilannya lebih cocok untuk rapat dewan direksi daripada upacara pernikahan. Ekspresinya datar, seperti sedang menuju pertemuan bisnis yang membosankan. Petugas catatan sipil—seorang wanita paruh baya dengan tatapan mata yang s
Pukul 06.42 pagi. Langit Vileria masih kelabu, tapi kemarahan Marigold Vale sudah mencapai level matahari. Ia berdiri tegak di depan pintu kamar Adrian Montclair—sang calon suami yang lebih pantas jadi pemeran utama di drama "Playboy dan Kontrak Iblis". Di tangannya tergenggam erat map kontrak yang kini bertabur klausul tambahan, lengkap dengan penjelasan detail dan konsekuensi pedas yang ditulis dengan tinta merah menyala. Meri mengetuk pintu dua kali. Bukan ketukan ragu atau sopan, melainkan ketukan tegas untuk menunjukkan kalau ini bukan kunjungan cinta. Ini negosiasi yang tidak bisa ditunda. Sunyi. Tak ada sahutan dari balik pintu. Dengan geram tertahan, ia mengangkat tangannya lagi dan mengetuk lebih keras, kali ini dengan sedikit sentuhan magis yang membuat ketukan itu bergaung lebih dalam. "Aku tahu kau sudah bangun, Montclair," serunya dengan nada datar yang berbahaya. "Pria sepertimu tidak mungkin tidur nyenyak setelah sesi pelukan gratis tengah malam." Beberapa detik
Meri tidak membanting pintu. Itu terlalu murahan untuk drama picisan yang baru saja ia saksikan. Dan ia enggan memberikan Cassie kepuasan sekecil itu. Yang ia lakukan hanyalah berbalik dan melangkah menjauh, ritme langkahnya tenang, teratur, seolah baru saja membaca daftar belanja alih-alih melihat calon suaminya bermesraan dengan wanita lain di ruang kerjanya. Seolah ia tidak baru saja melihat Adrian—si arsitek dingin berjas yang katanya alergi sentuhan—membalas ciuman panas dengan mata terpejam dan tangan yang bergerak terlalu intim. Bahkan napasnya pun ia tahan, takut kalau embusan marahnya akan mengubah ruangan itu menjadi danau lava dalam hitungan detik. Dan ironisnya, setelah dua hari "pelatihan" menjadi calon Nyonya Montclair, tidak ada satu pun bab dalam buku etiket mahal itu yang mengajarkan, bagaimana bersikap saat mendengar suara kecupan basah dari balik pintu calon suamimu yang jelas-jelas sedang tidak sendiri. Meri membeku di tengah lorong. Lalu, seperti karakter uta
Adrian menatap dokumen di mejanya tanpa benar-benar membaca. Pikirannya terbagi—kontrak bisnis yang harus ditandatangani, reputasi perusahaan yang harus dijaga, dan tentu saja, pernikahan konyol yang tinggal menghitung jam. Di seberang meja, Meri asyik membolak-balik buku panduan etiket dengan ekspresi skeptis. Adrian mengakui, ada sesuatu yang menarik dari ketajaman gadis itu—dalam konteks profesional, tentu saja. Bukan karena matanya yang selalu menyala seperti akan melempar kutukan atau bagaimana cahaya lampu menerpa rambut orennya yang terlalu terang untuk ruangan serba monokrom ini. "Besok pukul sepuluh," ucapnya dengan suara datar. Meri membanting buku itu hingga menimbulkan bunyi gedebuk kecil. "Oke. Kutukan dulu, baru ijab kabul." "Usahakan tepat waktu. Notarisnya punya jadwal yang lebih padat dari jadwal kerajaanku." "Aku juga sibuk, tahu? Harus menyiapkan wajah bahagia palsu, kan?" Dengan mata berputar malas, Meri bangkit. "Kalau tidak ada titah lain, Yang Mulia, saya
Sore itu, Meri merasa seperti terjebak di dalam diorama museum era Victoria. Dindingnya dilapisi panel kayu gelap yang mengkilap, memantulkan cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung rendah. Kursi-kursi beludru merah marun terlihat mahal tapi kaku, seolah tak pernah diduduki oleh pantat manusia biasa. Di atas meja mahoni, tumpukan dokumen setebal batu bata, mengkilap dengan segel emas yang mencolok, menanti. Di hadapannya, seorang wanita berambut kelabu yang disisir rapi, dengan kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya yang mancung, menyodorkan buku setebal kamus berjudul Protokol Istri Montclair. Matanya, setajam elang yang mengintai kelinci, menyapu Meri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menghitung kadar kesopanannya. "Ini adalah protokol dasar dalam menghadiri acara sosial atas nama keluarga Montclair," katanya. Suaranya tenang, tapi setiap kata dipaku dengan otoritas tak terbantahkan. "Anda tidak diperkenankan mengumpat, tidak boleh me
Meri duduk di ruang pertemuan keluarga Montclair yang entah bagaimana telah disulap menjadi markas pelatihan intensif calon istri CEO. Di hadapannya, tiga sosok sempurna yang seolah baru keluar dari sampul majalah "Panduan Profesional Elite". Seorang wanita paruh baya dengan garis rahang tegas dan ekspresi wajah yang tak bergerak, mengenakan setelan biru dongker yang tampak mahal dan tanpa cela. Seorang pria muda berkacamata bulat yang duduk tegak dengan pena siap di atas buku catatan, mencatat setiap kata seolah nyawanya bergantung pada tinta yang tertulis. Dan seorang pengacara senior dengan senyum palsu yang licin, tatapannya sesekali menyiratkan keinginan untuk menggugat Meri hanya karena postur duduknya yang terlalu santai. Adrian, tentu saja, berdiri bersandar di dinding dengan gaya kasual yang mahal, kedua tangannya bersilang di dada, mengamati Meri dengan tatapan seorang bos mafia yang sedang menilai potensi rekrutan barunya—dingin, analitis, dan sedikit meremehkan. "Mari