Anna sangat terkejut mendengar ucapan pria di hadapannya itu.
Istri? Apa ia tidak salah dengar?!
"Hanya istri kontrak," imbuh Kai saat melihat Anna tampak begitu syok. "Selama dua tahun. Setelah itu kamu bebas."
Anna mengerjap, masih belum pulih dari rasa terkejutnya.
"Kenapa Anda ingin aku menjadi istri kontrak?" tanyanya dengan suara pelan. Bagaimanapun, permintaan itu benar-benar tidak masuk akal!
Mungkinkah … mungkinkah Kai hanya ingin ada yang memuaskannya di atas ranjang, tanpa ada ikatan cinta tapi tetap sah di mata hukum?
Bisa saja begitu, mengingat Kai sepertinya bukan orang biasa.
Anna melihat Kai menatapnya datar, membuat Anna memegang jas yang tersemat di pundaknya semakin erat, takut jika pria itu tiba-tiba menerkamnya.
"Apa kamu pikir punya hak untuk bertanya?" ujar Kai tanpa ekspresi. "Jika kamu tidak mau, kamu akan kukembalikan pada pria itu."
Sepasang mata Anna membelalak ngeri. Bayangan saat pria hidung belang itu berusaha menyentuhnya seketika membuat Anna mual dan gemetar.
Dia harus bagaimana? Jika menolak permintaan Kai, maka dia harus melayani pria hidung belang tadi, lalu bagaimana dengan nasibnya setelah itu?
Bagaimana juga pandangan Alvian—kekasih Anna, jika tahu dia sudah tidak suci karena dijual oleh ibu tirinya?
Tapi jika menjadi istri kontrak Kai, entah apa yang akan terjadi sesudahnya. Ia bahkan tidak mengenal pria ini sama sekali!
"Tu-tunggu!" kata Anna ketika Kai sudah memutar badan ke arah pintu.
Ia tidak punya pilihan yang lebih baik sekarang ini. Meskipun nantinya berhasil kabur, ibu tirinya pasti akan menjualnya lagi kalau Anna pulang.
Kai menoleh, ekspresi wajah datar dan dinginnya memang membuat siapa pun akan cemas sepanjang waktu.
Saat itu, ponsel Kai tiba-tiba berdenting. Ia membaca pesan dari pria tadi yang meminta 500 juta untuk membayar Anna.
Pria itu mengetik beberapa saat, lalu setelahnya kembali menatap pada Anna.
"Kamu pikir bisa mengganti uang ini dalam satu minggu?"
Kai memperlihatkan nominal uang yang baru saja ditransfernya ke pria hidung belang tadi.
Anna menelan ludah. Dia benar-benar tidak punya pilihan, bahkan menjual diri pun tidak akan membuatnya mendapatkan uang sebesar itu.
"Ba-baik, hanya dua tahun, kan?" tanya Anna memastikan. Raut wajahnya harap-harap cemas.
Kai menatapnya lekat. "Kamu sudah sepakat, utangmu akan lunas setelah dua tahun. Mulai malam ini, kamu harus tinggal di rumahku."
Anna bahkan tidak diberi kesempatan untuk berpikir atau memutuskan. Ia hanya mau Anna menuruti semua perintahnya.
Anna ingin mengajukan protes, tapi urung saat melihat tatapan tajam pria itu. Ia hanya bisa tertunduk lesu, pasrah.
Mungkin memang begini nasibnya.
"Bo-bolehkah aku mengambil barang-barangku di rumah lebih dulu?" tanya Anna ragu-ragu.
Kai tidak mengatakan apapun, tapi ia membawa langkahnya keluar.
Anna mengikutinya dengan patuh.
**
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Anna hanya tertunduk seraya meremas jemarinya berulang kali.
Bagaimana nasibnya setelah menjadi istri kontrak pria ini. Apakah dia akan diperlakukan layaknya istri atau seperti budak nafsu saja?
Tak lama, mobil itu akhirnya sampai di tepi jalan depan rumah sederhana milik ayah Anna.
Anna membuka seatbelt, tapi sebelum turun, suara Kai membuat Anna berhenti membuka pintu mobil.
“Jangan berpikir kabur atau kamu akan menyesal!” ancam Kai.
Anna menatap pada Kai yang bicara tanpa memandangnya. Dia mengangguk sambil membalas, “Iya, aku tahu.”
Anna turun dari mobil. Dia berjalan menuju rumahnya dengan perasaan cemas, takut jika ibu tirinya mengamuk.
Saat akan membuka pintu, Anna mendengar suara tawa sang ibu dan kakak tirinya. Mereka sepertinya sangat bahagia, padahal Anna harus berjuang mati-matian melawan pria yang hampir memperkosanya.
Air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia sakit hati, bagaimana bisa ibu tirinya sangat tega padanya?
Mungkin menjadi istri kontrak bukanlah hal buruk, daripada dia harus terus dimanfaatkan ibu tirinya.
Anna menyeka air mata, lalu membuka pintu tanpa mengetuk.
Mila dan Nindy—ibu dan kakak tiri Anna—sangat terkejut melihat Anna sudah pulang, apalagi Anna memakai jas pria.
"Kenapa kamu sudah pulang, hah? Kamu kabur?!" Mila langsung berdiri dan menghampiri Anna.
Anna memalingkan muka, tak sudi memandang wanita yang mengaku sebagai ibu tapi tega menjualnya.
"Jawab Anna! Kamu tidak punya mulut?!" bentak Mila emosi.
Anna masih tak menjawab, membuat Mila semakin murka. Dia menarik tangan Anna dan mencengkeramnya erat.
"Bagaimana bisa kamu kabur, hah?! Kamu mau mencelakai kita semua?!" cecar Nindy.
"Dasar tidak berguna! Sana kembali ke hotel, kamu harus melayani pria itu agar diberi uang sisa pembayarannya!"
Mila menarik tangan Anna, ingin membawa anak tirinya itu kembali ke hotel.
"Tidak! Aku tidak mau dijual!"
Anna memberontak. Dia melepas paksa tangannya dari cengkeraman Mila.
"Beraninya kamu!"
Plak!
Mila melayangkan tamparan ke pipi Anna.
Anna syok. Dalam semalam, ia sudah menerima dua kali tamparan yang membuat telinganya berdenging.
"Harusnya kamu seneng dibayar mahal. Pelacur saja tidak akan dibayar sebanyak itu! Dasar bodoh!" maki Nindy.
Bola mata Anna membulat meski ada tetes air menggenang di sana.
"Aku bukan pelacur, aku tidak mau melayani siapa pun!" hardik Anna melawan.
"Terserah, tapi aku tidak mau mengembalikan uang yang sudah pria itu beri. Kalau kamu tidak mau melayaninya, kamu saja yang ganti! Uang itu mau aku pakai untuk shopping!" ujar Nindy.
Anna benar-benar tak menyangka. Jadi, utang ayahnya hanya dalih agar ibu dan kakak tirinya bisa bersenang-senang.
"Ayo!" Mila dan Nindy menyeret Anna dengan paksa. Anna berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya tidak seberapa untuk melawan dua orang sekaligus.
"Lepaskan dia."
Suasana seketika hening saat Kai melangkah mendekat.
"Siapa kamu?" tanya Mila dengan tatapan memicing.Anna benar-benar tak menyangka Kai akan masuk ke rumah itu. Dia terus menatap Kai, sampai pria itu berdiri di sampingnya."Tunangan Anna," sahut Kai ringan.Anna membelalak terkejut.Tapi tunggu ...Anna belum pernah menyebutkan namanya. Dari mana pria ini tahu namanya?"Apa? Tunangan? Hah!" Mila tertawa mencibir."Wah, Anna. Kamu membayar orang ini untuk bersandiwara?" tanya Nindy ikut menyindir.Anna hanya bisa diam."Mulai saat ini, Anna akan tinggal bersamaku," kata Kai, tidak terpengaruh sama sekali. "Jika kalian berani menyentuhnya, kupastikan kalian akan tinggal di pinggir jalan selamanya."Senyum dan tawa cemooh dari wajah Mila dan Nindy langsung lenyap. Tatapan tajam pria itu begitu mengintimidasi, tidak perlu bukti untuk membuat mereka yakin bahwa pria itu tidak main-main.Kai menoleh pada Anna, lalu berkata, "Ambil barang pentingmu, tidak perlu bawa pakaian. Kamu tidak membutuhkannya di rumahku."Anna lagi-lagi terkesiap, tap
Keesokan paginya, Kai sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA."Kamu sudah resmi menjadi istriku, jadi apapun yang terjadi, kamu harus mengikuti semua ucapanku sesuai dengan perjanjian."Anna memandang surat nikah yang diberikan Kai padanya dengan hati hampa. "Iya," balasnya lesu.Dia tidak pernah menyangka akan menikah sekilat ini dengan pria asing.Semuanya terjadi begitu cepat."Aku akan pergi ke kantor. Minta pada pelayan kalau kamu butuh sesuatu."Kai pergi begitu saja setelah mengatakan itu.Anna memandang kepergiannya dalam diam. Sejak kemarin, pria itu tampak begitu sibuk. Ia tidak mengizinkan Anna melakukan apapun, tapi juga tidak pernah benar-benar meminta Anna untuk melayaninya.'Sebenarnya dia mau apa?' batin Anna bertanya-tanya.Ia lantas memandangi semua pakaian yang sudah disiapkan untuknya. Pakaian yang tampak mewah dan elegan.Anna mengecek pakaian-pakaian itu, ukurannya sesuai dengan tubuhnya. Dari mana Kai tahu?"Selain yang ada di sini, apa ada yang Anda butuhka
Setelah semalaman kesulitan tidur, pagi itu Anna menghampiri Kai yang baru saja keluar dari kamarnya.Dengan langkah ragu, ia mendekat dan menatap pria itu. “Hari ini aku harus kerja. Aku boleh pergi, kan?” tanya Anna meminta izin.Kai yang baru saja hendak menuruni tangga, menoleh pada Anna.“Kerja?” Anna menelan ludah lalu mengangguk gugup ketika Kai menatapnya begitu lekat. Sungguh, ia masih belum terbiasa dengan sikap dingin pria ini. “Keluar dari pekerjaanmu!” Setelah memberi perintah, Kai berjalan begitu saja meninggalkannya.Anna terkejut. Apa maksudnya itu?“Tunggu! Kenapa aku harus keluar dari pekerjaanku?” tanya Anna memberanikan diri. Ia mempercepat langkah karena Kai tidak juga berhenti.Kalau tidak bekerja, lalu bagaimana caranya Anna mencukupi kebutuhan hidupnya?Anna melihat Kai hanya diam. Dia tetap mengejar sampai mereka tiba di ruang makan.Anna menatap Kai yang tak membalas sama sekali ucapannya. Memangnya dia tidak berhak bertanya?“Duduk!” perintah Kai.Anna me
Kai sudah berada di ruang kerjanya. Dia sedang mendengarkan asistennya bicara, tapi sepertinya Kai tidak fokus.“Pak.” Tian–asisten Kai, menatap pada pria itu yang sejak tadi seperti melamun. Bahkan Kai tidak menanggapi perkataannya. “Apa ada masalah, Pak?” tanya Tian.Kai baru sadar dari lamunan, lalu segera membetulkan posisi duduknya.“Tidak ada,” jawab Kai.“Kalau tidak ada masalah di jadwalnya, saya permisi dulu,” ucap Tian lalu membalikkan badan untuk keluar dari ruangan itu.Tepat setelah Tian berjalan menuju pintu, Kai mendapat pesan dari sopir yang mengantar Anna.[Nona pergi ke sebuah rumah di kawasan perumahan biasa, tapi saya tidak tahu beliau menemui siapa karena saya diminta berhenti agak jauh di rumah itu. Nona bilangnya itu rumah temannya.]Kai mengerutkan alis. Jika memang itu rumah temannya, kenapa tidak mengantar langsung sampai di depan rumah?[Kirim alamatnya.]“Tian!”Tian yang baru saja akan keluar dari ruangan itu, kini kembali berbalik memandang pada Kai.“Iya,
Kai sedang sibuk mengecek berkas sebelum menandatangainya. Sebagai seorang direktur utama di perusahaan keluarga, Kai memiliki tanggung jawab besar sejak dua tahun terakhir.Saat Kai masih fokus menandatangani beberapa berkas, dia menerima pesan di ponselnya. Kai sejenak mengalihkan pekerjaan untuk mengecek pesan dari sopir yang mengantar Anna.[Sepertinya terjadi sesuatu pada Nona Anna, Pak. Dia kembali dengan pipi lebam dan sepertinya baru menangis.]Kai membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Dia kemudian membuka video rekaman dari kamera di dalam kabin yang dikirimkan oleh sopirnya. Kai diam sejenak melihat video Anna hanya diam di dalam kabin seraya memegangi pipi.Saat Kai masih fokus memperhatikan video itu, terdengar suara ketukan yang membuat Kai mengalihkan pandangan ke pintu.“Masuk!” Kai mempersilakan.Pintu ruangan itu terbuka, terlihat Tian masuk ruangan seraya membawa tablet pintar di tangannya.“Saya sudah mendapatkan nama pemilik alamat itu, Pak.” Tian memberikan tabl
Anna tak berkutik saat Kai menarik tangannya. Dia mengikuti langkah lebar pria itu menuju kamar, jantungnya berdegup cepat, Anna tidak tahu apa yang hendak dilakukan Kai.Anna menelan ludah susah payah saat benar-benar masuk kamar Kai. Dia melihat kamar pria itu tertata rapi. Cat dinding berwarna gelap menunjukkan bagaimana sifat pria itu, dingin dan tertutup.Anna masih mengedarkan pandangan ke seluruh kamar itu, hingga tidak sadar jika dia sekarang sudah sampai di tepian ranjang dan Kai mendudukkannya di sana.Pria itu tak berkata-kata, membuat Anna panik dan bingung sampai meremas tepian ranjang. Dia terus memperhatikan apa yang dilakukan Kai.Anna melihat Kai mengambil sesuatu di laci. Apa yang sekarang digenggam Kai? Bukan sesuatu yang ada di pikiran Anna, kan?Anna masih diam dengan kegugupan yang melanda, sampai Kai duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan ke wajah Anna, membuat Anna secara impulsif sedikit memundurkan kepala.“Berani menghindar dariku!” Suara tegas Kai mem
Keesokan harinya. Alvian masih tidur di kamarnya saat mendengar suara gedoran pintu begitu keras. Pria itu bangun karena terkejut dengan rasa kesal yang bercokol di dada.“Siapa pagi-pagi begini mengganggu tidurku!” gerutu Alvian.Alvian ingin mengabaikan, tapi suara gedoran pintu terus terdengar, membuatnya sampai mengacak-acak rambut lalu akhirnya dia bangun.Alvian keluar dari kamar masih dengan memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Dia berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang sudah mengganggu tidurnya.Alvian bersiap mengamuk, tapi urung ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.“Bu, ada apa datang ke sini pagi-pagi?” tanya Alvian sopan saat melihat pemilik kontrakan datang ke sana.“Aku menghubungimu tapi tidak kamu respon, jadi aku ke sini untuk mengatakan langsung, merepotkan sekali,” gerutu wanita itu menanggapi pertanyaan Alvian.Alvian mempersilakan wanita itu masuk lebih dulu, lalu menyuguhkan segelas teh..“Apa yang membawa Ibu ke sini?” tanya Alvian.Wani
Anna pergi ke kafe tempatnya bekerja untuk pamit jika sudah tidak akan bekerja di sana lagi. Dia sebenarnya berat melakukan ini, tapi karena ancaman Kai, membuat Anna mau tidak mau harus melakukan hal itu.Anna datang ke kafe yang belum buka, biasanya karyawan di sana datang lebih awal untuk melakukan persiapan lebih dulu.“Anna.” Bella–teman Anna bekerja langsung menghampiri saat melihat sahabatnya itu datang.“Kenapa kamu kemarin tidak berangkat? Kamu tahu, Pak Roy marah-marah, apalagi kamu tidak merespon panggilannya. Harusnya kamu izin lagi jika memang masih dalam masa berkabung,” ucap Bella seraya menatap panik karena takut jika Anna mendapat masalah. Anna tersenyum. Dia selalu lega saat melihat Bella mencemaskannya.“Sebenarnya kemarin aku mau ke sini, tapi karena ada masalah, jadi aku tidak bisa datang,” ujar Anna menjelaskan.“Masalah? Apa kamu kesusahan? Kenapa tidak menghubungiku?” tanya Bella masih menatap cemas.Anna ingin menjawab, tapi terhenti saat mendengar suara mana
Setelah jam istirahat usai. Rania kembali ke divisi untuk mulai bekerja lagi. Saat baru saja sampai di pantry, Rania terkejut melihat lampu merah menyala.“Sepertinya hari ini Pak Alex berulang kali memanggil,” gumam Herman.Rania menatap lampu itu terus berkedip. Mau tidak mau dia harus pergi ke ruangan Alex untuk melihat, apalagi yang pria itu inginkan.Rania mengetuk pintu ruangan Alex, lalu dia masuk dan melihat Alex duduk di sofa sambil menyapukan jari di atas tablet pintar.“Anda butuh sesuatu, Pak?” tanya Rania tetap sopan meski jiwanya ingin memberontak.“Bersihkan mejaku!” perintah Alex.Rania menoleh ke meja Alex, alangkah terkejutnya dia melihat meja Alex yang sangat berantakan.Berkas-berkas dibiarkan tergeletak begitu saja tak tertatap rapi, lalu ada tumpangan kopi yang dibiarkan sampai agak mengering.Rania benar-benar harus bersabar. Dia berjalan ke arah meja untuk mulai membersihkan, tetapi Alex kembali berkata.“Bersihkan sampai benar-benar bersih. Jika tidak, kamu ti
Rania memandang pada Alex, lalu tatapannya tertuju pada kertas dan pulpen yang berserakan di lantai.“Pungut semua!” perintah Alex.Rania tidak bisa mengelak karena sekarang bekerja untuk Alex. Dia berjalan mendekat lalu berjongkok di sisi kertas-kertas berserakan dan meletakkan nampan di lantai, setelahnya dia memunguti satu persatu kertas itu.Tanpa diduga, Alex ikut berjongkok, tapi bukan untuk membantu Rania memunguti kertas itu, melainkan untuk memberikan senyum ejekan pada wanita yang sudah menolaknya.“Tidak disangka, kamu menolak kerja di rumahku tapi malah bekerja di perusahaanku,” cibir Alex.Rania terdiam sesaat. Dia tak membalas atau menatap pada Alex. Rania fokus memunguti kertas-kertas itu, setelah selesai dia segera berdiri lalu meletakkan semua kertas itu di meja.“Apa kamu pikir harimu akan tenang dengan bekerja di sini?” Alex sudah berdiri dan kini menatap tajam pada Rania.Rania masih menurunkan pandangan, lalu berkata, “Jika sudah tidak ada yang perlu saya lakukan,
Rania benar-benar panik luar biasa melihat pria yang kini menatapnya dengan ekspresi wajah dingin. Dia masih mematung di tempatnya, sampai salah satu teman OB-nya menarik lengan Rania agar menyingkir dari jalan.“Selamat pagi, Pak.” Dua OB lain langsung membungkuk pada Alex dan Arion yang baru saja keluar dari lift.Alex berjalan dengan ekspresi wajah dingin tanpa menoleh Rania sama sekali, sedangkan Arion melirik pada Rania. Jadi, ini OB baru yang kemarin dipermasalahkan oleh atasannya itu.Rania masih bergeming dengan perasaan campur aduk. Di hari pertamanya bekerja, kenapa dia bertemu dengan pria yang membuat hidupnya kacau.“Siapa dia?” tanya Rania menoleh pada teman kerjanya.“Itu tuh, Pak Alex. Dia cucu pemilik perusahaan ini dan direktur di sini. Ya, meski dia masih direktur, tapi katanya sebentar lagi akan diangkat jadi presdir karena kemampuannya memimpin perusahaan,” jawab Herman–OB teman Rania.Rania merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Jadi, dia bekerja untuk pria b
Rania pergi ke rumah sakit dengan perasaan lega. Dengan bekerja di perusahaan itu, Rania bisa mendapatkan uang lebih banyak di siang hari dan bisa menjaga Abi saat malam hari.Rania berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang inap Abi. Saat hampir sampai di kamar sang putra, Rania melihat dokter dan perawat masuk ke ruangan sang putra dengan sangat terburu-buru.Tentu saja hal itu membuat Rania sangat panik. Dia segera berlari ke kamar Abi, saat masuk sudah melihat dokter sedang menangani putranya.“Apa yang terjadi pada anakku?” tanya Rania sangat panik.“Kondisi Abi baru saja drop, Bu. Dokter sedang mengecek dan memberikan penanganan yang tepat,” jawab perawat.Rania menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Dia benar-benar ketakutan dan panik jika terjadi sesuatu dengan Abi.“Kumohon, Abi. Mama akan mengusahakan kesembuhanmu, tolong jangan terjadi apa-apa padamu, Sayang.”Rania terus memandang dokter yang sedang mengecek kondisi Abi. Bola matanya sudah berkaca-kaca, ketakutan memb
Hari berikutnya. Rania pergi ke perusahaan tempat Silvi bekerja. Dia datang lebih awal dan bertemu dengan Silvi yang ternyata menunggunya di depan perusahaan.“Syukurlah kamu datang awal,” ucap Silvi lalu menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.“Aku tidak mungkin mengecewakanmu. Kamu sudah sejauh ini mau membantuku, jadi aku harus berjuang,” balas Rania.Silvi tersenyum lebar, lalu dia mengajak Anna segera masuk ke perusahaan karena kepala HRD ternyata sudah datang.Mereka masuk ke ruang HRD, lalu Silvi meninggalkan Rania bersama kepala HRD agar bisa diwawancarai.Rania memberikan surat lamarannya. Dia berdiri di depan meja kepala HRD sambil menunggu wanita itu membaca surat lamarannya.“Ternyata kamu sudah banyak pengalaman kerja di usiamu sekarang,” kata kepala HRD.Rania tersenyum dan mengangguk. “Iya, dan saya ahli menjadi cleaning service.”Kepala HRD tersenyum. “Terakhir kali kamu menjadi petugas kebersihan di klub malam, kenapa kamu keluar? Apa gajinya tidak mu
Alex berada di ruangannya menandatangani berkas-berkas yang bertumpuk di meja. Dia tidak fokus dalam bekerja, sampai beberapa kali membaca ulang berkas yang diserahkan padanya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Arion–sekretaris Alex.Alex melirik pada Arion, tapi tidak menjawab pertanyaan sekretarisnya itu. Dia segera membubuhkan tanda tangan, lalu menyerahkan berkas yang ditunggu oleh sekretarisnya itu.“Mana lagi yang butuh diserahkan hari ini?” tanya Alex sambil menatap satu persatu berkas yang ada di meja.“Stopmap merah, Pak,” jawab Arion sambil menunjuk ke stopmap yang dimaksud.Alex segera mengambil lalu membuka stopmap itu dan menandatangani berkas di dalamnya.Arion mengamati atasannya itu, sikap Alex beberapa hari ini memang sangat aneh. Jika mudah emosi itu sudah biasa, yang tak biasa itu karena Alex sering sekali melamun bahkan tidak fokus saat menghadiri rapat.Setelah Arion pergi dari ruangan Alex. Alex meletakkan pulpen yang dipegang lalu sedikit melonggarkan dasi yang tera
Saat sore hari. Anna duduk di teras sedang makan camilan bersama Stefanie. Dia terlihat sangat bahagia, di masa kehamilan bisa bersama orang-orang yang menyayangi dan memberinya banyak perhatian.“Suamimu pulang,” ucap Stefanie saat melihat mobil Kai memasuki halaman rumah.Anna tersenyum lebar, dia kembali memasukkan potongan semangka ke mulut lalu berdiri untuk menghampiri suaminya.Kai turun dari mobil yang baru saja terparkir sempurna di depan garasi mobil. Dia membuka bagasi mobil, lalu mengambil sesuatu dari dalam sana.Anna mengamati apa yang Kai bawa, suaminya membawa satu kantong plastik besar.“Itu apa?” tanya Anna penasaran.“Pesananmu,” jawab Kai lalu membuka plastik itu agar Anna melihat isinya.Mata Anna berbinar. Dia langsung mengambil kantong plastik berisi banyak mangga muda itu dari tangan Kai.“Terima kasih.” Anna mencium pipi Kai, lalu pergi meninggalkan suaminya tanpa mengajaknya masuk.Kai terkejut, bisa-bisanya dia diabaikan karena mangga muda.“Anna! Hati-hati
Kai masuk kamar setelah lembur dari ruang kerja. Dia menghampiri Anna yang duduk di sofa, alangkah terkejutnya dia melihat sang istri sedang makan mangga muda di malam hari.“Anna, ini sudah malam. Kenapa kamu masih makan mangga muda?” tanya Kai karena cemas jika Anna sakit perut.“Tapi aku pengen,” jawab Anna lalu kembali memasukkan potongan mangga muda ke mulut dengan tatapan tertuju pada Kai.Kai duduk di samping Anna, dia meringis melihat potongan mangga muda yang ada di piring.“Iya, tapi apa tidak bisa makannya besok setelah sarapan atau makan siang?” Kai tetap waspada dan cemas.Anna menggeleng sambil memasukkan suapan lagi ke mulut.“Apa tidak asam?” tanya Kai karena Anna makan dengan lahap, bahkan ekspresi wajah Anna biasa saja.“Tidak,” jawab Anna, “kamu mau coba?” tanya Anna sambil menyodorkan ke mulut Kai.Mencium bau mangga itu saja sudah membuat liurnya mengalir deras, Kai menggeleng.Anna terus makan meski suaminya melarang. “Staff di perusahaan, ada yang punya pohon ma
Rania menatap tak percaya, kenapa Alex ada di sana? Apa pria itu mengikutinya?Rania menatap Alex yang kini berjalan menghampirinya. Aura pria itu begitu dingin dan menakutkan, apalagi tatapan mata Alex.“Siapa kamu? Tidak usah ikut campur dengan urusan klub kami,” kata manager sedikit ketus.Alex tersenyum miring. Dia sudah berdiri di samping Rania, lalu menoleh pada wanita itu sebelum kembali menatap pada manager yang ada di belakang meja.“Kamu tidak tahu aku? Serius kamu tidak mengenal siapa aku?” Alex menatap penuh cibiran.Manager klub mengerutkan alis. Dia memang merasa tak asing dengan Alex.“Apa kamu mau izin klub ini dicabut dan usaha kalian ini ditutup?” Alex bicara dengan nada ancaman.“Siapa kamu sebenarnya?” tanya manager itu.Alex tersenyum miring, lalu dia menoleh pada Rania. “Hanya seorang pria yang sedang melindungi wanitanya.”Alex menarik satu sudut bibirnya setelah menyebut Rania sebagai wanitanya.Sedangkan Rania, dia sangat syok dan tidak paham dengan maksud Ale