MasukMeri mendesah panjang sambil menggulung lengan bajunya. “Baiklah, dunia,” katanya ke mug teh di tangannya, “Hari pertama jadi istri. Rumah masih didominasi abu-abu, aura pacar masih nempel di perabotan, dan suami kontrakku baru saja berangkat kerja seolah semalam nggak ada adegan mesum di lorong.”
Dia menyesap tehnya. Hambar.
“Kurasa ini waktu yang tepat untuk pengusiran energi negatif pakai asap.”
Setengah jam kemudian, dapur dan ruang tengah mulai bertransformasi jadi zona semi-ritual. Ada dupa lavender menyala, garam laut tersebar di empat penjuru ruangan. Meri mengenakan jubah satin hitam dengan tulisan bad witch energy only di punggungnya.
Ia mengangkat mangkuk kecil berisi campuran daun sage, rosemary, dan serpihan batu pembersih aura.
“Dengan kekuatan tiga elemen: teh herbal, sarkasme, dan batas pribadi yang jelas, aku usir semua energi toxic dari rumah ini,” gumamnya penuh khidmat.
Saat Meri mulai mengayunkan asap ke arah sofa monokrom—yang menurutnya pasti menyimpan trauma jejak pangkuan semalam—tiba-tiba terdengar suara ting dari arah lift.
Ia membeku, mangkuk herbal masih di tangan. Kalau itu Cassie lagi, aku bersumpah demi semua penyihir di silsilah keluargaku—
Pintu lift bergeser terbuka.
Dan yang berdiri di sana… Nenek Montclair. Elegan. Tersenyum tipis. Mengenakan mantel bunga-bunga dan menggenggam keranjang rotan penuh sesuatu yang mencurigakan.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa sang nenek, langkahnya mantap memasuki penthouse. Ia menurunkan keranjang rotan ke meja kaca, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sekarang penuh aroma lavender.
“Aku suka sentuhanmu,” katanya ringan, nada suaranya geli. “Rumah ini selalu terlalu… steril. Seperti museum pria lajang yang takut komitmen.”
Meri terkekeh gugup. “Saya… sedang cleansing. Ada aura residu dari masa lalu.”
Nenek mengangguk seolah itu penjelasan yang sangat ilmiah. Ia duduk di sofa, lalu menatap Meri dengan pandangan yang tajam, menembus pertahanan Meri.
“Kau sudah bertemu Cassie, ya?”
Meri membeku. Satu tangan masih menggenggam dupa, satu lagi mencengkeram mangkok.
“Sedikit,” jawabnya hati-hati, memilih kata-kata. “Dan cukup... interaktif.”
Nenek Montclair hanya mengangguk pelan, mengambil satu biskuit dari keranjangnya, menggigitnya perlahan.
“Jangan khawatir soal Cassie,” ujarnya sambil mengunyah. “Gadis itu sudah terlalu lama merasa seperti nyonya rumah. Sudah waktunya untuk berubah.”
Ia memandang Meri, matanya jernih dan tak tergoyahkan. “Bagaimanapun juga, hanya ada satu Nyonya Montclair sekarang. Dan itu kau.”
Meri terdiam. Untuk pertama kalinya sejak masuk penthouse ini, udara terasa sedikit lebih hangat. Aura dukungan yang mengejutkan.
“Aku bawa selai stroberi buatan sendiri,” ujar nenek sambil mengeluarkan toples kaca kecil. “Adrian sangat suka selai ini. Sering-seringlah buatkan sarapan untuknya. Dan ini, sedikit teh Chrysant. Bagus untuk pikiran yang keruh.”
Meri duduk di seberangnya, membiarkan dupa terus menyala di pojok ruangan. “Terima kasih, nenek.” jawab Meri sambil mengangguk, berusaha tersenyum.
Seolah menangkap sesuatu dari getaran di udara, nenek mendekat sedikit. “Kau terlihat... lelah.”
Meri nyaris tertawa. “Baru satu malam jadi istri Montclair, ternyata melelahkan juga.”
Nenek tersenyum, tapi matanya tetap fokus. “Adrian bilang sesuatu tentang kutukan padamu?”
Sedetik, Meri ragu. Tapi akhirnya ia menjawab pelan, “Dia bilang... kalau dia akan mati dalam empat bulan kalau tidak menikah. Dan kalau pernikahan ini bisa memperlambat efeknya.”
Nenek mengangguk perlahan, seolah itu hanya informasi yang sudah ia ketahui sejak lama. Tidak ada kejutan.
“Dan apakah dia juga bilang kalau kutukan itu bukan jenis yang bisa dipecahkan dengan logika atau uang?”
Meri memicingkan mata, rasa penasaran mengalahkan kekesalannya. “Dia tidak terlalu rinci soal itu.”
Nenek meletakkan cangkir tehnya. “Tentu saja tidak. Cucu kesayanganku itu lebih suka menantang badai tanpa jas hujan.”
Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya merendah, penuh rahasia. “Kutukan seperti ini, Sayang, tidak akan patah hanya karena kau menandatangani surat nikah. Itu butuh... sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang sering ditolak oleh orang-orang modern.”
Meri menatapnya, ragu. “Seperti apa?”
“Seperti cinta,” jawab sang nenek ringan, namun dengan bobot yang tak terduga. “Atau keajaiban. Tapi biasanya dua hal itu datang beriringan.”
Ia meneguk tehnya, lalu berdiri sambil merapikan syalnya. “Aku tidak akan memaksamu percaya sekarang. Tapi saat waktunya tiba, kau akan mengerti. Dan jangan terlalu lama, Meri. Waktu Adrian terbatas.”
Sebelum Meri sempat bertanya lebih jauh, nenek Montclair sudah melangkah ke lift.
“Oh, dan satu lagi,” katanya sebelum pergi, menoleh sebentar, senyumnya kembali licik. “Jangan terlalu baik pada Cassie. Gadis itu punya gigi yang tajam.”
Meri tidak menjawab.
Ia berdiri diam cukup lama di tengah ruangan setelah lift tertutup. Ia menatap toples selai buatan nenek itu. Manis. Tapi kalimat terakhir sang nenek terngiang lebih kuat daripada aroma lavender di udara.
‘Gadis itu punya gigi yang tajam.’
Dengan pelan, Meri membuka keranjang rotan yang ditinggalkan sang nenek. Di balik lapisan kain renda, tergeletak secarik kertas lipat, nyaris tersembunyi di bawah biskuit.
Dengan hati-hati, Meri membukanya.
Tulisannya tangan, bergaya elegan. Hanya satu kalimat:
“Cassie bukan satu-satunya ancaman.”
Meri menatap kata-kata itu lama, lalu mengangkat kepalanya pelan. Matanya menyipit penuh kecurigaan.
Kalau Cassie bukan satu-satunya… Lalu siapa yang lain?
Lampu sorot berderet di depan podium. Deretan kamera dan kilatan flash memenuhi ruangan ballroom hotel yang disulap jadi ruangan konferensi pers. Suara riuh wartawan terdengar, semua berebut tempat untuk dapat angle terbaik.Pintu samping terbuka. Adrian Montclair melangkah masuk dengan setelan hitam yang rapi, dasi warna biru gelap, wajahnya dingin tapi mantap. Di sampingnya, Meri berjalan anggun, sederhana tapi elegan, langkahnya selaras dengan Adrian. Begitu mereka muncul, riuh suara ruangan langsung mereda—seolah semua orang menahan napas.Adrian berdiri di podium, menatap barisan kamera dengan tatapan yang tajam. Ia tidak langsung bicara. Hening beberapa detik, cukup lama untuk menegaskan bahwa dialah yang mengendalikan panggung.“Keluarga Montclair telah melalui badai,” suaranya dalam, menggema di ruangan. “Tapi malam ini, saya berdiri di sini untuk mengatakan satu hal sederhana: badai itu telah berakhir.”Flash kamera kembali menyala. Wartawan mulai berbisik.Adrian mengangkat
Adrian berdiri di ujung meja. “Aku tahu siapa saja yang menjual Montclair pada Julian. Hari ini, aku bersihkan meja ini.” Lucien membuka map, menaruh di tengah. Bukti terpampang jelas. Salah satu eksekutif tergagap. “Tuan Montclair… saya—” Adrian memotong dingin. “Diam. Kau duduk di sini karena aku masih izinkan. Satu langkah salah, pintu keluar ada di belakangmu.” Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “Montclair bukan milik pengkhianat. Siapa yang mau bertahan, buktikan dengan kerja. Siapa yang ragu… jangan buang waktuku.” Seorang eksekutif lain memberanikan diri. “Dan kalau kami memilih keluar?” Adrian mencondongkan badan, tatapannya menusuk. “Maka kalian akan keluar dengan tangan kosong—dan nama kalian hancur di luar sana.” Keheningan. Tak ada yang berani bergerak. Adrian menutup map dengan satu hentakan. “Mulai hari ini, aku pimpin dengan caraku. Julian sudah jatuh. Sekarang giliran siapa pun yang masih coba bermain dua sisi.” Adrian berdiri, kursinya bergeser pelan
Penthouse itu sunyi. Hanya jam dinding di ruang tamu yang berdetak pelan, mengisi kekosongan malam. Meri duduk di sofa, kedua tangannya menggenggam erat mug teh yang sudah lama dingin. Ia menatap pintu lift pribadi, menunggu tanpa berkedip, seperti kalau ia mengalihkan pandangan sebentar saja, Adrian mungkin tidak akan benar-benar kembali.Ting!Denting lift terdengar. Jantung Meri berdegup kencang. Pintu terbuka, dan Adrian muncul—jasnya kusut, dasi longgar, wajahnya lelah tapi matanya tetap sama.“Adrian…” suara Meri hampir bergetar.Ia melangkah masuk, menutup pintu lift dengan satu dorongan. Pandangannya langsung jatuh pada Meri. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata pelan, “Semua selesai.”Meri bangkit, menghampirinya dengan langkah cepat. “Kau… baik-baik saja?”Adrian mengangguk kecil, lalu meraih tangan Meri, seakan hanya itu yang menahannya tetap berdiri. “Julian sudah ditangkap. Tapi, Meri…” ia menarik napas panjang, “…ada hal lain yang harus kau tahu.”“Duduklah. Aku
Asap hitam masih membubung dari reruntuhan gudang. Api yang belum padam memberikan cahaya merah di langit, seolah kota sendiri sedang terbakar oleh amarah yang tidak terlihat.Julian Vale berdiri di balkon gedung kosong, setinggi enam lantai, menatap kobaran api dengan senyum tipis di bibirnya. Rokok menyala di ujung jarinya, abu jatuh berhamburan ke bawah.“Lihat itu,” katanya pelan, suaranya bercampur dengan dengung sirene pemadam. “Adrian pikir dia bisa menjebakku. Sekarang pasukannya jadi arang.”Dua pengawal di belakangnya saling melirik, ikut menyeringai seakan kemenangan itu juga milik mereka.Julian mengembuskan asap rokok ke udara, lalu mendesis, “Kematian ayahku tidak akan sia-sia. Aku akan membuat Adrian berlutut. Satu per satu, semua yang dia cintai akan hancur.”Ia berbalik, menepuk bahu salah satu pengawal. “Siapkan kendaraan. Kita pindah malam ini. Jangan sampai jejak ini mengikat kita lebih lama dari yang perlu.”Pengawal itu mengangguk cepat. “Ya, Tuan.”Julian berjal
Pagi itu, kantor pusat Montclair Group tidak berbeda dari biasanya—ramai, sibuk, para eksekutif bergegas masuk ruang kerja. Tapi di ruang tertutup paling atas, suasananya justru hening mencekam.Adrian berdiri di depan jendela kaca besar, menatap kota yang masih diselimuti kabut tipis. Di tangannya, secangkir kopi yang nyaris tak tersentuh.“Semalam Anderson berhasil,” suara Lucien memecah diam, tablet di tangannya memuat rekaman transkrip percakapan yang sudah diteruskan tim mereka. “Julian percaya. Dia bahkan menyuruh orang-orangnya bergerak cepat.”Adrian menurunkan cangkirnya ke meja, lalu berbalik. Sorot matanya tajam, penuh konsentrasi. “Bagus. Itu berarti kita tidak perlu menunggu lebih lama. Hari ini kita mulai menggerakkan pion.”
Ruang rapat eksekutif Montclair Group siang itu kosong kecuali tiga orang. Lampu putih menyorot meja panjang dari marmer hitam, menciptakan bayangan dingin di dinding kaca yang menghadap kota.Tuan Anderson duduk di ujung meja, jasnya sedikit kusut, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia jelas lebih gugup dari yang ingin ia tunjukkan.Di sisi lain, Adrian bersandar tenang pada kursinya. Lengannya terlipat di dada, matanya tajam seperti sedang menakar angka di neraca keuangan—hanya saja kali ini yang ia timbang adalah nasib seorang manusia. Lucien berdiri di dekat layar, laptopnya terbuka dengan deretan kode dan jaringan komunikasi yang sedang dipantau.“Kenapa kau terlihat seperti terdakwa di pengadilan, Anderson?” suara Adrian tenang tapi menekan. “Aku sudah bilang, aku tidak berniat menja







