Accueil / Romansa / Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk / Bab 4 Invasi dan Hantu Berlipstik Merah

Share

Bab 4 Invasi dan Hantu Berlipstik Merah

Auteur: Luna Maji
last update Dernière mise à jour: 2025-05-13 19:27:55

Pintu lift berdenting pelan, lalu bergeser terbuka.

Adrian melangkah masuk dengan jas yang masih rapi, dasi sedikit longgar, dan wajah lelah khas CEO yang baru pulang dari medan perang bisnis. Dia melepaskan dasinya, dan berhenti sejenak.

Ada aroma sesuatu di udara. Bukan parfum mahal atau kopi cold brew yang biasanya disiapkan asisten rumah tangga. Ini… bau teh herbal. Aroma hangat yang terasa asing di penthouse steril ini.

Adrian mengerutkan alis, lalu berbelok ke arah dapur. Dan di sanalah dia melihat pemandangan yang belum pernah muncul bahkan di mimpi buruk interior desainer mana pun.

Marigold Vale, berdiri di tengah dapur minimalis, sedang menyusun koleksi cangkir-cangkir berwarna dengan gambar kucing, bulan sabit, dan kutipan seperti “I make potions, not apologies” di rak atas. Di meja, satu cangkir dengan uap mengepul di atasnya, menguarkan aroma menenangkan.

“Apa yang… kau lakukan?” tanya Adrian datar.

Meri menoleh, senyumannya polos. “Mengklaim wilayah. Kau tahu, biar energinya lebih ‘hidup’. Dapurmu terlalu sunyi dan steril. Sedikit sentuhan sihir feminin bisa menyelamatkan suasana.”

Adrian menatap cangkir dengan gambar kucing mengenakan topi penyihir. Lalu menatap dapurnya yang kini terinvasi warna. Lalu Meri, dengan tatapan yang lebih sulit dibaca. “Sentuhan sihir feminin ini... akan menetap di sini?”

Meri mengangkat bahu. “Kita menikah, ingat? Klausul Zona Domestik bilang kamar kita masing-masing wilayah pribadi. Dapur? Wilayah netral. Artinya aku bebas mendekorasi.”

Dia mengambil cangkir yang sudah berisi teh herbal. "Kau mau?" Tanyanya, menawarkan dengan mata berbinar jahil.

Adrian tidak menjawab. Ia mendekat pelan, menatap cangkir koleksi Meri. “Aku akan membeli kabinet baru. Yang bisa dikunci.”

Meri hanya menyeringai, menikmati kekalahan kecil Adrian. Setelah menginvasi dapur dengan cangkir-cangkir kucingnya, Meri bersandar santai di meja dapur, menatap Adrian yang sedang menuang air putih ke gelas kaca bening.

“Kalau dapur udah aku klaim, sekarang tinggal satu hal penting,” ujar Meri sambil meregangkan bahunya. “Mana kamarku?”

Adrian menaruh gelasnya. Pandangannya terangkat sebentar ke arah lorong, lalu kembali ke wajah Meri.

“Lewat sini,” katanya, lalu berbalik tanpa menunggu.

Meri mengikutinya melewati lorong yang terlalu sunyi. Hanya ada 2 lukisan monokrom sebagai dekorasi.

Adrian membuka pintu di ujung lorong dan menyalakan lampu.

Kamarnya luas, tentu saja. Jendela kaca besar, dinding putih, ranjang king-size yang masih polos tanpa sprei, lemari built-in, dan karpet abu-abu yang tidak memancing rasa bahagia maupun rasa benci. Netral, datar, dan aman. Sangat Adrian.

“Kau bebas menghias sesukamu,” ujar Adrian sambil bersandar di sisi pintu. “Selama tidak ada yang bersinar dalam gelap atau mengeluarkan suara tengah malam. Dan tidak ada kucing terbang.”

Meri melangkah masuk, memutar tubuhnya pelan untuk memeriksa setiap sudut. “Wow,” katanya datar, nada suaranya menunjukkan kekecewaan yang jelas. “Tentu saja semua warnanya seperti katalog furnitur yang kehilangan semangat hidup.”

Adrian mengangkat alis. “Kau bisa mengisi katalog itu dengan kepribadianmu, bukan?”

“Oh, pasti,” sahut Meri, matanya berbinar sinis, merencanakan kehancuran estetika. Meri menoleh ke arah ranjang kosong. “Ada kasur. Tapi tidak ada sprei.”

“Aku tidak tahu jenis sprei seperti apa yang kau suka.”

“Yang tidak membuatku merasa tidur di rumah sakit jiwa?”

Adrian membuka mulut, ingin membalas, lalu menutupnya lagi. Dia hanya mengangguk tipis, mengakui kekalahan kecil lainnya. “Pilih sendiri. Kirimkan daftarnya ke asistenku.” Lalu ia melangkah pergi meninggalkan Meri.

Meri baru saja membuka koper keduanya, yang berisi setengah dunia kecilnya—bantal hitam berbentuk bulan sabit, buku-buku sihir klasik, dan sebotol kecil parfum aroma kayu manis, ketika suara ting pelan terdengar dari arah lorong utama.

Lift.

Siapa yang datang? Tadi Adrian tidak menyebut siapa pun akan datang malam ini.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara perempuan. Meri tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya, tapi suara itu tinggi, ringan, manis. Terlalu manis.

Ia pelan-pelan keluar kamar, langkahnya ringan, hampir tanpa suara. Dari balik dinding, ia melihat pemandangan yang membuat matanya menyipit.

Meri membeku, satu tangan masih menggenggam bantal bulan sabitnya. Wajahnya langsung memasang ekspresi oh-ini-dia-kekacauan-yang-kutunggu.

Seorang perempuan cantik dengan rambut pirang keemasan—tampil glossy dari ujung kepala sampai heels—sedang berdiri sangat dekat dengan Adrian. Satu tangannya melingkari leher pria itu. Dan tanpa banyak basa-basi, ia mendaratkan ciuman singkat namun penuh kepemilikan di sudut bibir Adrian.

Tatapannya berpindah cepat dari bibir Cassie ke tangan yang menggantung manja di dada Adrian, lalu ke ekspresi pria itu—yang tidak terganggu, tidak terkejut, dan jelas tidak merasa perlu menjelaskan apa pun. Datar, seolah ini adalah rutinitas.

Cassie akhirnya menoleh, dan senyumnya melengkung tajam. Bukan ramah. Lebih sepertiOh, jadi ini istrimu? Lucu. Ini tidak akan bertahan lama.

Meri membalas tatapan itu dengan senyum tipis. Bukan karena ramah juga. Lebih ke arahYa, aku juga geli liat situasi ini. Dan kau akan segera tahu siapa yang akan tertawa terakhir.

Beberapa detik sunyi menggantung di udara, lalu Meri memiringkan kepalanya sedikit dan berkata pelan, suaranya terdengar seperti gumaman santai. “Ah. Ternyata rumah ini memang berhantu. Cuma… hantunya pakai heels dan lipstik merah.”

Dalam benaknya, Meri merasakan gelombang kekesalan dingin. Ini bukan cemburu. Ini adalah invasi. Dia baru saja mengklaim wilayahnya di dapur, dan sekarang, 'hantu' ini datang, bertingkah seolah dirinya tak kasat mata. 

Sebuah deklarasi perang tersembunyi yang mengusik harga dirinya sebagai penyihir yang kini terpaksa menjadi istri kontrak. Ini bukan lagi sekadar perjanjian. Ini adalah pertarungan untuk menegaskan siapa yang berhak bernapas lega di penthouse ini.

Dan dengan senyum manis penuh racun, ia berbalik, kembali masuk ke kamarnya sambil memeluk bantal bulan sabitnya.

Namun, tepat sebelum pintu sepenuhnya tertutup, Meri mendengar tawa renyah perempuan itu yang diikuti suara Adrian yang jauh lebih akrab dan lembut dari yang pernah ia dengar selama ini.

Seketika, senyum Meri menghilang. Api tekad membara di matanya, membakar habis ketenangan palsunya. Ini bukan lagi sekadar pernikahan kontrak, atau kutukan kuno. Ini adalah tantangan pribadi yang harus ia menangkan.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 115 Kena

    Ruang rapat eksekutif Montclair Group siang itu kosong kecuali tiga orang. Lampu putih menyorot meja panjang dari marmer hitam, menciptakan bayangan dingin di dinding kaca yang menghadap kota.Tuan Anderson duduk di ujung meja, jasnya sedikit kusut, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia jelas lebih gugup dari yang ingin ia tunjukkan.Di sisi lain, Adrian bersandar tenang pada kursinya. Lengannya terlipat di dada, matanya tajam seperti sedang menakar angka di neraca keuangan—hanya saja kali ini yang ia timbang adalah nasib seorang manusia. Lucien berdiri di dekat layar, laptopnya terbuka dengan deretan kode dan jaringan komunikasi yang sedang dipantau.“Kenapa kau terlihat seperti terdakwa di pengadilan, Anderson?” suara Adrian tenang tapi menekan. “Aku sudah bilang, aku tidak berniat menja

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 114 Jerat

    Ruang kerja Adrian terasa lebih dingin. Sinar matahari sore memantulkan cahaya keemasan di meja panjang yang dipenuhi berkas-berkas rahasia Montclair Group. Adrian duduk, satu tangan memutar pelan pena perak, sementara pandangannya fokus ke layar tablet di depannya.Nama-nama muncul rapi di layar—eksekutif yang sudah diwarnai merah, biru, abu-abu. Semua catatan Julian kini ada di genggaman Adrian.“Dia pikir aku tidak tahu siapa saja yang sudah dia dekati…” suara Adrian rendah, nyaris seperti gumaman, tapi penuh ancaman terpendam.Lucien berdiri di samping meja, menyilangkan tangan. “Kalau Julian berani gerak, berarti salah satu dari mereka sudah kasih celah. Anderson, misalnya.”Adrian meletakkan pena, menatap lurus ke asistennya. Se

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 113 Umpan

    Ruang kerja Adrian di lantai atas Montclair Group sunyi. Hanya suara jarum jam yang terdengar saat Anderson masuk, wajahnya tegang, keringat tipis menetes di pelipisnya.Adrian tidak menyuruhnya duduk. Ia hanya menatap dengan tatapan datar, membuat pria paruh baya itu semakin gelisah.“Duduklah, Tuan Anderson.” Suara Adrian tenang, tapi dingin. Anderson segera menuruti, punggungnya kaku.Adrian membuka map di mejanya. Beberapa lembar dokumen kontrak luar negeri, tanda tangannya, dan informasi transfer mencurigakan. Anderson langsung pucat.“Lucien menelusuri file lama,” Adrian berkata ringan, seolah hanya membicarakan laporan keuangan biasa. “Kau cukup berbakat… sampai harus menutupi proyek ilegal di Singapore. Kontrak ganda, suap pejabat. Aku punya semua salinannya.”

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 112 Strategi Baru

    Malam itu, ruang kerja di penthouse dipenuhi cahaya lampu kuning temaram. Jendela besar menampilkan siluet kota Vileria, berkilau tapi dingin. Adrian duduk di kursi kulit hitam, jasnya masih rapi, tangan mengetuk pelan permukaan meja.Lucien masuk lebih dulu, membawa map tebal. “Jejak terakhir Julian terlacak di kawasan utara. Bukan rumah, lebih mirip gudang. Orang-orangnya keluar masuk, tapi dia sendiri jarang terlihat.”Dr. Zhu menyusul, wajahnya serius. “Aku sudah bicara dengan Cassie. Dari semua yang dia ungkap, jelas: Julian tidak tertarik dengan sihir. Dia hanya peduli satu hal—merebut Montclair. Semua ini tentang tahta yang menurutnya seharusnya jatuh padanya.”Adrian menatap keduanya. “Itu menjelaskan kenapa dia mulai menyerang lewat kenangan. Bukan untuk mengutukku, tapi

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 111 Pesan Kedua

    Suasana sore tenang, cahaya matahari menembus kaca besar, memantul di lantai. Meri memerhatikan Rowan dan Rosie yang sedang menggambar. Ia baru hendak membuat teh saat suara interkom di dinding berbunyi.Meri mendekat, menekan tombol. Layar kecil menyala, menampilkan wajah seorang kurir dengan kotak kecil di tangan.“Pengiriman untuk Ny. Montclair,” katanya.Meri mengernyit. “Dari siapa?”Kurir menggeleng. “Tidak ada nama pengirim. Petugas keamanan gedung sudah memverifikasi, paketnya aman. Mau dikirimkan naik?”Hati Meri berdebar, tapi ia mengangguk singkat. “Ya, kirimkan.”Beberapa menit kemudian, bunyi bel lift pribadi terdengar. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang petugas keamanan gedung, bukan kurir tadi, berdiri sopan sambil menyerahkan paket. “Dari bawah, Nyonya. Sudah dicek, tidak ada perangkat berbahaya.”“Terima kasih,” jawab Meri, meski dadanya terasa berat.Ia meletakkan paket itu di meja makan. Kertas cokelatnya serupa dengan kiriman Adrian beberapa hari lalu. Saat dibu

  • Istri Kontrak Sang Miliarder Terkutuk   Bab 110 Rumah Kita

    Setelah semua badai reda, Adrian dan Meri akhirnya memutuskan untuk tinggal di penthouse. Montclair Manor memang penuh kenangan, tapi ada jarak—selalu terasa seperti tempat keluarga besar. Penthouse berbeda. Di sini, setiap sudutnya punya jejak mereka sendiri. Lebih sederhana, lebih pribadi, lebih seperti “rumah” yang benar-benar milik mereka.Pagi itu, cahaya matahari jatuh dari jendela besar, menghangatkan ruang makan. Anak-anak sudah duduk, tapi bukannya sarapan dengan tenang, mereka sibuk berebut selai stroberi. Sendok beradu, tawa bercampur rengekan kecil.“Boleh nggak kalau aku yang olesin dulu?” Rowan merengek, memeluk toples selai seperti harta karun.“Enggak! Aku dulu!” Rosie membalas, wajahnya memerah penuh semangat.Me

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status