LOGINPintu lift berdenting pelan, lalu bergeser terbuka.
Adrian melangkah masuk dengan jas yang masih rapi, dasi sedikit longgar, dan wajah lelah khas CEO yang baru pulang dari medan perang bisnis. Dia melepaskan dasinya, dan berhenti sejenak.
Ada aroma sesuatu di udara. Bukan parfum mahal atau kopi cold brew yang biasanya disiapkan asisten rumah tangga. Ini… bau teh herbal. Aroma hangat yang terasa asing di penthouse steril ini.
Adrian mengerutkan alis, lalu berbelok ke arah dapur. Dan di sanalah dia melihat pemandangan yang belum pernah muncul bahkan di mimpi buruk interior desainer mana pun.
Marigold Vale, berdiri di tengah dapur minimalis, sedang menyusun koleksi cangkir-cangkir berwarna dengan gambar kucing, bulan sabit, dan kutipan seperti “I make potions, not apologies” di rak atas. Di meja, satu cangkir dengan uap mengepul di atasnya, menguarkan aroma menenangkan.
“Apa yang… kau lakukan?” tanya Adrian datar.
Meri menoleh, senyumannya polos. “Mengklaim wilayah. Kau tahu, biar energinya lebih ‘hidup’. Dapurmu terlalu sunyi dan steril. Sedikit sentuhan sihir feminin bisa menyelamatkan suasana.”
Adrian menatap cangkir dengan gambar kucing mengenakan topi penyihir. Lalu menatap dapurnya yang kini terinvasi warna. Lalu Meri, dengan tatapan yang lebih sulit dibaca. “Sentuhan sihir feminin ini... akan menetap di sini?”
Meri mengangkat bahu. “Kita menikah, ingat? Klausul Zona Domestik bilang kamar kita masing-masing wilayah pribadi. Dapur? Wilayah netral. Artinya aku bebas mendekorasi.”
Dia mengambil cangkir yang sudah berisi teh herbal. "Kau mau?" Tanyanya, menawarkan dengan mata berbinar jahil.
Adrian tidak menjawab. Ia mendekat pelan, menatap cangkir koleksi Meri. “Aku akan membeli kabinet baru. Yang bisa dikunci.”
Meri hanya menyeringai, menikmati kekalahan kecil Adrian. Setelah menginvasi dapur dengan cangkir-cangkir kucingnya, Meri bersandar santai di meja dapur, menatap Adrian yang sedang menuang air putih ke gelas kaca bening.
“Kalau dapur udah aku klaim, sekarang tinggal satu hal penting,” ujar Meri sambil meregangkan bahunya. “Mana kamarku?”
Adrian menaruh gelasnya. Pandangannya terangkat sebentar ke arah lorong, lalu kembali ke wajah Meri.
“Lewat sini,” katanya, lalu berbalik tanpa menunggu.
Meri mengikutinya melewati lorong yang terlalu sunyi. Hanya ada 2 lukisan monokrom sebagai dekorasi.
Adrian membuka pintu di ujung lorong dan menyalakan lampu.
Kamarnya luas, tentu saja. Jendela kaca besar, dinding putih, ranjang king-size yang masih polos tanpa sprei, lemari built-in, dan karpet abu-abu yang tidak memancing rasa bahagia maupun rasa benci. Netral, datar, dan aman. Sangat Adrian.
“Kau bebas menghias sesukamu,” ujar Adrian sambil bersandar di sisi pintu. “Selama tidak ada yang bersinar dalam gelap atau mengeluarkan suara tengah malam. Dan tidak ada kucing terbang.”
Meri melangkah masuk, memutar tubuhnya pelan untuk memeriksa setiap sudut. “Wow,” katanya datar, nada suaranya menunjukkan kekecewaan yang jelas. “Tentu saja semua warnanya seperti katalog furnitur yang kehilangan semangat hidup.”
Adrian mengangkat alis. “Kau bisa mengisi katalog itu dengan kepribadianmu, bukan?”
“Oh, pasti,” sahut Meri, matanya berbinar sinis, merencanakan kehancuran estetika. Meri menoleh ke arah ranjang kosong. “Ada kasur. Tapi tidak ada sprei.”
“Aku tidak tahu jenis sprei seperti apa yang kau suka.”
“Yang tidak membuatku merasa tidur di rumah sakit jiwa?”
Adrian membuka mulut, ingin membalas, lalu menutupnya lagi. Dia hanya mengangguk tipis, mengakui kekalahan kecil lainnya. “Pilih sendiri. Kirimkan daftarnya ke asistenku.” Lalu ia melangkah pergi meninggalkan Meri.
Meri baru saja membuka koper keduanya, yang berisi setengah dunia kecilnya—bantal hitam berbentuk bulan sabit, buku-buku sihir klasik, dan sebotol kecil parfum aroma kayu manis, ketika suara ting pelan terdengar dari arah lorong utama.
Lift.
Siapa yang datang? Tadi Adrian tidak menyebut siapa pun akan datang malam ini.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara perempuan. Meri tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya, tapi suara itu tinggi, ringan, manis. Terlalu manis.
Ia pelan-pelan keluar kamar, langkahnya ringan, hampir tanpa suara. Dari balik dinding, ia melihat pemandangan yang membuat matanya menyipit.
Meri membeku, satu tangan masih menggenggam bantal bulan sabitnya. Wajahnya langsung memasang ekspresi oh-ini-dia-kekacauan-yang-kutunggu.
Seorang perempuan cantik dengan rambut pirang keemasan—tampil glossy dari ujung kepala sampai heels—sedang berdiri sangat dekat dengan Adrian. Satu tangannya melingkari leher pria itu. Dan tanpa banyak basa-basi, ia mendaratkan ciuman singkat namun penuh kepemilikan di sudut bibir Adrian.
Tatapannya berpindah cepat dari bibir Cassie ke tangan yang menggantung manja di dada Adrian, lalu ke ekspresi pria itu—yang tidak terganggu, tidak terkejut, dan jelas tidak merasa perlu menjelaskan apa pun. Datar, seolah ini adalah rutinitas.
Cassie akhirnya menoleh, dan senyumnya melengkung tajam. Bukan ramah. Lebih sepertiOh, jadi ini istrimu? Lucu. Ini tidak akan bertahan lama.
Meri membalas tatapan itu dengan senyum tipis. Bukan karena ramah juga. Lebih ke arahYa, aku juga geli liat situasi ini. Dan kau akan segera tahu siapa yang akan tertawa terakhir.
Beberapa detik sunyi menggantung di udara, lalu Meri memiringkan kepalanya sedikit dan berkata pelan, suaranya terdengar seperti gumaman santai. “Ah. Ternyata rumah ini memang berhantu. Cuma… hantunya pakai heels dan lipstik merah.”
Dalam benaknya, Meri merasakan gelombang kekesalan dingin. Ini bukan cemburu. Ini adalah invasi. Dia baru saja mengklaim wilayahnya di dapur, dan sekarang, 'hantu' ini datang, bertingkah seolah dirinya tak kasat mata.
Sebuah deklarasi perang tersembunyi yang mengusik harga dirinya sebagai penyihir yang kini terpaksa menjadi istri kontrak. Ini bukan lagi sekadar perjanjian. Ini adalah pertarungan untuk menegaskan siapa yang berhak bernapas lega di penthouse ini.
Dan dengan senyum manis penuh racun, ia berbalik, kembali masuk ke kamarnya sambil memeluk bantal bulan sabitnya.
Namun, tepat sebelum pintu sepenuhnya tertutup, Meri mendengar tawa renyah perempuan itu yang diikuti suara Adrian yang jauh lebih akrab dan lembut dari yang pernah ia dengar selama ini.
Seketika, senyum Meri menghilang. Api tekad membara di matanya, membakar habis ketenangan palsunya. Ini bukan lagi sekadar pernikahan kontrak, atau kutukan kuno. Ini adalah tantangan pribadi yang harus ia menangkan.
Lampu sorot berderet di depan podium. Deretan kamera dan kilatan flash memenuhi ruangan ballroom hotel yang disulap jadi ruangan konferensi pers. Suara riuh wartawan terdengar, semua berebut tempat untuk dapat angle terbaik.Pintu samping terbuka. Adrian Montclair melangkah masuk dengan setelan hitam yang rapi, dasi warna biru gelap, wajahnya dingin tapi mantap. Di sampingnya, Meri berjalan anggun, sederhana tapi elegan, langkahnya selaras dengan Adrian. Begitu mereka muncul, riuh suara ruangan langsung mereda—seolah semua orang menahan napas.Adrian berdiri di podium, menatap barisan kamera dengan tatapan yang tajam. Ia tidak langsung bicara. Hening beberapa detik, cukup lama untuk menegaskan bahwa dialah yang mengendalikan panggung.“Keluarga Montclair telah melalui badai,” suaranya dalam, menggema di ruangan. “Tapi malam ini, saya berdiri di sini untuk mengatakan satu hal sederhana: badai itu telah berakhir.”Flash kamera kembali menyala. Wartawan mulai berbisik.Adrian mengangkat
Adrian berdiri di ujung meja. “Aku tahu siapa saja yang menjual Montclair pada Julian. Hari ini, aku bersihkan meja ini.” Lucien membuka map, menaruh di tengah. Bukti terpampang jelas. Salah satu eksekutif tergagap. “Tuan Montclair… saya—” Adrian memotong dingin. “Diam. Kau duduk di sini karena aku masih izinkan. Satu langkah salah, pintu keluar ada di belakangmu.” Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “Montclair bukan milik pengkhianat. Siapa yang mau bertahan, buktikan dengan kerja. Siapa yang ragu… jangan buang waktuku.” Seorang eksekutif lain memberanikan diri. “Dan kalau kami memilih keluar?” Adrian mencondongkan badan, tatapannya menusuk. “Maka kalian akan keluar dengan tangan kosong—dan nama kalian hancur di luar sana.” Keheningan. Tak ada yang berani bergerak. Adrian menutup map dengan satu hentakan. “Mulai hari ini, aku pimpin dengan caraku. Julian sudah jatuh. Sekarang giliran siapa pun yang masih coba bermain dua sisi.” Adrian berdiri, kursinya bergeser pelan
Penthouse itu sunyi. Hanya jam dinding di ruang tamu yang berdetak pelan, mengisi kekosongan malam. Meri duduk di sofa, kedua tangannya menggenggam erat mug teh yang sudah lama dingin. Ia menatap pintu lift pribadi, menunggu tanpa berkedip, seperti kalau ia mengalihkan pandangan sebentar saja, Adrian mungkin tidak akan benar-benar kembali.Ting!Denting lift terdengar. Jantung Meri berdegup kencang. Pintu terbuka, dan Adrian muncul—jasnya kusut, dasi longgar, wajahnya lelah tapi matanya tetap sama.“Adrian…” suara Meri hampir bergetar.Ia melangkah masuk, menutup pintu lift dengan satu dorongan. Pandangannya langsung jatuh pada Meri. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata pelan, “Semua selesai.”Meri bangkit, menghampirinya dengan langkah cepat. “Kau… baik-baik saja?”Adrian mengangguk kecil, lalu meraih tangan Meri, seakan hanya itu yang menahannya tetap berdiri. “Julian sudah ditangkap. Tapi, Meri…” ia menarik napas panjang, “…ada hal lain yang harus kau tahu.”“Duduklah. Aku
Asap hitam masih membubung dari reruntuhan gudang. Api yang belum padam memberikan cahaya merah di langit, seolah kota sendiri sedang terbakar oleh amarah yang tidak terlihat.Julian Vale berdiri di balkon gedung kosong, setinggi enam lantai, menatap kobaran api dengan senyum tipis di bibirnya. Rokok menyala di ujung jarinya, abu jatuh berhamburan ke bawah.“Lihat itu,” katanya pelan, suaranya bercampur dengan dengung sirene pemadam. “Adrian pikir dia bisa menjebakku. Sekarang pasukannya jadi arang.”Dua pengawal di belakangnya saling melirik, ikut menyeringai seakan kemenangan itu juga milik mereka.Julian mengembuskan asap rokok ke udara, lalu mendesis, “Kematian ayahku tidak akan sia-sia. Aku akan membuat Adrian berlutut. Satu per satu, semua yang dia cintai akan hancur.”Ia berbalik, menepuk bahu salah satu pengawal. “Siapkan kendaraan. Kita pindah malam ini. Jangan sampai jejak ini mengikat kita lebih lama dari yang perlu.”Pengawal itu mengangguk cepat. “Ya, Tuan.”Julian berjal
Pagi itu, kantor pusat Montclair Group tidak berbeda dari biasanya—ramai, sibuk, para eksekutif bergegas masuk ruang kerja. Tapi di ruang tertutup paling atas, suasananya justru hening mencekam.Adrian berdiri di depan jendela kaca besar, menatap kota yang masih diselimuti kabut tipis. Di tangannya, secangkir kopi yang nyaris tak tersentuh.“Semalam Anderson berhasil,” suara Lucien memecah diam, tablet di tangannya memuat rekaman transkrip percakapan yang sudah diteruskan tim mereka. “Julian percaya. Dia bahkan menyuruh orang-orangnya bergerak cepat.”Adrian menurunkan cangkirnya ke meja, lalu berbalik. Sorot matanya tajam, penuh konsentrasi. “Bagus. Itu berarti kita tidak perlu menunggu lebih lama. Hari ini kita mulai menggerakkan pion.”
Ruang rapat eksekutif Montclair Group siang itu kosong kecuali tiga orang. Lampu putih menyorot meja panjang dari marmer hitam, menciptakan bayangan dingin di dinding kaca yang menghadap kota.Tuan Anderson duduk di ujung meja, jasnya sedikit kusut, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia jelas lebih gugup dari yang ingin ia tunjukkan.Di sisi lain, Adrian bersandar tenang pada kursinya. Lengannya terlipat di dada, matanya tajam seperti sedang menakar angka di neraca keuangan—hanya saja kali ini yang ia timbang adalah nasib seorang manusia. Lucien berdiri di dekat layar, laptopnya terbuka dengan deretan kode dan jaringan komunikasi yang sedang dipantau.“Kenapa kau terlihat seperti terdakwa di pengadilan, Anderson?” suara Adrian tenang tapi menekan. “Aku sudah bilang, aku tidak berniat menja







